Posts

Perwakilan Warga Masalembu Audiensi Dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur : Segera Tuntaskan Permasalahan Nelayan Di Masalembu 

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

 

 Perwakilan Warga Masalembu Audiensi Dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur : Segera Tuntaskan Permasalahan Nelayan Di Masalembu 

 

Jakarta, 7 Desember 2022 – Pada hari Selasa tanggal 6 Desember 2022 beberapa perwakilan nelayan Masalembu Bersama YLBHI-LBH Surabaya, Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan Ketua Persatuan Nelayan Masalembu (PNM)  melakukan rapat koordinasi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa timur terkait beberapa persoalan nelayan yang ada di Pulau Masalembu. Rapat koordinasi yang dipimpin langsung oleh Kepala Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur, juga dihadiri oleh beberapa instansi, seperti Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumenep, Polairud Polda Jatim, Danlantamal V Surabaya, Danlanal Batuporon, dan Pertamina wilayah Jawa Timur.

 

Moh. Zehri sebagai Ketua Kelompok Nelayan Rawatan Samudera menyampaikan dua permasalahan yang dihadapi oleh nelayan Masalembu, Pertama terkait dengan Keamanan laut. Konflik alat tangkap ikan nelayan Masalembu dengan Nelayan diluar Masalembu sudah terjadi mulai sejak tahun 1980-an,  dampak konflik tersebut sampai terjadi Pembacokan  hingga Pembakaran kapal.   Tahun 2021 dan 2022, Nelayan Masalembu  melaporkan dua kapal yang beroperasi di wilayah perairan Masalembu kepada Polairud Sumenep. Namun masih saja banyak kapal cantrang yang beroperasi di perairan Masalembu, dan itupun jaraknya sangat dekat, yakni ada yang 7 mil, 8 mil, bahkan pernah ada yang melakukan penangkapan ikan disekitar 4 mil. Selain masih maraknya alat tangkap ikan yang menggunakan cantrang, ada juga sebagian nelayan Masalembu yang diduga menggunakan potas, jika ini terus dibiarkan begitu saja, tentu ini akan sangat berdampak terhadap perekonomian masyarakat Masalembu yang mayoritas nelayan, juga terhadap kerberlanjutan eskosistem laut. Permasalahan kedua, sulitnya nelayan untuk mendapatkan BBM bersubsidi meskipun di Pulau Masalembu ada dua Agen Premium Minyak dan Solar (APMS). Haerul Umam salah satu warga Masalembu yang juga turut hadir menyampaikan bahwa, terkait konflik dengan nelayan luar, sebenarnya ini bukan permasalahan yang baru muncul, akan tetapi ini permasalahan lama yang belum terselesaikan. Oleh sebab itu, Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur dan beberapa instansi terkait harus melakukan langkah-langkah kongkrit untuk mencari solusinya agar konflik nelayan di masa lalu tidak terulang kembali. Terkait permasalahan BBM, Haerul Umam menjelaskan bahwa praktek yang terjadi saat ini di Masalembu, Konsumen untuk Solar dibatasi 10 liter per orang, dan per hari hanya untuk 15 orang, sedangkan jumlah nelayan di Masalembu sangat banyak dan kebutuhan nelayan untuk melaut banyak yang diatas 10 liter, misalnya ada yang 15 liter, 20 liter, bahkan ada yang 25 liter. Jika setiap hari APMS menjual kepada 15 orang, dan setiap orang hanya 10 liter, maka dalam sebulan APMS hanya menjual Solar sebanyak 4500 liter, padahal di APMS 5669402 kuota solar dari Pertamina sebanyak 160.000 liter. Pertanyaan kami, kemana sisa jumlah solar yang ada di APMS? Kemudian jika dibatasi semacam itu, maka ini secara tidak langsung memaksa konsumen untuk membeli diluar APMS dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga subsidi, yakni Rp. 9000 untuk harga eceran di luar APMS, bahkan di Pulau Karamian ada yang menjual dengan harga Rp. 12.000. Selain susahnya akses nelayan atas BBM bersubsidi, beberapa bulan terahir ini nelayan juga dihadapkan dengan kelangkaan BBM jenis solar, terkadang ada sebagian nelayan yang tidak bisa melaut karena tidak ada solar. Kelangkaan BBM jenis Solar kami duga karena banyaknya BBM yang dibawa keluar Pulau Masalembu oleh beberapa oknum dan dijual kepada kapal-kapal besar, seperti cantrang, porse sein dan kapal lainnya. Oleh sebab itu, kami mendesak jika ada penyalahgunaan BBM bersubsidi untuk segera ditindak tegas.

