Tri Ismuyati: Memulai Kebaikan, Menuai Pengakuan

Mbak TriPasir Bandungharjo tetap berwarna hitam, perahu-perahu nelayan pun masih bersandar tanpa berani melaut. Cuaca ekstrem telah memperburuk kondisi nelayan. Dalam satu tahun terakhir, nelayan Bandungharjo hanya melaut kurang dari 30 hari. Untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, nelayan Bandungharjo terpaksa mencari pinjaman.
Kondisi ini tak menghalangi beberapa nelayan untuk nekat melaut, dengan resiko hilang dan meninggal dunia di laut. Tanpa perlindungan, nelayan Bandungharjo berjuang memenuhi kebutuhan pangan keluarga dan berkotribusi sebagai penyedia protein bangsa.

Tambang Pasir Besi: Perusak Pesisir

Ironisnya, kondisi nelayan Bandungharjo kian rumit akibat dari tambang pasir besi yang terus dilakukan hingga hari ini. Sebanyak 250 Kepala Keluarga yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan hidup dalam kondisi terpuruk di Desa Bandungharjo. Meski demikian, para nelayan pantang menyerah dan mereka terus melawan tambang pasir besir yang semakin mengancam kehidupan dan kesejahteraan nelayan.

Menariknya di tengah kumpulan para pejuang laki-laki, ada seorang perempuan sederhana yang setia mengikuti pertemuan-pertemuan dan turut berkontribusi dalam aksi penolakan tambang pasir di Jepara. Tri Ismuyati namnya. Usianya 34 tahun dan ia kerap disapa Mbak Tri.

Mbak Tri tidak hanya terlibat aktif dalam upaya melawan aktivitas pertambangan pasir besi di pesisir Bandungharjo, tetapi juga berjuang untuk kesejahteraan kaum perempuan nelayan. Sorot matanya merekam sejarah kekerasan yang terus berulang dan dilakukan oleh Negara: pemberian izin tambang di wilayah pesisir.  Mbak Tri menatap laut, pasirnya masih sama hitam seperti ketika ia lahir. Namun, takdir alam tidak pernah sama. Tambang pasir besi menggerus isi laut. Kini, laut sudah tidak lagi biru.

“Kita dikasih rezeki oleh Tuhan YME, laut yang kaya. Apa ndak cukup ikan di laut kita ini sampai pasirnya pun mau dikeruk habis?” tanya Mbak Tri sembari tersenyum.

Nelayan yang menggantungkan kebutuhan mereka di laut pun berdiri di tengah pusaran konflik sumber daya alam yang tidak pernah usai.

“Kalau semua orang merasa ingin dan mau, siapa yang bisa bilang berhenti untuk semua keinginan itu. Lah saya bingung jadinya,” imbuh Mbak Tri.

Kelompok Udang Sari

Melihat potret kemiskinan  yang kian menjadi, Mbak Tri menginisiasi pembentukan kelompok Persatuan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) Udang Sari Jepara yang beranggotakan 30 orang perempuan atau istri nelayan. Melalui kelompok ini, Mbak Tri menggerakkan upaya ekonomi alternatif melalui panganan lokal berbahan hasil laut. Inilah bentuk perjuangan Mbak Tri, tanpa melepas hakikatnnya sebagai perempuan, istri dan ibu dari anak-anaknya.

Mbak Tri terus mengembangkan jiwa perjuangannya. Alam pikirannya menantangnya untuk terus berjuang. Karena “jika sekadar hidup, babi di hutan pun hidup”, ujarnya mengutip ungkapan Buya Hamka.

Bukan sekadar terbelenggu oleh budaya patriarki, pada awal perjuangannya Mbak Tri kerap terjebak di tengah ketidaktahuannya. Sering kali ia merasakan kebingungan dari mana hendak memulai aktivitas yang dapat membantu perekonomian keluarga nelayan Jepara. Namun, konflik dan masalah yang terus terjadi memaksa Mbak Tri melihat dan belajar.

Berawal dari pertemuan Mbak Tri dengan PPNI Demak yang diketuai oleh Masnuah, telah membuat Mbak Tri terbuka hatinya. Ia sadar setiap piring yang disajikan dalam rumah nelayan ada tetes keringat perempuan nelayan. Mbak Tri tidak melawan arus dengan memaksa untuk sejajar dengan laki-laki, tetapi ia menyandarkan perjuangannya melalui 1 kata: adil.

Panganan Pesisir

Mengikuti banyak pertemuan perempuan nelayan bersama dengan Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Mbak Tri semakin percaya perempuan nelayan pun bisa melakukan banyak hal. Bersama dengan kelompoknya, Mbak Tri mulai mengkreasikan berbagai panganan pesisir dan laut, seperti Abon Ikan Krispi, Udang Krispi, Ikan Telur Gabus, dan Keripik Kulit Ikan Stik.

Kini, kelompok perempuan nelayan Mbak Tri mulai dikenal oleh Dinas Perikanan Kelautan dan Perikanan. Bukan hanya itu, pada November 2013, warga Bandungharjo menerima bantuan beras sebanyak 5 ton untuk menghadapi masa paceklik atau petengan.

Perjuangan perempuan nelayan di Jepara baru memasuki tahap awal, namun inisiatif memperbaiki kehidupan semakin terlihat. Dimulai dari hal sederhana, dengan harapan akan menjadi hal yang luar biasa. Kini, Mbak Tri masih sama melihat pasir hitam di laut Jepara. Namun, matanya tidak hanya tertuju pada alat-alat besar pertambangan, ia memandang jauh ke depan: kesejahteraan keluarga nelayan.*** (SH)