Macan Ompong Kelautan dan Perikanan
Evaluasi 2012 dan Proyeksi 2013
M.Riza Damanik
Sekretaris Jenderal KIARA
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono boleh jadi presiden pertama Indonesia yang berani mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Perlindungan Nelayan, Nomor 15 Tahun 2011. Namun di tangan Menteri Sharif Cicip Sutardjo, sepanjang 2012 Inpres itu hanya macan ompong. Selain gagal menghentikan impor ikan, nelayan asing juga dibiarkan menguasai kapal-kapal berbendera Indonesia.
Instruksi yang ditandatangani oleh Presiden SBY pada 22 November 2011 silam, memuat perintah kepada 18 menteri, pejabat setingkat menteri, termasuk para gubernur dan bupati/walikota di seluruh Indonesia. Meski secara subtansi perlu banyak pembenahan, keluarnya Inpres Perlindungan Nelayan seharusnya dapat mengawali upaya negara untuk melindungi keluarga nelayan secara lebih komprehensif.
Prestasi Buruk
Setidaknya ada lima tugas pokok yang bisa digunakan untuk mengukur kinerja sektor kelautan dan perikanan dibawah kepemimpinan Menteri Sharif Cicip Sutardjo.
Pertama, kepada Menteri Cicip, presiden memberi perintah untuk mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan. Pada kenyataannya, upaya untuk merevitalisasi 16 ribu hektar pertambakan udang Bumi Dipasena Lampung tidak dijalankan secara sungguh-sungguh.
Buktinya, bantuan pemerintah kepada para petambak berupa modal usaha dan bibit udang di 2012 justru “disunat” oleh dan untuk aparatur pemerintah. Demikian halnya, kebutuhan vital pertambakan berupa aliran listrik yang telah dijanjikan sejak 2011, tidak juga terealisasi. Alih-alih memberdayakan pertambakan udang Dipasena, Menteri Cicip justru larut dalam wacana (tidak berujung) revitalisasi tambak di sepanjang Pantai Utara Jawa. Akibatnya, hanya sekitar 6 ribu dari total 60 ribu ton potensi produksi udang Bumi Dipasena yang dapat di panen hingga akhir tahun 2012.
Kedua, Menteri Cicip juga ditugaskan untuk menjamin ketersediaan bahan baku ikan untuk kebutuhan industri pengolahan dan konsumsi ikan domestik. Tugas konstitusional ini juga gagal diemban secara mandiri dan berdaulat. Faktanya, baik untuk keperluan konsumsi maupun industri pengolahan, Indonesia masih bergantung pada ikan impor.
Data Badan Pusat Statistik hingga September 2012 menunjukkan, sedikitnya 40 produk asal ikan impor merupakan komoditas ikan yang dapat ditangkap dan dibudidayakan di Indonesia. Sebagian besar berupa produk ikan beku, segar, kering dan diasinkan, seperti udang, cumi-cumi, tuna, tongkol, lemuru, dan kerang. Merembesnya ikan-ikan impor ke pasar konsumsi telah menyebabkan ekonomi nelayan kian terpuruk dan terabaikannya perlindungan kesehatan bagi konsumen ikan Indonesia.
Ketiga, presiden memerintahkan Menteri Kelautan dan Perikanan untuk mendorong perluasan kesempatan kerja dibidang perikanan. Hal ini sejalan dengan kepentingan menurunkan angka pengangguran nasional yang jumlahnya masih pada kisaran 9 juta jiwa. Celakanya, Pak Menteri justru menentang perintah. Wacana melegalkan perluasan kesempatan kerja bagi tenaga kerja asing di kapal-kapal ikan berbendera Indonesia justru terjadi pada 2012.
Melalui revisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.14 Tahun 2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap Juncto Permen KP No.49 Tahun 2011 tentang Perubahannya, Menteri Cicip hendak meloloskan penggunaan Anak Buah Kapal (ABK) asing hingga 70 persen. Meski hingga saat ini revisi peraturan menteri tersebut belum ditandatangani. Praktik penggunaan ABK asing di kapal-kapal berbendera Indonesia jamak dijumpai sepanjang 2012.