 

Ada dua poin penting hasil dari rapat koordinasi ini. Pertama, di usulkan agar di Pulau Masalembu di adakan Pos Kemanan Laut yang terdiri dari Polair, TNI AL, dan DKP dengan tujuan agar memudahkan masyarakat untuk melapor, dan juga melakukan patroli serta penegakan hukum yang ada di laut Masalembu. Kedua, pihak DKP akan menghitung berapa jumlah kebutuhan nelayan Masalembu, kemudian akan berkoordinasi dengan Pertamina agar kebutuhan nelayan atas BBM bisa terpenuhi.

 

Pihak Pertamina yang juga hadir dalam rapat koordinasi tersebut menyampaikan bahwa untuk solusi jangka pendek terkait kebutuhan nelayan atas BBM, nelayan bisa langsung menebus BBM ke Pertamina, nanti BBMnya akan dikirim bersamaan dengan BBM milik APMS, dan secara teknis akan dibahas segera dalam rapat selanjutnya.

 

Narahubung :

  1. Haerul Umam : 081334151020
  2. Zehri : 085235379955
  3. KIARA : 085710170502

Penolakan Reklamasi Pantai Minanga oleh PT. Tj Silfanus

PERNYATAAN SIKAP

Sejak 1 Agustus 2022, PT. TJ Silvanus mulai melakukan aktivitas reklamasi di Pantai Minanga, Kelurahan Malalayang 1 Barat, Kecamatan Malalayang, Kota Manado. Terkait dengan rencana kegiatan reklamasi ini, warga telah beberapa kali mengikuti pertemuan dan pembahasan baik secara internal maupun eksternal, langsung maupun tidak langsung.

Hasil berbagai pertemuan tersebut bukan membuat terang apa yang menjadi pertanyaan-pertanyaan, kekawatiran, dan keberatan warga, sementara itu penimbunan terus dilakukan siang dan malam hari. Beberapa kali keberatan warga atas pelaksanaan reklamasi dinyatakan di lapangan baik lewat kelompok maupun melembaga, dan ada juga yang disampaikan terbuka melalui media sosial. Semuanya tidak digubris dan warga terus dibuat bingung dan pasrah menerima semua dampak negatif akibat pekerjaan reklamasi.

Pantai Minanga merupakan bagian penting kehidupan masyarakat sejak dahulu, menghubungkan daratan serta pemukimannya  dengan laut, lokasi pemancingan dan tambatan perahu nelayan, wilayah rekreasi masyarakat dan aktivitas wisata penyelaman. Potensi bawah laut Pantai Minanga terus dijaga sebagai titipan leluhur untuk dijaga dan dikembangkan demi kesejahteraan warga sekarang dan generasi masa akan datang.

Sejak 13 Agustus 2022, kehadiran penegak hukum lingkungan (Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup), warga semakin bingung ada apa dengan aktivitas reklamasi yang berlangsung. Penegak hukum yang lain yakni PSDKP (Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan) bersama BPSPL (Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut) Kementerian Kelautan dan Perikanan juga kemudian terlihat melakukan aktivitas penyelamaan di lokasi reklamasi pada tanggal 1 September 2022. Sesuatu yang kemudian diketahui bahwa aktivitas reklamasi telah merusak terumbu karang, dan itu dilakukan secara sengaja bahkan di luar wilayah yang diklaim PT. TJ Silfanus “berizin”. Belum lagi soal dokumen izin dasar PKKPPRL (Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut) sebagai sebuah kewajiban sebagaimana diamanatkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2021 yang belum dimiliki oleh pengembang.     

