KIARA Kritik Proyek Lumbung Ikan Nasional dan Jaminan Hari Tua Nelayan

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Jakarta, 8 Februari 2021 – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyampaikan kritik keras terhadap konsep lumbung ikan nasional (LIN) yang didorong oleh Pemerintah Indonesia untuk proyek industrialisasi perikanan di Provinsi Maluku dan Maluku Utara. Proyek ini akan dijalankan karena Maluku dinilai memiliki potensi perikanan sebesar 4 juta ton pada 3 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI), yakni WPP 714 Laut Banda, WPP 715 Laut Seram, dan WPP 718 Laut Arafura.

 

Atas dasar itu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia menyebutkan, pada tahun 2022 pembangunan infrastruktur pendukung pengembangan Maluku sebagai LIN harus sudah bisa berjalan. Diantara  infrastruktur yang dimaksud adalah kantor pelabuhan perikanan, dermaga, cold storage, pabrik es, gedung laboratorium, tempat pemasaran ikan modern, pusat kuliner, kawasan industri pengolahan perikanan ikan, dan industri galangan kapal.

 

Menurut Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, proyek LIN ini diperuntukkan untuk industrialisasi perikanan skala besar yang akan meminggirkan nelayan tradisional atau nelayan skala kecil di Provinsi Maluku sebanyak 163.441 orang dan di Maluku Utara sebanyak 34.944 orang. “Dengan demikian ada 198.385 nelayan tradisional atau nelayan skala kecil yang akan terdampak proyek ambisius ini,” tegasnya.

“Kami menilai, proyek LIN akan menjadikan nelayan tradisional dan nelayan skala kecil akan menjadi tamu di tanah dan lautnya sendiri,” tambah Susan.

Susan melanjutkan, proyek LIN juga disusun untuk melayani investasi asing dalam sektor perikanan yang saat ini didominasi oleh China dan Jepang. Hal ini sebagaimana dicatat oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tahun 2020 lalu. Berdasarkan lokasi, sekitar 70 persen penanaman modal asing di sektor perikanan, banyak ditanam di wilayah Maluku dan Papua.

 

Susan menambahkan, berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 50 Tahun 2017, menjelaskan bahwa tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah WPP-NRI 714, 715 dan 718 adalah sebagai berikut: 1). WPP 714 Laut Banda, status pemanfaatan didominasi fully and over-exploited (2 komoditas berstatus moderate, 4 komoditas fully-exploited dan 3 komoditas over-exploited); 2). WPP 715 Laut Seram, status pemanfaatan didominasi fully and over-exploited (2 komoditas berstatus moderate, 4 komoditas fully-exploited dan 3 komoditas over-exploited); dan 3). WPP 718 Laut Arafura, status pemanfaatan fully and over-exploited (7 komoditas berstatus fully-exploited dan 2 komoditas over-exploited).

 

 “Data dan fakta ini semakin memperkuat bahwa LIN adalah proyek perikanan skala besar yang bukan untuk masyarakat, khususnya nelayan tradisional atau nelayan skala kecil. Lebih jauh, proyek ini pada masa yang akan datang, akan mendorong eksploitasi sumber daya perikanan di Perairan Maluku dan Maluku Utara,” imbuh Susan.

 

Kritik Jaminan Hari Tua Nelayan 

KIARA juga melancarkan kritik terhadap program Jaminan Hari Tua (JHT) Nelayan yang diluncurkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono yang akan digulirkan lebih dulu di tiga wilayah pengelolaan perikanan di Maluku yang rencananya akan dikembangkan sebagai LIN. JHT dinilai memberikan perlindungan dan peningkatan kesejahteraan nelayan.

 

Susan menyatakan bahwa JHT menjadi bagian dari proyek LIN yang berlokasi di Maluku dan Maluku Utara yang kaya akan sumber daya ikan. “Alih-alih akan melindungi dan memberdayakan nelayan, proyek JHT ini justru akan mempercepat “pensiun” nelayan dari melaut,” ungkapnya.

 

Pada saat yang sama, kata Susan, saat nelayan di Perairan Maluku cepat “pensiun”, kapal-kapal perikanan skala besar akan mengeksploitasi sumber daya perikanan atas nama pertumbuhan ekonomi di Indonesia Timur.

