Capres-Cawapres Belum Ada Yang Fokus Isu Kedaulatan Pangan

Capres-Cawapres Belum Ada Yang Fokus Isu Kedaulatan Pangan

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Dari berlembar-lembar visi dan misi yang sudah diuraikan para capres-cawapres baik pasangan Jokowi-JK maupun Prabowo-Hatta, dinilai beluma ada yang menfokuskan perhatiannya kepada isu kedaulayan pangan.

Meski Jokowi dan Prabowo sudah menyunggung soal lahan pertanian, pasar dan perlindungan pangan, namun hal itu hanya dibahas secara general dan tidak terfokus pada subyek yang harus dibenahi.

“Jika kita mau membenahi pangan, yang harus dibenahi terlebih dulu bukan jumlah produksinya tapi budaya petani dan nelayannya,” ujar Said Abdullah, Koordinator Pokja Beras Aliansi Desa Sejahtera (ADS) kepada Gresnews.com, Jumat (30/5).

Ia menilai para capres hanya memikirkan hitung-hitungan ekonomi saja bukan berfokus untuk membangun budaya agrikultur. Said melihat, dalam program kerja Prabowo sesungguhnya ada yang menarik yang bisa dicermati, yakni mewujudkan perdagangan yang adil dengan mengatur stok harga. “Namun, lagi-lagi tidak jelas bagaimana dia mengaturnya, dengan cara apa?” ujarnya.

Tak beda dengan Prabowo, Jokowi pun sama saja. Jokowi misalnya menyinggung masalah pembangunan irigasi. Namun Jokowi tak menyebutkan berapa volumenya. Bahkan visinya mencetak sawah 25 juta ha per tahun dinilai tidak rasional. “Era SBY saja yang cuma lima ribu per tahun tidak kesampaian kok,” katanya.

Sementara itu Koordinator Pojka Sawit ADS Achmad Surambo mengatakan, visi para capres soal kedaulatan pangan hanyalah visi-misi banyak ide namun miskin strategi. “Mereka malah memberikan peluang pada pemilik modal, baik pengusaha pangan maupun pengebun besar. Yang ada malah peningkatan buruh-buruh,” ujarnya kepada Gresnews.com.

Hal itu ditunjukan salah satunya dalam visi Prabowo yang mencanangkan menambah lahan pangan dua juta untuk sawah dan dua juta untuk biodiesel dengan jumlah pekerja dua belas juta orang melalui MP3EI. “Nah, ini kan menempatkan petani sebagai pekerja bukan pengelola pangan,” ucapnya.

Demikian pula dengan Jokowi yang menjanjikan land reform sembilan juta hektare yaitu masing-masing seluas dua hektare bagi delapan belas juta petani gurem. Sisanya masing-masing satu juta hektare untuk pencetakan sawah baru dan pemberdayaan lahan kering. “Inikan mau pakai lahan siapa?” kata Rambo.

Visi-misi kedua capres untuk mengubah situasi pangan ke depan untuk mewujudkan kedaulatan pangan sangat penting dipertanyakan. “Bagaimana mau mewujudkan kedaulatan pangan jika tak ada yang bicara tentang subsidi, asuransi, dan juga daulat benih. Sementara impor pangan dan perjanjian intetrnasional terkakit lemahnya sistem pangan kita masih dianggap keharusan,” kata Said.

Koordinator Nasional ADS Tejo Wahyu Jatmiko mengatakan dengan tegas bahwa Indonesia hanya butuh pemimpin yang berani memimpin langsung kedaulatan pangan. “Visi misi kan sudah tersusun di undang-undang, jadi tinggal jalani saja, jangan hanya bicara,” ujarnya.

Tejo mengatakan, ada tujuh langkah strategis yang dapat dilakukan untuk menciptakan kedaulatan pangan yang intinya menyasar pada petani kecil dan nelayan tradisional. Pertama, mengembalikan kemampuan produsen pangan skala kecil dengan menata sumber agraria.

Kedua, meningkatkan investasi publik untuk pangan. Ketiga, melindungi pasar lokal dari liberalisasi pangan. Keempat, menghentikan pemberian lahan kepada pengusaha besar dan tidak melakukan konversi lahan pangan. Kelima, memperbaiki tata kelola pangan nasional. Keenam melakukan diversifikasi pangan sesuai potensi lokal. Ketujuh pemanfaatan teknologi yang dapat dikuasai oleh penghasil pangan skala kecil.

Untuk visi kelautan, Ketua Pokja Perikanan ADS Abdul Halim mengatakan ada kesalahan visi yang diusung Jokowi yaitu ingin membuat Kawasan Konservasi Perairan menjadi 17 juta ha dan tambahan 700 ha lahan konservasi. Dengan membuat kawasan konservasi laut menjadi bertambah luas, kata Halim, otomatis tidak boleh digunakan sebagai area tangkap bagi nelayan khususnya nelayan tradisional.

