Negara Memfasilitasi Perusakan Laut Demi PNBP, KIARA: Merusak Ekosistem Laut Demi PNBP dari Eksploitasi Pasir Laut

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id

 

Negara Memfasilitasi Perusakan Laut Demi PNBP, KIARA: Merusak Ekosistem Laut Demi PNBP dari Eksploitasi Pasir Laut


Jakarta, 1 Maret 2022 –
Pada tahun 2021 Pemerintah Indonesia telah
mengeluarkan beberapa Peraturan Pemerintah (PP), baik turunan dari UndangUndang Cipta Kerja maupun bukan turunannya. Salah satunya adalah PP No. 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan PP No. 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

PP No. 5 Tahun 2021 merupakan aturan turunan dari UU Cipta Kerja, sedangkan PP No. 85 Tahun 2021 bukan aturan UU Cipta Kerja, melainkan aturan pengganti dari PP No. 75 Tahun 2015. Lahirnya PP No. 85 Tahun 2021 sejalan dengan agenda dan target Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono. KKP menargetkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor kelautan dan perikanan hingga
tahun 2024 sebesar Rp 12 triliun.

Menurut Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, lahirnya kedua peraturan pemerintah tersebut telah dikritisi dan ditolak oleh berbagai pihak, terutama nelayan kecil dan tradisional. “Di dalam kedua peraturan pemerintah tersebut terdapat substansi yang akan mengancam keberlanjutan ekologi dan kesatuan ekosistem yang hidup di wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain mengancam keberlangsungan ekologi, juga akan berdampak terhadap perekonomian dan relasi antara masyarakat (nelayan) dengan ruang lautnya,” ungkapnya.

“Kami menilai, akan terjadi masif permasalahan yang timbul akibat lahirnya kedua peraturan pemerintah ini. Permasalahan terutama adalah legalitas pertambangan pasir laut yang akan memberikan dampak kerusakan lingkungan dan perampasan ruang hidup nelayan kecil dan tradisional,” tambah Susan.

Susan melanjutkan, di dalam PP No. 5 Tahun 2021 tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, pada Pasal 24 ayat (2) menyebutkan bahwa “Perizinan Berusaha pada subsektor pengelolaan ruang laut sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf a yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas: g. pelaksanaan reklamasi, dan, j. pemanfaatan pasir laut.” Substansi yang sama dapat ditemukan di dalam PP No. 85 Tahun 2021 Pasal (1) menyebutkan bahwa “Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan meliputi penerimaan dari: perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut.” Di dalam Pasal 8 ayat (1) disebutkan bahwa “kegiatan pemanfaatan pasir laut dihitung berdasarkan perkalian antara persentase dengan volume dan harga
patokan.”

“Jika PP No. 5 Tahun 2021 dan PP No. 85 Tahun 2021 dikaitkan dalam konteks pertambangan pasir laut, maka kedua PP ini akan memberikan legalitas untuk
berbagai pihak melakukan pertambangan pasir laut asalkan negara mendapatkan PNBP sesuai yang ditetapkan pemerintah. Lebih jauh lagi, pada masa yang akan datang, kedua PP ini akan mendorong dan semakin memperparah eksploitasi pasir laut di berbagai perairan laut di Indonesia,” imbuh Susan.

Pertambangan Pasir Laut untuk Siapa?


KIARA mencatat bahwa proyek pertambangan pasir laut di berbagai daerah masif dilakukan untuk mendukung dan men-supply kebutuhan pasir bagi proyek reklamasi. Hingga tahun 2018, Pusat data dan informasi KIARA mencatat terdapat 41 wilayah pesisir yang tengah dan telah di reklamasi. Proyek reklamasi tersebar dari Pulau Sumatera hingga ke Pulau Papua. Total luasan wilayah reklamasi sebesar 79.348,9 hektar dan jumlah nelayan yang terdampak sebesar 747.363 jiwa.

Salah satu contohnya yang masih berproses adalah perampasan ruang akibat tambang pasir di Perairan Spermonde untuk kepentingan pembangunan proyek Makassar New Port (MNP) seluas 1.428 hektare dengan cara direklamasi. Pertambangan pasir laut tersebut dilakukan perusahaan pengeruk pasir laut asal Belanda, Royal Boskalis. Selain berdampak terhadap pencemaran lingkungan, gelombang laut yang menjadi tinggi, menurunnya pendapatan nelayan, juga terjadi kriminalisasi terhadap warga yang menolak pertambangan pasir laut tersebut.

Susan menyatakan bahwa dari berbagai permasalahan yang terjadi akibat pertambangan pasir di wilayah perairan laut dan pulau-pulau, negara hadir memfasilitasi perampasan ruang dan pengrusakan lingkungan melalui skema perizinan administrasi. “Alih-alih melindungi lingkungan dan masyarakatnya, negara justru melepaskan tanggung jawab untuk menjaga ekologi laut tetap lestari. Hal ini tercermin dari penerapan PNBP di tambang pasir laut”, ungkapnya.

Susan menegaskan bahwa pertambangan pasir laut melanggar UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 Pasal 35 huruf (i) serta Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010. “Putusan ini secara jelas menyatakan bahwa nelayan dan perempuan nelayan sebagai masyarakat bahari Indonesia yang memiliki hak konstitusional. Negara harus menjalankan mandat putusan MK untuk melindungi nelayan, bukan mengeluarkan regulasi yang melegitimasi eksploitasi sumber daya alam dan perusakan laut hanya demi PNBP dari pertambangan pasir laut,” tegas Susan.

Informasi Lebih Lanjut
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502