Temuan KIARA pada Juli 2012 di Perairan Natuna Kepulauan Riau misalnya, kapal-kapal ikan eks asing menggunakan hingga 99 persen ABK asing dan hanya 1 persen ABK asal Indonesia. Salah satunya ditemukan pada kapal yang bernakhoda asal Thailand dengan sebanyak 40 orang dari 44 ABKnya adalah pekerja asing. Bahkan kapal-kapal yang berbendera Merah-Putih lainnya menggunakan 100 persen ABK asing asal Vietnam.
Jika saja penggunaan ABK asing di kapal-kapal eks asing bisa dihentikan, setidaknya pemerintah berpeluang menyediakan sedikitnya 50 ribu lapangan pekerjaan bagi ABK atau pelaut Indonesia. Hal yang sama di sektor pengolahan. Jika saja ekspor ikan hanya dilakukan setelah terpenuhinya kebutuhan domestik dan dalam bentuk produk olahan, maka setidaknya 20 hingga 30 persen dari total jumlah pengangguran nasional dapat dikurangi. Prestasi ini yang gagal dipersembahkan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Keempat, Menteri Cicip juga gagal menjalankan perintah presiden untuk menindak tegas setiap pelaku penangkapan ikan secara melawan hukum, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (Illegal, Unreported, Unregulated Fishing) dan penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Buktinya, atas sepengetahuan Menteri Cicip pula, kapal-kapal ikan yang ditangkap di Perairan Natuna atas dugaan melakukan tindak pidana perikanan—dibebaskan tanpa melalui proses hukum di Pengadilan Ad Hoc Perikanan.
Sudah barang tentu, selain merugikan ekonomi negara, bentuk intervensi hukum semacam ini telah menurunkan kewibawaan aparatur negara dan segenap intrumen hukum perikanan yang berlaku di wilayah Indonesia. Akibatnya, hukum yang seharusnya dapat berperan untuk “menakut-nakuti” dan memberikan “efek jera” kepada mereka yang berniat melakukan kejahatan perikanan, justru tidak dapat berfungsi maksimal.
Pengaruhnya dapat meluas kesegala bidang. Sebut saja pencurian ikan yang terus terjadi di sepanjang 2012. Atau, masih beroperasinya alat tangkap merusak sejenis trawl di Perairan Indonesia. Menurut Forum Komunikasi Nelayan Indonesia, sepanjang tahun 2012, kapal trawl yang beroperasi di perairan Asahan Sumatera Utara saja telah mencapai 300 armada. Demikian pula masih ditemukannya praktik penangkapan nelayan tradisional Indonesia asal Kabupaten Langkat Sumatera Utara oleh aparatur negara Malaysia di perairan perbatasan Indonesia-Malaysia.
Terakhir, program restrukturisasi armada kapal perikanan sampai dengan 60 GT, justru menjadi ajang penyelewengan yang merugikan para nelayan. Program bantuan seribu kapal yang diluncurkan oleh Presiden SBY untuk periode 2009-2014, belakangan lebih dikenal sebagai program korupsi seribu kapal.
Di Sumatera Utara, kapal-kapal yang diserahkan tahun 2012 terbukti tidak layak beroperasi. Ditandai dengan bahan baku kapal yang terbuat dari kayu sembarang, seperti kayu nangka dan mangga, maupun alat tangkap yang tidak sesuai spesifikasi. Karenanya, kapal-kapal tersebut ditaksir hanya menghabiskan biaya sekitar Rp 600 juta sampai Rp 700 juta dari total alokasi Rp 1,2 hingga Rp 1,5 milyar per unitnya. Ini pula yang menyebabkan diantara kapal-kapal bantuan tersebut sudah ada yang akan tenggelam atau bahkan tidak beroperasi selama setahun terakhir.
Lain lagi yang terjadi di Kalimantan Timur. Sejak proses produksi kapal hingga selesai, nelayan tidak sekalipun dilibatkan. Alhasil, kapal yang telah diserahterimakan tidak dapat dioperasikan oleh kelompok nelayan.
