Formulir Kompetisi

Formulir Kompetisi  Jurnalistik (Dokumentari video; artikel feature; cerita foto: Kondisi Livelihood Masyarakat Pesisir Teluk Palu dan Tompe, paska bencana 28 September 2018

1 Februari – 22 Maret 2021

 

Tanda (*) Harus Diisi

IDENTITAS CALON PESERTA   :

·        Nama Lengkap* :  
·        Tempat, Tanggal Lahir* :  
·        Jenis Kelamin* :  
·        Alamat Lengkap* :  
·        Alamat Tinggal Sekarang* :  
·        Nomor Telepon / Hp* :  
·        Email* :  
·        Pekerjaan* :  
·        Asal Media* :  
·        Sosial Media* :  
·        Alamat Media* :

 

 

 

 

KOMPETISI  YANG DI PILIH * :

·        KOMPETISI *

Isi salah satu

 

:
  • Video
  • Artikel Feature
  • Foto Story
·        TEMA

Dapat isi lebih dari satu

:
  • Perempuan Nelayan dan pengelola ikan, serta asa hidup lebih baik paska bencana.
  • Arti bantuan perahu dan peningkatan kesejahteraan nelayan paska bencana.

 

KETENTUAN KOMPETISI :

  •   Hasil karya merupakan karya original/ karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya.
  •   Narasumber yang di ambil adalah masyarakat penerima manfaat dari KIARA (Lere, Talise, Pantoloan, dan Tompe).
  •  Semua hasil karya peserta (baik yang menang dan tidak) menjadi hak milik Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA),  dan dapat secara bebas digunakan dalam rangka kegiatan kampanye dan non komersial KIARA dengan tetap memberikan hak ciptanya pada kreator.
  •  Keputusan juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.

Melalui form ini saya menyepakati apa yang telah menjadi ketentuan dan aturan dalam kompetisi ini. Saya telah mengisi data formulir ini dengan keterangan yang benar, sesuai fakta dan atas kesadaran penuh.                                                                                                                                                                                           

 

 

                                                                                                                                                                        Palu…… Januari 2021

                           

 

                                                                                                                                                                        …………………………………

Nelayan Masalembu Mendatangi DKP Jawa Timur: Nelayan Menolak Keras Aktivitas Kapal Cantrang di Kepulauan Masalembu

Siaran Pers 
Persatuan Nelayan Masalembu

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

Lembaga Bantuan Hukum Surabaya (LBH Surabaya)

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jawa Timur (WALHI Jawa Timur)

 

Surabaya, 21 Januari 2021 Pada tanggal 20 Januari 2021, Persatuan Nelayan Masalembu bersama dengan KIARA, LBH Surabaya serta Walhi Jawa Timur mendatangi kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur untuk melaporkan adanya aktivitas dan operasi kapal cantrang di wilayah Kepulauan Masalembu. Aktivitas kapal cantrang tersebut sangat meresahkan nelayan kecil dan tradisional yang tinggal di Desa Masalima dan Desa Sukajeruk, Pulau Masalembu. Nelayan menolak adanya aktivitas kapal cantrang yang memasuki wilayah perairan tradisional mereka.

Aktivitas kapal cantrang ini merupakan dampak nyata pasca direvisinya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No. 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Hasil dari revisi Permen KP No. 71 Tahun 2016 adalah Permen KP No. 59 Tahun 2020 yang diterbitkan pada tanggal 18 November 2020.

Di dalam Permen KP tersebut pada pasal 36, cantrang dikeluarkan dari kategori alat tangkap ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan. Alat tangkap yang dikategorikan mengganggu dan merusak berlanjutan sumber daya ikan yaitu sebagai berikut: 1). Pair sein, 2). Lampara dasar, 3). Pukat hela dasar berpalang (beam trawl), 4). Pukat hela kembar berpapan (twin bottom otter trawl), 5). Pukat hela dasar dua kapal (bottom pair trawl), 6). Pukat hela pertengahan dua kapal (midwater pair trawl), 7). Perangkap ikan peloncat (aerial trap), dan 8). Muro ami (drive-in net).

