Macan Ompong Kelautan dan Perikanan

Evaluasi 2012 dan Proyeksi 2013
 
M.Riza Damanik
Sekretaris Jenderal KIARA
 
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono boleh jadi presiden pertama Indonesia yang berani mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Perlindungan Nelayan, Nomor 15 Tahun 2011. Namun di tangan Menteri Sharif Cicip Sutardjo, sepanjang 2012 Inpres itu hanya macan ompong. Selain gagal menghentikan impor ikan, nelayan asing juga dibiarkan menguasai kapal-kapal berbendera Indonesia.
 
Instruksi yang ditandatangani oleh Presiden SBY pada 22 November 2011 silam, memuat perintah kepada 18 menteri, pejabat setingkat menteri, termasuk para gubernur dan bupati/walikota di seluruh Indonesia. Meski secara subtansi perlu banyak pembenahan, keluarnya Inpres Perlindungan Nelayan seharusnya dapat mengawali upaya negara untuk melindungi keluarga nelayan secara lebih komprehensif.
 
Prestasi Buruk
 
Setidaknya ada lima tugas pokok yang bisa digunakan untuk mengukur kinerja sektor kelautan dan perikanan dibawah kepemimpinan Menteri Sharif Cicip Sutardjo.
 
Pertama, kepada Menteri Cicip, presiden memberi perintah untuk mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan. Pada kenyataannya, upaya untuk merevitalisasi 16 ribu hektar pertambakan udang Bumi Dipasena Lampung tidak dijalankan secara sungguh-sungguh.
 
Buktinya, bantuan pemerintah kepada para petambak berupa modal usaha dan bibit udang di 2012 justru “disunat” oleh dan untuk aparatur pemerintah. Demikian halnya, kebutuhan vital pertambakan berupa aliran listrik yang telah dijanjikan sejak 2011, tidak juga terealisasi. Alih-alih memberdayakan pertambakan udang Dipasena, Menteri Cicip justru larut dalam wacana (tidak berujung) revitalisasi tambak di sepanjang Pantai Utara Jawa. Akibatnya, hanya sekitar 6 ribu dari total 60 ribu ton potensi produksi udang Bumi Dipasena yang dapat di panen hingga akhir tahun 2012.
 
Kedua, Menteri Cicip juga ditugaskan untuk menjamin ketersediaan bahan baku ikan untuk kebutuhan industri pengolahan dan konsumsi ikan domestik. Tugas konstitusional ini juga gagal diemban secara mandiri dan berdaulat. Faktanya, baik untuk keperluan konsumsi maupun industri pengolahan, Indonesia masih bergantung pada ikan impor.
 
Data Badan Pusat Statistik hingga September 2012 menunjukkan, sedikitnya 40 produk asal ikan impor merupakan komoditas ikan yang dapat ditangkap dan dibudidayakan di Indonesia. Sebagian besar berupa produk ikan beku, segar, kering dan diasinkan, seperti udang, cumi-cumi, tuna, tongkol, lemuru, dan kerang. Merembesnya ikan-ikan impor ke pasar konsumsi telah menyebabkan ekonomi nelayan kian terpuruk dan terabaikannya perlindungan kesehatan bagi konsumen ikan Indonesia.
 
Ketiga, presiden memerintahkan Menteri Kelautan dan Perikanan untuk mendorong perluasan kesempatan kerja dibidang perikanan. Hal ini sejalan dengan kepentingan menurunkan angka pengangguran nasional yang jumlahnya masih pada kisaran 9 juta jiwa. Celakanya, Pak Menteri justru menentang perintah. Wacana melegalkan perluasan kesempatan kerja bagi tenaga kerja asing di kapal-kapal ikan berbendera Indonesia justru terjadi pada 2012.
Melalui revisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.14 Tahun 2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap Juncto Permen KP No.49 Tahun 2011 tentang Perubahannya, Menteri Cicip hendak meloloskan penggunaan Anak Buah Kapal (ABK) asing hingga 70 persen.  Meski hingga saat ini revisi peraturan menteri tersebut belum ditandatangani. Praktik penggunaan ABK asing di kapal-kapal berbendera Indonesia jamak dijumpai sepanjang 2012.
 
