Penerbitan IMB Pulau Reklamasi Tak Sejalan Janji Kampanye Anies

Jakarta, Kamis, 20 Juni 2019 – “Jika saya sekadar mencari pujian, tampil heroik, dan bisa dicitrakan sebagai penghancur raksasa bisnis, maka bongkar saja semua bangunan di atas lahan hasil reklamasi itu. Di mana-mana akan disambut dengan tepuk tangan. Secara politik itu akan dahsyat.”

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menuliskan pernyataan itu dalam keterangan pers yang dibagikan kepada wartawan, Rabu (19/6/2019) kemarin.

Sejak pertama kali isu penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk 932 bangunan kepada pengembang di Pulau Reklamasi muncul, Anies memang tak pernah mau memberikan keterangan langsung kepada media massa. Anies hanya menyampaikan keterangan lewat dua pers rilis.

Bekas Mendikbud itu berdalih penerbitan IMB mengacu pada Peraturan Gubernur Nomor 206 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota Pulau C, Pulau D dan Pulau E Hasil Reklamasi Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (PDF).

“Suka atau tidak terhadap isi pergub ini, faktanya pergub itu telah diundangkan dan telah menjadi sebuah dasar hukum dan mengikat,” kata Anies masih dalam rilis yang sama.

Pergub Nomor 206/2016 diterbitkan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok pada masa akhir pemerintahannya. Anies pun mempertanyakan pergub yang dibuat Ahok tersebut.

“Saya juga punya pertanyaan yang sama. Lazimnya tata kota, ya, diatur dalam perda bukan pergub. Itulah kelaziman dan prosedur yang tertib, ya, begitu,” kata Anies.

Namun, Ahok membantah pandangan Anies yang menganggap pergub yang dibuatnya bisa menjadi landasan menerbitkan IMB di pulau reklamasi. Ia mengatakan rancangan peraturan daerah (raperda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) perlu disahkan dulu untuk bisa menerbitkan IMB. “Untuk pulau reklamasi, saat itu tidak bisa terbitkan IMB karena belum ada dasar perdanya,” kata Ahok juga dalam keterangan tertulis, Rabu (19/6/2019). “Sekarang karena gubernurnya pintar ngomong, pergub [yang] aku [buat disebut] udah bisa untuk IMB reklamasi tanpa perlu perda lagi,” lanjutnya.

Ahok Anies dan Ahok Dinilai Sama Saja

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati mengkriitik cara Anies menyelesaikan masalah proyek reklamasi. Susan menilai, cara yang ditempuh Anies tidak berbeda dengan BTP.

“Jadi cara berpikir Ahok atau Anies ini sama saja. Dua-duanya ini, ambil aturan semau-maunya yang menurut dia suka dan cocok dengan kebijakan yang akan dia keluarkan,” kata Susan kepada reporter Tirto, Rabu (19/6/2019).

Susan berpendapat demikian lantaran Anies menerbitkan IMB untuk sejumlah bangunan di pulau reklamasi dengan dasar Pergub 206/2016 yang diterbitkan Ahok. Menurut Susan, pergub tersebut tak tepat dijadikan landasan hukum.

“Secara substansi, pergub tersebut tidak punya dasar hukum karena mandat UU Nomor 1 tahun 2014 mewajibkan seharusnya ada perda zonasi. Sebetulnya, pergub ini berkaitan dengan aturan yang lebih tinggi,” ujar Susan.

Susan juga mengkritik penyusunan Pergub 206/2016 karena tidak memakai aturan soal pesisir dan pulau kecil, seperti UU Nomor 1 Tahun 2014 (PDF) dan Putusan MK Nomor 3/PUU-VIII/2010 (PDF) sebagai landasan.

“Yang dipakai undang-undang pengadaan tanah, lalu yang dipakai Kerpres 52 tahun 1995 (PDF) dan macam-macam,” ujar dia.

Keseriusan Anies Dipertanyakan

Susan pun mempertanyakan keseriusan Anies yang sebelumnya ingin menghentikan reklamasi dan berencana memanfaatkan sejumlah pulau reklamasi untuk kepentingan publik.

“Ya, itu, kan, berbanding terbalik dengan pertanyaan Anies sewaktu debat Dia bilang ‘Apakah segala sesuatu yang berasal dari masa lalu itu harus dilanjutkan?’. Dia menanyakan itu ke Ahok saat Ahok menggunakan Perpres 52 tahun 1995 sebagai dasar reklamasi,” ujar Susan.