Dan program semacam ini, kata Halim tidak akan bisa memberikan kontribusi terhadap target produksi ikan sebesar 40-50 juta ton. “Jangan malah seperti tidak baca buku sejarah, mau menetapkan kawasan konservasi perairan menjadi 17 juta hektare dan tambahan 700 hektare lahan konservasi, ini kan malah membatasi kontribusi nelayan tradisional,” ujar Halim.

Reporter : Aditya Widya Putri

Redaktur : Muhammad Agung Riyadi

Sumber: http://www.gresnews.com/berita/politik/170305-capres-cawapres-belum-ada-yang-fokus-isu-kedaulatan-pangan/

SBY Dinilai Gagal Wujudkan Ketahanan Pangan

SBY Dinilai Gagal Wujudkan Ketahanan Pangan

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dianggap gagal mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia. Selama dua periode pemerintahannya kebutuhan pangan masih dominan didatangkan dari luar, dari pada produksi sendiri.

Selain itu dalam program kerjanya, pangan diletakkan di peringkat lima dari sebelas peringkatnya. Bahkan anggaran APBN hanya 0,003% yang menyasar perlindungan perikanan di Indonesia. “Memang kita tidak memperhatikan pangan kok, lebih fokus ke wisata. Nanti para petaninya bisa kerja di sana, ujar Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Nasional Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS) menirukan gaya para menteri saat ditanya ADS mengenai program pangan saat diskusi di Cikini, Jumat, (30/5).

Dengan banyaknya contoh impor beras, kedelai, jagung, ikan, dan masih banyak yang lainnya, SBY jelas tidak berhasil melakukan swasembada pangan yang ia pernah canangkan di tahun 2004, Di tahun 2004 SBY mencanangkan swasembada beras di tahun 2010, tapi di 2009 ia melakukan revisi untuk swasembada 2014. Ambil contoh saja beras yang mau di swasembada 10 juta ton. Tapi sekarang di Bulog saja cuma ada 5 juta ton, gagal kan? ucap Said Abdullah, Koordinator Pokja Beras.

Said mengatakan bagaimana mungkin berswasembada pangan jika masih melakukan impor pangan di sana sini. Contoh lain kegagalan SBY dalam mengatur pangan adalah tentang pencurian ikan, Di Denmark SBY menyatakan Indonesia akan menetapkan konservasi bagi hutan dan laut, hal itu merugikan nelayan dan petani asli iIndonesia, ujar Abdul Halim, Koordinator Pokja Ikan ADS.

Hal inilah yang membuat nelayan tradisional malah tidak bisa melaut hingga 12 mil karena sudah dikuasai asing. Malah dua puluh enam nelayan tewas ditembak dengan sengaja oleh aparat keamanan akibat melewati batas, ujar Halim.

Menurutnya hal ini sangat miris lantaran asing malah mendapatkan backingan aparat dalam merampas ikan di Indonesia. Ia mencontoh kasus di Pulau Komodo November 2002 lalu, sebuah LSM Asing bekerja sama dengan Bank Dunia membentuk wilayah wisata yang bertujuan membangun masyarakat di daerah sekitar. Tapi yang terjadi penduduk di sana malah terjajah di tanah sendiri, Sepuluh tahun pemerintahan SBY, ia hanya memperkuat liberalisme, siapa yang kuat, dia yang menang! tutur Halim.

Reporter : Aditya Widya Putri

Redaktur : Ramidi

Sumber: http://www.gresnews.com/berita/politik/140305-sby-dinilai-gagal-wujudkan-ketahanan-pangan/

KIARA Desak Ada Anggaran Khusus Lindungi Nelayan Tradisional dalam APBN 2015

Jakarta, JMOL ** Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) merilis jumlah nelayan yang hilang dan meninggal dunia di laut yang terus bertambah. Sedikitnya 61 nelayan tradisional hilang dan meninggal dunia di laut selama Januari-Mei 2014.

“Dibandingkan dengan tahun 2010, jumlah ini terbilang lebih tinggi. Dihadapkan pada risiko yang besar, negara belum juga memberikan jaminan perlindungan jiwa bagi nelayan tradisional. Negara harus mengalokasikan perlindungannya di APBN 2015,” ujar Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA dalam rilis yang diterima JMOL, Senin (26/5).

Pada 2010-2013, jumlah nelayan yang hilang dan meninggal dunia di laut kian tinggi. Abdul Halim mengatakan, “Dengan tingginya angka hilang dan meninggal dunia nelayan tersebut, mestinya negara mengalokasikan anggarannya untuk memastikan jiwa nelayan terlindungi.”

Dalam lima tahun terakhir, alokasi anggaran pemerintah di bidang kelautan dan perikanan terus meningkat, dari Rp 2 triliun menjadi Rp 7 triliun.