Temuan KIARA pada Juli 2012 di Perairan Natuna Kepulauan Riau misalnya, kapal-kapal ikan eks asing menggunakan hingga 99 persen ABK asing dan hanya 1 persen ABK asal Indonesia. Salah satunya ditemukan pada kapal yang bernakhoda asal Thailand dengan sebanyak 40 orang dari 44 ABKnya adalah pekerja asing. Bahkan kapal-kapal yang berbendera Merah-Putih lainnya menggunakan 100 persen ABK asing asal Vietnam.
 
Jika saja penggunaan ABK asing di kapal-kapal eks asing bisa dihentikan, setidaknya pemerintah berpeluang menyediakan sedikitnya 50 ribu lapangan pekerjaan bagi ABK atau pelaut Indonesia. Hal yang sama di sektor pengolahan. Jika saja ekspor ikan hanya dilakukan setelah terpenuhinya kebutuhan domestik dan dalam bentuk produk olahan, maka setidaknya 20 hingga 30 persen dari total jumlah pengangguran nasional dapat dikurangi. Prestasi ini yang gagal dipersembahkan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
 
Keempat, Menteri Cicip juga gagal menjalankan perintah presiden untuk menindak tegas setiap pelaku penangkapan ikan secara melawan hukum, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (Illegal, Unreported, Unregulated Fishing) dan penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Buktinya, atas sepengetahuan Menteri Cicip pula, kapal-kapal ikan yang ditangkap di Perairan Natuna atas dugaan melakukan tindak pidana perikanan—dibebaskan tanpa melalui proses hukum di Pengadilan Ad Hoc Perikanan.
 
Sudah barang tentu, selain merugikan ekonomi negara, bentuk intervensi hukum semacam ini telah menurunkan kewibawaan aparatur negara dan segenap intrumen hukum perikanan yang berlaku di wilayah Indonesia. Akibatnya, hukum yang seharusnya dapat berperan untuk “menakut-nakuti” dan memberikan “efek jera” kepada mereka yang berniat melakukan kejahatan perikanan, justru tidak dapat berfungsi maksimal.
 
Pengaruhnya dapat meluas kesegala bidang. Sebut saja pencurian ikan yang terus terjadi di sepanjang 2012. Atau, masih beroperasinya alat tangkap merusak sejenis trawl di Perairan Indonesia. Menurut Forum Komunikasi Nelayan Indonesia, sepanjang tahun 2012, kapal trawl yang beroperasi di perairan Asahan Sumatera Utara saja telah mencapai 300 armada. Demikian pula masih ditemukannya praktik penangkapan nelayan tradisional Indonesia asal Kabupaten Langkat Sumatera Utara oleh aparatur negara Malaysia di perairan perbatasan Indonesia-Malaysia.
 
Terakhir, program restrukturisasi armada kapal perikanan sampai dengan 60 GT, justru menjadi ajang penyelewengan yang merugikan para nelayan. Program bantuan seribu kapal yang diluncurkan oleh Presiden SBY untuk periode 2009-2014, belakangan lebih dikenal sebagai program korupsi seribu kapal.
 
Di Sumatera Utara, kapal-kapal yang diserahkan tahun 2012 terbukti tidak layak beroperasi. Ditandai dengan bahan baku kapal yang terbuat dari kayu sembarang, seperti kayu nangka dan mangga, maupun alat tangkap yang tidak sesuai spesifikasi. Karenanya, kapal-kapal tersebut ditaksir hanya menghabiskan biaya sekitar Rp 600 juta sampai Rp 700 juta dari total alokasi Rp 1,2 hingga Rp 1,5 milyar per unitnya. Ini pula yang menyebabkan diantara kapal-kapal bantuan tersebut sudah ada yang akan tenggelam atau bahkan tidak beroperasi selama setahun terakhir.
 
Lain lagi yang terjadi di Kalimantan Timur. Sejak proses produksi kapal hingga selesai, nelayan tidak sekalipun dilibatkan. Alhasil, kapal yang telah diserahterimakan tidak dapat dioperasikan oleh kelompok nelayan.
 
