WTO Ancam Kedaulatan Pangan Indonesia

WTO Ancam Kedaulatan Pangan Indonesia

 

Kabar24.com, JAKARTA – Kekacauan pengelolaan pangan diperkirakan terjadi pasca Konferensi Tingkat Menteri WTO hasilkan kesepakatan.

LSM Indonesia for Global Justice menilai kesepakatan Paket Bali yang akan dibahas dalam Konferensi Tingkat Menteri ke-9 WTO di Bali, 3-6 Desember 2013, berpotensi mengancam kedaulatan pangan Indonesia.

“Kesepakatan Paket Bali dalam Pertemuan Konferensi Tingkat Menteri ke-9 WTO di Bali pada 3-9 Desember 2013 akan berdampak pada kekacauan pengelolaan pangan,” kata Direktur Eksekutif IGJ M Riza Damanik dalam keterangan tertulis, diterima Jumat 29 November 2013.

Menurut Riza, kedaulatan pangan yang bakal terancam bukan hanya di Indonesia tetapi di berbagai negara yang terdapat di kawasan Asia Tenggara.

Apalagi, ujar dia, proposal dari kelompok negara berkembang G33 untuk kepentingan keamanan pangan yang bertujuan untuk membolehkan peningkatan subsidi pertanian bagi negara berkembang telah gagal disepakati.

Ia berpendapat, kesepakatan WTO akan semakin membuat negara-negara Asean termasuk Indonesia mengalami lebih banyak lagi serbuan impor pangan.

Pada saat bersamaan, mayoritas negara Asean terus mengalami penurunan pertumbuhan produksi pangan utamanya seperti beras.

“Disebutkan sepanjang tahun 2007-2011 perlambatan tersebut mencapai minus 0,3 persen. Hal ini mengancam angka pengangguran di beberapa negara ASEAN, khususnya produsen besar beras, yang ditunjukan dengan penurunan angka penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian,” ujar Riza.

Untuk itu, Riza mendesak agar negara-negara Asean membangun sinergi dan soliditas untuk melindungi petani, nelayan dan pangan dari kesepakatan liberalisasi WTO.

Sebelumnya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Kiara, mendesak pemerintah Republik Indonesia untuk segera mengevaluasi keanggotaan di Organisasi Perdagangan Dunia WTO yang dinilai merugikan kepentingan nasional.

“Kiara mendesak kepada pemerintah Indonesia untuk mengevaluasi keanggotaan Indonesia di WTO yang justru merugikan rakyat, khususnya nelayan dan petambak,” kata Sekjen Kiara Abdul Halim di Jakarta, Rabu 27 November.

Menurut Abdul Halim, Konferensi Tingkat Menteri ke-9 WTO di Bali pada 3-6 Desember 2013 seharusnya menjadi forum untuk mengevaluasi keanggotaan Indonesia di WTO.

Ia berpendapat, pertemuan di Bali yang akan membahas tiga isu yaitu fasilitas perdagangan, perundingan pertanian, dan pembangunan untuk negara-negara berkembang dinilai akan menjadi wahana eksploitasi sumber daya perikanan dan sarana pemiskinan terhadap nelayan dan petambak Indonesia.

Kiara menyoroti skema WTO yang bersifat eksploitasi dan merugikan nelayan dalam negeri antara lain karena membahas pengurangan dukungan domestik yang dinilai dapat mendistorsi pasar serta pengurangan subsidi untuk komoditas ekspor.

“Dengan keterlibatan tersebut, pemerintah telah menjadikan Indonesia sebagai pasar produk negara lain,” ujarnya. (Antara)

Sumber: http://www.kabar24.com/nasional/read/20131129/63/205715/wto-ancam-kedaulatan-pangan-indonesia

Pertemuan Rakyat VS Pertemuan WTO di Bali 2013

Lembar Informasi

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

Pertemuan Rakyat VS Pertemuan WTO di Bali 2013

 

Jakarta, 2 Desember 2013, Pada tanggal 3-6 Desember 2013, perhatian masyarakat dunia akan terfokus pada Konferensi Tingkat Menteri ke-9 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Pertemuan yang akan diikuti oleh 159 negara ini dimaksudkan untuk menghidupkan kembali dan memperluas sistem perdagangan bebas di bawah rezim WTO.

