Jakarta dan Kalimantan Lebih Butuh Pemulihan, bukan Pemindahan Ibu Kota yang akan Memperparah Kerusakan Lingkungan
Siaran Pers Bersama
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Jakarta dan Kalimantan Lebih Butuh Pemulihan, bukan Pemindahan Ibu Kota yang akan Memperparah Kerusakan Lingkungan
Jakarta, 26 Agustus 2019 – Rencana Presiden Joko Widodo untuk Memindahkan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur dinilai serampangan, terburu-buru dan terkesan hanya mengejar proyek bernilai ratusan triliun rupiah. Pemindahan itu juga menafikan masalah lingkungan yang dihadapi Jakarta dan Kalimantan yang seharusnya menjadi perhatian utama Presiden untuk dipulihkan.
Sejak Jokowi mengumumkan rencana pemindahan ibu kota, termasuk kepastian lokasi pada hari ini, tidak diikuti dengan kajian ilmiah yang mendukung ambisi tersebut. Tidak ada pelibatan publik. Kajian tersebut bukan saja soal berapa anggaran yang disiapkan namun lebih dari pada itu, misalnya bagaimana beban lingkungan saat ini dan budaya masyarakat setempat jika terjadi eksodus sekitar 1 juta orang luar ke daerah mereka.
“Kalau kemarin Jokowi minta izin untuk memindahkan Ibu Kota, maka jawabannya kami tidak izinkan. Ide itu tidak dilandasi oleh kajian ilmiah makanya rencana pemindahan ibu kota jelas serampangan. Proses komunikasi antara Presiden dan pembantunya soal telah diputuskannya provinsi calon ibu kota lalu diralat, dapat menunjukkan rencana ini jauh dari pembicaraan yang mendalam dan tidak solid,” kata Merah Johansyah, Jurubicara #BersihkanIndonesia dan Koordinator JATAM Nasional.
“Kami juga mempertanyakan dasar keputusan pemindahan yang tak dilakukan melalui jajak pendapat, tidak ditanyakan dulu kepada warga. Hak warga untuk menyampaikan pendapat jelas diingkari dan bisa disebut sebagai ‘kediktatoran’ Presiden karena suara warga Kalimantan Timur termasuk suara masyarakat adatnya tidak diberi ruang,” ujar Merah Johansyah menambahkan.
JATAM memperkirakan pemindahan berkedok mega proyek ini hanya akan menguntungkan oligarki pemilik konsesi pertambangan batu bara dan penguasa lahan skala besar di Kalimantan Timur. Menurut data JATAM Kaltim keseluruhan di Kaltim terdapat 1.190 IUP dan 625 izin di Kabupaten Kutai Kartanegara. Hanya di Kecamatan Samboja saja terdapat 90 Izin pertambangan, di Bukit Soeharto pun terdapat 44 Izin tambang, PT Singlurus Pratama sebuah perusahaan pertambangan yang konsesinya paling besar di sekitar Samboja dan ini akan sangat diuntungkan.
Sementara di Kabupaten Penajam Paser Utara terutama di Kecamatan Sepaku rencana ini akan menguntungkan Hashim Djojohadikusumo (Adik Prabowo Subianto) karena lahan di sana dikuasai oleh PT ITCI Hutani Manunggal IKU dan ITCI Kartika Utama (HPH). Pemindahan ibu kota ini tidak lebih dari ‘kompensasi politik’, ‘bagi-bagi proyek’ pasca Pilpres Ujar Pradarma Rupang, Dinamisator JATAM Kaltim menambahkan.
Pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur akan merampas ruang hidup masyarakat pesisir yang memiliki ketergantungan terhadap sumberdaya kelautan dan perikanan di Teluk Balikpapan. Pusat Data dan Informasi KIARA (2019) mencatat, setidaknya lebih 10 ribu nelayan yang setiap hari mengakses dan menangkap ikan di Teluk Balikpapan. Jumlah ini terdiri dari 6.426 nelayan dari Kabupaten Kutai Kartanegara, 2.984 nelayan dari Penajam Paser Utara, dan 1.253 nelayan dari Balikpapan. “Selain menjadi jalur lalu lintas kapal-kapal tongkang batu bara, Teluk Balikpapan akan dijadikan satu-satunya jalur logistik untuk kebutuhan pembangunan ibu kota baru,” Tegas Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA.
Susan menambahkan, Provinsi Kalimantan Timur belum memiliki Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pengesahan Perda selanjutnya, akan menyesuaikan dengan kepentingan pembangunan ibu kota baru. “Perda Zonasi Provinsi Kalimantan Timur tidak akan mempertimbangkan kepentingan masyarakat pesisir, khususnya di sekitar Teluk Balikpapan, tetapi untuk pembangunan Ibu Kota Baru dan kepentingan industri batu bara,” ujarnya.
Sebaliknya, dari banyak masalah utama yang harus diselesaikan negara ini, pemindahan ibu kota berada di daftar bawah. Di Jakarta, polusi udara sudah memasuki level mengerikan. Presiden Jokowi yang kini sedang digugat oleh publik, seharusnya menempatkan masalah polusi udara sebagai pekerjaan rumah utama yang segera diselesaikan. Apalagi Presiden adalah satu di antara pihak yang digugat publik.
“Jakarta saat ini mengalami krisis lingkungan seperti air tanah yang berkurang, kemacetan dan polusi. Justru di sini letak kepemimpinan Jokowi diuji, apakah ikut bertanggung jawab mencari solusinya atau malah lari memindahkan ibu kota, meninggalkan rakyat dengan persoalan dan beban, ini menjadi cermin juga untuk persoalan lingkungan lainnya,“ kata Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi WALHI.
Sementara itu Kalimantan Timur yang disebut kandidat terkuat untuk menjadi calon ibu kota negara, kondisinya justru memprihatinkan. Seluruh wilayah provinsi sudah tersandera konsesi pertambangan, perkebunan sawit dan izin kehutanan. Sisanya adalah hutan lindung. Ini juga yang akan ditargetkan untuk ibu kota. Menurut catatan JATAM terdapat 13,83 juta hektar izin dan 5,2 juta diantaranya adalah izin pertambangan, jika ditambahkan dengan luasan izin lainnya maka izinnya lebih besar dari daratan Provinsi Kalimantan Timur itu sendiri.
“Beban lingkungan yang ditanggung Kalimantan Timur itu justru sama besarnya dengan yang ditanggung Jakarta. Lubang-lubang tambang yang terus membunuh masyarakat, dan tidak adanya penegakan hukum bagi pemilik eks konsesi, ini yang harus dibenahi terlebih dahulu. Alih-alih mewariskan sejarah memindahkan ibu kota negara, Jokowi justru akan dikenang sebagai Presiden yang menghindari masalah, bukannya bekerja dan menyelesaikannya” kata Zenzi.
Informasi lebih lanjut:
Merah Johansyah, Jurubicara dari JATAM Nasional, 081347882228
Zenzi Suhadi, Jurubicara dari WALHI Eksekutif Nasional, 081289850005
Pradarma Rupang, Jurubicara JATAM Kalimantan Timur, 085250509899
Susan Herawati, Jurubicara KIARA, 082111727050