KIARA KECAM PEMBERIAN IZIN REKLAMASI ANCOL OLEH GUBERNUR DKI JAKARTA

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

http://www.kiara.or.id

Jakarta, 26 Juni 2020 – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengecam keras Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan karena telah memberikan izin reklamasi kepada PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk seluas 150 hektar untuk perluasan kawasan rekreasi. Izin tersebut tertuang dalam Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 237 Tahun 2020 tentang Izin Pelaksanaan Perluasan Kawasan Rekreasi Dunia Fantasi (Dufan) Seluas ± 35 Ha (Lebih Kurang Tiga Puluh Lima Hektar) Dan Kawasan Rekreasi Taman Impian Ancol Timur Seluas ± 120 Ha (Lebih Kurang Seratus Dua Puluh Hektar). Keputusan ini ditandatangai oleh Gubernur DKI Jakarta pada tanggal 24 Februari 2020.

Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menegaskan bahwa pemberian izin perluasan reklamasi untuk kawasan rekreasi di Pantai Ancol seluas 150 hektar merupakan ironi kebijakan Gubernur DKI Jakarta yang pernah berjanji akan menghentikan proyek reklamasi Teluk Jakarta, tetapi faktanya malah memberikan izin kepada PT Pembangunan Jaya Ancol, setelah sebelumnya mengeluarkan lebih dari 900 IMB untuk bangunan di Pulau D yang konsesinya dimiliki oleh PT Kapuk Niaga Indah.

Lebih jauh, Susan menyatakan, Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 237 Tahun 2020 memiliki kecacatan hukum karena hanya mendasarkan kepada tiga Undang-Undang yang terlihat dipilih-pilih, yaitu: pertama, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia; kedua, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; dan ketiga, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

“Ketiga Undang-Undang tersebut, terlihat dipilih oleh Anies Baswedan karena sesuai dengan kepentingannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Padahal di dalam pengaturan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, ada Undang-Undang spesifik yang mengatur hal ini, yaitu UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Kenapa UU tersebut tidak dijadikan dasar oleh Anies?” tanya Susan.

Pemberian izin reklamasi untuk perluasan kawasan rekreasi di Pantai Ancol, lanjut Susan, hanya akan memperkuat praktik komersialisasi kawasan pesisir di Teluk Jakarta yang tidak sejalan dengan UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 dan juga Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 tahun 2010. “Kawasan pantai, pesisir, dan perairan adalah milik seluruh warga negara Indonesia. Siapapun berhak untuk mengakses. Pemberian izin ini akan memaksa orang yang mau masuk dan mengakses kawasan ini harus membayar. Inilah praktik komersialisasi yang harus dilawan,” ungkapnya.

Tak hanya itu, tambah Susan, Pemberian izin reklamasi untuk perluasan kawasan rekreasi ini jelas-jelas akan mendorong kerusakan kawasan perairan Ancol serta kawasan tempat pengambilan material pasir untuk bahan pengurukan.

“Reklamasi untuk perluasan Pantai Ancol akan semakin memperparah kerusakan dua kawasan sekaligus, kawasan perairan Ancol di Teluk Jakarta dan lokasi tempat pengambilan material pasir. Ekosistem perairan semakin hancur, ekosistem darat akan mengalami hal serupa. Inilah salah satu bahayanya reklamasi,” pungkas Susan. (*)   

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

PULAU MALAMBER DI SULAWESI BARAT DIJUAL, KIARA-JATAM: UNGKAP & TEGAKKAN HUKUM BAGI PENJUAL DAN PEMBELI PULAU

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur

Jakarta, 22 Juni 2020 – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengecam keras praktik penjualan pulau kecil yang bernama pulau Malamber, di gugusan Kepulauan Balabalakang, Sulawesi Barat yang melibatkan Bupati Penajam Paser Utara (PPU) Provinsi Kalimantan Timur, sebagai pembelinya. Secara administrasi, Pulau Malamber berada di Kecamatan Balabalakang, Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat. Namun secara geografis, kepulauan ini berada di Selat Makassar di lepas pantai timur Kalimantan, tepatnya di tengah-tengah antara Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi

Gugusan pulau Balabalakang tercatat seluas 1,47 km2 yang mayoritas dihuni oleh suku bajau, sebuah suku yang dikenal hidup di kawasan perairan. Selat-selatnya yang dangkal memberikan keuntungan berupa hasil perikanan yang melimpah. Karena keindahan alamnya dan melimpahnya sumber daya perikanan, tak sedikit pihak-pihak yang ingin memiliki pulau-pulau di kawasan ini. Penjualan pulau Malamber adalah salah satu bukti dari hal tersebut.

Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan bahwa praktik penjualan pulaupulau kecil di Indonesia, baik kepada asing maupun non asing, telah melanggar konstitusi Republik Indonesia, khususnya Pasal 33 ayat 3 yang tertulis: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

“Dengan demikian, penjualan pulau kecil itu bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia, dimana pulau tidak bisa dimiliki secara perseorangan. Di dalam falsafah konstitusi Republik Indonesia yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam, tidak dikenal konsep private ownership, kepemilikan pribadi” tegas Susan.

Menurut Susan, Kepemilikan pulau kecil secara pribadi di dalam wilayah Indonesia adalah tindakan yang tidak sesuai dengan Pasal 36, 37, 42, 43, 44 dan 45 dari UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dalam UU ini juga ditetapkan bahwa batas pasang atas pulau dan batas pasang bawah pulau adalah milik publik dan tidak dapat diperjualbelikan. Lebih jauh diatur pula bahwa pulau-pulau kecil hanya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan riset, pendidikan, dan wisata bahari.

Susan mendesak berbagai pihak yang terlibat di dalam praktik penjualan pulau malamber untuk segera diusut dan dihukum secara tegas karena telah melanggar konstitusi Republik Indonesia.

“Tak ada yang kebal hukum. Semua warga negara sama di hadapan hukum. Baik penjual maupun pembeli pulau Malember, keduanya harus disanksi dengan berat,” pungkasnya.

Sementara itu Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur, Pradarma Rupang menduga seiring dengan rencana Pemindahan Ibu Kota Baru, penjualan tanah bahkan pulau mungkin saja makin massif terjadi, hal tersebut dimanfaatkan oleh segelintir pejabat lokal1 untuk mendulang keuntungan atau memperkuat posisi politik dia di masa datang. Kepulauan Balabalakang akan menjadi strategis jika megaproyek IKN itu betul-betul terlaksana. Lokasinya yang berdekatan dengan kawasan IKN akan menjadi jalur penting khususnya bagi arus logistik di wilayah Indonesia Timur dan Indonesia Tengah serta menjadi wilayah transit yang dikunjungi oleh sejumlah diplomat dan wisatawan.

Indikasi ini bisa dilihat dari ramainya frekuensi pengusaha properti yang melakukan survey mencari tanah di kawasan di sekitar IKN2 yaitu Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kota Balikpapan. Indikasi lainnya yakni dengan mudah didapati di sejumlah tempat warga beramai-ramai memasang papan pemberitahuan yang menjelaskan kepemilikan lahan, tidak hanya di wilayah daratan juga nampak di sejumlah kawasan pesisir teluk balikpapan yang merupakan wilayah ekosisistem esensial mangrove.

Kekhawatiran privatisasi ruang publik dan masyarakat pesisir di sekitar teluk Balikpapan bukanlah isu belaka.

Dari amatan JATAM Kaltim, sepanjang Pantai balikpapan telah di kapling dan diberikan izin melakukan penimbunan berkedok proyek Coastal Road sepanjang 8.500 meter dari pelabuhan Semayang hingga ujung landasan bandara Sepinggan dan dengan lebar 100 meter kearah laut. Proyek ambisius ini bukan untuk warga Balikpapan, ia akan menghilangkan sempadan pantai dan merampas ruang nelayan serta masyarakat pesisir. Proyek ini diberikan kepada 7 (Tujuh) perusahaan real estate, satu dari tujuh perusahaan tersebut yakni PT.Pandega Citra Niaga dimiliki Rini Mariani Soemarno, mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam kabinet kerja Presiden Jokowi di periode 2014 – 20193. Perusahaan ini terafiliasi dibawah Grup PT. Agung Podomoro Land (PT.APL)4. Sebelumnya di tahun 2012 taipan properti ini telah mengakusisi 65 % saham Mall

Balikpapan Plaza5. Tidak puas, mereka memperluas properti tersebut dengan menimbun pantai Balikpapan mengarah ke laut seluas 4,8 Hektar6.