Dalam kegiatan tersebut terdapat 3 proposal atau dikenal dengan istilah Paket Bali  yang akan menjadi pembahasan utama, yaitu (1) fasilitas perdagangan; (2) beberapa elemen isu perundingan pertanian, seperti ketahanan pangan, kompetisi perdagangan dan kuota tarif; dan (3) pembangunan untuk negara-negara kurang berkembang (LDCs).

Pertemuan ini tentu akan menjadi ancaman serius bagi rakyat Indonesia. Dengan skema perdagangan bebas, eksploitasi sumber daya ikan dan pemiskinan terhadap nelayan dan petambak akan terus meningkat. Sebagai contoh, dalam lampiran 1 Kesepakatan tentang Pertanian WTO menyebut adanya 24 produk perikanan yang akan masuk dalam pengaturan mekanisme perdagangan bebas, di antaranya penghapusan bea masuk dan kemudahan ekspor-impor.

Padahal sebelum adanya pemberlakukan perdagangan bebas telah terjadi ketidakadilan dan ketimpangan yang mengakibatkan semakin sengsaranya nelayan. Pusat Data dan Informasi KIARA (2013) mendapati bahwa meski neraca perdagangan komoditas perikanan Indonesia dari tahun 2008-2012 surplus, namun kecenderungan meningkatnya nilai impor terus terjadi hingga sebesar 54 persen. Impor ikan yang meningkat tajam akhirnya merembes ke pasaran dan mengancam kesehatan masyarakat konsumen ikan dan menjadi sarana pemiskinan pelaku perikanan tradisional Indonesia. Di samping itu, asing justru mendominasi realisasi nilai investasi sektor perikanan dari tahun 2009-2012 dengan kenaikan rata-rata sebesar 133 persen. Dengan adanya pemberlakuan skema perdagangan bebas maka nelayan, petani maupun buruh di Indonesia akan semakin terpinggirkan.

Atas fakta tersebut, KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) memberikan rekomendasi kepada pemerintah Indoensia untuk: pertama, mengevaluasi keanggotaan Indonesia di WTO yang justru merugikan rakyat, khususnya nelayan dan petambak; kedua, memastikan terpenuhinya hak-hak dasar nelayan dan petambak demi kesejahteraan kehidupan keluarga mereka; dan ketiga, mengikutsertakan nelayan dan petambak dalam perumusan dan pembuatan kebijakan-kebijakan yang menyangkut hajat hidup mereka, baik di level lokal, nasional, regional dan internasional.

Bersamaan dengan pertemuan Konferensi Tingkat Menteri ke-9 WTO, KIARA bersama Southeast Asia Fisheries for Justice Network (SEAFish), sebuah jaringan kedaulatan perikanan di Asia Tenggara, akan menggelar workshop mengenai Perikanan dan Perdagangan Bebas pada tanggal 3-5 Desember 2013 bertempat di Hotel Fave Seminyak, Bali.

Selain itu, KIARA yang tergabung di dalam Gerakan Rakyat Lawan Neokolonialisme (Gerak Lawan) yaitu koalisi dari berbagai organisasi masyarakat sipil lintas sektor dan isu akan menggelar berbagai kegiatan. KIARA bersama dengan Gerak Lawan akan menggelar Peoples’ Tribunal (Pengadilan Rakyat) terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan transnasional dalam skema perdagangan bebas dan difasilitasi oleh WTO. Peoples’ Tribunal akan mengadili kejahatan perdagangan udang dan Charoen Phokpand yang telah membuat 7.512 petambak berserta keluarganya menderita dan dilanggar HAM-nya. Pengadilan rakyat akan dilakukan pada tanggal 4 Desember 2013 di Stadion Yowana Mandala (GOR Yowana Mandala), Jl. Trengguli I, Tembau, Denpasar Bali.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Bali

Nafiah Faiz, Ketua P3UW Lampung

di + 62 812 7934 5550

Iing Rohimin, KOMPI Indramayu Jawa Barat

di + 62 812 234 0017

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259

Susan Herawati, Koordinator Monitoring, Evaluasi dan Penggalangan Dana KIARA

di + 62 821 1172 7050

Ahmad Marthin Hadiwinata, Koordinator Advokasi Hukum dan Kebijakan KIARA

Di + 62 812 8603 0453

 

Jakarta

Selamet Daroyni, Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan KIARA

Di +62 821 1068 3102

Ning Swatama Putridhanti, Koordinator Pengelolaan Pengetahuan KIARA

di +62 878 8172 1954