Jelang Pemilu 2014 Utang Negara Bertambah dengan Proyek Coremap Menteri Kelautan dan Perikanan

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Menjelang pelaksanaan Pemilu 2014 Menteri Kelautan dan Perikanan malah menambah beban keuangan negara dan pemerintahan baru 2014-2019 mendatang. Hari ini, Kamis (1/4), Menteri KKP meloloskan permohonan utang sebesar US$47,38 juta atau setara dengan Rp534,16 miliar untuk program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (Coremap-CTI) untuk lima tahun mendatang. Utang sebesar itu akan diperoleh dari Bank Dunia. Selebihnya proyek itu akan didanai dari hibah Global Environmental Facility (GEF) sebesar US$10 juta dan US$5,74 juta yang dibebankan kepada APBN.Diloloskannya permohonan utang sebesar itu dikritik keras Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim. Menurut Halim berkaca dari tiga fase Coremap sebelumnya, seharusnya proyek berbasis utang luar negeri ini dihentikan. Alasannya selain tidak ada perubahan membaiknya terumbu karang sebagaimana dilaporkan BPK, proyek ini membebani keuangan Negara dan terjadi banyak penyimpangan. “Dari temuan BPK sudah mengindikasikan adanya tindak pidana korupsi,” kata Halim kepada Gresnews.com, Selasa (1/4).

Halim khawatir proyek kementerian kelautan itu hanya akan menumpuk utang luar negeri pemerintah dan membebani keuangan negara. Sebelumnya, KIARA juga melansir data utang-utang luar negeri yang timbul dari pinjaman proyek ini. Pada periode 2004-2011 utang luar negeri untuk program Coremap II mencapai lebih dari Rp1,3 triliun, sebagian besarnya bersumber dari utang luar negeri Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB).

Pemerintah AS juga memberikan bantuan hibah kepada Indonesia senilai US$23 juta atau Rp235,4 miliar. Rencananya, dana hibah diberikan dalam jangka waktu empat tahun yang terdiri dari kawasan konservasi senilai USS$6 juta dan penguatan industriliasasi perikanan senilai US$17 juta.

Ironisnya dalam pelaksanaan program konservasi terumbu karang justru terbukti gagal dan terjadi kebocoran dana yang cukup besar. Berdasarkan Laporan BPK tahun 2013, penyelewengan dana COREMAP II mencapai sebesar Rp11,4 miliar. Kebocoran itu berasal setidaknya dari lima indikator.

Pertama dari sisi desain dan pelaksanaan program seperti program mata pencaharian alternatif (MPA), dana bergulir (seed fund), pembangunan dan pemanfaatan prasarana sosial belum seluruhnya sesuai dengan desain yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat pesisir.

Kedua, BPK mengeluarkan hasil audit terhadap indikator kondisi biofisik yang meliputi terumbu karang dan tutupan karang hidup yang dibandingkan dengan kondisi setelah akhir program. Hasilnya kondisi terumbu karang tidak mengalami perubahan signifikan atau cenderung mengalami penurunan dibandingkan kondisi awal (baseline). Ketiga, pelaksanaan COREMAP II pada beberapa kabupaten tidak memiliki dampak yang signifikan atas peningkatan kelestarian terumbu karang dan kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah tersebut.

Keempat, pengelolaan dana bergulir (seed fund) dilakukan tidak berdasarkan prinsip akuntabilitas dan pertanggungjawaban yang semestinya. Kelima, pengawasan dan evaluasi pelaksanaan atas penggunaan dan pelaporan dana bergulir tidak dapat dipakai sebagai ukuran atas pencapaian program tersebut. Keenam, penggunaan dan pelaporan dana bergulir tidak efektif, tidak optimal dan banyak penyimpangan.

KIARA sendiri menemukan praktik konservasi laut juga telah memberikan dampak negatif terhadap masyarakat nelayan tradisional. KIARA mendapati sedikitnya 20 orang nelayan tradisional meninggal dunia dan hilang di laut akibat tertembak peluru tajam oleh aparat keamanan di kawasan konservasi laut sejak 1980-2012 akibat terjadi konflik baik vertikal maupun horisontal.

Sudah terbukti gagal nyatanya, kata Halim, pemerintah dalam hal ini pihak KKP malah ingin melanjutkan proyek COREMAP III periode 2014-2019. Padahal, kata Halim, uang sebesar itu bisa dimanfaatkan untuk membangun sedikitnya 1.200 rumah layak huni bagi nelayan. Karena itu KIARA mendesak agar KKP dan LIPI mengembalikan proyek utang ini. “Lebih baik mengedepankan pengelolaan ekosistem laut kepada masyarakat dan pemerintah daerah setempat berbasis kearifan lokal yang sudah mereka jalani secara turun-temurun,” kata Halim.

