RUU Kelautan, Celah Penyimpangan Cukup Lebar

RUU Kelautan

Celah Penyimpangan Cukup Lebar

JAKARTA, KOMPAS, Penyusunan RUU Kelautan yang sudah memasuki tahap final mendapat sorotan sejumlah kalangan di tengah rencana pemerintah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim. RUU Kelautan dinilai menguatkan peran negara dalam mengelola kelautan. Namun, masih terbuka celah penyimpangan terkait anggaran dan pemanfaatan sektor kelautan.

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat, akhir pekan lalu, meminta dilakukan beberapa perbaikan terhadap aturan tersebut agar tidak membuka peluang penyimpangan. RUU Kelautan akan menyinergikan 21 undang-undang terkait kelautan serta menjadi dasar koordinasi bagi 17 kementerian dan lembaga dalam pengelolaan kelautan. RUU Kelautan dijadwalkan disetujui dalam Rapat Paripurna DPR, pekan ini.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim menilai, RUU Kelautan belum menegaskan keberpihakan anggaran pemerintah terhadap program kelautan. Pasal 15 menyebutkan, pemerintah wajib menyertakan luas wilayah laut sebagai daar pengalokasian anggaran pembangunan kelautan, Sumber anggaran berasal dari APBN ataupun APBD. Namun, tak ada ketentuan disinsentif berupa sanksi bagi pemerintah yang abai terhadap pengalokasian anggaran sektor kelautan.

RUU Kelautan juga dinilai masih mengandung pasal karet terkait penanganan pencemaran laut. Pasal 52 menyebutkan, proses penyelesaian sengketa dan penerapan sanksi pencemaran laut didasarkan pada prinsip pencemar membayar dan prinsip kehati-hatian. Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mendefinisikan prinsip pencemar membayar (polluter pays) sebagai pencemar harus menanggung biaya langkah-langkah mengurangi polusi.”Ketentuan itu dikhawatirkan membuka celah pembiaran terhadap pencemaran laut asal pencemar sanggup memberikan ganti rugi,” kata Halim.

Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Riza Damanik menilaim substansi RUU Kelautan memperbesar peran negara dalam mengelola dan memanfaatkan laut Indonesia serta harmonisasi perundangan dan kelembagaan untuk mengoptimalkan pembangunan kelautan. Meski demikian, masih terbuka beberapa celah penyimpangan.

Pasal 47 menegaskan mekanisme perizinan atau izin lokasi dalam persyaratan pemanfaatan laut. Ketentuan itu dinilai terlalu teknis untuk dibahas dalam RUU Kelautan yang sifatnya koordinatif. Apalagi, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil telah menegaskan adanya hak nelayan untuk melintasi, mengelola, dan memanfaatkan perairan dan sumber dayanya di seluruh Indonesia. Pasal 27 mengenai jasa maritim terkait reklamasi perlu dipertegaskan agar tak tumpang tindih.

Secara terpisah, Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan Sudirman Saad mengatakan, terdapat beberapa terobosan yang diatur dalam RUU Kelautan, yaitu pertama kalinya Indonesia menyatakan kiprah di laut lepas dalam hal konservasi laut dan pemanfaatan landas kontinen. Hal itu penting karena Malaysia dan Singapura telah lebih dulu mengklaim kiprahnya di landas kontinen di tingkat Internasional Seabed Authority.

Sumber: Kompas, Senen, 29 September 2014.

RUU Kelautan, Celah Penyimpangan Cukup Lebar

RUU Kelautan

Celah Penyimpangan Cukup Lebar

JAKARTA, KOMPAS, Penyusunan RUU Kelautan yang sudah memasuki tahap final mendapat sorotan sejumlah kalangan di tengah rencana pemerintah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim. RUU Kelautan dinilai menguatkan peran negara dalam mengelola kelautan. Namun, masih terbuka celah penyimpangan terkait anggaran dan pemanfaatan sektor kelautan.

