Posts

Siaran Pers Bersama: RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam Butuh Perbaikan Substansi

Siaran Pers Bersama:

Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia
Persatuan Petambak Garam Indonesia
Serikat Nelayan Indonesia
Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan, FPIK, Universitas Brawijaya
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam Butuh Perbaikan Substansi

 
Malang, 10 September 2015. Saatnya Negara memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada masyarakat pesisir lintas profesi, yakni nelayan kecil, perempuan nelayan, petambak garam, pembudidaya ikan dan pelestari ekosistem pesisir. Dorongan ini disampaikan di dalam Diskusi Publik bertajuk “Mendorong Hadirnya UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam” yang diselenggarakan atas kerjasamanya Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, di Ruang Sidang Utama Gedung Baru FPIK Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur, pada tanggal 9 September 2015. 
 
Diskusi publik ini dihadiri oleh sedikitnya 150 peserta dari organisasi kemasyarakatan yang mewakili kepentingan nelayan, perempuan nelayan, petambak garam, pelestari ekosistem pesisir dari Sendang Biru (Malang, Jawa Timur), Demak (Jawa Tengah), Indramayu (Jawa Barat), Cirebon (Jawa Barat), Situbondo (Jawa Timur), para mahasiswa dan akademisi lintas jurusan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya Malang. 
 
Dr. Ir. Guntur, MS, Pembantu Dekan II FPIK Universitas Brawijaya mengatakan, “Hadirnya UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam adalah bentuk kesadaran bersama mengenai pentingnya memuliakan manusia, bukan semata-mata ikan dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia. Dalam hal ini, nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam”. 
 
Senada dengan itu, Prof. Ir. Marsoedi, Ph.D., Guru Besar dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya mengatakan, “Draf RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam harus menempatkan kelestarian lingkungan hidup sebagai prasyarat utama terlaksananya skema perlindungan dan pemberdayaan kepada 3 subyek hukum tersebut. Tanpa hal ini, mustahil bisa dilakukan”. 
 
Pusat Data dan Informasi KIARA (Agustus 2015) mencatat, sedikitnya 27 provinsi/kabupaten/kota pesisir di Indonesia menjalankan proyek reklamasi pantai. Dengan perkataan lain, penggusuran terhadap masyarakat pesisir akan terus terjadi. 
 
Masnuah, Sekretaris Jenderal PPNI (Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia) menjelaskan, “Perempuan nelayan berperan penting di dalam aktivitas perikanan skala kecil/tradisional, mulai dari pra produksi hingga pengolahan. Di sinilah pentingnya merevisi draf RUU ini sebelum disahkan”. 
 
Pada sesi diskusi, setali tiga uang dengan Masnuah, Dr. Ir. Harsuko Riniwati, MP., pakar Ekonomi Manajemen Sumber Daya Manusia) menambahkan, “Definisi nelayan dan nelayan kecil di dalam draf RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam bias gender. Skema pemberdayaan terhadap perempuan nelayan harus mencakup 5 hal, yakni tersedianya akses bagi perempuan nelayan, perempuan nelayan bisa berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan hingga pengawasan dan evaluasi, munculnya kesadaran kritis untuk keluar dari permasalahan, dan keberanian untuk mengambil keputusan. Kelima hal ini satu paket”.
 
Dalam kesempatan yang sama, Sarli, Sekjen Persatuan Petambak Garam Indonesia (PPGI) meminta pemerintah untuk bersungguh-sungguh memberikan jaminan harga dan penyerapan hasil panen garam rakyat. Bersamaan dengan itu, kran impor harus ditutup. 
 
Budi Laksana, Sekjen Serikat Nelayan Indonesia, menyebutkan, “Perlindungan nelayan harus diutamakan di tengah ketidakpastian sistem usaha. Perlindungan wilayah tangkap, permodalan, perizinan yang mudah dan transparan, akses terhadap sumber energi dan pemasaran adalah sebagian kebutuhan dasar nelayan kecil. RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam harus menempatkannya sebagai prioritas skema perlindungan”. 
 
Ir. Sri Sudaryanti, MS. menyinggung nomenklatur RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Ia menjelaskan, “RUU ini mestinya dinamai Rencana Pengelolaan Terpadu Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Dengan penamaan ini, maka semua permasalahan dan harapan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam dapat diakomodasi”.
 
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA menyebutkan, “APBN Kementerian Kelautan dan Perikanan sebesar Rp15,8 triliun di tahun 2016 harus diarahkan untuk menjembatani pelaksanaan mandat RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Belajar dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang tidak implementatif, DPR-RI bersama-sama dengan pemerintah harus memastikan hal ini tidak terulang kembali demi pemenuhan target legislasi semata-mata. Karena dampak buruknya akan diterima oleh masyarakat pesisir lintas profesi”.
 
Diskusi berlangsung amat dinamis. Ditambah lagi peserta sangat antusias dengan pemikiran-pemikiran mendalam menyambut lahirnya Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Diskusi Publik “Mendorong Hadirnya RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam” akan dilanjutkan di Pontianak, Kalimantan Barat.***
 
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
Masnuah, Sekjen Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia di +62 852 2598 5110
Muhammad Sarli, Sekjen Persatuan Petambak Garam Indonesia di +62 813 1317 7626
Budi Laksana, Sekjen Serikat Nelayan Indonesia di +62 813 1971 6775
Abdul Halim, Sekjen KIARA di +62 815 53100 259 

Kiara: Anggaran KKP Harus Difokuskan Pemberdayaan Masyarakat

Jakarta (Antara) – Sekjen Kiara Abdul Halim mengatakan, anggaran yang dikelola Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) seharusnya difokuskan bukan pada sekadar pembangunan infrastruktur tetapi lebih kepada pemberdayaan masyarakat di kawasan pesisir di Tanah Air.