Warga menunggu sikap tegas penegak hukum, tetapi ternyata aktivitas reklamasi tetap berjalan dengan intesitas yang dipercepat hingga Rabu 14 September 2022. Warga sadar jangan-jangan ini yang disebut-sebut bahwa pengembang sangat kuat sehingga peraturan perundang-undangan bisa dilanggar dan penegak hukum terkesan sulit bertindak. Semestinya, perusakan segera dihentikan dan pelaku diproses secara hukum.

Dampak reklamasi bersifat permanen sehingga sekali itu terjadi maka tidak ada peluang untuk memperbaiki. Dengan apa yang terjadi di awal kegiatan reklamasi maka semestinya Pemerintah segera mengambil tindakan tegas dengan membatalkan seluruh perizinan yang diberikan kepada PT. TJ Silfanus, baik oleh karena pelanggaran yang telah dilakukan maupun terhadap potensi kerugian dan derita yang akan dialami warga ke depan.

Cukup sudah kerugian yang dialami warga selama aktivitas reklamasi berlangsung. Kami tidak rela Pantai Minanga hilang, nelayan harus tetap melaut, layanan alam Pantai Minanga harus tetap dinikmati, dan biarkan kami terus menjaga, merawat dan memanfaatkan secara bijaksana Pantai Minanga sebagaimana diajarkan orang tua dan leluhur kami. Jangan usik dan rampas ketenangan dan kedamaian kami. Terhitung mulai hari ini, 15 September 2022, tidak boleh ada lagi aktivitas reklamasi yang merusak Pantai Minanga.

 

MASYARAKAT DAN NELAYAN TRADITIONAL YANG MENOLAK

KLHK dan KKP Harus Bertindak Tegas! Perusak terumbu karang wajib diadili secara tuntas.

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

Jakarta, 13 September 2022 – Penimbunan pantai yang dilakukan oleh PT. Tj Silfanus diduga telah menyebabkan kerusakan permanent ekosistem pesisir dan laut di Pantai Minanga, Teluk Manado, Kota Manado. Kerusakan utama tertimpanya terumbu karang akibat material (batu) timbunan yang telah berlangsung selama 1 – 19 Agustus 2022. Hal tersebut dibuktikan dengan riset KELOLA bersama Scientific Explorer Team yang menghasilkan dokumentasi yang menunjukkan kerusakan terumbu karang akibat penimbunan pantai di perairan Pantai Minanga.

Fakta dan temuan berupa foto bawah laut yang disebabkan penimbunan pantai, jelas bahwa kegiatan PT. Tj. Silfanus termasuk dalam pelanggaran tindak pidana karena bertentangan dan melanggar Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 jo. Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dalam Pasal 35 yang berbunyi “Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap Orang secara langsung atau tidak langsung dilarang: menggunakan bahan peledak, bahan beracun, dan/atau bahan lain yang merusak Ekosistem terumbu karang”.

Dalam UU No. 1 Tahun 2014 jo. UU No. 27 Tahun 2007 pada Pasal 73 ayat (1) dengan jelas menyebutkan bahwa “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) setiap Orang yang dengan sengaja: a. mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d;”.

Hingga 23 Agustus 2022, PT. Tj Silfanus masih melakukan aktivitas penimbunan pantai di Pantai Minanga. Dengan kondisi diatas, Aktivitas penimbunan pantai tersebut telah dilaporkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sejak tanggal 11 Agustus 2022, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tangal 30 Agustus 2022. KIARA meminta untuk dilakukan evaluasi dan monitoring atas kegiatan penimbunan pantai yang dilakukan perusahaan, serta mendorong KLHK dan KKP mengusut secara tegas dan tuntas dugaan perusakan terumbu karang yang dilakukan oleh perusahaan.