“Sangat disayangkan di tengah anggaran yang meningkat dan kian besarnya risiko yang dihadapi oleh masyarakat nelayan tradisional, negara belum mengalokasikan anggarannya,” tambah Halim.

KIARA mendesak Pemerintah Indonesia untuk menyiapkan anggaran khusus dalam APBN 2015, melindungi nelayan tradisional.

Editor: Arif Giyanto

Sumber: http://jurnalmaritim.com/2014/8/1328/kiara-desak-ada-anggaran-khusus-lindungi-nelayan-tradisional-dalam-apbn-2015

Aktifis Lingkungan Gelar Aksi Solidaritas 8 Tahun Lumpur Lapindo

Aktifis Lingkungan Gelar Aksi Solidaritas 8 Tahun Lumpur Lapindo

suarasurabaya.net – Prihatin karena tidak tuntasnya penanganan dampak semburan lumpur panas Lapindo Brantas Incorporated, ratusan aktifis lingkungan akan gelar aksi solidaritas.

Aksi itu akan digelar para aktifis lingkungan, diantaranya dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Solidaritas Perempuan, Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Forum Indonesia Untuk Transparasi Anggaran (Fitra), Greenpeace, Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) dan Indonesia Center for Environmental Law (ICEL).

Nova Damanik Media Komunikasi Jatam mengatakan, aksi bersama itu akan digelar dengan menggelar aksi teaterikal dan aksi bentang spanduk di Wisma Bakri, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (29/5/2014) sore.

Menurut Nova, aksi keprihatinan itu digelar para aktifis lingkungan di Jakarta, karena mereka menilai sampai sekarang masih banyak warga Porong yang memperjuangkan hak-hak mereka yang terabaikan. “Semburan lumpur Lapindo sudah merendam sawah-sawah, juga saluran irigasi, dan berdampak pada hilangnya akses pangan dan hak ekonomi masyarakat. Ini berakibat pada semakin bertambahnya beban perempuan. Karena perempuan, dengan peran gendernya “dipaksa” untuk memikirkan urusan domestik dalam keluarga,” jelas Nova, Rabu (28/5/2014).

Ditambahkan Nova, industri pertambangan sudah menjadi monster sumber penghancuran untuk keberlanjutan hidup warga, khususnya di sekitar kawasan tambang. “Industri yang ditempatkan sebagai ujung tombak pembangunan dan devisa negara, justru merupakan ancaman nyata untuk keselamatan dan daya pulih produktifitas warga juga keberlanjutan fungsi-fungsi alam,” ujar Nova.

Diharapkan dengan aksi yang digelar para aktifis lingkungan hidup secara serentak, pemerintah bisa segera memberikan perhatian serius, pada korban semburan lumpur panas Lapindo Brantas Incorporated di Porong, yang sampai sekarang belum berhenti. (tas/dwi)

Editor: Dwi Yuli Handayani

Sumber: http://kelanakota.suarasurabaya.net/news/2014/135066-Aktifis-Lingkungan-Gelar-Aksi-Solidaritas-8-Tahun-Lumpur-Lapindo

 

”Visi Misi Capres dan Cawapres untuk Kedaulatan Pangan: Kaya retorika, miskin substansi, lemah strategi dan tidak tepat sasaran”

 

Siaran Pers

untuk disiarkan segera – 30 Mei 2014

Informasi lebih lanjut:

Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Nasional Aliansi untuk Desa Sejahtera (0816-1856754)

Abdul Halim, Koordinator Pokja Ikan/Sekjen KIARA (0815-53100259)

Said Abdullah, Koordinator Pokja Beras ADS (0813-82151413)

A.Surambo, Koordinator Pokja Sawit ADS (0812-8748726)

 

”Visi Misi Capres dan Cawapres untuk Kedaulatan Pangan:

Kaya retorika, miskin substansi, lemah strategi dan tidak tepat sasaran”

Visi Misi terkait  Kedaulatan Pangan dua pasangan capre dan cawapres memiliki banyak lubang serta dipertanyakan bagaimana pencapaiannya dalam lima tahun ke depan dengan banyaknya tumpang tindih dan ketidak jelasan.  Demikian kesimpulan tim Aliansi untuk Desa Sejahtera setelah menakar visi misi terkait Kedaulatan Pangan kedua capres-cawapres dengan 4 pilar Kedaulatan Pangan di Jakarta (30/5/2014).

“Visi dan Misi kedua pasangan masih belum utuh dan cenderung bombastis.  Keduanya mengartikan Kedaulatan pangan sebatas pada wilayah  produksi semata.  Keduanya banyak mengungkapkan janji tanpa berpijak pada realitas yang ada.” Jelas Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Nasional ADS.

Secara umum visi misi yang ditawarkan  tim Jokowi-Jusuf Kalla lebih rinci dibandingkan Tim Prabowo-Hatta, tetapi visi misi ke duanya menyisakan pertanyaan besar bagaimana strategi dan nimplementasinya ke depan.