“Nah, sekarang itu dilakukan Anies dengan pergub [yang diterbitkan] Ahok, padahal dia bisa mencabut pergub tersebut, tetapi kita tidak melihat ada kemauan di situ,” tambahnya.

Apa yang dikatakan Susan benar belaka. Pada 9 Februari 2017, Anies sempat berjanji di depan para nelayan yang menolak reklamasi untuk menggunakan seluruh fasilitas di proyek reklamasi untuk kepentingan publik. Dia menolak pemanfaatan proyek reklamasi untuk tujuan komersial.

“Akan dibangun fasilitas publik yang bisa diakses oleh semua warga, bukan hanya bermanfaat bagi sebagian warga,” ujar Anies.

Anies mengaku menolak reklamasi karena pelaksanaannya tidak sesuai prosedur. Ia mencontohkan reklamasi di Teluk Jakarta tanpa Analisis Dampak Lingkungan (Amdal). “Problem sekarang, kan, karena prosedur itu dilewati. Karena itu kami menolak,” tegasnya.

Janji Anies mengalihkan pulau reklamasi guna kepentingan publik dinilai bertentangan dengan penerbitan IMB ke pengembang. Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja.

“Kalau dia bilang untuk kepentingan publik, itu harus tertuang di panduan rencana tata ruang kotanya, bukannya malah mengakomodasi panduan rancang kota Gubernur sebelumnya,” kata Elisa saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (14/6/2019).

Elisa mengatakan jika Anies memang memiliki visi yang berbeda terkait reklamasi dengan gubernur sebelumnya, seharusnya Pergub 206/2016 dicabut dan diubah. “Pokoknya kalau misalnya mau serius bikin Pulau C dan Pulau D untuk kepentingan publik, itu pergubnya dulu harus diubah,” tegasnya.

Reporter: Fadiyah Alaidrus

Penulis: Fadiyah Alaidrus

Editor: Gilang Ramadhan

Sumber Berita:  https://tirto.id/penerbitan-imb-pulau-reklamasi-tak-sejalan-janji-kampanye-anies-ecJp?source=Whatsapp&medium=Share.

TATA RUANG LAUT UNTUK SIAPA?

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

TATA RUANG LAUT UNTUK SIAPA?
Membaca Perampasan Ruang Hidup dalam Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K)

 

21 Perda Zonasi telah diterbitkan, tapi ruang hidup masyarakat pesisir yang merupakan pemegang hak (rightholder) utama sebagaimana amanah konstitusi, tak mendapatkan porsi yang memadai.

KIARA, Jakarta, 20 Juni 2019 – Sampai dengan pertengahan tahun 2019, sebanyak 21 Provinsi di Indonesia telah merampungkan pembahasan peraturan daerah zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (Perda Zonasi). Perda ini merupakan mandat UU No. 1 Tahun 2014 revisi terhadap UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dengan demikian, tinggal 13 Provinsi yang belum menyelesaikan pembahasan perda zonasi yang merupakan tata ruang lautnya.

“Proyek infrastruktur skala besar mendominasi perda tersebut, industri dikedepankan sambil menutup mata pada nasib nelayan kecil yang harusnya jadi subjek utama sebagaimana di amanatkan konstitusi paska revisi UU HP3.” Tutur Sekjend KIARA, Susan Herawati dalam diskusi publik “Tata Ruang Laut Untuk Siapa?” Di Bakoel Koffie Cikini (20/6).

Ia menjelaskan, fakta berbagai proyek pembangun infrastruktur dengan cara reklamasi, proyek pertambangan, industri pariwisata pesisir dan pulau-pulau kecil, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, konservasi, dan sejumlah proyek lainnya diberikan ruang yang sangat luas dalam perda zonasi tersebut.

Di dalam Perda Zonasi Provinsi Lampung No. 1 tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Lampung Tahun 2018-2038 misalnya, KIARA mencatat luasan zona wisata alam bentang laut sebesar 23.911,12 ha; zona wisata alam bawah laut sebesar 680,32 ha; zona wisata alam pantai/pesisir dan pulau-pulau kecil 347,87 ha; dan wisata olah raga air seluas 912,50 ha. Untuk zona pertambangan, Perda ini mengalokasi ruang seluas 12.585,53 ha, untuk zona industri seluas 2.549,10 ha. Namun untuk pemukiman nelayan hanya dialokasikan seluas 11,66 ha saja.

