Terbitkan Permen Ekspor Benih Lobster, KIARA: KKP Rugikan Nelayan dan Keberlanjutan Sumber Daya Perikanan

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Jakarta, 9 Mei 2020 – Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Edhy Prabowo menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No. 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia yang ditandatangani pada 4 Mei 2020. Permen ini mencabut dan merevisi aturan sebelumnya yang dikeluarkan oleh Susi Pudjiastuti, yaitu Permen KP No. 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia.

Salah satu bentuk pro-investor ataupun eksportir yang diatur di dalam Permen KP No.12 Tahun 2020 adalah menghapus ketentuan yang ada dalam Permen KP No. 56 Tahun 2016 yang berbunyi “setiap orang dilarang menjual benih lobster untuk budidaya”, dan mengubah ketentuan menjadi “eksportir harus melaksanakan kegiatan pembudidayaan lobster di dalam negeri” serta menambah ketentuan tentang benih lobster dengan istilah “benih bening lobster”.

Selain tentang benih, KKP juga mengubah aturan tentang penangkapan lobster yang bertelur. Di dalam Permen KP No.56 Tahun 2016 secara tegas mengatur bahwa penangkapan dan/atau ekspor lobster, kepiting dan rajungan boleh dilakukan dalam “kondisi tidak bertelur”. Sedangkan di dalam Permen No.12 Tahun 2020 mengubah dan menambah diksi “yang terlihat pada Abdomen luar” sehingga bunyi keseluruhannya menjadi “dalam kondisi tidak bertelur yang terlihat pada Abdomen luar”.

Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menyatakan bahwa Permen KP No. 12 Tahun 2020 merupakan kemenangan bagi investor, eksportir, dan importir, tetapi pada saat yang sama merupakan ancaman bagi tiga hal, yaitu: penghidupan nelayan, keberlangsungan sumber daya perikanan, serta perekonomian nasional.

“Di dalam Permen KP No.12 Tahun 2020 sangat pro-investor dan eksportir dan mengkhianati nelayan kecil dan tradisional.  Di dalam Permen tersebut sangat jelas menyebutkan bahwa nelayan kecil harus terdaftar dalam kelompok nelayan di lokasi penangkapan benih lobster dan nelayan kecil penangkap benih bening lobster ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Apakah KKP punya data jumlah dan penyebaran seluruh kelompok nelayan kecil di Indonesia?” ungkap Susan.

Menurut Susan, Permen KP No.12 Tahun 2020 mengancam penghidupan nelayan karena dengan diizinkannya ekspor benih lobster, pihak yang paling diuntungkan secara ekonomi adalah investor, eksportir, dan importir. Sedangkan nelayan, tetap akan menjadi pihak yang paling sedikit menerima keuntungan ekonomi, meskipun mereka merupakan produsen utama.

“Kami mencatat, harga benih lobster di Vietnam mencapai Rp 139 ribu per ekor. Sementara itu, benih lobster tangkapan nelayan hanya dihargai Rp 3-5 ribu di dalam negeri. Ini adalah potret ketidakadilan yang akan terus mengancam kehidupan nelayan lobster,” ungkap Susan.

Pada saat yang sama, dibukanya izin ekspor benih lobster akan mendorong eksploitasi sumber daya perikanan di pusat-pusat penangkapan dan budidaya lobster di Indonesia. Dalam jangka panjang, eksploitasi ini akan menghancurkan pusat-pusat perikanan rakyat yang selama ini lestari dan berkelanjutan.

“Jika Pemerintah memiliki komitmen untuk menegakan keberlanjutan sumber daya perikanan, maka lobster harus dibesarkan dan dibudidayakan di dalam negeri sampai dengan tiba masanya untuk dikonsumsi atau dijual ke berbagai negara,” tambah Susan.

Yang terkahir, kata Susan, pembukaan ekspor benih lobster, akan sangat-sangat merugikan perekonomian nasional. Pusat Data dan Informasi KIARA (2019) mencatat, Sepanjang 2015-2018, KKP telah menyelamatkan pengiriman benih lobster sebanyak 6.669.134 ekor ke luar negeri. Dampaknya, uang senilai Rp464,87 miliar telah berhasil diselamatkan.