 

Penerbitan Permen KP No. 59 Tahun 2020 yang melegalkan cantrang sebagai alat tangkap memiliki sejumlah persoalan serius, diantaranya: pertama, permen ini mengabaikan temuan KKP sendiri yang dipublikasikan dalam dokumen Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir tahun 2018 yang menyebut cantrang dapat menyebabkan tiga hal: mendorong penangkapan ikan yang tidak efektif dan eksploitatif, menghancurkan terumbu karang yang menjadi rumah ikan, dan memicu konflik sosial-ekonomi nelayan di tingkat akar rumput; kedua, dengan memberikan izin penggunaan cantrang diberikan di WPP 712 yang berada di perairan laut Jawa, KKP terus mendorong eksploitasi sumber daya ikan dan pengerusakan terumbu karang di kawasan tersebut, terutama di perairan pulau-pulau kecil seperti Kepulauan Masalembu demi memanjakan para pengusaha perikanan skala besar yang ratarata berada di kawasan utara Pulau Jawa.

 

Merespon aktivitas kapal cantrang tersebut, Sekretaris Persatuan Nelayan Masalembu, Mat’Sahri, menyatakan bahwa aktivitas kapal cantrang di wilayah perairan tradisional Masalembu bahkan sudah memasuki wilayah 3 mil dari bibir pantai Pulau Masalembu. “Sudah banyak rumpon nelayan yang hilang karena kapal cantrang masuk ke laut kami. Rumpon yang hilang itu ada yang berumur lebih dari 5 tahun dan itu sangat merugikan kami nelayan yang hidupnya bergantung dari hasil tangkapan ikan dari rumpon” terang Mat’Sahri.

 

“Penolakan kami nelayan ini terkait cantrang sudah kami lakukan bertahun-tahun tidak hanya 1 atau 2 tahun, dan kami punya sejarah yang panjang terkait konflik dengan nelayan luar Masalembu. Kami sudah sangat resah. Kami datang ke Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur untuk meminta perhatian serius dan juga tindakan nyata dari DKP Jawa Timur”, tegas Mat’Sahri.

Senada dengan hal tersebut, Haerul Umam yang juga pengurus Kelompok Nelayan Rawatan Samudera mengatakan, “kami sudah musyawarah dengan Forpimka Masalembu pada tanggal 16 November 2020 yang dihadiri oleh Camat, Kapolsek dan Syahbandar, dalam musyawarah tersebut, nelayan sepakat untuk menolak cantrang. Bahkan, kami juga beberapa kali berkoordinasi dengan Camat dan Kapolsek, namun terkadang saat kami berkoordinasi dengan Camat malah diminta untuk koordinasi dengan Kapolsek, ketika datang ke Kapolsek, kami diminta koordinasi dengan Camat. Padahal dalam beberapa kali bertemu dengan Kapolsek, Kapolsek selalu mengatakan bahwa Polsek Masalembu siap operasi kapan saja, namun ketika kami ajak untuk operasi ke tengah laut masih banyak alasan dan ujungujungnya tidak ada tindakan nyata dari Polsek Masalembu”.

 

Nelayan Masalembu juga melaporkan hal tersebut kepada Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jawa Timur (Walhi Jatim) dan juga Lembaga Bantuan Hukum Surabaya (LBH Surabaya).

Menurut Wahyu dari Walhi Jawa Timur memandang bahwa, “pelegalan pemakaian cantrang akan memicu kerusakan ekosistem laut, seperti rusaknya terumbu karang, terputusnya siklus regenerasi ikan, karena cantrang kerjanya mengambil semuanya yang di bawah. Kala terumbu karang rusak, tentu akan banyak ikan yang kehilangan rumah dan makanan, sehingga berpengaruh pada masa depan nelayan kecil dan tradisional di Masalembu. Kondisi ini juga akan memicu konflik nelayan, karena kita tahu konflik nelayan ini intensitasnya sangat tinggi. Apalagi berkaitan dengan wilayah tangkap nelayan, di mana kapal cantrang yang datang ke Masalembu ini diakibatkan oleh penurunan ikan di wilayah mereka yang mengalami kerusakan ekosistem parah. Sehingga dengan praktik cantrang ini tentu akan memicu kerusakan di Masalembu, serta akan mendorong nelayan Masalembu untuk mempertahankan wilayah tangkapnya, karena ada upaya perampasan dari nelayan-nelayan cantrang yang dioperasikan oleh “juragan besar” atau pemodal besar.”

“Selain memicu kerusakan, juga akan mengakibatkan konflik. Maka, Pemerintah Jawa Timur harus tegas melindungi perairan Masalembu dengan menetapkan wilayah tangkap nelayan tradisional, serta melarang cantrang dan praktik merusak lingkungan lainnya, seperti pemakaian potas dan bom ikan. Nelayan tradisional harus dilindungi dan dijamin kesejahteraannya”, ungkap wahyu.

 

Persoalan Cantrang di Masalembu juga mendapat sorotan dari LBH Surabaya, Moh. Soleh Pengacara Publik LBH surabaya mengatakan, “LBH Surabaya menolak pemakaian cantrang karena akan merusak biota laut. Untuk itu LBH Surabaya mendukung dan siap mendampingi Nelayan Masalembu yang menolak keberadaan cantrang”, ucap Moh. Soleh.

“LBH Surabaya menuntut penegakan hukum atas penggunaan cantrang khususnya di Masalembu. Untuk itu, LBH Surabaya meminta instansi terkait khususnya Aparat Penegak Hukum untuk melakukan operasi penindakan terhadap Nelayan yang menggunakan cantrang, karena tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah Provinsi Jatim Nomor 1 Tahun 2018 Tentang RZWP-3-K, khususnya pemanfaatan ruang di Pulau Masalembu. Selain itu LBH Surabaya juga Meminta menteri Kelautan dan Perikanan untuk segera mencabut peraturan menteri yang melegalkan penggunaan cantrang, karena peraturan tersebut sangat merugikan bagi nelayan kecil”, tegas Moh. Soleh.

 

Jaringan dan Advokasi KIARA, Fikerman Saragi, menyebut bahwa, “terkait dengan aktivitas cantrang di Pulau Masalembu, jelas ini kegiatan yang dilarang dilakukan di wilayah perairan 3 mil dan tentu bertentangan dengan Peraturan Daerah Jawa Timur No. 1 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K). Di dalam Perda RZWP- 3-K Jawa Timur, Pasal 21 huruf (i) disebutkan bahwa penangkapan ikan perlu memperhatikan area penangkapan ikan tradisional. Kepulauan Masalembu merupakan wilayah yang termasuk di dalam Kabupaten Sumenep. Hal ini menyatakan bahwa Kepulauan Masalembu merupakan area penangkapan ikan tradisional. Selain itu, praktik-praktik penangkapan ikan juga dilakukan secara berkelanjutan dan turun-temurun dari pengetahuan lokal nenek moyang masyarakat nelayan Masalembu”, tegas Fikerman. 

 

“Pihak DKP Jawa Timur harus melakukan tindakan tegas karena wilayah 0 – 12 mil merupakan wewenang Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur. Selain DKP Jawa Timur, kami berharap Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk segera mencabut Permen KP No. 59 Tahun 2020 demi menjaga seluruh wilayah ruang laut yang terbebas dari praktik eksploitatif serta praktik destruktif yang akan dilakukan oleh kapal cantrang dan kapal yang menggunakan alat tangkap merusak lainnya yang sebenarnya merusak lingkungan serta ekosistem yang ada di laut,” pungkas Fikerman.

 

Informasi lebih lanjut:

Mat’Sahri, Sekretaris Persatuan Nelayan Masalembu, +62-823-3794-7758

Haerul Umam, Kelompok Nelayan Rawatan Samudera, +62-813-3415-1020

Moh. Soleh, S.H. LBH Surabaya, +62-8 23-3033-2610

Wahyu, Walhi Jawa Timur, +62-821-4583-5417

Fikerman Saragi, Advokasi dan Jaringan KIARA, +62-823-6596-7999

PENGESAHAN RZWP-3-K BANTEN: LEGALISASI PERAMPASAN RUANG DAN KEJAHATAN LINGKUNGAN, TANPA TRANSPARANSI DAN PARTISIPASI MASYARAKAT YANG AKAN TERDAMPAK

Siaran Pers

AMUK Bahari Banten, Serang, 17/1/2021

 

Provinsi Banten telah mengesahkan Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Perda RZWP-3-K) pada tangal 7 Januari 2021. Penyusunan dan pengesahan Perda tersebut dilakukan tanpa melibatkan partisipasi dan transpansi kepada masyarakat, khususnya masyarakat yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil Provinsi Banten. Ini adalah potret memalukan dari proses legislasi di Provinsi Banten.

 

Secara formil, pembahasan Ranperda RZWP-3-K Provinsi Banten tidak transparan dan tanpa partisipasi aktif masyarakat dalam menyusun kebijakan yang akan mengatur ruang hidup mereka. Hal tersebut penting karena masyarakatlah yang akan terdampak, khususnya masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang ada di Banten. Bahkan tak jarang, pembahasan perda ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tetapi hal tersebut bocor dan diketahui oleh publik dan memicu amarah serta aksi publik yang memberi perhatian khusus terhadap isu lingkungan, ruang pesisir, pulau-pulau kecil, kelautan dan perikanan.

 

AMUK (Aliansi Masyarakat Untuk Keadilan) Bahari Banten telah melayangkan kritik terhadap proses penyusunan Ranperda hingga menjadi Perda RZWP-3-K Banten. Kritik tersebut dilayangkan karena proses penyusunannya yang belum sesuai dengan ketentuan peraturan penyusunan perundang-undangan dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Kritik tersebut telah dilakukan dalam berbagai kesempatan sewaktu pihak Pemerintah Provinsi Banten melakukan pembahasan RZWP-3-K Banten. Salah satu kritik yang telah disampaikan adalah pada tanggal 27 Juli 2020 (terlampir).

 

Hingga sampai saat ini, Pemerintah Daerah Banten bahkan tidak membuka pada publik dokumen Perda RZWP-3-K yang telah disahkan untuk dapat dilihat dan dikritisi oleh Publik Banten, khususnya masyarakat yang akan terdampak.

 

Mengacu terhadap dokumen lama sewaktu masih dalam proses pembahasan Ranperda RZWP-3-K Banten yang disusun pada tahun 2020, disebutkan sejumlah alokasi peruntukkan ruang di pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Alokasi  peruntukkan ruang tersebut terdiri dari proyek pariwisata, pelabuhan, pertambangan, industri, energi, konservasi, pipa bawah laut, dan kawasan strategis nasional. Dilihat dari alokasi peruntukkan ruang, pemukinan nelayan di Provinsi Banten tak memiliki tempat dalam draft ranperda lama yang dikeluarkan tahun 2020. Dengan demikian, pada dasarnya ranperda tersebut tidak berpihak terhadap masyarakat pesisir, khususnya nelayan tradisional.

 

AMUK Bahari Banten mencatat, bahwa jumlah alokasi peruntukkan ruang yang terdapat dalam draft ranperda tersebut dapat dilihat dalam tabel 1.

 

Tabel 1. Data jumlah kabupaten, kota, kecamatan dan jumlah titik alokasi ruang di dalam dokumen RZWP-3-K Provinsi Banten

Peruntukan Ruang Jumlah Kabupaten/Kota Jumlah Kecamatan Jumlah Alokasi Ruang
Zona Pariwisata 4 kabupaten ; 1 kota 15 10
Zona Pelabuhan 5 kabupaten ; 1 kota 25 25
Zona Pertambangan 3 kabupaten ; 1 kota 3 10

Terdiri dari:

1. Pasir Laut (7)

2. MiGas (3)

Zona Perikanan Budidaya 4 kabupaten ;  1 kota 16 14
Zona Industri 2 kabupaten 3 3
Zona Energi 3 kabupaten 4 5
Zona Konservasi 3 7 15
Zona Strategis Nasional Tertentu 1 2 3
Zona Permukiman Nelayan 0 0 0

Sumber: Dokumen Ranperda RZWP-3-K Provinsi Banten (tahun 2020)

 

Mengacu pada data di tabel 1, substansi Ranperda RZWP-3-K Provinsi Banten menegaskan bahwa Pemerintah Provinsi Banten tidak memberikan dan tidak mengakui alokasi ruang untuk permukiman nelayan. Padahal, provinsi ini memiliki rumah tangga nelayan tradisional sebanyak 9.235, yang terdiri dari 8.676 keluarga nelayan tangkap dan 559 keluarga nelayan budidaya. Hal ini merupakan bentuk ketidakadilan sekaligus bentuk perampasan ruang yang akan dilegalkan melalui Perda yang telah disahkan.

 

Selain itu, dengan memperhatikan data jumlah alokasi ruang pada tabel 1, arah pembangunan laut di Provinsi Banten dapat dilihat akan berorientasi pada pembangunan infrastruktur melalui KSN (Kawasan Strategis Nasional) sekaligus pembangunan ekstraktif-ekspolitatif melalui proyek pertambangan. Belum lagi alokasi ruang untuk proyek reklamasi yang berada di 54 kawasan pesisir Banten. Proyek-proyek ini dipastikan akan menggusur ruang hidup masyarakat pesisir.

 

Faktanya, praktik-praktik penggusuran ruang hidup masyarakat pesisir oleh proyek-proyek industri ekstraktif kian marak terjadi di Provinsi Banten. Mulai dari kriminalisasi tiga masyarakat di Pulau Sangiang. Masyarakat yang telah hidup beberapa generasi di pulau tersebut kini terancam kelangsungan keberadaannya akibat konflik ruang dengan PT Pondok Kalimaya Putih (PT PKP); Sama halnya dengan masyarakat pesisir Dadap yang dilaporkan ke polisi karena menolak reklamasi; Nelayan tradisional di Ujung Kulon harus sembunyi-sembunyi melaut karena pelarangan oleh pihak Taman Nasional Ujung Kulon; Nelayan Cikubang, Bojonegara, yang sampai saat ini tidak memiliki ruang bersandar kapal yang layak karena dihimpit oleh Kawasan industri yang berjajar di sekitar pesisir Desa Agrawana; Belum lagi masyarakat pesisir Bayah yang terganggu karena adanya penambangan pasir laut yang akan merusak biota dan juga mendangkalkan wilayah pesisir laut Bayah.

 

Setidaknya tercatat ada 24 kasus perampasan ruang hidup nelayan dan perusakan lingkungan pesisir yang terjadi selama 2017-2020, baik itu pencemaran limbah industri, penggusuran, kecelakaan laut, kriminalisasi, yang diyakini akan makin banyak terjadi setelah disahkannya Perda RZWP-3-K Banten. Bahkan evaluasi dari berbagai Perda RZWP-3-K yang telah disahkan di 27 provinsi lainnya, masih terdapat berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat pesisir, khususnya nelayan kecil dan tradisional.