“Misalnya tim Jokowi-JK menjanjikan untuk land reform 9 juta hektar, akan dilakukan dimana.  Belum lagi janji untuk menyediakan 2 ha bagi 18 juta petani gurem, pencetakan sawah baru dan lahan kering seluas masing-masing seluas 1 juta hektar menggunakan lahan siapa?” tambahnya lagi.

Sementara tim Prabowo-Hatta, jelas mencanangkan program yang bukan untuk petani kecil, karena strategi yang diterapkan melalui MP3EI untuk menambah lahan pangan 2 juta untuk sawah dan 2 juta untuk biodiesel, yang ditargetkan dapat memperkerjakan 12 juta orang. Menempatkan petani sebagai pekerja dan bukan pengelola pangan.

”Dengan visi-misi seperti ini, sebenarnya makin memberi peluang kepada pemilik modal, baik pekebun besar maupun pengusaha-pengusaha pangan lainnya.  Bisa dipastikan bukan kesejahteraan petani atau pekebun kecil yang bertambah, tetapi buruh-buruh yang kian banyak. Hasilnya ketimpangan penguasaan lahan makin meninggi. Indeks gini makin tinggi.” Papar Achmad Surambo, ketua Pokja Sawit.  Apalagi visi misi untuk mengembangkan biofuel seluas 2 juta hektar, sementara sudah ada rencana ekspansi sawit hampir 30 juta ha.

Kemungkinan visi misi kedua capres untuk mengubah situasi pangan ke depan agar dapat mewujudkan kedaulatan pangan sangat penting layak dipertanyakan. “Bagaimana dapat mewujudkan Kedaulatan Pangan, jika tidak ada yang bicara tentang subsidi, asuransi dan juga daulat benih.  Sementara impor pangan dan perjanjian internasional yang terkait dengan lemahnya sistem pangan kita masih dianggap keharusan.” Sampai Said Abdullah dari pokja beras. Apalagi  melihat program Prabowo-Hatta  tidak ada dukungan yang cukup bagi produsen pangan skala kecil.

Sementara Jokowi-JK yang memiliki visi dan misi bangsa maritime  yang maju, kuat dan mandiri berbasiskan kepentingan nasional, juga menetapkan Kawasan Konservasi Perairan menjadi 17 juta ha dan tambahan 700 ha lahan konservasi.” Kalau kawasan konservasi laut diperluas, maka kawasan perairan tersebut tidak boleh digunakan sebagai area tangkap.  Bagaimana nelayan tradisional kita dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan produksi perikanan 40-50 juta ton, jika aksesnya dibatasi.” Imbuh Abdul Halim, ketua pokja Perikanan tentang program yang justru tidak memberikan perhatian terhadap sumber penghidupan nelayan tradisional, yang jumlahnya terus menurun.

Visi Misi terkait Kedaulatan Pangan masing-masing Capre Cawapres yang akan dipilih pada 9 Juli nanti masih jauh panggang dari api. Diperlukan keberpihakan yang lebih kuat bagi produsen pangan skala kecil, kemauan politik yang kuat serta keberanian untuk melihat realitas dan  membenahi carut marut situasi pangan yang gagal ditangani regim SBY selama hampir 10 tahun ini.

“Indonesia membutuhkan pemimpin yang tidak hanya memiliki visi dan misi yang memuat kata Kedaulatan Pangan, tetapi strategi yang tepat, keberanian untuk memimpin langsung dalam mewujudkan kedaulatan Pangan.” tegas Tejo lagi.

###

                             

Catatan untuk Redaksi:

 

  • Aliansi untuk Desa Sejahtera menawarkan 7 langkah strategis yang harus segera dilakukan pemimpin negeri untuk mewujudkan Kedaulatan Pangan:
  1. Mengembalikan kemempuan produsen pangan skala kecil dengan menata sumber agraria.
  2. Meningkatkan investasi publik untuk pangan
  3. Melindungi pasar pangan lokal dari liberalisasi pangan,
  4. Menghentikan pemberian lahan kepada pengusaha besar dan tidak melakukan konversi lahanpangan
  5. Memperbaiki tata kelola pangan nasional
  6. Melakukan diversifikasi pangan sesuai potensi local
  7. Pemanfaatan teknologi yang dapat dikuasai oleh penghasil pangan skala kecil

 

  • Aliansi untuk Desa Sejahtera merupakan aliansi dari 15 Ornop dan jaringan dengan fokus kerja mengupayakan penghidupan pedesaan yang lestari dengan pendekatan pada 3 komoditas : (1) beras/pangan, ketua pokja Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP); (2) sawit, ketua Pokja Sawit Watch dan (3) ikan, ketua Pokja Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) . 4 pilar ADS untuk memperkuat penghidupan di pedesaan (1) akses terhadap sumber daya alam, (2) akses pasar, (3) adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, dan (4) keadilan gender.