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat, akhir pekan lalu, meminta dilakukan beberapa perbaikan terhadap aturan tersebut agar tidak membuka peluang penyimpangan. RUU Kelautan akan menyinergikan 21 undang-undang terkait kelautan serta menjadi dasar koordinasi bagi 17 kementerian dan lembaga dalam pengelolaan kelautan. RUU Kelautan dijadwalkan disetujui dalam Rapat Paripurna DPR, pekan ini.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim menilai, RUU Kelautan belum menegaskan keberpihakan anggaran pemerintah terhadap program kelautan. Pasal 15 menyebutkan, pemerintah wajib menyertakan luas wilayah laut sebagai daar pengalokasian anggaran pembangunan kelautan, Sumber anggaran berasal dari APBN ataupun APBD. Namun, tak ada ketentuan disinsentif berupa sanksi bagi pemerintah yang abai terhadap pengalokasian anggaran sektor kelautan.

RUU Kelautan juga dinilai masih mengandung pasal karet terkait penanganan pencemaran laut. Pasal 52 menyebutkan, proses penyelesaian sengketa dan penerapan sanksi pencemaran laut didasarkan pada prinsip pencemar membayar dan prinsip kehati-hatian. Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mendefinisikan prinsip pencemar membayar (polluter pays) sebagai pencemar harus menanggung biaya langkah-langkah mengurangi polusi.”Ketentuan itu dikhawatirkan membuka celah pembiaran terhadap pencemaran laut asal pencemar sanggup memberikan ganti rugi,” kata Halim.

Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Riza Damanik menilaim substansi RUU Kelautan memperbesar peran negara dalam mengelola dan memanfaatkan laut Indonesia serta harmonisasi perundangan dan kelembagaan untuk mengoptimalkan pembangunan kelautan. Meski demikian, masih terbuka beberapa celah penyimpangan.

Pasal 47 menegaskan mekanisme perizinan atau izin lokasi dalam persyaratan pemanfaatan laut. Ketentuan itu dinilai terlalu teknis untuk dibahas dalam RUU Kelautan yang sifatnya koordinatif. Apalagi, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil telah menegaskan adanya hak nelayan untuk melintasi, mengelola, dan memanfaatkan perairan dan sumber dayanya di seluruh Indonesia. Pasal 27 mengenai jasa maritim terkait reklamasi perlu dipertegaskan agar tak tumpang tindih.

Secara terpisah, Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan Sudirman Saad mengatakan, terdapat beberapa terobosan yang diatur dalam RUU Kelautan, yaitu pertama kalinya Indonesia menyatakan kiprah di laut lepas dalam hal konservasi laut dan pemanfaatan landas kontinen. Hal itu penting karena Malaysia dan Singapura telah lebih dulu mengklaim kiprahnya di landas kontinen di tingkat Internasional Seabed Authority.

Sumber: Kompas, Senen, 29 September 2014.

RUU Kelautan Harus Hilangkan Ego Sektoral

RUU Kelautan Harus Hilangkan Ego Sektoral

Perkuat Upaya Pencegahan Pencemaran Laut

 

NERACA

Jakarta- Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sudah menjadwalkan pengesahan RUU Kelautan menjadi Undang-Undang Kelautan. Intensi pengesahan RUU Kelautan tepat jika arahnya ingin mengatasi pengelolaan sumber daya laut yang selama ini sektoral. Dalam naskah RUU Kelautan tertanggal 15 Agustus 2014, pembangunan bidang kelautan difokuskan pada 7 (tujuh) sektor utama, yaitu perhubungan laut, industri maritim, perikanan, pariwisata bahari, energi dan sumber daya mineral, bangunan kelautan, dan jasa kelautan.

“Egosektoral di bidang kelautan adalah persoalan kronis yang harus dipastikan teratasi dengan lahirnya UU Kelautan. Namun disayangkan masih terdapat pasal karet yang melonggarkan praktek pencemaran laut dengan menyebut prinsip pencemar membayar (polluter pays) dan kehati-hatian di dalam Pasal 40 ayat (3). Semestinya RUU Kelautan ini memperkuat upaya melestarikan laut yang tidak diatur di UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH),” kata Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan), Minggu (28/9).

Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mendefinisikan prinsip pencemar membayar (polluter pays) sebagai “pencemar harus menanggung biaya langkah-langkah untuk mengurangi polusi sesuai dengan tingkat kerusakan yang dilakukan, baik kepada masyarakat atau melebihi dari tingkat yang dapat diterima (standard yang diatur oleh UU PPLH)”. Dengan perkataan lain, RUU Kelautan tidak menjawab persoalan pencemaran laut yang selama ini menjadi ancaman serius bagi laut dan masyarakat pesisir di Indonesia.

KIARA meminta DPR RI bersama dengan pemerintah untuk menuntaskan pembahasan RUU Kelautan terlebih dahulu, khususnya menyangkut pencemaran laut, dengan memastikan larangan dan sanksi berat bagi  pelaku pencemar laut, sebelum melakukan pengesahan. Karena hal tersebut menyangkut hajat hidup masyarakat nelayan dan mereka yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, seperti yang terjadi di Laut Timor.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Sjarief Widjaja di sela rapat panitia kerja RUU Kelautan di Hotel Century Senayan, Jakarta, Selasa (23/9, mengatakan, setelah menjaring aspirasi dan partisipasi publik di tingkat akademis beberapa waktu yang lalu, kini Rancangan Undang-undang (RUU) Kelautan akan dibahas di tingkat Panitia Kerja (Panja). Sesuai dengan mekanisme yang telah disepakati anggota panja terdiri dari separuh dari jumlah anggota Komisi IV DPR RI, Komisi II DPD RI dan unsur pemerintah. Rapat panitia kerja akan fokus membahas bagian Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang kemungkinan berubah secara substantif berdasarkan hasil masukan dari kalangan akademisi.

Menurut Sjarief, hal ini merupakan upaya strategis sebagai tindak lanjut atas berbagai masukan terkait substansi materi dan berbagai hal yang terkait dengan RUU Kelautan. Sehingga materinya diharapkan dapat sejalan dengan semangat semua elemen untuk melahirkan sebuah produk regulasi yang implementatif. Sebagaimana diharapkan banyak pihak, UU kelautan ini harus mampu menjamin tata kelola laut yang berkelanjutan dan mensehjaterakan. “Selain itu memberi prioritas pada pembangunan ekonomi berbasis kelautan dan kekuatan pertahanan keamanan nasional yang disegani,” ungkap Sjarief.

Pemerintah bersama Komisi IV DPR RI telah mempersiapkan mekanisme, jadwal dan rancangan DIM. Adapun daftar permasalahan yang telah di inventarisasi dan dimintakan persetujuan seluruhnya berjumlah 360 DIM. “Namun rumusan RUU yang akan dibahas di tingkat panja ini hanya berjumlah 110, berupa DIM perubahan dan usulan baru,” kata Sjarief.

Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil selaku Ketua Tim Perumus RUU Kelautan Sudirman Saad menambahkan bahwa pembahasan RUU ini menjadi sejarah dalam proses legislasi diIndonesia. Dimana untuk pertama kalinya sebuah RUU dibahas secara bersama antara Pemerintah, DPR, dan DPD RI. RUU ini juga telah melewati fase pembahasan yang panjang. “Termasuk dengan menyelenggarakan berbagai workshop  lintas  K/L  dan Forum Group Discussion, sebagai upaya mensosialisasikan mengenai urgensi UU Kelautan,” ujar Sudirman.

Sumber: http://www.neraca.co.id/article/45945/RUU-Kelautan-Harus-Hilangkan-Ego-Sektoral

RUU Kelautan Harus Hilangkan Ego Sektoral

RUU Kelautan Harus Hilangkan Ego Sektoral

Perkuat Upaya Pencegahan Pencemaran Laut

 

NERACA

Jakarta- Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sudah menjadwalkan pengesahan RUU Kelautan menjadi Undang-Undang Kelautan. Intensi pengesahan RUU Kelautan tepat jika arahnya ingin mengatasi pengelolaan sumber daya laut yang selama ini sektoral. Dalam naskah RUU Kelautan tertanggal 15 Agustus 2014, pembangunan bidang kelautan difokuskan pada 7 (tujuh) sektor utama, yaitu perhubungan laut, industri maritim, perikanan, pariwisata bahari, energi dan sumber daya mineral, bangunan kelautan, dan jasa kelautan.