Persoalan lainnya adalah terkait aspek permodalan. Akibat minimnya modal usaha nelayan untuk mengoperasikan kapal-kapal bantuan berbobot mati lebih dari 30 GT, menyebabkan kelompok nelayan semakin bergantung kepada pemodal dan tengkulak. Kesemua persoalan ini dapat dengan mudah ditemukan di Kepulauan Riau, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Papua.
 
Mungkinkah 2013 Lebih baik?
 
Upaya serba minimalis dalam melindungi keluarga nelayan sepertinya belum akan terjawab pada waktu dekat. Apalagi, Undang-undang No.19 Tahun 2012 tentang APBN 2013 menunjukkan bahwa politik anggaran 2013 belum berpihak untuk membangkitkan sektor kelautan dan perikanan sebagai sumberdaya pangan strategis nasional, termasuk belum berkeinginan untuk melindungi nelayan.
 
Dalam hal subsidi Non Energi misalnya, APBN 2013 mengalokasikan sebesar Rp 16,2 triliyun untuk subsidi pupuk dan Rp 1,5 triliyun untuk subsidi benih. Keduanya disebut untuk membantu petani dan mendukung ketahanan pangan.
 
Demikian juga alokasi anggaran untuk penguatan ketahanan pangan. Meski naik sekitar 3 kali lipat dari Rp 23,3 triliyun pada 2007 menjadi Rp 63,2 triliyun di 2013, namun dana yang tersedia masih berkutat pada peningkatan produktivitas tanaman pangan terutama padi dan palawija.
 
Olehnya, Presiden SBY tidak boleh puas hanya dengan mengeluarkan Inpres Perlindungan Nelayan. Apalagi terbukti, sepanjang 2012 instruksi tersebut tidak pernah dilaksanakan para pembantunya. Instruksi tersebut tak ubahnya seperti “aturan-mati” (the death letter rules). Saatnya presiden hadir menjawab langsung berbagai persoalan yang dihadapi keluarga nelayan Indonesia.
 
Mulailah dengan mengevaluasi secara lebih mendalam berbagai dugaan penyimpangan penyelenggaraan program bantuan di sektor kelautan dan perikanan. Tidak terkecuali untuk Program Bantuan Seribu Kapal, Pengembangan Usaha Mina Pedesaan untuk Perikanan Tangkap dan Budidaya, Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat, Pembangunan Desa Tangguh Pesisir dan sejenisnya. Harapannya, sejalan dengan berkurangnya kebocoran anggaran negara dapat memberi stimulan terhadap peningkatan kapasitas ekonomi nelayan dan petambak Indonesia.
 
Di 2013, Presiden SBY juga harus memberi perhatian-lebih dalam penegakan hukum di laut. Dalam sejumlah temuan KIARA menunjukkan bahwa kerugian negara akibat rutinitas praktik pencurian ikan, transhipment, maupun penggunaan ABK asing di laut Indonesia jauh lebih besar daripada perampokan Bank Century ataupun Proyek Pembangunan Wisma Atlet Hambalang di Kabupaten Bogor Jawa Barat. Apalagi, pencurian ikan bukan sekedar urusan ekonomi. Tapi lebih dari itu, terkait tugas konstitusi negara dalam menjamin terpenuhinya kualitas dan kuantitas pangan-perikanan bagi segenap rakyat Indonesia.
 
Pun demikian, presiden harus “turun” untuk memastikan kebijakan impor ikan dan ekspor ikan non olahan tidak lagi menjadi pilihan kebijakan perdagangan Indonesia. Dengan begitu, revitalisasi peran dan fungsi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang telah berdiri dihampir seluruh wilayah kepulauan Indonesia—menjadi sebuah keharusan.
 
Disinilah kepemimpinan Presiden SBY diuji. Demi konstitusi dan keluarga nelayan, presiden harus berani melawan politik saling sandera dari partai-partai koalisi dan segera melakukan evaluasi menyeluruh guna mencegah kerugian yang lebih besar kedepannya. Hanya dengan begitu, instruksi Presiden SBY di 2013 tidak kembali dibajak untuk memiskinkan nelayan!
 
Sumber: Majalah Samudra I Edisi 117 I TH XI I Januari 2013

Kiara: Sektor Perikanan Dikuasai Asing

 

Jakarta  – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), lewat instrumen berupa Instruksi Presiden No. 15/2011 tentang Perlindungan Nelayan yang digunakan sebagai tolok-ukur pencapaian sektor kelautan dan perikanan menyimpulkan kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam setahun terakhir masih jauh dari harapan.
 
