Laut untuk Rakyat, tanpa Intervensi Politik
Oleh: Rosiful Amirudin *)
Selama berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun, orientasi pembangunan negeri ini selalu berpijak pada konsep daratan (kontinen). Cukup lama bangsa ini berpaling dari laut. “Orang darat” beramai-ramai menjadikan laut sebagai halaman belakang rumah. (Khudori dalam Opini bertajuk “Gus Dur dan Amnesia Kelautan”)
Sudah terlalu lama negara Indonesia sebagai negeri bahari memunggungi laut. Terlalu lama meninggalkan potensi kelautan dan perikanan Indonesia berujung pada kerugian negara yang besar. Praktik Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing di Indonesia bedasarkan Pusat Data dan Informasi Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengakibatkan negara merugi sampai dengan 5,2 miliar dolar AS per tahun dikarenakan adanya penangkapan ikan secara ilegal.
Nilai itu tidak saja dihitung dari total ikan tangkapan, tetapi juga potensi pendapatan dari pajak dan kerusakan ekosistem akibat penangkapan ikan secara ilegal. Hal ini diperburuk dengan maraknya penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, serta praktik-praktik transhipment atau alih muat di perairan Indonesia yang sesungguhnya praktik tersebut telah dilarang dalam UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Di sisi lain, hingga hari ini Indonesia masih menghadapi tantangan besar lain seperti maraknya perbudakan serta pelanggaran administrasi perizinan perkapalan yang memperburuk kerugian negara.
Butuh upaya ekstra negara, untuk mengembalikan potensi kelautan dan perikanan untuk kemakmuraan rakyat Indonesia. Sektor perikanan dan kelautan selama ini tidak menjadi fokus perhatian pemerintah, sehingga banyak sekali permaasalahan yang mengendap pada sektor ini.
Belum juga termasuk peningkatan kualitas hidup masyarakat yang menggantungkan kehidupan pada sektor laut. Pembangunan sumberdaya manusia menjadi faktor penting dalam upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat pesisir yang selama ini menjadi masyarakat kelas dua. Kekayaan sektor laut Indonesia tidak menjamin masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor laut juga akan turut sejahtera, justru sebaliknya.
Dari 10.666 desa-desa pesisir di Indonesia yang menjadi ruang hidup masyarakat nelayan tradisional, pembudidaya ikan, petambak garam, perempuan nelayan, dan pelestari ekosistem pesisir merupakan wilayah yang rentan konflik agraria. Konflik agraria tersebut rata-rata disebabkan oleh kebijakan pembangunan yang bersifat sektoral serta tidak komprehensif.
Mengembalikan kedaulatan perikanan dan kelautan RI menjadi salah satu agenda utama Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Pengembalian kedaulatan Maritim Indonesia tidak sekedar menenggelamkan kapal asing yang melakukan pelaanggaran akan tetapi juga termasuk bagaimana memikirkan kelanjutan ekosistem dan sumberdaya laut benar-benar untuk jangka panjang.
Mengingat, penggunanan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan justru sangat merugikan ekosistem laut Indonesia. Tercatat, selama tahun 2016, Menteri Susi melakukan penenggelaman kapal sebanyak 115 kapal ilegal, yang sebagian besar berasal dari Vietnam. Menteri Susi juga memberlakukan moratorium perizinan usaha perikanan tangkap dan revisi peraturan usaha perikanan tangkap.
Beberapa bulan terakhir, konflik pasca-penerbitan Permen KP No. 2 Tahun 2015 mengenai Pelarangan Alat Tangkap yang tidak ramah lingkungan, menarik perhatian khalayak ramai. Alat tangkap yang tidak ramah lingkungan memang, selama ini, kerap bebas dari jerat hukum petugas keamanan. Minimnya penegakan hukum terhadap pelaku pengguna alat tangkap yang tidak ramah lingkungan berpengaruh kepada sumber daya ikan yang menjadi deplesi atau berkurang drastis. Sisi positif dari penerbitan Peraturan Menteri Kelautan Perikanan ialah bagaimana sumberdaya laut dan ekosistem dasar laut benar-benar terpulihkan dari kerusakan serta keberlanjutannya untuk jangka panjang.