Dalam laporan “Ibu Kota Baru Buat Siapa”, bulan Desember tahun 2019, Jatam bersama Koalisi Bersihkan Indonesia mengungkap fakta bahwa Mega proyek pemindahan IKN turut ditunggangi oleh para Taipan Properti serta Elit Politik. Sehari pasca diumumkannya lokasi Pemindahan IKN oleh Presiden Jokowi, PT.APL bergerak cepat mereka mengiklankan penjualan properti yang berlokasi di dekat Ibu Kota Baru di 1 (satu) halaman full di harian Kompas Cetak7.

Belum lagi beberapa waktu lalu adik Prabowo Subianto yakni Hashim Djojohadidkusumo lewat Yayasan Arsari Djojohadikusumo (YAD) berencana akan “mengkomersilkan” pulau Benawa Besar (46), Benawa Kecil (21 Ha) yang berada wilayah teluk balikpapan sebagai tempat kunjungan tamu-tamu diplomatik8.

Dengan dalih sebagai pusat suaka orang utan yang sama-sama kita tahu ide ini terlalu dipaksakan. Karena habitat orang utan bukanlah disebuah pulau kecil namun di wilayah daratan yang luas yang kini telah di kapling-kapling dan diberikan kepada sejumlah taipan tambang, sawit dan industri kehutanan tambah Rupang.

Nama Bupati Penajam Paser Utara (PPU) AGM yang juga merupakan figur penting di lokasi utama IKN ini disebut-sebut diduga terlibat, kemunculan nama yang diduga memiliki kepentingan atas Pulau Malamber adalah AGM (33 tahun) yang merupakan dinasti politik baru di Kalimantan Timur.

Ia dan keluarganya memiliki tentakel kuasa politik dan bisnis yang tercermin dalam data sejumlah perusahaan dan jabatan politik penting di Kaltim, Sulbar hingga Jakarta. AGM adalah bupati PPU yang dihantarkan oleh partai demokrat yang kini ia juga merapat dengan Partai Golkar, ia juga menjabat sebagai Wabendum BPP HIPMI Pusat9.

Saudara kandung AGM, yakni RM juga diduga ditemukan disejumlah dokumen perusahaan, ia juga adalah Ketua DPD Golkar Kaltim dan menjabat sebagai anggota DPRRI Dapil Kalimantan Timur.

Dalam dokumen perusahaan PT Barokah Agro Perkasa10, yang berbisnis perkebunan sawit, kayu hingga industry pengolahan karet bahkan kehutanan dan peternakan. ditemukan nama R yang diduga adalah RM, ia menjabat sebagai Komisaris, begitu juga SIS yang diduga adalah istri dari RM menjabat sebagai Direktur.

Begitu juga dalam dokumen perusahaan, PT Barokah Gemilang Perkasa11 ditemukan nama keluarga AGM berikutnya yakni H yang diduga adalah HM, ia menjabat sebagai direktur, perusahaan ini berbisnis jasa perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil hingga bahan bakar.

Saudara AGM Lainnya adalah RMD, yang kini juga menjabat sebagai wakil walikota Balikpapan dan juga elit Partai Golkar Balikpapan, keluarga oligarki dan dinasti politik ini juga membentang kuasa politik dan bisnisnya hingga ke Sulawesi Barat, sejumlah saudara dan keluarganya diduga memiliki jabatan politik mulai dari elit birokrat hingga DPRD di sulawesi barat, salah satu yang Namanya kesohor dalam panggung politik Sulbar adalah HSM. 12 HSM adalah anggota DPRD Kaltim yang mencalonkan diri sebagai kandidat Pilkada Sulawesi Barat yang lalu, ia menjadi kandidat terkaya dari laporan harta kekayaan yang dilaporkan saat maju ke pentas politik Sulbar kemarin.