“Pertama, salah satu instruksi Presiden SBY kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Cicip Sutardjo adalah mendorong peran strategis sektor perikanan dalam hal menyediakan lapangan pekerjaan. Sayangnya, hal ini diabaikan oleh Menteri Cicip sehingga gagal tercapai,” sebut Sekretaris Jenderal Kiara Riza Damanik seperti juga tertuang laporan tertulis bertajuk Kelautan dan Perikanan, Evaluasi 2012 dan Proyeksi 2013 di kantornya, Jakarta Selatan, Kamis (20/12).
 
Menurut dia, kondisi riil di lapangan menunjukkan, lapangan kerja di sektor perikanan dikuasai pihak asing. Anak Buah Kapal (ABK) asal negara lain (asing) di atas kapal-kapal berbendera Indonesia. Dalam temuan Kiara di 2012, di Perairan Natuna Kepulauan Riau misalnya, kapal-kapal eks asing menggunakan hingga 99% ABK asing dan hanya 1% ABK asal Indonesia. Yakni, di antara kapal tersebut, ada yang menggunakan sebanyak 40 dari 44 ABK kapalnya berkewarganegaraan Thailand. Bahkan, nakhoda kapalnya pun warga negara asing.
 
Dalam pandangan Kiara, secara nasional, jika praktik penggunaan ABK asing bisa dihentikan, maka dari beroperasinya kapal-kapal ikan eks asing di perairan Indonesia seharusnya dapat memberikan lapangan pekerjaan sedikitnya bagi 50 ribu ABK atau pelaut Indonesia. Kesempatan ini gagal terpenuhi di sepanjang tahun 2012.
 
Permasalahan kedua, menurut Kiara, Menteri Kelautan Cicip belum memprioritaskan upaya preventif pengawasan sumber daya perikanan. Pada 2012, terdapat enam kapal berbendera Indonesia yang tertangkap Satuan Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Natuna di Perairan Teritorial Laut Natuna.
 
“Kapal-kapal tersebut diduga kuat melakukan tindak pidana pencurian ikan dan transhipment. Maupun melanggar Pasal 35A UU Perikanan No. 45/2009 yang menyebutkan larangan bagi nakhoda asing dan mempekerjakan ABK Asing dalam kapal berbendera Indonesia. Dugaan pelanggaran oleh ke-6 kapal tersebut juga tidak ditindaklanjuti oleh jajaran KKP ke dalam proses hukum.  Sebaliknya, justru dibebaskan,” jelas Riza.
 
Tidak sampai  di situ saja, lanjut laporan Kiara, Menteri Kelautan Cicip tidak berperan aktif mengatasi konflik akibat penggunaan alat tangkap merusak masih terjadi. “Laporan yang diterima Kiara dari Forum Komunikasi Nelayan Indonesia Tanjung Balai-Asahan, kapal trawl dengan pukat harimau ganda atau double pair trawl masih terus beroperasi dan jumlahnya tidak sedikit,” lanjutnya.
 
Penegakan Hukum
 
Catatan Kiara juga menyebutkan, sepanjang tahun 2012 terdapat sedikitnya 300 kapal dengan tonase antara 28-30 gross ton yang memasang alat tangkap trawl, serta aktif beroperasi di perairan Tanjung Balai, Asahan, Sumatera Utara. Sementara Dinas Kelautan dan Perikanan tidak menindaklanjuti laporan nelayan tradisional yang ikut menangkap kapal  pengguna trawl. “Sejauh ini, upaya hukum hanya menyentuh nakhoda kapal trawl dan tidak sampai ke pemilik kapal atau pengusaha kapal trawl,” urainya.
 
Dijelaskan Riza, poin penting dari kasus maraknya kapal trawl di perairan Asahan adalah kegagalan upaya hukum, di mana terjadi pelanggaran Pasal 9 jo dan Pasal 85 Undang-Undang Perikanan yang menyatakan, melarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia tidak berjalan.
 