“Kenaikan Rp5 triliun pada KKP (dalam RAPBN 2016) banyak digunakan untuk mendorong infrastruktur kelautan, tetapi belum menyentuh pada pemberdayaan masyarakat nelayan dan maritim,” kata Sekjen Kiara Abdul Halim di Jakarta, Selasa.

Sebagaimana diketahui, dalam RAPBN 2016, kelompok bidang kemaritiman direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp80,74 triliun atau lebih rendah 13,3 persen bila dibandingkan dengan APBNP tahun 2015 sebesar Rp93,16 triliun.

Sedangkan khusus untuk Kementerian Kelautan dan Perikanan, anggarannya mengalami kenaikan Rp5 triliun pada RAPBN 2016.

Menurut Abdul Halim, RAPBN 2016 disusun untuk menunjang pelaksanaan konsep Poros Maritim tetapi hal itu kontradiksi antara lain diindikasikan dengan anggaran KKP yang di akhir tahun selalu minus dalam penyerapan anggaran.

Hal itu, ujar dia, disebabkan beragam faktor seperti adanya kekhawatiran pejabat di daerah menggunakan anggaran karena takut tersangkut kasus hukum, sosialisasi program yang sifatnya mepet, tender hingga pengadaan barang/jasa membutuhkan waktu, serta kemampuan birokrasi daerah.

“Mesin birokrasi di daerah justru tidak kreatif dalam menyusun mata anggaran di daerah,” kata Sekjen Kiara.

Untuk itu, ujar dia, pemerintah seharusnya lebih fokus tidak hanya pada infrastruktur perhubungan tetapi juga kepada program yang benar-benar menyentuh pada masyarakat nelayan dan pemberdayaan masyarakat maritim.

Selain itu, lanjutnya, DPR RI perlu lebih jeli dalam membuat tanggapan dalam pembahasan dan penetapan APBN 2016 agar sesuai dengan amanat konstitusional untuk kesejahteraan rakyat.

Apalagi, pemerintah dinilai juga telah menegaskan penjabaran konsep Nawacita yang salah satu tujuannya untuk mewujudkan kemandirian ekonomi serta meningkatkan produktivitas dan daya saing nasional.

Selain itu, Presiden Joko Widodo juga berkali-kali menyampaikan akan menjalankan program-program yang terkait dengan konsep Poros Maritim Dunia.(rr)

 

Kiara: Anggaran KKP Harus Difokuskan Pemberdayaan Masyarakat

Selasa, 18 Agustus 2015

Jakarta, (Antara) – Sekjen Kiara Abdul Halim mengatakan, anggaran yang dikelola Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) seharusnya difokuskan bukan pada sekadar pembangunan infrastruktur tetapi lebih kepada pemberdayaan masyarakat di kawasan pesisir di Tanah Air.

“Kenaikan Rp5 triliun pada KKP (dalam RAPBN 2016) banyak digunakan untuk mendorong infrastruktur kelautan, tetapi belum menyentuh pada pemberdayaan masyarakat nelayan dan maritim,” kata Sekjen Kiara Abdul Halim di Jakarta, Selasa.

Sebagaimana diketahui, dalam RAPBN 2016, kelompok bidang kemaritiman direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp80,74 triliun atau lebih rendah 13,3 persen bila dibandingkan dengan APBNP tahun 2015 sebesar Rp93,16 triliun.

Sedangkan khusus untuk Kementerian Kelautan dan Perikanan, anggarannya mengalami kenaikan Rp5 triliun pada RAPBN 2016.

Menurut Abdul Halim, RAPBN 2016 disusun untuk menunjang pelaksanaan konsep Poros Maritim tetapi hal itu kontradiksi antara lain diindikasikan dengan anggaran KKP yang di akhir tahun selalu minus dalam penyerapan anggaran.

Hal itu, ujar dia, disebabkan beragam faktor seperti adanya kekhawatiran pejabat di daerah menggunakan anggaran karena takut tersangkut kasus hukum, sosialisasi program yang sifatnya mepet, tender hingga pengadaan barang/jasa membutuhkan waktu, serta kemampuan birokrasi daerah.

“Mesin birokrasi di daerah justru tidak kreatif dalam menyusun mata anggaran di daerah,” kata Sekjen Kiara.

Untuk itu, ujar dia, pemerintah seharusnya lebih fokus tidak hanya pada infrastruktur perhubungan tetapi juga kepada program yang benar-benar menyentuh pada masyarakat nelayan dan pemberdayaan masyarakat maritim.

Selain itu, lanjutnya, DPR RI perlu lebih jeli dalam membuat tanggapan dalam pembahasan dan penetapan APBN 2016 agar sesuai dengan amanat konstitusional untuk kesejahteraan rakyat.

Apalagi, pemerintah dinilai juga telah menegaskan penjabaran konsep Nawacita yang salah satu tujuannya untuk mewujudkan kemandirian ekonomi serta meningkatkan produktivitas dan daya saing nasional.

Selain itu, Presiden Joko Widodo juga berkali-kali menyampaikan akan menjalankan program-program yang terkait dengan konsep Poros Maritim Dunia. (*)

Muhammad Razi Rahman

Editor: Mukhlisun

Sumber: http://m.antarasumbar.com/berita/155265/kiara-anggaran-kkp-harus-difokuskan-pemberdayaan-masyarakat.html