KLHK melalui Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum) dan KKP melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) serta Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Satker Manado yang berjumlah delapan (8) orang telah datang ke lokasi penimbunan pada tanggal 1 September 2022. Namun sampai saat ini, belum membuahkan hasil apapun, baik catatan kunjungan secara terbuka kepada public.

Berdasarkan informasi yang KIARA terima dari masyarakat Pantai Minanga, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) menyatakan bahwa proyek penimbunan pantai tersebut sudah sesuai dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) Provinsi Sulut. Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati mengemukakan bahwa hingga sampai lampiran alokasi ruang yang ada dalam Perda RZWP-3-K Sulawesi Utara belum diinformasikan dan dipublikasi oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara sejak ditetapkan produk hukum tersebut.

Susan menuturkan “KIARA tegas mengritik keras tentang produk hukum RZWP-3-K yang bermasalah dari awal pembentukannya hingga penerapannya yang berujung perusakan terhadap ekosistem pesisir dan laut. KIARA melihat kerusakan terjadi khususnya ekosistem terumbu karang hanya untuk aktivitas seperti penimbunan pantai yang dilakukan secara sengaja dilakukan oleh korporasi atau pemodal. Apakah ekosistem terumbu karang harus dibiarkan secara sadar dirusak karena ruang tersebut telah dialokasikan untuk industri lain dalam RZWP-3-K?”

“Seharusnya kejadian kerusakan ekosistem di pesisir melalui terbitnya RZWP-3-K menjadi pijakan bagi KKP untuk mengevaluasi seluruh Perda RZWP-3-K yang sejak awal penyusunannya tidak melibatkan partisipasi publik khususnya masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai rightsholders atas lautnya,” tegas Susan.

KIARA mempertanyakan posisi tegas dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai garda terdepan dalam memfasilitasi korporasi untuk melakukan perusakan melalui salah satu produk hukumnya. Lebih lanjut, Rignolda Djamaluddin ketua Asosiasi Nelayan Tradisional Sulawesi Utara (ANTRA) menilai “instansi pemerintah, baik GAKKUM maupun PSDKP dengan mudah menyatakan perusakan dan tindakan penangkapan, kalau yang melakukannya adalah masyarakat seperti nelayan tradisional dalam konteks Illegal Fishing misalnya.”

KIARA menilai terjadinya penimbunan pantai yang mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang, seharusnya KKP, KLHK beserta kementerian/lembaga negara lainnya melakukan audit lingkungan, terutama terhadap korporasi yang telah terbukti melakukan pelanggaran. Jika pemangku kebijakan yaitu KKP dan KLHK memiliki itikad baik, maka mereka dapat melakukan proses pidana kepada perusahaan tersebut. Bahkan KKP dan KLHK harus menghitung valuasi nilai kerugian yang terjadi akibat dari kerusakan terumbu karang yang ada di Pantai Minanga, bukan hanya dengan mudah memberikan izin untuk reklamasi yang telah jelas merugikan nelayan dan juga ekosistem terumbu karang.

KIARA mencatat bahwa telah ada kasus yang ditangani Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2019 terkait dengan tindak pidana perikanan karena terbukti melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan, dalam konteks ini adalah terumbu karang. Di dalam putusannya, MA menjatuhkan pidana penjara 3 (tiga) tahun penjara dan denda Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) kepada tersangka yang terbukti melakukan perbuatan tersebut.