“Menteri Kelautan sudah sepatutnya berlaku tegas kepada setiap pelaku penangkapan ikan yang melawan hukum dan melakukan tindak IUU Fishing (Illegal, Unreported, Unregulated Fishing) dan penangkapan ikan yang merusak di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia,” tandasnya.
 
Adapun masalah ketiga, sambung laporan Kiara, hadirnya produk kebijakan perdagangan dan investasi yang timpang, ketergantungan Indonesia terhadap impor ikan tidak semakin berkurang. Setelah impor ikan per Januari-Mei 2012, sebesar 42 ribu ton, Kiara menemukan peningkatan impor hingga 106 ribu ton sampai dengan September tahun ini.
 
“Tak hanya meningkat, impor ikan melemahkan daya saing nelayan sebagai produsen ikan yang utama. Sekurang-kurangnya 40 produk impor tersebut dapat ditangkap dan dibudidayakan di Indonesia. Sebagian besar adalah produk ikan beku, segar, kering dan diasinkan, seperti udang, cumi-cumi, tuna, tongkol, lemuru, dan kerang. Alhasil, pelemahan daya saing berujung pada perekonomian nelayan yang makin terpuruk.
 
Di sisi lain, pasokan sumberdaya pangan perikanan Indonesia semakin besar belakangan ini ke sejumlah negara, di antaranya Eropa. Hal ini tidak terlepas dari instrumen perdagangan yang disiapkan Eropa untuk mendukung kepentingan industri maupun konsumsi domestiknya. Dalam hal besaran tarif misalnya, setidaknya 115 produk perikanan Indonesia diberi kemudahan dengan tarif 0 hingga 10%. Sayangnya, keringanan tarif tersebut ditujukan bagi komoditas perikanan non olahan, diantaranya: kepiting, lobster, belut, kerang-kerangan, ikan air tawar, dst (Commission Regulation No.1832/2002 tanggal 1 Agustus 2002).
 
“Buktinya, hanya 35% produk impor perikanan yang masuk ke Eropa berupa ikan olahan atau memberikan nilai tambah bagi industri maupun pelaku perikanan di Tanah Air. Sedang sisanya merupakan produk non olahan. Bedahalnya dengan ekspor perikanan dari negara-negara Eropa seperti Inggris, Belanda, Perancis, Norwegia ke Indonesia yang sebagain besar diantaranya merupakan produk perikanan olahan, berupa: ikan belahan (fish fillet); minyak dan lemak ikan, bahan umpan dan pupuk (Sidatik, 2010). Kondisi perdagangan perikanan yang timpang tersebut diperparah lagi dengan kamuflase instrumen hijau semacam sertifikasi produk perikanan,” paparnya.
 

Beda Djuanda, SBY, dan Cicip

Kebijakan SBY berbeda dengan Deklarasi Djuanda.

Meski minim mendapat perhatian, penetapan 13 Desember sebagai Hari Nusantara layak digunakan sebagai momentum reflektif politik kelautan dan perikanan nasional.

Bermula dari Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957, Indonesia secara sepihak mengumumkan kepada dunia internasional bahwa Kepulauan Indonesia tidak dapat dipisahkan oleh laut. Harapannya ke depan, laut tidak hanya menjadi ruang juang, tapi sekaligus sebagai ruang hidup bangsa.

Pada 10 Desember 1982, melalui pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982), dunia pun mengakui Indonesia sebagai negara kepulauan. Oleh karena itu, sesuai Pasal 49 Ayat 2 UNCLOS 1982, Indonesia sewajarnya berdaulat untuk ruang udara di atas perairan kepulauan, dasar laut dan tanah di bawahnya, serta sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.

Ironinya, setelah 55 tahun pasca-dikumandangkannya Deklarasi Djuanda, kedaulatan kita di laut justru semakin tidak terasa.

Beda SBY

Mari kita tengok di Perairan Natuna, Kepulauan Riau. Kapal-kapal ikan berbendera Indonesia jamak menggunakan nakhoda dan pekerja asing. Bahkan, di antara mereka, ada yang mempekerjakan hingga 99 persen Anak Buah Kapal (ABK) asing dan hanya 1 persen ABK Indonesia. Karenanya, Indonesia terus merugi.