Jual Beli Pulau yang lokasinya berada diantara Kaltim dan Sulbar ini menjadi relevan dan mesti diusut karena praktik bisnis dan politik oligarki dinasti AGM dan keluarganya yang terbentang diantara dua wilayah ini.

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

Pradarma Rupang, Dinamisator JATAM Kaltim, +62 852-5050-9899

Merah Johansyah, Koordinator JATAM Nasional, +62 813-4788-2228

 

 

[1] https://news.detik.com/berita/d-5060075/tepis-beli-pulau-bupati-penajam-kenapa-tak-isukan-sulawesi-saya-beli

https://www.kompas.tv/article/88159/viral-bupati-penajam-paser-utara-beli-pulau-seharga-rp2-miliar-di-mamuju-polisi-periksa-penjual

[2] https://kaltim.prokal.co/read/news/360112-harga-satu-hektare-lahan-di-sepaku-meningkat-drastis.html

https://kaltim.tribunnews.com/2019/08/30/spekulan-tanah-muncul-pasca-penetapan-ikn-bupati-ppu-akan-terbitkan-perbup-tata-kelola-lahan-warga

https://finance.detik.com/properti/d-4714756/harga-tanah-di-ibu-kota-baru-melonjak-jadi-miliaran-benar-nggak-sih

[3] https://kaltim.antaranews.com/berita/5802/balikpapan-bangun-coastal-road

[4] http://PT.Agung Podomoro Land Tbk menguasai 65% saham PT. Pandega Citra Niaga, Dok. Beneficial Owners

[5] https://investor.id/archive/agung-podomoro-akuisisi-plaza-balikpapan

[6] https://m.tribunnews.com/amp/regional/2013/01/03/reklamasi-plaza-balikpapan-dipertanyakan

[7] https://www.msn.com/id-id/ekonomi/bisnis/tawarkan-properti-di-ibu-kota-baru-saham-agung-podomoro-land-naik/ar-AAGoub3?li=AAfukE3&ocid=iehp&%2520OCID=recirclinks

[8] https://diswaykaltim.com/2019/12/03/tiga-pulau-di-sekitar-ikn-diproyeksikan-menjadi-pusat-suaka-orangutan/

[9] https://kaltimtoday.co/profil-abdul-gafur-masud/

[10] http://Dokumen Nomor SP Data 7 Desember 2018 : AHU-AH.01.03-0272422, PT Barokah Agro Perkasa

[11] http://Dokumen Nomor SP Data 10 Januari 2020 : AHU-AH.01.03-0012237, PT Barokah Gemilang Perkasa

[12] https://kaltim.tribunnews.com/2017/02/15/kakak-kandung-rahmad-masud-jadi-calon-terkaya-di-pilgub-sulbar?page=2

NELAYAN INDONESIA TOLAK REVISI REGULASI KELAUTAN DAN PERIKANAN DEMI INVESTASI

Siaran Pers Bersama

Jakarta, 13 Juni 2020 – Sejumlah organisasi nelayan dan organisasi lingkungan hidup di Indonesia menyatakan penolakannya terhadap langkah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang telah dan tengah merevisi 18 aturan karena dianggap menghalangi kemudahan investasi skala besar. Organisasi yang tergabung antara lain, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA); Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI); Wahana Lingkungan Hidup (WALHI); Kelompok Pengelola Sumber Daya Alam (KELOLA); Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN); Jaringan Pengembangan Kawasan Pesisir (JPKP) Buton; Jaringan Kerja untuk Laut Aceh (KUALA); Bina Desa; Forum Masyarakat Adat Pesisir; Aliansi Nelayan Sumatera Utara (ANSU); Aliansi Masyarakat Untuk Keadilan BAHARI (AMUK BAHARI).

Diantara regulasi yang dimaksud adalah Peraturan Menteri KP No. 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) dari Wilayah Negara Republik Indonesia; Permen KP No. 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia; dan Keputusan Menteri No. 86 Tahun 2016 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan.