“Padahal jumlah nelayan di Provinsi Lampung tercatat sebanyak 16.592 keluarga. Mereka sama sekali tak mendapat prioritas kebijakan kesejahteraan dalam perda zonasi.”

Tak hanya di Provinsi Lampung, di Provinsi Kalimantan Selatan ditemukan hal serupa. Di dalam Perda Zonasi No. 13 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2018 – 2038, KIARA mencatat, zona pariwisata seluas 10.094 ha; zona pelabuhan seluas 188.495 ha; zona pertambangan seluas 100.086 ha; zona Kawasan Strategis Nasional latihan militer seluas 187.946 ha. Sementara itu, zona pemukiman nelayan hanya dialokasikan seluas 37 ha untuk 9715 keluarga nelayan.

Hal serupa dapat dibaca dalam Perda Zonasi Kalimantan Utara No. 4 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Kalimantan Utara Tahun 2018-2038. Di dalam Perda ini zona pertambangan dialokasikan seluas 8.909,70 ha; zona zona pariwisata seluas 4.971,51 ha; zona pelabuhan seluas 36.049,28 ha; zona konservasi seluas 29.918,80. Sementara itu alokasi untuk pemukiman nelayan seluas 106 ha bagi 7.096 keluarga nelayan.

Masih menurut Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, tiga Perda Zonasi tersebut menggambarkan betapa masyarakat pesisir, khususnya nelayan, dipinggirkan bahkan ruang hidupnya dirampas melalui Perda Zonasi. “perampasan ruang hidup nelayan kecil sangat nyata dan terang-terangan, belum tampak orientasi pembangun oleh pemerintah daerah mau pun pusat yang konkrit dan strategis mendukung kesejahteraan nelayan secara berkelanjutan,” katanya.

“Dari berbagai kajian yang dilakukan KIARA selama ini,” tambah Susan, “penataan ruang laut melalui Perda Zonasi, sesungguhnya tak diperuntukkan untuk masa depan kehidupan nelayan dan ekosistem pesisir serta laut. Sebaliknya, diperuntukkan bagi kepentingan modal yang ingin mengkavling, mengkomodifikasi serta mengkomersialisasi sumberdaya pesisir, kelautan, dan perikanan.”

Menurut Susan, tak sedikit nelayan di Indonesia mengalami kesulitan untuk mengakses laut hanya gara-gara di kawasan tersebut terdapat proyek reklamasi, pertambangan, atau kawasan pariwisata.

Akibatnya, nelayan harus melaut lebih jauh untuk mendapatkan hasil tangkapan ini.

“Ini adalah fakta yang kami temukan di sejumlah tempat, diantaranya di Kepulauan Seribu, dan juga di Mandalika, Lombok. Bahkan tak sedikit nelayan yang dikriminalisasi sebagaimana yang dialami oleh Waisul, nelayan Dadap, yang mengkritik keberadaan Pulau C,” tuturnya.

Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) memandatkan bahwa masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak mendasar. Di dalam Putusan MK No. 3 Tahun 2010, MK memandatkan sebagai berikut: 1) Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak untuk melintas dan mengakses laut; 2) Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak untuk mendapatkan perairan yang bersih dan sehat; 3) Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak untuk mendapatkan manfaat dari sumberdaya kelautan dan perikanan; 4) Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak untuk mempraktikkan adat istiadat dalam mengelola laut yang telah dilakukan secara turun temurun.

Sudah delapan tahun usia putusan ini. Namun tanda-tanda perbaikan kebijakan yang berpihak terhadap masyarakat pesisir sekaligus ruang hidupnya tidak terlihat. Fakta-fakta di lapangan membuktikan, perampasan ruang hidup masyarakat pesisir terus massif terjadi.

“Hari ini sudah ada 21 Perda Zonasi yang disahkan dan nyaris semua RZWP3K yang sudah disahkan menyimpan celah perampasan ruang hidup masyarakat pesisir. Pemerintah harus jujur melihat peruntukan laut harus sebesar-besarnya kedaulatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir Indonesia. Artinya, RZWP3K bermasalah harus berani untuk kita analisa bersama dan lawan,” pungkas Susan. (*)

 

Informasi lebih lanjut:
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050