Putusan MA yang dijelaskan tersebut seharusnya menjadi produk hukum dan preseden yang baik untuk dilakukan di berbagai tempat yang terjadi perusakan terumbu karang, baik akibat dari penimbunan pantai atau hal apapun yang menyebabkan kerusakan terumbu karang. “Jika KKP dan KLHK tidak menindak sekarang, berarti secara jelas posisi dan langkah yang dilakukan KKP dan KLHK tidak sejalan keberlanjutan ekologi dan ekosistem yang hidup di dalamnya serta hanya memberikan karpet merah perusakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” tegas Susan. (*)

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

PT. Tj Silfanus Menimbun Pantai Minanga, KIARA: Penghancuran Ekosistem Terumbu Karang Teluk Manado Secara Sadar dan Sengaja!

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id
 

PT. Tj Silfanus Menimbun Pantai Minanga, KIARA: Penghancuran Ekosistem Terumbu Karang Teluk Manado Secara Sadar dan Sengaja!

Jakarta, 19 Agustus 2022 – Nuansa merdeka secara penuh dalam momentum dirgahayu kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang ke-77 tak dirasakan lagi nelayan dan masyarakat pesisir yang tinggal di sepanjang pesisir Kampung Baru, Kota Manado. Merdeka bagi nelayan dan masyarakat pesisir adalah pemenuhan atas Hak Konstitusi Masyarakat Pesisir yang dituangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010 dan Undang-undang nomor 7 tahun 2016 tentang perlindungan dan pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya ikan, dan Petambak garam, yang menjadi mandat Pemerintah dalam memegang amanat Republik ini. Kehadiran perusahaan swasta yaitu PT. Tj Silfanus yang melakukan penimbunan Pantai Minanga-Malalayang telah mengabaikan hak konstitusional nelayan yang sekaligus mencabut dan menghancurkan kemerdekaan bagi nelayan dan masyarakat pesisir.

Korporasi tersebut berencana melakukan penimbunan pantai (reklamasi lahan) di Pantai Minanga-Malalayang sepanjang ± 500 meter. Sejak awal rencana penimbunan pantai ini mulai muncul, berbagai penolakan telah dilontarkan nelayan dan masyarakat pesisir. Namun sejak 1 Agustus 2022, PT. Tj Silfanus telah memulai aktivitas penimbunan pantai di Pantai Minanga. Melihat adanya aktivitas penimbunan pantai, masyarakat pesisir di sekitar Pantai Minanga melakukan penghadangan untuk menghentikan aktivitas perusahaan karena menolak keras penimbunan pantai tersebut.

Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menegaskan bahwa aktivitas penimbunan pantai yang tengah dan akan dilakukan di Pantai Minanga merupakan bentuk penghancuran wilayah pesisir beserta ekosistem yang hidup di dalamnya secara terencana. Penimbunan pantai bertolak belakang dengan semangat perlindungan wilayah pesisir khususnya ekosistem terumbu karang, padang lamun dan mangrove yang tengah dilakukan dan diperjuangkan oleh nelayan dan masyarakat pesisir yang hidup di wilayah tersebut.

Lebih jauh, Susan menyatakan, aktivitase penimbunan pantai tersebut telah merusak ekosistem alami terumbu karang yang ada di perairan Pantai Minanga. KELOLA (Kelompok Pengelola Sumber daya Alam) yang sebelumnya telah membuat studi terkait terumbu karang bersama Scientific Exploration Team, menemukan material-material penimbunan pantai berupa batu menimpa dan merusak ekosistem terumbu karang yang hidup di perairan Pantai Minanga. Temuan lainnya, adanya spesies karang berstatus dilindungi yaitu Kima Raksasa (Tridacna) yang terancam kehidupannya pada perairan yang ditimbun. Padahal di dalam kebijakan Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jelas mengatur terhadap larangan merusak ekosistem terumbu karang.

Melanggar Peraturan Perundang-undangan Yang Ada

“Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 jo UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dalam Pasal 35 secara tegas menyebut bahwa setiap orang secara langsung maupun tidak langsung dilarang menimbulkan kerusakan atau merusak ekosistem terumbu karang, juga dilarang melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya,” tegas Susan.