Sekretaris Jenderal Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), menyatakan bahwa revisi regulasi yang dilakukan oleh KKP pada ujungnya akan semakin mempersulit kehidupan 3,9 juta perempuan nelayan yang selama ini berjuang untuk keberlanjutan laut Indonesia.

Senada dengan itu, Koordinator JPKP, Arman Manila, menjelaskan dengan diizinkan kembali penggunaan alat tangkap yang merusak, seperti cantrang dan berbagai jenis pukat, kawasan perairan Indonesia Timur berada dalam keterancaman yang serius. Kawasan perairan Indonesia barat telah mengalami over exploited. Sementara itu, perairan Indonesia timur masih sangat lestari. “Revisi regulasi akan mendorong eksploitasi di kawasan perairan Indonesia timur yang merupakan rumah bagi banyak masyarakat adat pesisir di Indonesia,” ungkapnya.

Aeng dari AMUK BAHARI Banten menambahkan “Untuk wilayah peisir laut Banten sendiri, permasalahannya bukan hanya alat tangkap yang bisa merusak ekositem laut. Tetapi saat ini ruang bersandar kapal nelayan dan adanya penyedotan pasir beberapa waktu lalu, membuat hasil tangkap nelayan makin berkurang. Baik dari kuantitas maupun kualitasnya, yang meneyebabkan pendapatan nelayan makin berkurang selama beberapa tahun belakang ini.”

“Dengan banyaknya alih fungsi di wilayah pesisir yang dijadikan pembangunan industri ektraktif, maka makin menyempit pula wilayah tangkap nelayan tradisional dan nelayan skala kecil untuk memenuhi kebutuhan permintaan ikan laut, imbasnya nelayan mendapatkan hasil tangkapan seadanya untuk memenuhi kebutuhan ekonominya,” tegasnya.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati menyatakan revisi regulasi yang dilakukan oleh KKP dinilai tidak menunjukkan keberpihakan bagi kehidupan lebih dari 8 juta rumah tangga perikanan sekaligus keberpihakan pada keberlanjutan dan kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan di perairan Indonesia.

Susan menegaskan, KKP seharusnya merumuskan kebijakan yang berpihak bagi kehidupan nelayan tradisional dan nelayan skala kecil yang jumlahnya lebih dari 90 persen dari pelaku perikanan di Indonesia. Dengan kata lain, nelayan tradisional dan nelayan skala kecil adalah rights holder (pemegang hak) sumber daya kelautan dan perikanan.

“Alih-alih melindungi kehidupan nelayan tradisional dan nelayan skala kecil, KKP justeru melindungi kepentingan bisnis para investor yang ingin menguasai sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia. Pada titik inilah revisi regulasi yang dilakukan oleh KKP harus ditolak,” pungkasnya. (*)

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, 082111727050

Sutrisno, Ketua Aliansi Nelayan Sumatera Utara (ANSU) sekaligus Ketua Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN), 081264516204

Jumiati, Dewan Presidium Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) 081263676561

Bona Beding, Ketua Forum Masyarakat Adat di Pesisir, 081218789744

Zainal Arifin, Koordinator Layar Nusantara/LBH Semarang, 081391282443

Rignolda Djamaluddin, Ketua KELOLA, 081354601480

Bina Desa, 021 8199749

Arman Manila, Ketua JPKP, 082189456000

Rahmi Fajri, Ketua KuALA, 085275913546

Nus Ukru, Ketua BAILEO, 082248917967

Edo Rakhman, WALHI Eksekutif Nasional, 081356208763

Aeng, AMUK BAHARI Banten, 085693945652

 

FORUM KONSULTASI PUBLIK KKP DITOLAK NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA

Siaran Pers Bersama

Jakarta, 10 Juni 2020 – Di tengah ancaman penyebaran Covid-19 yang terus meneror masyarakat pesisir, Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) malah menyelenggarakan kegiatan forum konsultasi publik yang dilakukan pada Selasa, 9 Juni 2020. Tujuannya, membahas perizinan kapal-kapal cantrang di perairan Indonesia dengan merevisi Peraturan Menteri (Permen) No. 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Republik Indonesia. Selain mengizinkan cantrang, KKP juga mengizinkan 7 alat tangkap lainnya, diantaranya payang, pukat cincin pelagis kecil dengan dua kapal, pukat hela dasar udang, dan lain sebagainya.

