Rehabilitasi Karang Siap Tanpa Utang

KONSERVASI
Rehabilitasi Karang Siap Tanpa Utang

JAKARTA KOMPAS – Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang atau Coremap periode 2014-2019 tidak akan dilanjutkan ke tahap selanjutnya. Tahap terakhir ini diharapkan menyiapkan masyarakat dan membentuk institusi pengelola kawasan konservasi terumbu karang.

Program yang sebagian didanai Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia itu akhir-akhir ini diprotes aktivis perikanan. Coremap dinilai menambah utang luar negeri dan terdapat penyelewengan penggunaan anggaran.

Sudirman Saad, Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jumat (2/8), mengatakan, penghentian Coremap bukan karena desakan aktivis. “Coremap sejak awal sudah ada target dan tahapan-tahapannya. Kalau sudah mantap, tinggal pengelolaan,” kata dia.

Diberitakan sebelumnya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) pada Kamis (1/8) menyerahkan petisi kepada Istana Presiden agar menghentikan utang konservasi dan mendukung kearifan local dalam pengelolaan sumber daya laut. Abdul Halim, Sekjen Kiara, mendesak Coremap III periode 2014-2019 dihentikan karena menambah utang 80 juta dollar AS dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia.

“Kami mendesak Presiden menghentikan skema utang luar negeri dalam pendanaan program konservasi sumber daya laut. Presiden agar memberi dukungan penuh terhadap inisiatif lokal,” kata Halim.

Atas desakan itu, Sudirman Saad mengatakan, pendanaan Coremap tak hanya dari utang atau hibah luar negeri. “Utang ini kalau distrukturisasi antara dana utang, hibah, dan APBN tak sampai 30 persen. Lebih banyak dana dari APBN,” kata dia.

Ia menjelaskan, celah utang luar negeri dibuka untuk membuka jendela internasional. Selain itu, utang akan  memobilisasi hibah yang banyak disalurkan melalui LSM.

Pendanaan itu digunakan sesuai target dan program kerja. Pada akhirnya, daerah-daerah konservasi laut itu tidak menjadi beban pendanaan, tetapi juga mendatangkan keuntungan bagi masyarakat dan negara.

Sudirman mencontohkan lokasi ekowisata Great Barrier Reef di Australia. Lokasi itu daerah konservasi yang berhasil dikelola menjadi tujuan wisata unggulan tang menghasilkan mendapatkan tinggi bagi pemerintah.

“Untuk mencapai itu masyarakat perlu diedukasi. Kawasannya perlu dizonasi”, kata dia. Disebutkan, daerah-daerah yang diperkirakan siap menjadi pionir adalah Raja Ampat, Anambas, dan Gili di Lombok. (ICH)

Sumber: Kompas, 5 Agustus 2013

Rehabilitasi Karang Siap Tanpa Utang

KONSERVASI
Rehabilitasi Karang Siap Tanpa Utang

JAKARTA KOMPAS – Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang atau Coremap periode 2014-2019 tidak akan dilanjutkan ke tahap selanjutnya. Tahap terakhir ini diharapkan menyiapkan masyarakat dan membentuk institusi pengelola kawasan konservasi terumbu karang.

Program yang sebagian didanai Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia itu akhir-akhir ini diprotes aktivis perikanan. Coremap dinilai menambah utang luar negeri dan terdapat penyelewengan penggunaan anggaran.

Sudirman Saad, Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jumat (2/8), mengatakan, penghentian Coremap bukan karena desakan aktivis. “Coremap sejak awal sudah ada target dan tahapan-tahapannya. Kalau sudah mantap, tinggal pengelolaan,” kata dia.

Diberitakan sebelumnya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) pada Kamis (1/8) menyerahkan petisi kepada Istana Presiden agar menghentikan utang konservasi dan mendukung kearifan local dalam pengelolaan sumber daya laut. Abdul Halim, Sekjen Kiara, mendesak Coremap III periode 2014-2019 dihentikan karena menambah utang 80 juta dollar AS dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia.

“Kami mendesak Presiden menghentikan skema utang luar negeri dalam pendanaan program konservasi sumber daya laut. Presiden agar memberi dukungan penuh terhadap inisiatif lokal,” kata Halim.

Atas desakan itu, Sudirman Saad mengatakan, pendanaan Coremap tak hanya dari utang atau hibah luar negeri. “Utang ini kalau distrukturisasi antara dana utang, hibah, dan APBN tak sampai 30 persen. Lebih banyak dana dari APBN,” kata dia.

Ia menjelaskan, celah utang luar negeri dibuka untuk membuka jendela internasional. Selain itu, utang akan  memobilisasi hibah yang banyak disalurkan melalui LSM.

Pendanaan itu digunakan sesuai target dan program kerja. Pada akhirnya, daerah-daerah konservasi laut itu tidak menjadi beban pendanaan, tetapi juga mendatangkan keuntungan bagi masyarakat dan negara.

Sudirman mencontohkan lokasi ekowisata Great Barrier Reef di Australia. Lokasi itu daerah konservasi yang berhasil dikelola menjadi tujuan wisata unggulan tang menghasilkan mendapatkan tinggi bagi pemerintah.