Setiap hari, ratusan palkah ikan yang ditangkap dari Perairan Natuna bebas didaratkan di Thailand maupun negara tetangga lain. Dengan begitu, kekayaan sumber daya perikanan nasional gagal dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Mengatasi hal tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Instruksi Presiden No 15 Tahun 2011 tentang Perlindungan terhadap Nelayan telah memberi perintah kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo; yakni untuk menindak tegas setiap pelaku penangkapan ikan secara melawan hukum, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (Illegal, Unreported, Unregulated Fishing) dan penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.

Anehnya, dengan sepengetahuan Menteri Cicip pula, di antara kapal-kapal yang melakukan tindak pidana perikanan, dibebaskan. Merasa mendapat perlindungan dari pejabat negara, kejahatan perikanan ini pun “menular dan menjamur” di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia (WPP).

Di hilir, investasi perikanan melonjak hingga 230 persen pada kurun tiga tahun terakhir. Sebanyak 99 persen di antaranya merupakan Penanaman Modal Asing.

Sayangnya untuk periode yang sama, industri pengolahan ikan hanya mampu menyediakan kurang dari 250.000 tenaga kerja. Di antara faktor penyebabnya adalah ekspor perikanan masih berupa produk non-olahan, menggunakan bahan baku impor, dan praktik transhipment.

Inilah industrialisasi perikanan ala Presiden SBY dan Menteri Cicip. Berseberangan dengan semangat Deklarasi Djuanda. Tidak justru menguatkan kedaulatan kita di laut dengan memaksimalkan modalitas sumber daya manusia dan sumber daya alam nasional. Sebaliknya, dengan mudah dan murah menyerahkan kedaulatan pengelolaan laut kita kepada asing dengan kedok Industrialisasi Perikanan.

Mengembalikan Kejayaan

Tepat di Hari Nusantara, 13 Desember lalu, Serikat Nelayan Teluk Palu menyelenggarakan Kongres V dengan tema “Melindungi Laut dengan Konsolidasi Nelayan”.

Dijelaskan, tema tersebut menjangkar pada pengalaman empirik keluarga nelayan; yakni setelah eksis satu dekade terakhir, nelayan yang tergabung dalam SNTP justru merasakan, peran pemerintah semakin tidak maksimal dalam melindungi sumber daya laut untuk (sebesar-besar) kesejahteraan nelayan maupun rakyat pada umumnya.

Ini ditandai dengan pembiaran penggunaan alat tangkap merusak, perluasan konversi (baca: reklamasi) ekosistem pesisir untuk kawasan perhotelan, perniagaan, dan permukiman mewah; maupun belakangan dengan maraknya kegiatan pertambangan di sepanjang pesisir dan pulau-pulau kecil.

Olehnya, wujud kecintaan terhadap Tanah Air (termasuk keluarga) harus dioperasionalkan dalam memperkuat organisasi nelayan. Secara sadar, langkah ini dimaksudkan untuk melengkapi upaya negara dalam membatasi atau bahkan menghentikan perluasan perampasan sumber daya kelautan dan perikanan (Ocean-grabbing) di Indonesia.

Sektor kelautan dan perikanan sepatutnya menjadi solusi berdaulat nan membanggakan. Menjembatani kesejahteraan bagi rakyat, dengan menghidupkan ekonomi kerakyatan, menyediakan lapangan pekerjaan, bahkan tempat tumbuh-kembangnya kebudayaan dan ilmu pengetahuan khas Indonesia. Bukan sebaliknya, menyuburkan kepentingan asing!

*Penulis adalah Sekretaris Jenderal KIARA; Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional (KNTI).

LSM: Penuhi Hak Konstitusional Nelayan Secara Konsisten

Jakarta, (ANTARA) – Koordinator Program Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Abdul Halim mengatakan pemerintah harus memenuhi hak konstitusional nelayan sebagai warga negara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 dan UU Nomor 27 Tahun 2007.
 
“Hormati dan lindungi nelayan sebagai negara sebagaimana tercantum di dalam UUD 1945 dan hak-hak khusus mereka seperti ditegaskan kembali oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Nomor 27 Tahun 2007 terhadap UUD 1945 secara konsisten serta konsekuen,” kata Abdul Halim yang dihubungi di Jakarta, Senin.
 