“Data ini menunjukkan bahwa pelarangan ekspor benih lobster berhasil menyelamatkan uang negara dalam jumlah besar. Dengan demikian, larangan ekspor benih lobster terbukti menyelamatkan perekonomian nasional,” tegas Susan.

Nilai uang yang diselamatkan tersebut, akan terus bertambah jika ekspor benih lobster tidak disahkan melalui Permen. Susan menilai, izin ekspor benih lobster terlihat menguntungkan dalam jangka waktu pendek. “Namun dalam jangka waktu panjang, izin ini benar-benar akan merugikan Indonesia, masyarakat nelayan, dan keberlangsungan sumber daya perikanan kita,” pungkasnya. (*)

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

Pelanggaran HAM Terhadap Pekerja Perikanan Kembali Terjadi, Pemerintah Gagal Lindungi Pekerja Perikanan Indonesia

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

 Jakarta, 7 Mei 2020 – Berselang lima tahun pasca terbongkarnya kasus perbudakan modern terhadap pekerja perikanan/ABK Kapal yang ada di perairan Benjina, Indonesia, perlindungan dan kesejahteraan pekerja perikanan masih jauh dari kata layak.

Praktik perbudakan modern yang terjadi terhadap pekerja perikanan Indonesia kembali terungkap dengan adanya pemberitaan terkait kematian tiga orang pekerja perikanan atau anak buah kapal (ABK) di kapal penangkapan ikan berbendera Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang sedang berlabuh di perairan Busan, Korea Selatan. Kasus perbudakan modern Benjina maupun yang terjadi di kapal penangkapan ikan RRT ini hanya merupakan ujung kecil dari besarnya bongkahan es praktek perbudakan yang terjadi di industri perikanan tangkap dunia.

Dalam merespon hal ini, pemerintah Indonesia (Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia) telah mengeluarkan pernyataan resmi terkait kematian tiga ABK kapal asal Indonesia yang terjadi di atas kapal penangkapan ikan RRT Long Xin 605 dan Tian Yu 8 pada Desember 2019 dan Maret 2020. Dalam salah satu pernyataan tersebut disebutkan bahwa berdasarkan penjelasan kapten kapal, keputusan untuk melarung atau membuang jenazah di tengah laut adalah karena kematian ABK kapal tersebut disebabkan oleh penyakit menular dan hal tersebut telah didasarkan pada persetujuan ABK kapal lainnya.

Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati menilai, pernyataan dan alasan kapten kapal terkait kematian ABK Kapal Indonesia tidak dapat dipercayai seutuhnya, sebagaimana praktek perbudakan modern di atas kapal penangkapan ikan menjadi praktek yang sering kali terjadi untuk menekan biaya produksi. Tidak hanya pembuangan jenazah ABK Kapal yang dilakukan secara sembarangan dengan dilemparkan di tengah laut, mayoritas kasus yang ada, situasi dan kondisi kerja para ABK Kapal sangat tidak manusiawi, baik itu dari jam kerja berlebih (lebih dari 18 jam sehari), fasilitas makanan dan minuman yang buruk, sistem sanitasi dan kesehatan yang tidak memadai, kekerasan fisik, dan lain sebagainya.

Selain itu, praktek perbudakan modern yang terjadi di atas kapal penangkapan ikan juga biasanya dibarengi dengan kegiatan ilegal lainnya, seperti penangkapan ikan secara ilegal (IUU Fishing) dan praktek perdagangan manusia. Tidak sedikit kasus dimana banyak ABK Kapal yang ‘ditipu’ untuk bekerja menjadi ABK kapal di industri kapal penangkapan ikan tanpa adanya kontrak kerja yang jelas dan gaji yang layak.