“Untuk mencapai itu masyarakat perlu diedukasi. Kawasannya perlu dizonasi”, kata dia. Disebutkan, daerah-daerah yang diperkirakan siap menjadi pionir adalah Raja Ampat, Anambas, dan Gili di Lombok. (ICH)

Sumber: Kompas, 5 Agustus 2013

Aktivis Gelar Aksi Diam Di Depan Istana Negara

Aktivis Gelar Aksi Diam Di Depan Istana Negara
Kecewa Pelestarian Laut Gunakan Utang Luar Negeri

RMOL. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menggelar aksi diam di depan Istana Negara, Jakarta, kemarin. Mereka mendesak pemerintah untuk mengevaluasi proyek konservasi laut, karena membebani keuangan negara dan mengebiri masyarakat adat serta nelayan tradisional.

Selain menggelar aksi diam, para aktivis juga menyerahkan petisi bersama ‘’Lestarikan Laut dengan Kearifan Lokal, Bukan Hutang/Bantuan Asing’ kepada Presiden SBY melalui Sekretaris Negara di Jalan Veteran, Jakarta, kemarin.

Petisi yang diluncurkan selama 21 hari (11-31 Juli 2013) melalui media jejaring sosial ini telah didukung sedikitnya 123 organisasi dan individu. Mereka berkumpul sejak pukul 16.00 WIB sore. Massa melakukan aksinya dengan berdiam diri dan menyerahkan petisinya ke Sekretaris Negara.

Sekertaris Jenderal Kiara Abdul Halim mengatakan, data Kiara menyebutkan saat ini terdapat skema dan praktik perluasan kawasan konservasi perairan seluas 20 juta hektar di tahun 2020. Langkah ini dilakukan dengan menggunakan dana utang luar negeri dan mengesampingkan partisipasi nelayan tradisional.

“Kiara mendesak Presiden SBY agar mengedepankan dan memastikan pengelolaan sumber daya laut berdasarkan kearifan lokal yang sudah dilakoni masyarakat adat dan nelayan tradisional di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia,” ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, Kiara juga mendesak Presiden SBY untuk mengevaluasi proyek konservasi laut yang terbukti membebani keuangan negara. “Kami mendesak pemerintah membatalkan kelanjutan Program Manajemen dan Rehabilitasi Terumbu Karang (Coremap) III. Program yang awalnya dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu dinilai sarat utang luar negeri, terindikasi ada kebocoran dana, dan tidak menyejahterakan nelayan tradisional,” katanya.

Aktivis Kiara Selamet Daroyni menyatakan, pengelolaan sumber daya laut yang lestari dan berkelanjutan sudah diterapkan sejak abad ke-16 oleh masyarakat adat yang tersebar di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Kiara mencatat diantaranya Sasi di Maluku, Bapongka di Sulawesi Tengah, Awig-awig di Bali dan Nusa Tenggara Barat, serta Ola Nua di Nusa Tenggara Timur.

Menurutnya, masyarakat perikanan tradisional menyadari bahwa kelestarian dan keberlanjutan sumber daya ikan merupakan prasyarat terwujudnya kehidupan yang sejahtera dan adil. “Apalagi mereka mendapati betapa besarnya manfaat sumber daya laut bagi kehidupannya,” katanya.

Sementara itu, dalam beberapa kesempatan pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan tetap yakin bahwa tidak ada penyimpangan, termasuk indikasi kebocoran dana Program Coremap III sebagaimana yang diutarakan oleh LSM Kiara.

Lanjutnya, semua dana yang dialokasikan selama dua tahap tersebut, dan berjalan sejak tahun 2003 sampai 2011 sudah diperiksa BPK dan auditor independen. “Overall (secara keseluruhan), Coremap bisa dikatakan sukses,”  kata Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Sudirman Saad.

Sumber: http://www.rmol.co/read/2013/08/02/120681/Aktivis-Gelar-Aksi-Diam-Di-Depan-Istana-Negara-

Konservasi Laut Bebani Anggaran

Konservasi Laut Bebani Anggaran

Teraspos – Program konservasi kelautan membebani keuangan negara dan berpotensi meminggirkan kearifan lokal dari para nelayan tradisional.

Menurut Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan dalam pelaksanaannya, program konservasi terumbu karang justru tidak efektif dan terjadi kebocoran dana.

“Pengelolaan sumber daya laut yang lestari dan berkelanjutan sudah diterapkan sejak abad ke-16 oleh masyarakat adat yang tersebar di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia,” kata Sekjen Kiara Abdul Halim, Selasa (9/7).

Dia mengaku heran meski temuan Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2013 namun Kementerian Kelautan dan Perikanan justru ingin melanjutkan proyek COREMAP III periode 2014-2019 dengan menambah utang konservasi baru sebesar 80 juta dolar AS dari Bank Dunia dan ADB.

Selain itu penetapan kawasan konservasi perairan juga memicu konflik horizontal karena mengenyampingkan partisipasi aktif nelayan tradisional dan masyarakat adat.

Kearifan lokal yang sudah dijalankan secara turun-temurun di Indonesia seperti yang terjadi di Maluku, Bapongka di Sulawesi Tengah, Awig-awig di Bali dan Nusa Tenggara Barat, serta Ola Nua di Nusa Tenggara Timur.

Menurut Kiara model pengelolaan ini dilakukan secara swadaya dengan partisipasi aktif seluruh anggota masyarakat dan bahkan tidak membutuhkan dana utang. Masyarakat perikanan tradisional dinilai menyadari bahwa kelestarian dan keberlanjutan sumber daya ikan merupakan prasyarat terwujudnya kehidupan yang sejahtera dan adil.(Ant)

Sumber: http://nasional.teraspos.com/read/2013/07/09/54627/konservasi-laut-bebani-anggaran