Persoalan lainnya adalah terkait aspek permodalan. Akibat minimnya modal usaha nelayan untuk mengoperasikan kapal-kapal bantuan berbobot mati lebih dari 30 GT, menyebabkan kelompok nelayan semakin bergantung kepada pemodal dan tengkulak. Kesemua persoalan ini dapat dengan mudah ditemukan di Kepulauan Riau, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Papua.
Mungkinkah 2013 Lebih baik?
Upaya serba minimalis dalam melindungi keluarga nelayan sepertinya belum akan terjawab pada waktu dekat. Apalagi, Undang-undang No.19 Tahun 2012 tentang APBN 2013 menunjukkan bahwa politik anggaran 2013 belum berpihak untuk membangkitkan sektor kelautan dan perikanan sebagai sumberdaya pangan strategis nasional, termasuk belum berkeinginan untuk melindungi nelayan.
Dalam hal subsidi Non Energi misalnya, APBN 2013 mengalokasikan sebesar Rp 16,2 triliyun untuk subsidi pupuk dan Rp 1,5 triliyun untuk subsidi benih. Keduanya disebut untuk membantu petani dan mendukung ketahanan pangan.
Demikian juga alokasi anggaran untuk penguatan ketahanan pangan. Meski naik sekitar 3 kali lipat dari Rp 23,3 triliyun pada 2007 menjadi Rp 63,2 triliyun di 2013, namun dana yang tersedia masih berkutat pada peningkatan produktivitas tanaman pangan terutama padi dan palawija.
Olehnya, Presiden SBY tidak boleh puas hanya dengan mengeluarkan Inpres Perlindungan Nelayan. Apalagi terbukti, sepanjang 2012 instruksi tersebut tidak pernah dilaksanakan para pembantunya. Instruksi tersebut tak ubahnya seperti “aturan-mati” (the death letter rules). Saatnya presiden hadir menjawab langsung berbagai persoalan yang dihadapi keluarga nelayan Indonesia.
Mulailah dengan mengevaluasi secara lebih mendalam berbagai dugaan penyimpangan penyelenggaraan program bantuan di sektor kelautan dan perikanan. Tidak terkecuali untuk Program Bantuan Seribu Kapal, Pengembangan Usaha Mina Pedesaan untuk Perikanan Tangkap dan Budidaya, Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat, Pembangunan Desa Tangguh Pesisir dan sejenisnya. Harapannya, sejalan dengan berkurangnya kebocoran anggaran negara dapat memberi stimulan terhadap peningkatan kapasitas ekonomi nelayan dan petambak Indonesia.
Di 2013, Presiden SBY juga harus memberi perhatian-lebih dalam penegakan hukum di laut. Dalam sejumlah temuan KIARA menunjukkan bahwa kerugian negara akibat rutinitas praktik pencurian ikan, transhipment, maupun penggunaan ABK asing di laut Indonesia jauh lebih besar daripada perampokan Bank Century ataupun Proyek Pembangunan Wisma Atlet Hambalang di Kabupaten Bogor Jawa Barat. Apalagi, pencurian ikan bukan sekedar urusan ekonomi. Tapi lebih dari itu, terkait tugas konstitusi negara dalam menjamin terpenuhinya kualitas dan kuantitas pangan-perikanan bagi segenap rakyat Indonesia.
Pun demikian, presiden harus “turun” untuk memastikan kebijakan impor ikan dan ekspor ikan non olahan tidak lagi menjadi pilihan kebijakan perdagangan Indonesia. Dengan begitu, revitalisasi peran dan fungsi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang telah berdiri dihampir seluruh wilayah kepulauan Indonesia—menjadi sebuah keharusan.
Disinilah kepemimpinan Presiden SBY diuji. Demi konstitusi dan keluarga nelayan, presiden harus berani melawan politik saling sandera dari partai-partai koalisi dan segera melakukan evaluasi menyeluruh guna mencegah kerugian yang lebih besar kedepannya. Hanya dengan begitu, instruksi Presiden SBY di 2013 tidak kembali dibajak untuk memiskinkan nelayan!
Sumber: Majalah Samudra I Edisi 117 I TH XI I Januari 2013