Pihak KKP sendiri beralasan program ini justru akan memberikan dampak positif bagi nelayan. Beberapa waktu lalu Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil KKP Toni Ruchimat mengatakan dilanjutkannya program Coremap merupakan bentuk keberhasilan dua program serupa. “Coremap III tahun ini adalah fase pelembagaan,” kata Toni.

Pihak LIPI sendiri terlibat dalam melakukan monitoring. Hasilnya secara umum indikator biofisik yang dicapai program Coremap II meningkat. Data tersebut menyatakan bahwa terjadi peningkatan tutupan karang hidup sebesar 71 persen. Sementara, di Daerah Perlindungan Laut (DPL) terjadi peningkatan sebesar 57 persen. Untuk populasi ikan karang, rata-rata mengalami peningkatan sebesar 3 persen di setiap lokasi.

Dari sisi indikator sosial ekonomi, berdasarkan hasil Implementation Completion Report (ICR) Coremap II, wilayah-wilayah program Coremap telah menunjukan hasil yang memuaskan, terhadap pentingnya konservasi ekosistem terumbu karang. Ini terlihat dari capaian indikator public awareness sebesar 75 persen melebihi 70 persen yang ditargetkan.

Toni mengakui ada sebagain kecil alternatif usaha yang dikembangkan mengalami kemacetan dan berhenti produksi. Namun, kata dia, itu lebih disebabkan oleh minimnya pengetahuan teknis usaha yang dikembangkan.

Coremap sendiri adalah program jangka panjang yang diprakarsai oleh pemerintah Indonesia dengan tujuan untuk melindungi, merehabilitasi, dan mengelola pemanfaatan secara lestari terumbu karang serta ekosistem terkait di Indonesia. Program ini dibagi dalam tiga tahap.

Tahap I adalah tahap inisiasi yang dijalankan sejak tahun 1998-2004. Tahap II adalah tahap akselerasi (2004-2009) untuk menetapkan sistem pengelolaan terumbu karang yang andal di daerah-daerah prioritas. Tahap III (2010-2013) untuk menetapkan sistem pengelolaan terumbu karang yang andal dan operasional, dengan pelaksanaan terdesentralisasi, dan telah melembaga.

Reporter : –
Redaktur : Muhammad Agung Riyadi

Sumber: http://www.gresnews.com/mobile/berita/politik/18014-jelang-pemilu-2014-utang-negara-bertambah-dengan-proyek-coremap-menteri-kelautan-dan-perikanan

Kiara kritisi pengelolaan terumbu karang

JAKARTA (WIN): Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengkritik program Coremap-CTI yang merupakan program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang di Indonesia karena dinilai akan menambah utang bagi negara.

“Jelang Pemilu 2014, utang negara bertambah dengan proyek Coremap-CTI,” kata Sekretaris Jenderal Kiara, Abdil Halim di Jakarta, Selasa.

Menurut Abdul Halim, proyek Coremap-CTI membebani keuangan negara dengan meloloskan permohonan anggaran sebesar 47,38 juta dolar AS yang diperoleh dari Bank Dunia.

Ia mengemukakan, berkaca dari tiga fase Coremap-CTI sebelumnya, program itu semestinya dihentikan karena tidak ada perubahan membaiknya terumbu karang.

Sebaliknya, ujar dia, proyek tersebut dinilai membebani keuangan negara dan terjadi banyak penyimpangan sebagaimana dilaporkan temuan BPK.

Sebagaimana diketahui, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) telah mengeluarkan hasil audit terhadap indikator kondisi biofisik yang meliputi terumbu karang dan tutupan karang hidup yang dibandingkan dengan kondisi setelah akhir program tidak mengalami perubahan signifikan atau cenderung menurun.

Dengan kata lain, pelaksanaan Coremap pada beberapa kabupaten dinilai tidak memiliki dampak yang signifikan atas peningkatan kelestarian terumbu karang dan kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah Coremap.

Selain itu, lanjutnya, pengelolaan dana bergulir dinilai tidak berdasarkan prinsip akuntabilitas dan pertanggungjawaban yang semestinya, serta penggunaan dan pelaporan dana bergulir tidak efektif, tidak optimal dan banyak penyimpangan.

