Hari Bumi 2025, KIARA: Perlindungan Bumi Harus Diutamakan, Bukan Eksploitasi Atas Nama Transisi Energi yang Merugikan!
Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Hari Bumi 2025, KIARA: Perlindungan Bumi Harus Diutamakan, Bukan Eksploitasi Atas Nama Transisi Energi yang Merugikan!
Jakarta, 22 April 2025 – Setiap 22 April 2025 seluruh dunia memperingati Hari Bumi. Dalam sejarahnya, peringatan Hari Bumi dimulai pada 22 April 1970 dengan tujuan menyuarakan dan memperjuangkan isu kerusakan lingkungan hidup serta menentang perusakan lingkungan. Hal ini untuk mengedukasi masyarakat seluruh dunia tentang krisis lingkungan dan kesadaran untuk menjaga bumi. Hari Bumi 2025 mengusung tema “Our Power, Our Planet” atau “Kekuatan Kita, Bumi Kita” dengan makna bahwa semua orang harus bersatu dalam energi terbarukan agar dapat ditingkatkan hingga tiga kali lipat pada 2030.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, menyebutkan bahwa dalam konteks hari ini, momentum peringatan Hari Bumi juga harus diperingati untuk menyerukan kerusakan ekosistem esensial di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, pemanasan global, krisis iklim dan lingkungan yang keseluruhan tersebut berdampak semakin rentannya kehidupan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistem yang hidup di dalamnya. “Kondisi pesisir dan pulau-pulau kecil, khususnya yang di dalam bumi dan lautnya terkandung sumber daya mineral dan pasir tengah mengalami ancaman berbagai industri ekstraktif, baik pertambangan nikel, pasir laut, pasir besi, emas, pariwisata, konservasi maupun reklamasi. Ini menjadi ironi bagi masyarakat pesisir dan pulau kecil beserta ekosistem kelautan yang ada di dalamnya, di area yang tinggi sumber dayanya, maka ancaman perampasan ruang hidup mereka juga semakin tinggi,” tegas Susan.
“Potensi bumi (darat dan laut) Indonesia, khususnya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil akan semakin memburuk terutama dengan program prioritas Presiden Prabowo yaitu hilirisasi nikel dan transisi energi. KIARA mencatat dari 2017 hingga 2023, Indonesia merupakan salah satu produsen nikel tertinggi di dunia dengan total produksi 7.326.000 ton. Bahkan sejak tahun 2021 hingga 2023, total produksi nikel global didominasi dari hasil produksi Indonesia dengan jumlah 4.380.000 ton. Sedangkan total produksi nikel Indonesia di 2022 dan 2023 merupakan setengah (½) dari total produksi nikel global, yaitu sebesar 3.380.000 ton (Indonesia) dan 3.490.000 ton (global tanpa Indonesia). Dampaknya di lokasi-lokasi di mana ekstraksi nikel tersebut, masyarakat sekitar menjadi korban dan harus kehilangan kebun-kebun dan laut mereka karena dirampas untuk pembuatan fasilitas pendukung untuk tambang, bahkan mereka harus mengungsi karena kondisi tidak layak untuk hidup di area mereka yang ditambang,” jelas Susan.
KIARA mencatat bahwa hingga 2024 berakhir, pemerintah memberikan karpet merah melalui kemudahan perizinan pertambangan dengan skema hilirisasi produktivitas pertambangan. Hal tersebut sejalan dengan semakin masifnya penjualan kendaraan listrik. Ironisnya, pemerintah justru memberikan subsidi untuk pembelian berbagai kendaraan listrik seperti mobil listrik sebesar 80 juta dan motor listrik sebesar 8 juta. Selain subsidi harga pembelian kendaraan listrik, apresiasi lain yang diberikan pemerintah adalah menerapkan kebijakan bebas pajak kendaraan bermotor untuk kendaraan listrik berbasis baterai melalui Peraturan Menteri dalam Negeri Republik Indonesia No. 6 Tahun 2023 Tentang Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dan Pajak Alat Berat Tahun 2023.
KIARA mencatat bahwa meningkatnya produktivitas dan penjualan kendaraan listrik, berbanding lurus dengan kerusakan lingkungan pesisir, laut, dan pulau kecil yang berdampak terhadap hancurnya kondisi sosial-ekologi di wilayah yang dibebankan izin pertambangan. Bahkan salah satu perusahaan tambang di Pulau Wawonii yaitu PT GKP telah terbukti tidak memiliki perizinan dalam pembangunan dermaga dan terbukti merusak laut dengan cara menimbun laut. Akan tetapi tidak ada tindakan tegas dari KKP maupun kementerian lainnya. Kenyataan pahit ini membuktikan bahwa standing position pemerintah bukan pada perlindungan dan pemenuhan HAM dan hak warga negara, tetapi pada peningkatan dan perputaran ekonomi negara dan kepastian hukum bagi korporasi.
“Perampasan kekayaan alam dengan dalih energi terbarukan juga harus dikritisi bersama karena kekayaan alam harus diwariskan ke generasi selanjutnya, sehingga keadilan antar generasi atas lingkungan hidup yang kaya dan lestari dapat diimplementasikan. Publik tidak boleh terlena dengan mimpi indah tentang transisi energi, akan tetapi realita yang terjadi bahwa transisi energi tersebut tidak berkeadilan dan memposisikan masyarakat sebagai korban. Bumi harus dijaga, karena menjaga bumi adalah menjaga keberlanjutan kehidupan manusia!” pungkas Susan.(*)
Informasi Lebih Lanjut
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502