Susan melanjutkan, di dalam UU No. 1 Tahun 2014 jo UU No. 27 Tahun 2007 pada Pasal 73 menerangkan tentang ketentuan pidana bagi yang melakukan pengrusakan terumbu karang. “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana dengan paling sedikit Rp 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) bagi setiap orang yang sengaja mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 35,” jelas Susan.

KIARA telah melihat di berbagai wilayah bahwa praktik penimbunan pantai selain merusak 3 (tiga) ekosistem di wilayah pesisir dan laut (:ekosistem terumbu karang, lamun dan mangrove), juga membatasi bahkan memutus hak konstitusional nelayan dan masyarakat pesisir. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010 telah dijelaskan bahwa hak konstitusional nelayan antara lain: 1). hak untuk melintas dan mengakses laut; 2). hak untuk mendapatkan perairan yang bersih dan sehat; 3). hak untuk memanfaatkan sumber daya pesisir dan laut; serta 4). hak untuk mempraktikkan adat istiadat atau kearifan tradisional dalam mengelola sumberdaya pesisir dan laut.

Susan menegaskan bahwa proyek penimbunan pantai telah berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan di berbagai tempat yang telah terjadi. Hal penting lainnya adalah KIARA mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk segera menindak PT. Tj Silfanus dan korporasi lainnya yang telah dan tengah melakukan penimbunan pantai yang merusak ekosistem terumbu karang di wilayah tersebut, sehingga minumbulkan efek jera dan menunjukkan eksistensi dan standing position yang tegas dari negara dalam mewujudkan perlindungan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil serta ekosistem di dalamnya secara adil dan berkelanjutan.

 

Informasi Lebih Lanjut :

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

Walaupun Ditolak Nelayan Tradisional, KKP Tetap Melanjutkan Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur

Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
www.kiara.or.id

 

Walaupun Ditolak Nelayan Tradisional, KKP Tetap Melanjutkan Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur

Jakarta, 2 Agustus 2022 – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tetap melanjutkan pembahasan tentang kebijakan Penangkapan Ikan Terukur. Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur akan diterapkan diseluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Negara Republik Indonesia. Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No. 18 Tahun 2014 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, wilayah perairan laut Indonesia dibagi dalam sebelas (11) WPP NRI. Sedangkan di dalam rancangan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur tersebut, WPP NRI akan kembali dibagi ke dalam tiga (3) zona, yaitu: 1). Zona berbasis kuota penangkapan ikan (fishing industry), yang terdiri dari tujuh (7) WPP NRI; 2). Zona non kuota penangkapan ikan, yang terdiri dari tiga (3) WPP NRI; dan, 3). Zona penangkapan terbatas (spawning & nursery ground), yang terdiri dari satu (1) WPP NRI.

KKP menyebutkan bahwa kebijakan Penangkapan Ikan Terukur tersebut akan menggunakan mekanisme kuota dan juga kontrak kepada korporasi dan investor asing. KKP juga menyebutkan bahwa kebijakan Penangkapan Ikan Terukur  menjadi salah satu cara untuk meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor perikanan dan kelautan.

Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati  menyatakan bahwa kebijakan penangkapan ikan terukur yang tetap digagas oleh KKP bertentangan dengan semangat keberlanjutan sumber daya perikanan dan kelautan dan juga penyejahteraan nelayan tradisional dan/atau nelayan lokal yang menggunakan alat tangkap yang berkelanjutan. “Kebijakan ini akan semakin menyulitkan nelayan tradisional karena akan berhadapan dan bersaingan dalam ruang yang sama tetapi dengan penggunaan alat produksi yang jauh berbeda. Nelayan tradisional masih menggunakan alat produksi yang menangkap ikan untuk mencukupi kebutuhan mendasar kehidupan mereka dan berkelanjutan, sedangkan nelayan modern dan/atau industri menggunakan alat produksi yang dapat menangkap sumber daya perikanan dan kelautan secara masif dan cenderung bersifat eksploitatif”, ungkap Susan.