Banyaknya penolakan dari kalangan nelayan di sekitar Pantai Utara Jawa, menjadi tersendatnya berlakunya Peraturan Menteri tersebut. Penolakan berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan Perikanan Susi Pudjiastuti juga tidak hanya dari kalangan nelayan, melainkan juga politisi partai politik pada tahun terakhir dalam masa perpanjangan berlakunya regulasi tersebut.
Moratorium dari implementasi Permen KP No. 2 Tahun 2015 menjadi pekerjaan rumah besar bagi bangsa ini. Pusat Data dan Informasi KIARA mencatat, setidaknya terjadi 40 kasus konflik horizontal antara nelayan akibat pro dan kontra.
Implementasi Permen KP No.2 Tahun 2015 juga terhambat pada solusi yang ditawarkan oleh Pemerintah, khususnya pada penggantian alat tangkap kepada nelayan terdampak. Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat terdapat ada kekeliruan dalam pendistribusian alat tangkap oleh Pemerintah yang merupakan bagian dari solusi dari Permen KP tersebut. Banyaknya distribusi alat tangkap yang tidak tepat sasaran, serta lambatnya penggantian alat tangkap oleh pemerintah, menjadikan banyaknya nelayan yang memilih untuk menjadi pekerja perikanan di kapal domestik maupun non domestik.
Terdapat sebagian nelayan yang terdampak menyatakan persetujuannya berlakunya regulasi tersebut, asalkan solusi yang ditawarkan oleh pemerintah benar-benar terealisasi dengan baik supaya mereka dapat melaut kembali. Keberlanjutan ekosistem untuk masa depan menjadi tanggung jawab bersama semua kalangan, bukan hanya pemerintah, melainkan juga nelayan juga berperan penting dalam menjaganya. Salah satu cara dalam praktik illegal fishing yakni praktik transhipment (olah muatan ditengah laut). Praktik tersebut menjadi modus para penjahat perikanan untuk menyelundupkan hasil tangkapannya. Larangan ini pun sebenarnya sudah dicantumkan pada pasal 41 (3) UU No. 45 Tahun 2009. “setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan harus mendaraatkan ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk”.
Upaya untuk membenahi sektor perikanan dan kelauatan RI harus didukung oleh semua pihak. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah benar adanya untuk keberlanjutan yang jangka panjang. Walaupun pastinya banyak penolakan oleh sebagian kalangan masyarakat. Mengingat berbagai moratorium yang dilakukan oleh Pemerintah untuk menjamin esok hari masyarakat Indonesia dapat mengkonsumsi ikan serta mendapatkan kemanfaatan secara ekonomi dalam waktu yang lama.
Permasalahan penggunaan cantrang atau alat tangkap, seharusnya tidak dibawa ke ranah politik untuk kepentingan sementara dan kepentingan orang tertentu. Permasalahan alat tangkap ini menyangkut hajat hidup orang banyak, termasuk ribuan ABK kapal yang bergantung pada kapal-kapal di sepanjang Pantai Utara Jawa. Pada saat bersamaan, butuh kemauan negara untuk menyiapkan solusi komprehensif dan adil, salah satunya dengan memastikan bahwa setiap nelayan tradisional yang terdampak dari implementasi Permen KP No. 2 Tahun 2015 dapat tetap melaut dengan rasa aman.
Sudah terlalu lama kekayaan laut Indonesia hanya untuk segelintir orang, sudah waktunya kekayaan alam laut benar-benar untuk kesejahteraan masyarakat pesisir khususnya dan masyarakat luas pada umunya. Laut yang sehat untuk mewujudkan negara yang sejahtera dan kuat.
*) Penulis adalah Legal Officer Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA)