Ketidakjelasan Penggunaan VMS untuk Nelayan Kecil, KIARA: VMS Akan Mencekik Nelayan Kecil, Menteri Kelautan dan Perikanan Harus Tegas Menjelaskan Melalui Peraturan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan!
Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Ketidakjelasan Penggunaan VMS untuk Nelayan Kecil, KIARA: VMS Akan Mencekik Nelayan Kecil, Menteri Kelautan dan Perikanan Harus Tegas Menjelaskan Melalui Peraturan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan!
Jakarta, 30 April 2025 – Pasca semakin masifnya informasi tentang kewajiban nelayan untuk menggunakan Vessel Monitoring System (VMS) yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, semakin masifnya penolakan yang dilakukan oleh nelayan di berbagai tempat. Penolakan penggunaan VMS membuka mata publik bahwa: 1) penyusunan peraturan kelautan dan perikanan yang tidak melibatkan partisipasi dari masyarakat pesisir khususnya nelayan industri/besar, nelayan kecil dan nelayan tradisional; 2) tidak terdistribusinya secara jelas dan terang informasi tentang substansi kebijakan dan peraturan VMS kepada nelayan; dan 3) tidak terdistribusinya secara merata substansi tentang peraturan VMS kepada internal Kementerian Kelautan dan Perikanan (Perikanan Tangkap dan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan) maupun eksternal yaitu aparat penegak hukum.
Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyebutkan bahwa kekisruhan tentang informasi VMS ini juga diawali dengan adanya kebijakan tentang Penangkapan Ikan Terukur yang banyak ditentang oleh nelayan karena ketidakjelasan informasi dan sosialisasi yang dilakukan oleh KKP. “Saat ini, Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur tengah diimplementasikan KKP dan masih mengalami kendala sebagaimana yang telah diproyeksikan oleh KIARA bersama nelayan kecil dan tradisional lainnya yang salah satunya adalah lemahnya pengawasan (baik itu pengawasan kuota, pelabuhan awal dan tujuan, transhipment, penggunaan alat tangkap dan lokasi penangkapan) serta substansi peraturan yang bermasalah karena memperbolehkan transhipment di tengah laut,” jelas Susan.
KIARA mencatat bahwa beberapa kebijakan maupun peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur adalah kebijakan log book penangkapan, kebijakan jalur penangkapan, kebijakan PNBP Sektor Kelautan dan Perikanan, pembagian zona penangkapan ikan terukur di WPP NRI, dan juga kebijakan tentang sistem pemantauan kapal perikanan. “Saat ini, kebijakan yang masif ditolak oleh berbagai nelayan adalah kebijakan tentang jalur penangkapan ikan, kebijakan transhipment, dan kebijakan sistem pemantauan kapal perikanan (dalam konteks penggunaan VMS),” jelas Susan.
KIARA mencatat bahwa dalam konteks kebijakan sistem pemantauan kapal perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah melakukan beberapa kali perubahan pengaturan dari yang awalnya adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 5 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan oleh Freddy Numberi sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan (MenKP) saat itu. Kemudian diubah menjadi Permen KP No. 10 Tahun 2013 tentang Sistem Pemantau Kapal Perikanan di periode Sharif C. Sutardjo sebagai MenKP. Lalu di periode Susi Pudjiastuti sebagai MenKP kembali diubah sebanyak dua (2) kali menjadi Permen KP No.42 Tahun 2015 tentang Sistem Pemantauan Kapal Perikanan, dan menjadi Permen KP No. 10 Tahun 2019 tentang Sistem Pemantauan Kapal Perikanan. Hingga pada revisi terakhir di periode Sakti Wahyu Trenggono sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan saat ini melalui Permen KP No. 23 Tahun 2021 tentang Standar Laik Operasi dan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan. Permen KP No. 23 Tahun 2021 tersebut menggabungkan dua peraturan MenKP sebelumnya yaitu Permen KP No. 1 Tahun 2017 tentang Surat Laik Operasi Kapal Perikanan dan Permen KP No. 10 Tahun 2019 tentang Sistem Pemantauan Kapal Perikanan.
Hingga saat ini, Permen KP No. 10 Tahun 2019 masih tetap berlaku walaupun telah diubah menjadi Permen KP No. 23 Tahun 2021. Hal ini juga dapat dilihat melalui website jaringan dokumentasi dan informasi hukum (JDIH) KKP dan juga database peraturan JDIH BPK. Merujuk pada batang tubuh Permen KP No. 10 Tahun 2019 disebutkan bahwa kewajiban memasang transmitter SPKP adalah ditujukan bagi: 1) setiap kapal perikanan berukuran di atas 30 GT yang beroperasi di WPP NRI; dan 2) setiap kapal perikanan di atas 30 GT atau panjang seluruhnya paling sedikit 15 meter yang memiliki izin di laut lepas. Selain itu, Pasal 16 menyebutkan bahwa pengguna SPKP untuk memperoleh Surat Keterangan Aktivasi Transmitter (SKAT) dengan melampirkan fotokopi SIPI atau SIKPI. Berdasarkan Permen KP No. 10 Tahun 2019 yang masih berlaku hari ini, bahwa yang diwajibkan untuk menggunakan VMS adalah kapal di atas 30 GT yang beroperasi di WPP NRI maupun di laut lepas. Sehingga nelayan kecil dan tradisional tidak diwajibkan untuk menggunakan VMS maupun sistem pemantauan kapal perikanan lainnya, juga tidak diwajibkan untuk memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) ataupun Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).