“Dengan menghentikan proyek hutang tersebut, anggaran negara sebesar 5,74 juta dolar AS atau setara dengan Rp64,71 miliar yang dialokasikan untuk `co-financing` dapat dimanfaatkan untuk membangun sedikitnya 1.200 rumah yang layak dan sehat bagi masyarakat nelayan,” kata Halim.

Untuk itu, Kiara mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai institusi pelaksana untuk menghentikan proyek itu.

Ke depannya, lanjutnya, seharusnya lebih dikedepankan pengelolaan ekosistem laut kepada masyarakat dan pemerintah daerah setempat yang berbasis kearifan lokal. (an/win15)

http://whatindonews.com/id/post/21147/kiara_kritisi_pengelolaan_terumbu_karang

KIARA: Jelang Pemilu 2014, Utang Negara Bertambah dengan Proyek COREMAP-CTI

Jakarta, GATRAnews – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), sebuah organisasi non laba menuding ada proyek Kementerian Kelautan dan Perikanan yang membebani keuangan Negara dan Pemerintahan Baru 2014-2019 dengan meloloskan permohonan hutang sebesar US$ 47,38 juta atau setara dengan Rp. 534,162 Miliar. Proyek yang dimaksud antara lain proyek COREMAP-CTI (Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang) tahun 2014-2019. Nilai hutang tersebut diperoleh dari Bank Dunia. Selebihnya didanai dari hibah GEF (Global Environmental Facility) sebesar US$ 10 juta dan US$ 5,74 juta yang dibebankan kepada APBN.

 “Berkaca dari 3 fase COREMAP sebelumnya, sudah semestinya proyek hutang ini dihentikan. Selain tidak ada perubahan membaiknya terumbu karang sebagaimana dilaporkan BPK, proyek ini membebani keuangan Negara dan terjadi banyak penyimpangan. Dari temuan BPK sudah mengindikasikan adanya tindak pidana korupsi.” tutur Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA, kepada wartawan, Selasa (1/4). Dalam dokumen berkode P127813 yang dipublikasikan oleh Bank Dunia, disebutkan bahwa Pemerintah Indonesia mengajukan proyek hutang yang dinamai Coral Reef Rehabilitation and Management Program-Coral Triangle Initiative (COREMAP-CTI).

Proyek ini mendapat persetujuan Bank Dunia pada tanggal 21 Februari 2014 dan akan berakhir pada tahun 2019. Proyek hutang ini merupakan kelanjutan dari proyek serupa sebelumnya yang dibagi ke dalam tiga tahapan: fase inisiasi (1998-2001), fase akselerasi (2011-2007), dan fase institusionalisasi (2007-2013).

Padahal, menurut Halim, ada sejumlah fakta yang harus diwaspadai lebih dulu. “Setidaknya itu dilaporkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan pada Januari 2012,” tutur Halim.

Fakta-fakta itu di antaranya:

Pertama, desain dan pelaksanaan kegiatan pengelolaan terumbu karang melalui program COREMAP II, antara lain mata pencaharian alternatif (MPA), dana bergulir (seed fund), pembangunan dan pemanfaatan prasarana sosial belum seluruhnya sesuai dengan desain yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat pesisir.

Kedua, BPK RI mengeluarkan hasil audit terhadap indikator kondisi biofisik yang meliputi terumbu karang dan tutupan karang hidup yang dibandingkan dengan kondisi setelah akhir program tidak mengalami perubahan signifikan atau cenderung mengalami penurunan dibandingkan kondisi awal (baseline).

Ketiga, pelaksanaan COREMAP II pada beberapa kabupaten tidak memiliki dampak yang signifikan atas peningkatan kelestarian terumbu karang dan kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah COREMAP II.

Keempat, pengelolaan dana bergulir (seed fund) tidak berdasarkan prinsip akuntabilitas dan pertanggungjawaban yang semestinya;

Kelima, pengawasan dan evaluasi pelaksanaan atas penggunaan dan pelaporan dana bergulir tidak dapat dipakai sebagai ukuran atas pencapaian program tersebut.

Keenam, penggunaan dan pelaporan dana bergulir tidak efektif, tidak optimal dan banyak penyimpangan.

“Dengan menghentikan proyek hutang tersebut, anggaran Negara sebesar US$ 5,74 juta atau setara dengan Rp. 64,712 Miliar yang dialokasikan untuk co-financing dapat dimanfaatkan untuk membangun sedikitnya 1.200 rumah yang layak dan sehat bagi masyarakat nelayan,” tambah Halim.