“Egosektoral di bidang kelautan adalah persoalan kronis yang harus dipastikan teratasi dengan lahirnya UU Kelautan. Namun disayangkan masih terdapat pasal karet yang melonggarkan praktek pencemaran laut dengan menyebut prinsip pencemar membayar (polluter pays) dan kehati-hatian di dalam Pasal 40 ayat (3). Semestinya RUU Kelautan ini memperkuat upaya melestarikan laut yang tidak diatur di UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH),” kata Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan), Minggu (28/9).

Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mendefinisikan prinsip pencemar membayar (polluter pays) sebagai “pencemar harus menanggung biaya langkah-langkah untuk mengurangi polusi sesuai dengan tingkat kerusakan yang dilakukan, baik kepada masyarakat atau melebihi dari tingkat yang dapat diterima (standard yang diatur oleh UU PPLH)”. Dengan perkataan lain, RUU Kelautan tidak menjawab persoalan pencemaran laut yang selama ini menjadi ancaman serius bagi laut dan masyarakat pesisir di Indonesia.

KIARA meminta DPR RI bersama dengan pemerintah untuk menuntaskan pembahasan RUU Kelautan terlebih dahulu, khususnya menyangkut pencemaran laut, dengan memastikan larangan dan sanksi berat bagi  pelaku pencemar laut, sebelum melakukan pengesahan. Karena hal tersebut menyangkut hajat hidup masyarakat nelayan dan mereka yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, seperti yang terjadi di Laut Timor.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Sjarief Widjaja di sela rapat panitia kerja RUU Kelautan di Hotel Century Senayan, Jakarta, Selasa (23/9, mengatakan, setelah menjaring aspirasi dan partisipasi publik di tingkat akademis beberapa waktu yang lalu, kini Rancangan Undang-undang (RUU) Kelautan akan dibahas di tingkat Panitia Kerja (Panja). Sesuai dengan mekanisme yang telah disepakati anggota panja terdiri dari separuh dari jumlah anggota Komisi IV DPR RI, Komisi II DPD RI dan unsur pemerintah. Rapat panitia kerja akan fokus membahas bagian Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang kemungkinan berubah secara substantif berdasarkan hasil masukan dari kalangan akademisi.

Menurut Sjarief, hal ini merupakan upaya strategis sebagai tindak lanjut atas berbagai masukan terkait substansi materi dan berbagai hal yang terkait dengan RUU Kelautan. Sehingga materinya diharapkan dapat sejalan dengan semangat semua elemen untuk melahirkan sebuah produk regulasi yang implementatif. Sebagaimana diharapkan banyak pihak, UU kelautan ini harus mampu menjamin tata kelola laut yang berkelanjutan dan mensehjaterakan. “Selain itu memberi prioritas pada pembangunan ekonomi berbasis kelautan dan kekuatan pertahanan keamanan nasional yang disegani,” ungkap Sjarief.

Pemerintah bersama Komisi IV DPR RI telah mempersiapkan mekanisme, jadwal dan rancangan DIM. Adapun daftar permasalahan yang telah di inventarisasi dan dimintakan persetujuan seluruhnya berjumlah 360 DIM. “Namun rumusan RUU yang akan dibahas di tingkat panja ini hanya berjumlah 110, berupa DIM perubahan dan usulan baru,” kata Sjarief.

Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil selaku Ketua Tim Perumus RUU Kelautan Sudirman Saad menambahkan bahwa pembahasan RUU ini menjadi sejarah dalam proses legislasi diIndonesia. Dimana untuk pertama kalinya sebuah RUU dibahas secara bersama antara Pemerintah, DPR, dan DPD RI. RUU ini juga telah melewati fase pembahasan yang panjang. “Termasuk dengan menyelenggarakan berbagai workshop  lintas  K/L  dan Forum Group Discussion, sebagai upaya mensosialisasikan mengenai urgensi UU Kelautan,” ujar Sudirman.

Sumber: http://www.neraca.co.id/article/45945/RUU-Kelautan-Harus-Hilangkan-Ego-Sektoral