 

Oleh karena itu, AMUK Bahari Banten dengan ini menyatakan tegas menolak RZWP-3-K Banten yang baru saja disahkan karena jauh dari semangat perlindungan dan keberlanjutan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; tidak ada pelibatan masyarakat nelayan yang sejatinya adalah pemangku kepentingan utama dalam menentukan nasib Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil; alih-alih melindungi kepentingan nelayan, Perda RZWP-3-K ini hanya disusun untuk melayani kepentingan investasi reklamasi, tambang, pariwisata dan industri ekstraktif-eksploitatif lain yang semakin menggerus kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Untuk itu RZWP-3K Banten harus segera dibatalkan serta dilakukan evaluasi menyeluruh atas produk kebijakan yang melegitimasi perampasan dan pengrusakan Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Provinsi Banten.

 

 

Narahubung:

Mad Haer Effendi, Pena Masyarakat Banten, 085693945652

Tubagus Ahmad, Wahana Lngkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta, 085693277933

Fikerman Saragih, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), 082365967999

Ki Bagus HK, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), 085781985822

Saksi Kunci Kasus Korupsi Lobster Meninggal, KIARA: Penyelidikan kasus ini harus terus dilakukan sampai ke akar

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Jakarta, 8 Januari 2021 – Salah satu saksi dalam kasus suap ekspor benih lobster Edhy Prabowo, bernama Deden Deni meninggal pada 31 Desember 2020 lalu. Hal ini diungkap pelaksana tugas juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri, Senin, 4 Januari 2020.

Berdasarkan data KPK, Deden Deni merupakan Direktur PT Perishable Logistic Indonesia (PLI). Perusahaan ini berkongsi dengan PT Aero Citra Kargo (ACK) sebagai forwarder dari eksportir benur. Adapun PT ACK merupakan satu-satunya perusahaan kargo yang mendapatkan izin untuk mengangkut benur ke luar negeri. Dari PT ACK inilah, Edhy Prabowo mendapatkan suap untuk ekspor benih lobster.

Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati mendesak KPK untuk terus melakukan penyelidikan kasus korupsi ekspor benih lobster sampai ke akarnya. “Kami mendesak KPK tetap melakukan penyelidikan kasus ini sampai kepada aktor-aktor besar. Jangan hanya berhenti di Edhy Prabowo dan beberapa stafnya saja,” ungkapnya.

“Kasus korupsi ekspor lobster ini adalah contoh buruk tata kelola sumber daya perikanan di Indonesia, dimana negara dirugikan sedangkan segelintir pengusaha merangkap politisi mendapatkan untung banyak,” kata Susan.

Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan akhir tahun 2020 lalu, sepanjang Juni sampai dengan November 2020 telah terjadi ekspor sebanyak 42,27 juta benih lobster ke luar negeri, dimana Vietnam menjadi penerima sebanyak 42,18 juta ekor atau 99,75 persen dari total ekspor benih lobster. Dari angka itu, negara hanya mendapatkan PNBP sebanyak 10,57 juta rupiah saja. Sementara itu, keuntungan perusahaan eksportir tercatat sebanyak 7,05 triliun rupiah.

“Dengan data tersebut di atas, jelas sudah negara sangat dirugikan. Atas dasar itu seluruh aktor yang menikmati izin ekspor benih lobster dari Edhy Prabowo harus ditangkap oleh KPK, meski terjadi kematian salah satu saksi kunci,” imbuh Susan.

Keberhasilan dan kegagalan KPK dalam mengungkap kasus korupsi ekspor benih lobster, ujar Susan, akan menjadi salah satu tolak ukur kinerja KPK di tengah rendahnya kepercayaan publik secara luas kepada lembaga ini setelah revisi UU KPK pada tahun 2020 lalu.

Salah satu hal yang mesti segera dilakukan KPK, menurut Susan, adalah memeriksa izin ekspor yang diberikan oleh Edhy Prabowo kepada 60 perusahaan eksportir. “Izin ekspor diberikan tanpa adanya transparansi dan akuntabilitas. KPK wajib mengusut semua ini,” pungkasnya. (*)

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050