 

Lebih jauh, Susan menegaskan bahwa program JHT yang digulirkan menunjukkan oleh Menteri KP tidak memahami kondisi nelayan di Indonesia yang tetap bekerja meski usia mereka di atas 60 tahun. “Bagi nelayan, usia di atas 60 tahun itu merupakan usia produktif. Artinya, mereka seharusnya tetap melaut dan tidak boleh dihalangi oleh apapun,” pungkasnya. (*)

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

PEMERINTAH DIDESAK UNTUK MEMULIHKAN DESA PESISIR YANG TENGGELAM

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Jakarta, 2 Februari 2021 – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) mendesak pemerintah Indonesia untuk segera memulihkan desa-desa pesisir di Indonesia yang telah dan tengah tenggelam.

Pernyataan ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, saat berkunjung dan menemui masyarakat yang terdampak oleh tenggelamnya desa pesisir di sejumlah desa di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah.

Susan menjelaskan sejumlah temuan penting yang terjadi di desa tenggelam sebagai berikut:

pertama, di Desa Tambaksari terdapat 10 keluarga yang masih bertahan hari ini. Sebelumnya, tercatat sebanyak 70 keluarga mendiami desa ini. “Dukuh Tambaksari merupakan yang pertama tenggelam pada tahun 1997,” tuturnya.

Kedua, di Dukuh Senik masih ada 1 keluarga yang bertahan tinggal. Desa ini dihantam abrasi sejak tahun 2000. Lalu, proyek bedol desa mulai berjalan dari periode 2000-2005, dimana 300 keluarga keluar dari desa ini ada sebagian masyarakat menerima ganti rugi sebesar Rp 1.000.000 per keluarga.

Ketiga, di Dukuh Bedono, terdapat 220 keluarga yang pernah tinggal dan sekarang hanya tinggal 48 kk yang masih bertahan. Abrasi mulai menghantam desa ini pada 2005. Sementara itu, di Dukuh Mondoliko tercatat sebanyak 65 keluarga yang bertahan di daerah yang tergenang air. Sebelumnya, tercatat sebanyak dari 95 keluarga. Abrasi mulai menghantam pada tahun 2010. Di Desa Timbulsloko, abrasi mulai terjadi pada tahun 2017 hingga hari ini.

“Seluruh kehidupan masyarakat yang tinggal di kawasan ini sangat memprihatinkan karena setiap hari terancam abrasi yang berasal dari perairan utara Jawa,” ungkap Susan.

 

Dalam identifikasinya, Susan menyebutkan sejumlah penyebab tenggelamnya desa-desa pesisir di Kecamatan Sayung, Demak itu.

Pertama, abrasi terjadi karena pengurukkan Pelabuhan Tanjung Mas di Kota Semarang yang lokasinya tidak jauh dari desa-desa ini. Temuan ini berasal dari pengakuan masyarakat yang melihat dan merasakan langsung dampak abrasi yang menenggelamkan desa mereka.

“Pengakuan masyarakat tersebut mendapatkan afirmasi dari temuan ahli yang menyatakan hal serupa, dimana keberadaan pelabuhan Tanjung Mas yang menjorok hingga 1,8 km ke laut menjadi salah satu penyebab abrasi. Pelabuhan ini  dikelola oleh PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) dan merupakan satu-satunya pelabuhan di Kota Semarang,” kata Susan.

Kedua, abrasi dan tenggelamnya sejumlah desa di Kecamatan Sayung, Demak, disebabkan oleh krisis iklim yang mendorong permukaan air laut naik begitu cepat. “Sejumlah ahli menyebut kenaikan air laut rata-rata sekitar 7,8 milimeter setiap tahun. Faktanya, bisa jadi lebih tinggi dari angka tersebut,” jelas Susan.

Masnuah, Sekretaris Jenderal Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) menyatakan dengan tegas bahwa krisis iklim telah lama memperburuk kehidupan masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir di Indonesia, sebagaimana yang terjadi di desa-desa di Kecamatan Sayang, Demak ini. “Bahkan tak sedikit nelayan yang meninggal di laut saat menangkap ikan akibat cuaca buruk yang disebabkan oleh krisis iklim ini,” imbuh Masnuah.

Lebih jauh, ia mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera menyusun langkah-langkah pemulihan desa pesisir yang terkena abrasi dan terancam tenggelam secara terukur dan berkelanjutan. “Langkah pemulihan dapat dimulai dengan menghentikan proyek-proyek yang akan memperburuk kualitas lingkungan hidup dan mengancam kehidupan masyarakat. Selanjutnya, kami menuntut Pemerintah untuk serius menangani dampak buruk krisis iklim dengan cara melibatkan masyarakat terdampak abrasi dalam skema mitigasi dan adaptasi krisis iklim,” pungkas Masnuah. (*)

 

Informasi lebih lanjut

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050

Masnuah, Sekretaris Jendral PPNI, +62 852-259-85110