Akan tetapi, jika merujuk Permen KP No. 23 Tahun 2021, Permen KP No. 23 Tahun 2021 merupakan kebijakan yang telah menggantikan Permen KP No. 10 Tahun 2019. Dalam Pasal 34 huruf (b) jelas menyebutkan “Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku: b. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10/PERMEN-KP/2019 tentang Sistem Pemantauan Kapal Perikanan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.” Dalam batang tubuh Permen KP No. 23 Tahun 2021 juga tidak menyebutkan tentang dengan dengan kategori ukuran kapal berapa yang akan diwajibkan untuk menggunakan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan atau VMS. “Tidak adanya pengaturan tentang nelayan diwajibkan menggunakan VMS menjadi celah hukum bagi oknum KKP maupun aparat keamanan untuk memaksa, mewajibkan, dan menghukum nelayan kecil yang tidak menggunakan VMS. Hal ini juga yang dikeluhkan oleh nelayan kecil di berbagai tempat karena mereka dipaksa dan diwajibkan untuk membeli VMS dengan harga 1,5 – 2 juta rupiah. Ini jelas memberatkan dan semakin mencekik kehidupan nelayan kecil di Indonesia!” tegas Susan.
KIARA melihat bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan saat ini tengah mendorong industrialisasi perikanan. Akan tetapi, dengan ketidakjelasan kebijakan dan peraturan yang ada hanya akan menempatkan nelayan kecil dan tradisional sebagai korban dari industrialisasi yang didorong oleh KKP tersebut. “Ironi adalah negara tidak mempersiapkan nelayannya untuk berkompetisi dengan nelayan besar, nelayan industri, dan nelayan yang didukung oleh industri modal asing dalam konteks liberalisasi perikanan. Saat ini nelayan kecil juga akan dibebankan dengan masuknya kapal-kapal asing melalui perizinan dari skema Penangkapan Ikan Terukur. Hal ini tentu merupakan implementasi dari liberalisasi perikanan dan dengan dalih peningkatan PNBP. Akan tetapi, PNBP tersebut tidak dirasakan oleh nelayan kecil, besarnya PNBP yang diterima KKP tidak berbanding lurus dengan meningkatnya perlindungan dan pemberdayaan nelayan kecil di Indonesia, khususnya asuransi perikanan dan asuransi jiwa bagi nelayan kecil!” jelas Susan.
“Dengan tidak jelasnya pengaturan aktor yang diwajibkan menggunakan VMS menyebabkan nelayan kecil dihantui ketakutan untuk melaut karena akan ditindak jika tidak menggunakan VMS sehingga nelayan akan berpikir dua kali untuk melaut. Nelayan kecil juga seharusnya diperbolehkan untuk melakukan penangkapan ikan sejauh daya jelajah mereka melaut karena setiap nelayan di setiap provinsi maupun kabupaten/kota memiliki cara dan tradisi yang berbeda dalam menangkap ikan secara berkelanjutan dan sesuai yang telah mereka lakukan secara turun temurun. Akan tetapi, KKP melakukan pengaturan dan menyamaratakan seluruh pesisir dan laut di Indonesia, dan kebijakan tersebut bersifat jawa sentris karena tidak melihat disparitas geografis di Indonesia, bahkan perbedaan cara dan tradisi melaut nelayan di daratan utama dengan di wilayah kepulauan. Ironinya, ada nelayan kecil di natuna yang dipermasalahkan dan ditangkap PSDKP KKP karena menangkap ikan melewati 12 mil dan dianggap melampaui wilayah tangkap nelayan kecil yang seharusnya dan nelayan kecil tersebut disuruh untuk mengajukan izin ke pusat. Padahal bagi nelayan kecil di natuna, saat ini adalah musim teduh sehingga ikan paling banyak ada di lokasi yang akan mereka tangkap. Ini ironi karena di tubuh KKP itu sendiri tidak mengetahui peraturan perundang-undangan yang dibuat sendiri oleh KKP,” tegas Susan.
“Menteri Kelautan dan Perikanan seharusnya mengubah Permen KP No. 23 Tahun 2021 dan menyebutkan dengan jelas dan tegas tentang kategori nelayan yang diwajibkan menggunakan VMS. Berkaitan dengan VMS, MenKP seharusnya dengan tegas untuk menerapkannya kepada kapal industri perikanan tangkap dan kapal-kapal besar di atas 30 GT. Harus ada kejelasan dan sosialisasi ini bahkan melibatkan Dinas Kelautan dan Perikanan di Provinsi maupun Kabupaten/Kota sehingga peraturan ini jelas diketahui oleh masyarakat pesisir khususnya nelayan maupun personil-personil di KKP itu sendiri maupun di DKP Provinsi dan Kabupaten/Kota. Jika hal ini tidak dijelaskan dan diterangkan, maka kejadian berbagai oknum yang melakukan pemaksaan kepada nelayan kecil untuk membeli dan menggunakan VMS masih akan terjadi dan Menteri Kelautan dan Perikanan akan secara tidak langsung berkontribusi untuk hal tersebut!” pungkas Susan.(*)
Informasi Lebih Lanjut
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502