Pasca terbongkarnya kasus perbudakan modern Benjina, pemerintah Indonesia telah menerbitkan beberapa kebijakan, seperti Permen KP No. 35 tahun 2015 terkait Sertifikasi HAM di sektor perikanan, Permen KP No. 42 Tahun 2016 terkait Perjanjian Kerja Laut bagi Awak Kapal Perikanan, dan Permen KP No. 2 Tahun 2017 terkait Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi HAM Perikanan. Di tahun 2017, Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia, Hanif Dhakiri, menyatakan pertimbangannya untuk meratifikasi Konvensi ILO 188 (C188) tentang pekerja perikanan.

“Namun, kita belum melihat adanya implementasi nyata dari kebijakan-kebijakan yang telah dibuat tersebut, juga proses ratifikasi C188 yang masih terhambat pembahasannya sampai dengan saat ini,” tegas Susan.

Dengan terungkap lagi praktek perbudakan modern terhadap ABK Kapal Indonesia, KIARA mendesak pemerintah untuk melakukan perbaikan situasi dan kondisi kerja, serta mendorong kesejahteraan ABK Kapal Indonesia. Untuk itu, KIARA mendesak pemerintah Indonesia untuk dapat mengambil langkah segera, yaitu: pertama, Mengusut tuntas praktek pelanggaran HAM yang terjadi pada ketiga ABK Kapal Indonesia di atas kapal penangkapan ikan RRT Long Xin 605 dan Tian Yu 8, serta memberikan sanksi sebasar-besarnya terhadap pelaku praktek perbudakan, termasuk industri perikanannya;

Kedua, Menyelesaikan tumpang tindih kepentingan antar kementerian menyegerakan proses ratifikasi Konvensi ILO No. 188 Tahun 2007 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan dan Rekomendasi ILO No. 199 Tahun 2007 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan sebagai bentuk perlindungan terhadap buruh perikanan;

 

Ketiga, Menyegerakan proses pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dari UU No. 18 Tahun 2017 terkait perlindungan buruh migran yang berfokus pada sektor perikanan;

Keempat, Memperketat pengawasan terhadap industri perikanan tangkap sejak proses perekrutan pekerja sampai dengan proses penangkapan di tengah laut.

 

Nasib Pekerja Perikanan dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja

Selain mendesak empat hal di atas, KIARA juga mendesak pemerintah untuk segera mencabut Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja karena akan mengancam kehidupan serta keselamatan para perkerja perikanan Indonesia yang bekerja di atas kapal. Lebih jauh, RUU ini akan membuka lebar pintu perbudakan di atas kapal.

Pasal 28 RUU Omnibus Law Pasal 35A Ayat 2 yang merevisi UU Perikanan menyebut kapal perikanan berbendera asing yang melakukan penangkapan ikan di ZEEI, wajib menggunakan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia paling sedikit 70% dari jumlah anak buah kapal. Melalui pasal ini, Kata Susan, pemerintah Indonesia memperbolehkan kapal asing untuk memiliki pekerja perikanan dari Indonesia sebanyak 70%.

“Pasal ini harus dipertanyakan mengingat sampai hari ini Indonesia belum melakukan ratifikasi terhadap konvensi ILO 188 sebagai upaya perlindungan terhadap ABK,” jelas Susan.

Bahkan, tambah Susan, RUU Omnibus Law Cipta Kerja malah memberikan pintu lebar kepada kapal asing untuk melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia, khususnya ZEE. “Di dalam Pasal 28 RUU Omnibus Law Cipta Kerja, khususnya yang merevisi pasal 27 ayat 2 UU Perikanan menyebut, setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI wajib memenuhi perizinan usaha dari Pemerintah Pusat,” sambungnya.

Padahal, selama ini yang menjadi aktor utama pelaku pelanggaran HAM perikanan serta perbudakan di atas kapal adalah kapal-kapal asing. “RUU ini harus dicabut, karena memberikan izin untuk kapal-kapal asing yang akan membuka jalan bagi pelanggaran HAM perikanan serta perbudakan di atas kapal,” Pungkas Susan. (*)

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050