Atas dasar itulah, “KIARA mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai institusi pelaksana untuk menghentikan dan mengembalikan proyek hutang ini, serta mengedepankan pengelolaan ekosistem laut kepada masyarakat dan pemerintah daerah setempat berbasis kearifan lokal yang sudah mereka jalani secara turun-temurun,” tutup Halim. (NHi)

http://www.gatra.com/ekonomi-1/50019-kiara-jelang-pemilu-2014,-utang-negara-bertambah-dengan-proyek-coremap-cti.html

Jelang Pemilu 2014, Menteri Kelautan dan Perikanan Tambah Hutang Negara

beritabatavia.com – Jelang Pemilu 2014, Menteri Kelautan dan Perikanan kembali membebani keuangan Negara dan Pemerintahan Baru 2014-2019 dengan meloloskan permohonan hutang sebesar US$ 47,38 juta atau setara dengan Rp. 534,162 Miliar untuk proyek COREMAP-CTI (Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang) tahun 2014-2019.

“Nilai hutang tersebut diperoleh dari Bank Dunia. Selebihnya didanai dari hibah GEF (Global Environmental Facility) sebesar US$ 10 juta dan US$ 5,74 juta yang dibebankan kepada APBN,” papar Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) di Jakarta, Selasa (1/4).

Berkaca dari 3 fase COREMAP sebelumnya, sambung Halim, semestinya proyek hutang ini dihentikan. Selain tidak ada perubahan membaiknya terumbu karang sebagaimana dilaporkan BPK, proyek ini membebani keuangan Negara dan terjadi banyak penyimpangan. Dari temuan BPK sudah mengindikasikan adanya tindak pidana korupsi.

Menurutnya, dalam dokumen berkode P127813 yang dipublikasikan oleh Bank Dunia, disebutkan bahwa Pemerintah Indonesia mengajukan proyek hutang yang dinamai Coral Reef Rehabilitation and Management Program-Coral Triangle Initiative (COREMAP-CTI).

Proyek ini mendapat persetujuan Bank Dunia pada tanggal 21 Februari 2014 dan akan berakhir pada tahun 2019. Proyek hutang ini merupakan kelanjutan  dari proyek serupa sebelumnya yang dibagi ke dalam tiga tahapan: fase inisiasi (1998-2001), fase akselerasi (2011-2007), dan fase institusionalisasi (2007-2013).

Dikatakan, Badan Pemeriksa Keuangan (Januari 2012) menemukan fakta-fakta, di antaranya: pertama, desain dan pelaksanaan kegiatan pengelolaan terumbu karang melalui program COREMAP II, antara lain mata pencaharian alternatif (MPA), dana bergulir (seed fund), pembangunan dan pemanfaatan prasarana sosial belum seluruhnya sesuai dengan desain yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat pesisir.

Kedua, BPK RI mengeluarkan hasil audit terhadap indikator kondisi biofisik yang meliputi terumbu karang dan tutupan karang hidup yang dibandingkan dengan kondisi setelah akhir program tidak mengalami perubahan signifikan atau cenderung mengalami penurunan dibandingkan kondisi awal (baseline).

Ketiga, pelaksanaan COREMAP II pada beberapa kabupaten tidak memiliki dampak yang signifikan atas peningkatan kelestarian terumbu karang dan kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah COREMAP II.

Keempat, pengelolaan dana bergulir (seed fund) tidak berdasarkan prinsip akuntabilitas dan pertanggungjawaban yang semestinya; kelima, pengawasan dan evaluasi pelaksanaan atas penggunaan dan pelaporan dana bergulir tidak dapat dipakai sebagai ukuran atas pencapaian program tersebut; dan keenam, penggunaan dan pelaporan dana bergulir tidak efektif, tidak optimal dan banyak penyimpangan.

“Dengan menghentikan proyek hutang tersebut, anggaran Negara sebesar US$ 5,74 juta atau setara dengan Rp. 64,712 Miliar yang dialokasikan untuk co-financing dapat dimanfaatkan untuk membangun sedikitnya 1.200 rumah yang layak dan sehat bagi masyarakat nelayan,” tambah Halim.

KIARA mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai institusi pelaksana untuk menghentikan dan mengembalikan proyek hutang ini, serta mengedepankan pengelolaan ekosistem laut kepada masyarakat dan pemerintah daerah setempat berbasis kearifan lokal yang sudah mereka jalani secara turun-temurun,” tutup Halim. o ndy

http://www.beritabatavia.com/detail/2014/04/01/11/20372/jelang.pemilu.2014.menteri.kelautan.dan.perikanan.tambah.hutang.negara#.Uz0Pe_l_tDB