Tinggalkan Industri Tambang dan Migas, Kuatkan Identitas Maritim dan Agraris

Siaran Pers Hari Anti Tambang 2014

Tinggalkan Industri Tambang dan Migas,  Kuatkan Identitas Maritim dan Agraris

Selama tahun Politik 2014, isu tambang dan energi kembali menjadi sorotan dan mendapatkan porsi yang besar baik dalam pemberitaan media ataupun sebagai “barang dagangan” Parpol dan politisi. Dua koalisi yang dibentuk untuk mengusung Capres berlomba-lomba menawarkan program kedaulatan tambang dan energi di Indonesia.

Namun program koalisi-koalisi yang digadang akan mengembalikan kedaulatan Negara tersebut jelas hanya akan menjadi jargon pemanis kampanye belaka, Di dalam dua gerbong koalisi tersebut sangat kentara keterlibatan dan intervensi Mafia Tambang dan Energi yang selama ini telah menjarah kekayaan alam serta merampas ruang hidup dan keselamatan masyarakat.

Tentu kita masih ingat 29 Mei delapan tahun lalu, ketika Lumpur Lapindo mulai menyembur dan kini telah menggenangi 16 desa di Sidoarjo. Hingga saat ini masyarakat korban Lumpur Lapindo masih berjuang untuk memulihkan hak-haknya. Semburan lumpur Lapindo telah menghilangkan akses terhadap pangan dan hak ekonomi masyarakat. Ini berakibat pada semakin bertambahnya beban perempuan. Karena perempuan, dengan peran gendernya “dipaksa” untuk memikirkan urusan domestik dalam keluarga.

Aburizal Bakrie (ARB) sebagai pihak yang turut bertanggungjawab dalam tragedi tersebut bahkan hingga saat ini masih leluasa berbisnis dan bermain politik dengan menggabungkan Parpol yang dipimpinnya dalam salah satu koalisi pengusung Capres Prabowo. Tidak hanya itu saja, ARB bahkan berhasil menyedot anggaran Negara lebih dari Rp 7,2 triliun untuk biaya ganti rugi korban Lapindo.

Diyakini, jika gerbong Capres Prabowo memenangkan pemilihan Presiden, makin sulit menagih dana talangan tersebut. Mengingat gerbong prabowo disesaki oleh pelaku pengeruk sumber daya alam kelas kakap, selain Prabowo sendiri dan ARB, juga ada Harry Tanoe, Sandiaga Uno atau Setya Novanto.

Di gerbong Jokowi pun, tidak lepas dari keterlibatan pengeruk tambang dan energi, mulai dari pendukungnya seperti Luhut Panjaitan, hingga tokoh-tokoh dalam Parpol pengusungnya seperti Surya Paloh, Effendi Simbolon dan Jusuf Kalla.

Kenyataannya industri tambang dan migas adalah monster yang mengancam keberlangsungan hidup masyarakat khususnya di lingkar tambang. Hilangnya ruang hidup masyarakat, kemiskinan, pelanggaran HAM, hancurnya fungsi-fungsi layanan alam dan sarang yang nyaman bagi korupsi adalah sekelumit gambaran nyata dari industri tambang dan migas. Sayangnya industri ekstraktif kaya daya rusak ini malah diklaim sebagai modal pembangunan dan sumber devisa Negara.

Pertambangan hanya menjadikan laut Indonesia sebagai tong sampah untuk limbah tailing sebagaimana PT Newmont Nusa Tenggara yang sejak 2002 telah diperpanjang dari tahun 2011 hingga 2016 untuk membuang limbah tailing sebanyak 54.020.000 ton tiap tahun. Pertambangan juga merusak pulau-pulau kecil yang indah sebagaimana yang akan terjadi di Pulau Bangka Sulawesi Utara, Pulau Bangka dan Belitung, Pulau Nipah dan pulau-pulau kecil lainnya yang hancur.

Carut marut pengelolaan tambang dan energi juga berandil besar dalam politik anggaran pemerintah. Maka tidak heran sikap pesimisme pemerintah menetapkan rasio pajak sebesar 12,6% dari PDB mengakibatkan 27% Belanja Negara harus dibebankan kepada sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) selama empat tahun terakhir. Padahal pada 2013 lalu, 50,2% PNBP diterima dari kegiatan eksploitasi Tambang dan Migas. Maka,  tidak heran trend anggaran yang terus berulang tiap tahun ini mendorong eksploitasi tambang dan energi besar-besaran dengan dalih penyeimbangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tentu saja dengan mengorbankan ruang hidup dan keselamatan warga.