Susan menambahkan bahwa kebijakan penangkapan ikan terukur harus dihentikan dan dievaluasi secara penuh. “Apakah kebijakan penangkapan ikan terukur ini sesuai dengan kebutuhan nelayan tradisional dan untuk menyejahterahkan mereka atau malah kebijakan ini hanya menjadi karpet merah untuk memuluskan dan memastikan keberlanjutan usaha dari korporasi dan juga investor asing yang ingin mengeksploitasi sumber daya perikanan,” tambah Susan.

Penangkapan Ikan Terukur dengan Sistem Kontrak dan Kuota

KIARA memandang bahwa terdapat problematika yang mendasar dalam kebijakan penangkapan ikan terukur, terutama dalam substansi tentang sistem kontrak dan kuota. Beberapa catatan KIARA tentang rancangan kebijakan penangkapan adalah sebagai berikut: Pertama, sumber daya perikanan merupakan barang publik yang seharusnya pengelolaannya diperlakukan sebagai barang publik bukan barang privat. Pengaturan kuota penangkapan ikan berdasar pada kontrak kerjasama merupakan hal yang inkonstitusional, di mana barang publik diperlakukan sebagai barang privat dan dalam prinsip kontrak para pihak harus tunduk pada apa yang diperjanjikan. Hal ini tentu saja mendegradasi peran negara karena menjadi setara/sejajar dengan pelaku usaha yang mendapat kontrak tersebut.

Kedua, rancangan kebijakan penangkapan ikan terukur akan meminggirkan nelayan tradisional atau nelayan lokal dan cenderung akan menguntungkan pemilik modal besar ataupun korporasi perikanan. Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan asas Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terutama asas pemerataan, asas peran serta masyarakat serta asas keadilan.

Ketiga, rancangan kebijakan penangkapan ikan terukur belum memiliki kajian ilmiah tentang dampak yang akan ditimbulkan dan juga bertentangan dengan asas keberlanjutan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 jo Undang-Undang No. 1 Tahun 2014, yaitu asas keberlanjutan mengandung arti bahwa pemanfaatan sumber daya yang belum diketahui dampaknya harus dilakukan secara hati-hati dan didukung oleh penelitian ilmiah yang memadai.

Keempat, rancangan kebijakan penangkapan ikan terukur tidak memiliki dasar tentang asal muasal penetapan kuota dan tidak ada kejelasan metode dalam menghitung potensi sumber daya ikan. Serta, kelima, bertentangan dengan mandat Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam yaitu perlindungan nelayan dalam hal ini adalah nelayan tradisional, karena relita yang terjadi di berbagai perairan bahwa wilayah perairan tradisional nelayan sering didapati aktivitas nelayan skala besar/modern dengan alat tangkap tidak berkelanjutan bahkan alat tangkap cantrang masih dapat dijumpai di berbagai perairan di pulau-pulau kecil. Hal ini menandakan masih lemahnya pengawasan penggunaan alat tangkap. Jika rancangan kebijakan penangkapan ikan terukur disahkan, maka akan semakin mengancam keberlanjutan nelayan tradisional di berbagai wilayah.

“KIARA meminta secara tegas kepada KKP untuk segera menghentikan pembahasan penangkapan ikan terukur dan segera berbenah untuk menggagas kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan nelayan tradisional sehingga kebijakan yang digagas oleh KKP dapat menjadi katalis untuk meningkatkan kesejahteraan dan peningkatan  perekonomian nelayan serta juga tetap menjaga keberlanjutan sumber daya perikanan dan kelautan. Langkah KKP seharusnya fokus untuk menuntaskan terlebih dahulu permasalahan-permasalahan utama seperti melaksanakan mandat UU No. 7 Tahun 2016 dan melaksanakan mandat Putusan MK No. 3 Tahun 2010,” tegas Susan. (*)

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502