Forum konsultasi publik tersebut mendapatkan kritik dan penolakan yang sangat kuat dari sejumlah organisasi nelayan di Indonesia, karena dibahas di masa Pandemi Covid-19 sekaligus tidak melibatkan nelayan tradisional dan nelayan skala kecil sebagai rights holders sumber daya kelautan dan perikanan.

“Sungguh aneh KKP memaksakan pembahasan izin kapal-kapal cantrang di masa pandemi Covid-19. Pada saat yang sama nelayan-nelayan di Indonesia tak dilibatkan. Kebijakan ini sebenarnya jelas bukan untuk nelayan tradisional dan nelayan skala kecil,” tegas Sutrisno, Ketua Aliansi Nelayan Sumatera Utara (ANSU) yang juga Ketua Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN).

Menurut Sutrisno, pembahasan revisi Permen No. 71 Tahun 2016 yang akan memberikan izin kapal-kapal cantrang di perairan Indonesia, selain cacat secara prosedur juga cacat secara substansi. “Secara substansi pemberian izin akan menghancurkan masa depan sumber daya perikanan dan kelautan Indonesia yang dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia,” katanya.

Senada dengan Sutrisno, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan pemberian izin kepada kapal-kapal cantrang yang dilakukan oleh KKP menunjukkan keberpihakan kementerian ini hanya ditujukan untuk melayani pengusaha cantrang. “Jika KKP sudah tak berpihak kepada nelayan tradisional dan nelayan skala kecil, lebih baik KKP dibubarkan,” ungkapnya.

Susan menyatakan bahwa pemberian izin kepada kapal-kapal cantrang yang dilakukan oleh KKP akan mendorong konflik antara kapal-kapal besar di atas 10 GT dengan kapal-kapal nelayan tradisional dan nelayan skala kecil dengan ukuran di bawah 10 GT.

“Kebijakan KKP ini akan memantik konflik antara nelayan tradisional dan nelayan skala kecil sebagai rights holder laut dan perairan di Indonesia dengan para pengusaha pemilik kapal cantrang. Ini adalah kebijakan yang sangat berbahaya,” jelasnya.

Tak hanya itu, Susan mengkhawatirkan kebijakan ini akan membuka kembali praktik IUU Fishing yang telah lama diperangi oleh Pemerintah Indonesia selama ini. Ia menyoroti kapal-kapal besar, khususnya diatas 200 GT yang akan diizinkan oleh KKP. “Ini adalah pintu masuk praktik IUU Fishing dan eksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia.

Dampaknya jelas, nelayan tradisional dan nelayan skala kecil akan kehilangan ruang perairannya,” imbuhnya.

Susan mendesak KKP untuk membatalkan rencana pemberian izin kapal-kapal cantrang karena hanya akan merugikan 8 juta lebih rumah tangga perikanan di Indonesia. “Demi keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan serta kehidupan jutaan nelayan tradisional dan nelayan skala kecil, kebijakan pemberian izin untuk kapal cantrang harus dibatalkan,” pungkasnya. (*)

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

Sutrisno, Ketua Aliansi Nelayan Sumatera Utara (ANSU) sekaligus Ketua Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN), +62 812 6451 6204

Jumiati, Dewan Presidium Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) +62 81263676561

Bona Beding, Ketua Forum Masyarakat Adat di Pesisir, +62 812 1878 9744

Zainal Arifin, Koordinator Layar Nusantara/LBH Semarang, +62 813 9128 2443

Rignolda Djamaluddin, Ketua KELOLA, +62 813 5460 1480

Bina Desa, +62 21 8199749

Arman Manila, Ketua JPKP, +62 821 8945 6000

Rahmi Fajri, Ketua KuALA, +62 852 7591 3546

Nus Ukru, Ketua BAILEO, +62 822 4891 7967

Edo Rakhman, WALHI Eksekutif Nasional, +62 813-5620-8763