Sejak reformasi Indonesia mengklaim sebagai negara yang menjunjung demokrasi. Pada perkembangannya demokrasi menjadi tak lebih sebuah industri. Perebutan dan mempertahankan kekuasaan selalu melibatkan kekuatan ekonomi yang bersumber dari kalangan pengusaha. Para pengusaha tambang yang terlibat dan bagian dari politik, mendorong sumber daya alam tambang menjadi modal dalam perebutan dan mempertahankan kekuasaan politik. Tak heran kampanye pertambangan ramah lingkungan (green mining) atau berkelanjutan adalah siasat lama yang digunakan para politikus yang selama ini menikmati manfaat dari industri pertambangan, baik resmi maupun tidak resmi. Dengan kata lain pengurusan industri tambang hingga saat ini merupakan mesin uang politik penghancur kehidupan.

Karenanya Pemerintah Indonesia ke depan harus berani mengambil langkah yang tegas untuk membersihkan pemerintahan , baik dalam Kabinet dan Lembaga Negara lainnya, dari keterlibatan dan intervensi Mafia Tambang dan Energi. Tentu hal ini yang utama dilakukan, mengingat keharusan untuk mengambil langkah inovatif meninggalkan pengerukan tambang dan migas sebagai pilar pembangunan dan ekonomi.

Tidak hanya membersihkan Pemerintahan dan lembaga Negara dari Mafia Tambang dan Energi, Pemerintah ke depan juga harus berani melekatkan Negara Maritim dan Agraris sebagai idenditas Bangsa. Industri tambang dan energi dalah industri yang tidak berkelanjutan, sementara sebagian besar rakyat Indonesia bertumpu pada sektor yang sumbernya tidak pernah habis.

Dalam tata kelola produksi dan konsumsi energi pun pemerintah ke depan juga harus mengambil lompatan inovatif untuk mengurangi dan menghentikan kecanduan akan energi fosil. Pemerintah tidak seharusnya memandang sektor energi sebagai komoditas bisnis semata. Sumber energi adalah asset bagi produktivitas rakyat, maka dari itu rakyat harus mendapatkan akses yang lebih luas dan terbuka sebagai jaminan ekonomi, pendidikan dan kesehatan rakyat.

Kepatuhan Indonesia dalam skema utang, bilateral dan multilateral, termasuk investasi telah menjerumuskan Indonesia kedalam jebakan angka-angka produksi dan eksport. Pemerintah  kedepan harus bisa menjamin penghentian perjanjian kerjasama atau investasi yang berbasis produksi dan berorientasi eksport. Pembenahan di sektor kebijakan dan kelembagaan. Penting juga untuk memastikan seluruh lembaga-lembaga Negara tidak berjalan sendiri-sendiri yang menimbulkan kontradiktif program, yang tak saling mendukung guna mewujudkan Kedaulatan energi nasional.

Selain itu pemerintah juga harus tegas untuk memaksa pihak yang bertanggungjawab melakukan pemulihan lingkungan sebagai bukti salahnya pilihan ekonomi yang ekstraktif. Serta mebuka ruang seluas-luasnya untuk pembenahan dan perombakan tata kelola sektor-sektor publik agar mampu menjamin keselamatan, keamanan, produktivitas dan daya pulih rakyat serta keberlanjutan fungsi layanan alam.

Pemerintah ke depan harus lebih mendorong produktivitas pertanian, perikanan dan pariwisata, bukan mendorong industri berbasis lahan seperti tambang yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kebutuhan utama sehari-hari warga. Dengan mengakhiri pengerukan sumber daya tambang dan menjadikan sebagai pilihan akhir, juga akan mengurangi ancaman terhadap keselamatan rakyat.

 

Hari Anti Tambang, 29 Mei 2014.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Solidaritas Perempuan, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Greenpeace, Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND), Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), Indonesia Center for Environmental Law (Icel)

 

Contact Person

  1. Ahmad Marthin Hadiwinata (KIARA) +6281286030453
  2. Bagus (JATAM) +6285781985822

 

Nasib Perempuan Nelayan

KELAUTAN DAN PERIKANAN

Nasib Perempuan Nelayan

Dibalik penghidupan keluarga nelayan, terdapat peran perempuan nelayan yang sangat besar. Kontribusi Perempuan nelayan terhadap pendapatan keluarga mencapai 48 persen.

Kendati berkontribusi besar, nasib perempuan nelayan masih memprihatinkan. Pemberdayaan sangat minim. Padahal, mereka berpotensi memperkuat pilar penghidupan keluarga.

Berdasarkan data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan. Sedikitnya 56 juta orang terlibat dalam aktivitas perikanan.  Aktivitas ini mulai dari penangkapan, pengolahan, sampai dengan pemasaran hasil tangkapan. Dari jumlah itu, 70 persen atau sekitar 39 juta orang adalah perempuan nelayan.

Menurut Sekretaris Jenderal Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) Masnuah, sekitar 47 persen dari jumlah perempuan nelayan bekerja dibagian pengolahan dan pemasaran hasil tangkapan ikan. Mayoritas perempuan nelayan bekerja lebih dari 17 jam per hari.

