Tujuh Perempuan Pejuang Pangan

Jakarta – Dalam memperingati Hari Perempuan Internasional, yang jatuh pada 8 Maret, Oxfam bekerja sama dengan Aliansi Desa Sejartera (ADS), menghadirkan tujuh perempuan pejuang pangan dari seluruh Indonesia.

“Tujuh ini hanya contoh. Mereka itu tujuh di antara jutaan,” ujar Nazla Mariza, Campaign and Advocacy Coordinator Oxfam.

Ia menambahkan perempuan perempuan punya peran besar berkontribusi dalam pangan. Di sektor perikanan, perempuan nelayan berkontribusi 48 persen untuk ekonomi keluarga setiap bulannya, sedangkan di sektor pertanian mereka berkontribusi 54 persen.

Tejo Wahyu Jatmiko dari ADS menambahkan, Perempuan itu tidak diakui sebagai nelayan di negeri ini. Pengakuan sebagai petani pun hanya sedikit.

“Karena yang mendapatkan pelatihan, akses kredit, kecenderungannya lebih condong ke laki-laki padahal potensinya luar biasa,” imbuhnya.

Tujuh Perempuan Pejuang Pangan ini terdiri dari petani dan nelayan.

“Mereka bisa menyediakan pangan di tingkat keluarga, bahkan desa. Mereka bahkan bisa memengaruhi kebijakan tingkat kabupaten,” tambah Tejo.

Siti Rofi’ah, salah satu dari pejuang pangan ini, contohnya. Ia mempelopori pembuatan kebun percontohan pangan seluas dua hektar di Lewoleba, Kabupaten Lembata. Sebelumnya, ia pernah memimpin Aliansi Petani Padi Lembor (APPEL). Di bawah kepemimpinannya, ia berhasil mengupayakan penguatan ekonomi anggotanya, yang berjumlah 530 di mana separuhnya ialah perempuan, melalui peningkatan kualitas padi, lumbung pangan dan simpan pinjam. APPEL juga berhasil memengaruhi keputusan Bupati Manggarai Barat tentang pengembangan pangan lokal dan program beras miskin (Raskin).

Selain membantu ekonomi, kebersihan lingkungan menjadi terjaga. Salah satu yang melakukan ini ialah, Siti Rahmah, pembudidaya sayuran ramah lingkungan. Perempuan dari Kecamatan Ma’rang, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan ini, baru belajar bertani organik empat tahun. Ia memanfaatkan sampah organik, teutama daun, rumput, dan kotoran kerbau, untuk dijadikan pupuk dan pestisida.

“Lingkungan jadi bersih dan sehat. Pupuk organik kan bisa bikin sehat,” ujarnya.

Selain mereka, empat orang pejuang lainnya ialah Jumiati, Habibah, Suparjiyem, Marlina Rambu Meha, dan Mama Robeka. Jumiati ialah nelayan perempuuan dari Desa Sei Ngalawan, Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Ia mengembangkan tujuh hektar mangrove untuk ekowisata dan mengolah buah serta daunnya menjadi dodol, tepung kue, kerupuk bahkan teh dan sirup.

Habibah, salah satu nelayan yang tersisa di Marunda Kepu, Jakarta Utara. Ia terus menghasilkan pangan walaupun terhimpit reklamasi pantai dan pencemaran laut.

Suparjiyem, petani lulusan Sekolah Menengah Atas asal Gunung Kidul, Yogyakarta. Ia berbagi berbagi pengetahuan tentang pola tanam kepada petani sekitar dan aktif mengadvokasi tanaman pangan pengganti beras.

Marlina Rambu Meha ialah pegiat tani dari Sumba Timur, NTT. Ia melestarikan tenun dan 12 jenis tanaman pangan lokal demi mendorong kemandirian perempuan di tengah ketatnya budaya. Mama Robeka dari Nabire, Papua. Ia membentuk kelompok tani, yang beranggotakan 21 janda dan menghibahkan kebunnya untuk dikelola bersama demi meningkatkan kemandirian petani.

Mereka kemudian membuat petisi. Dua diantaranya, Siti Rofi’ah dan Suparijem, mendatangi komisi empat DPR RI yang membawahi bidang pertanian untuk membacakan petisi yang mereka buat mengenai pertanian dan perempuan.

Kendala Perempuan Nelayan dan Petani
“Pertama kali kami usaha saja, banyak sekali yang harus kami lakukan. Bagaimana saya harus mendekati suami dari ibu-ibu yang lain agar mau membantu, membagi-bagi pengetahuannya, apalagi dalam menenenun dan berkebun,” kata Marlina.

Di daerahnya, para suami lah yang mencari penghasilan. Para perempuan pun sangat tunduk pada perintah suami. Perlu waktu yang tidak sebentar agar bisa mengajak perempuan tersebut bergabung.

Kesulitan pun ditemui oleh Siti Rahmah. Sama seperti di Marlina, harus ada izin dari suami untuk melakukan sesuatu.

“Kalau daerah kami, permpuan dianggap rendah. Perempuan itu tidak bisa apa-apa dan tidak bisa berkegiatan,” tuturnya.

Saya haruh bekerja keras untuk memperlihatkan hasilnya, akhirnya mereka tertarik dan tergerak hatinya,” tambahnya.

 Penulis: Yosie Sesbania Gewap/TK