Menurut dia, upaya untuk memberikan jaminan kesejahteraan, kepastian, dan perlindungan hukum bagi nelayan masih jauh panggang dari api meski telah diterbitkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011.
 
Ia mengatakan sedikitnya di 11 kabupaten/kota nelayan tradisional dibiarkan berhadap-hadapan dengan praktek pelanggaran Pasal 35 huruf (i) UU Nomor 27 Tahun 2007 yakni melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan budaya menimbulkan kerusakan lingkungan serta merugikan Masyarakat sekitarnya.
“Hingga akhirnya berujung pada kriminalisasi nelayan,” kata dia.
 
Di sisi lain, lanjutnya, angka pencurian ikan di perairan Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Food and Agriculture Organization (FAO) memperkirakan kerugian yang diterima oleh Indonesia akibat praktek pencurian ikan mencapai Rp30 triliun, terdiri dari potensi ikan yang hilang.
 
“Kami memperkirakan pemerintah gagal memperoleh sedikitnya Rp50 triliun dari Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan, sebagaimana diatur di dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP),” ujar dia.
 
Ironisnya, kata dia, aparatur pemerintah justru ikut terlibat dalam upaya pelemahan penegakan hukum terhadap praktek pencurian ikan, di antaranya terjadi di Natuna, Kepulauan Riau.
“Tak hanya itu, aparat pemerintah juga ikut menghalang-halangi upaya pembuktian terjadinya tindak pidana perikanan di pengadilan yang tersebar di Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual,” ujarnya.
 
Karena itu, harus ada evaluasi kebijakan sektoral lintas kementerian yang bertolak belakang dengan amanah Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perlindungan Nelayan sebagai upaya untuk memberikan jaminan kesejahteraan, kepastian, dan perlindungan hukum bagi nelayan. (*/sun)

LSM: Penuhi Hak Konstitusional Nelayan Secara Konsisten

Jakarta, (ANTARA) – Koordinator Program Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Abdul Halim mengatakan pemerintah harus memenuhi hak konstitusional nelayan sebagai warga negara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 dan UU Nomor 27 Tahun 2007.
 
“Hormati dan lindungi nelayan sebagai negara sebagaimana tercantum di dalam UUD 1945 dan hak-hak khusus mereka seperti ditegaskan kembali oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Nomor 27 Tahun 2007 terhadap UUD 1945 secara konsisten serta konsekuen,” kata Abdul Halim yang dihubungi di Jakarta, Senin.
 
Menurut dia, upaya untuk memberikan jaminan kesejahteraan, kepastian, dan perlindungan hukum bagi nelayan masih jauh panggang dari api meski telah diterbitkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011.
 
Ia mengatakan sedikitnya di 11 kabupaten/kota nelayan tradisional dibiarkan berhadap-hadapan dengan praktek pelanggaran Pasal 35 huruf (i) UU Nomor 27 Tahun 2007 yakni melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan budaya menimbulkan kerusakan lingkungan serta merugikan Masyarakat sekitarnya.
“Hingga akhirnya berujung pada kriminalisasi nelayan,” kata dia.
 
Di sisi lain, lanjutnya, angka pencurian ikan di perairan Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Food and Agriculture Organization (FAO) memperkirakan kerugian yang diterima oleh Indonesia akibat praktek pencurian ikan mencapai Rp30 triliun, terdiri dari potensi ikan yang hilang.
 
“Kami memperkirakan pemerintah gagal memperoleh sedikitnya Rp50 triliun dari Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan, sebagaimana diatur di dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP),” ujar dia.
 
Ironisnya, kata dia, aparatur pemerintah justru ikut terlibat dalam upaya pelemahan penegakan hukum terhadap praktek pencurian ikan, di antaranya terjadi di Natuna, Kepulauan Riau.
“Tak hanya itu, aparat pemerintah juga ikut menghalang-halangi upaya pembuktian terjadinya tindak pidana perikanan di pengadilan yang tersebar di Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual,” ujarnya.
 
Karena itu, harus ada evaluasi kebijakan sektoral lintas kementerian yang bertolak belakang dengan amanah Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perlindungan Nelayan sebagai upaya untuk memberikan jaminan kesejahteraan, kepastian, dan perlindungan hukum bagi nelayan. (*/sun)