Ironisnya, peran penting perempuan nelayan ini belum mendapat pengakuan politik dari Pemerintah Indonesia, termasuk dalam Undang-Undang nomor 31 tahun 2004 juncto UU No 45/2009 tentang perikanan.

Konferensi Rio+20 di Brasil pada Juni 2012 telah melahirkan kesepakatan tetang pentingnya komitmen Negara-negara yang menadatangani kesepakatan untuk bersungguh-sungguh mendalami jumlah,sebaran, dan peran perempuan. Dalam hal ini, perempuan nelayan.

Faktanya, Indonesia yang turut serta dalam konferensi itu sampai hari ini belum memberikan pengakuan dan perlindungan kepada perempuan nelayan.

Menjelang pemilihan presiden-wakil presiden RI  yang perlangsung pada 9 Juli mendatang, pemerintah kembali diingatkan peranya mengakui dan melindungi perempuan nelayan. Selayaknya, kadidat capres dan cawapres serta tim pendukung pasangan calon memperhatikan isu ini.

Mengutip Masnuah, sudah saatnya pemerintah berpihak kepada perempuan nelayan, termasuk dengan menyejahterakan dan melindungi mereka serta mengalokasikan anggaran nasional dan daerah.

Hingga saat ini perempuan nelayan yang tergabung dalam PPNI berupaya berkreasi dalam ekonomi keratif. Kreasi itu tak terbatas pada produk perikanan, Hal itu di antara pengolahan bakau untuk makan, obat-obatan, dan kosmetik. Ada juga pembuatan kain tenun, kerupuk daun jeruju, serta daun ulang sampah untuk tas dan dompet.

Organisasi pangan dan pertanian (FAO) sudah mengakui pentingnya keberadaan dan peran penting perempuan nelayan dalam aktivitas perikanan sekala kecil atau tradisional. Bahkan, FAO menerbitkan rekomendasi secara mendalam mengenai jumlah, sebaran, dan peran perempuan nelayan di dunia setelah perundingan Komisi Perikanan FAO tentang perdagangan Ikan di Norwegia Februari 2014.

Indonesia memiliki luas wilayah perairan 5,8 juta kilometer persegi. Namun, nilai tukar nelayan menunjukkan tren menurun, dari 104,98 pada triwulan I-2013 menjadi 102,49 pada triwulan I-2014. Angka ini menunjukkan kesejahteraan nelayan cenderung turun.

Pemerintah mendatang perlu lebih serius memberikan ruang perlindungan terhadap peran perempuan nelayan. Sudah saatnya Negara hadir memperkuat nelayan, termasuk perempuan nelayan, dalam menghadapi persaingan pasar tunggal Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. (BM LUKITA GRAHADYARINI).

Sumber: Kompas Senin 26 Mei 2014

KIARA: Jumlah Nelayan Hilang dan Meninggal Dunia di Laut Terus Bertambah, Negara Harus Mengalokasikan Perlindungannya di APBN 2015

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

KIARA: Jumlah Nelayan Hilang dan Meninggal Dunia di Laut

Terus Bertambah, Negara Harus Mengalokasikan Perlindungannya di APBN 2015 

Jakarta, 26 Mei 2014. Pusat Data dan Informasi KIARA kembali mencatat sedikitnya 61 nelayan tradisional hilang dan meninggal dunia di laut selama Januari-Mei 2014. Dibandingkan dengan tahun 2010, jumlah ini terbilang lebih tinggi. Dihadapkan pada resiko yang besar, namun Negara belum juga memberikan jaminan perlindungan jiwa bagi nelayan tradisional.

Sebagaimana diketahui sejak tahun 2010-2013, jumlah nelayan yang hilang dan meninggal dunia di laut kian tinggi (lihat Tabel 1). Abdul Halim, Sekjen KIARA mengatakan, “Dengan tingginya angka hilang dan meninggal dunia nelayan tersebut, mestinya Negara mengalokasikan anggarannya untuk memastikan jiwa nelayan terlindungi”.

Tabel 1. Jumlah Nelayan Hilang dan Meninggal Dunia di Laut

No Tahun Jumlah Nelayan
1 2010 86 Jiwa
2 2011 149 Jiwa
3 2012 186 Jiwa
4 2013 225 Jiwa

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Mei 2014)

Dalam 5 tahun terakhir, alokasi anggaran pemerintah di bidang kelautan dan perikanan terus meningkat: dari Rp. 2 Triliun menjadi Rp. 7 triliun. “Sangat disayangkan di tengah anggaran yang meningkat dan kian besarnya resiko yang dihadapi oleh masyarakat nelayan tradisional, Negara belum mengalokasikan anggarannya,” tambah Halim.

Oleh karena itu, KIARA mendesak Pemerintah Indonesia untuk menyiapkan anggaran khusus di dalam APBN 2015 guna melindungi nelayan tradisional.***

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259

KIARA: Sejahterakan Perempuan Nelayan Lewat Kebijakan Anggaran

KIARA: Sejahterakan Perempuan Nelayan Lewat Kebijakan Anggaran

JAKARTA, SACOM – KIARA mendesak pemerintah agar secepatnya sejahterakan perempuan nelayan lewat kebijakan anggaran.

Bersama-sama Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), menyuarakan hal itu, di Jakarta (18/05).

“Kesejahteraan dan perlindungan perempuan nelayan di Indonesia bisa tercapai dengan kebijakan anggara, baik nasional maupun daerah,” tegas Sekjen KIARA, Abdul Halim.

Dalam skala internasional, FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) saja sudah mengakui pentingnya peranan penting perempuan nelayan di dalam aktivitas perikanan skala kecil/tradisional.

Laut Indonesia, lanjutnya, sesungguhnya adalah masa depan bangsa Indonesia. Tidak menganggap hal itu sama saja dengan mencelakakan anak-anak bangsa.

Ironisnya, nelayan tradisional terus dimiskinkan, sementara pengusaha asing justru mendapat fasilitas.

Sementara itu menurut Sekjen PPNI, Masnuah, 48 persen penghasilan keluarga nelayan berasal dari perempuan. “Mayoritas perempuan nelayan bekerja lebih dari 17 jam sehari,” tegasnya.

PPNI sendiri di berbagai daerah sudah melaksanakan ekonomi kreatif. Sayangnya dukungan pemerintah pusat dan daerah masih minim.

Dalam kesempatan yang sama, KIARA dan PPNI menyelenggarakan menyelenggarakan Festival Negeri Bahari di Menteng, Jakarta Pusat.

Sekaligus diadakannya Festival ini untuk mengajak masyarakat agar menyadari bahwa laut adalah masa depan bangsa.

Sumber: http://suaraagraria.com/detail-20418-kiara-sejahterakan-perempuan-nelayan-lewat-kebijakan-anggaran.html

KIARA: 48 % Penghasilan Keluarga Nelayan Di Pundak Perempuan

KIARA: 48 % Penghasilan Keluarga Nelayan Di Pundak Perempuan

RIMANEWS – Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat mendesak pemerintah segera merevisi Undang-undang Perikanan Nomor 45 tahun 2009, tentang perubahan UU Nomor 31 tahun 2004, dengan memberi penegasan serta pengakuan peran penting nelayan perempuan.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim melalui keterangan tertulis, Jakarta, Rabu (21/5), mengatakan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) saja sudah mengakui pentingnya keberadaan dan peran penting perempuan nelayan di dalam aktivitas perikanan skala kecil atau tradisional.

“Hal ini dibuktikan dengan prioritas rekomendasi dilakukannya penelitian secara mendalam mengenai jumlah, sebaran dan peran perempuan nelayan di dunia pasca perundingan Komisi Perikanan FAO tentang Perdagangan Ikan di Norwegia, Februari 2014 lalu,” ujarnya.

Kiara mencatat peran penting perempuan nelayan terbukti dari data bahwa 48 persen penghasilan keluarga nelayan berasal dari perempuan. Untuk menghasilkan kontribusi itu, menurut Kiara, mayoritas perempuan nelayan bekerja lebih dari 17 jam dalam sehari.

Sementara itu, Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) menyatakan pemerintah belum mendukung secara maksimal kegiatan pengembangan ekonomi kreatif yang telah dilakukan komunitasnya di 15 kabupaten atau kota.

Desakan kepada pemerintah tersebut hasil pertemuan bertema “Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia” yang diinisiasi PPNI dan Kiara. Pertemuan itu bertujuan mendesak pemerintah mengakui keberadaan perempuan nelayan, baik di dalam aktivitas perikanan skala kecil maupun keluarga.

Selain itu, pertemuan tersebut juga menjadi sarana pertukaran wawasan dan pengalaman pengembangan ekonomi kreatif seperti pengolahan mangrove, produksi ikan dan kain tenun khas pesisir antarkelompok dan lainnya.

Dari pertemuan itu, selain desakan kepada pemerintah untuk merevisi UU Perikanan, PPNI dan Kiara juga sepakat meminta pemerintah lebih memperhatikan pengelolaan sumber daya ikan yang menghubungkan sektor hulu dan hilir di kampung-kampung perempuan nelayan, agar bisa bersaing di saat pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.

Kemudian, PPNI dan Kiara juga meminta pemerintah memprioritaskan kebijakan anggaran nasional dan daerah untuk menyejahterakan dan melindungi perempuan nelayan. (rim/lee)

Sumber: http://m.rimanews.com/read/20140521/152384/kiara-48-penghasilan-keluarga-nelayan-di-pundak-perempuan