Capres-Cawapres Belum Ada Yang Fokus Isu Kedaulatan Pangan
Capres-Cawapres Belum Ada Yang Fokus Isu Kedaulatan Pangan
JAKARTA, GRESNEWS.COM – Dari berlembar-lembar visi dan misi yang sudah diuraikan para capres-cawapres baik pasangan Jokowi-JK maupun Prabowo-Hatta, dinilai beluma ada yang menfokuskan perhatiannya kepada isu kedaulayan pangan.
Meski Jokowi dan Prabowo sudah menyunggung soal lahan pertanian, pasar dan perlindungan pangan, namun hal itu hanya dibahas secara general dan tidak terfokus pada subyek yang harus dibenahi.
“Jika kita mau membenahi pangan, yang harus dibenahi terlebih dulu bukan jumlah produksinya tapi budaya petani dan nelayannya,” ujar Said Abdullah, Koordinator Pokja Beras Aliansi Desa Sejahtera (ADS) kepada Gresnews.com, Jumat (30/5).
Ia menilai para capres hanya memikirkan hitung-hitungan ekonomi saja bukan berfokus untuk membangun budaya agrikultur. Said melihat, dalam program kerja Prabowo sesungguhnya ada yang menarik yang bisa dicermati, yakni mewujudkan perdagangan yang adil dengan mengatur stok harga. “Namun, lagi-lagi tidak jelas bagaimana dia mengaturnya, dengan cara apa?” ujarnya.
Tak beda dengan Prabowo, Jokowi pun sama saja. Jokowi misalnya menyinggung masalah pembangunan irigasi. Namun Jokowi tak menyebutkan berapa volumenya. Bahkan visinya mencetak sawah 25 juta ha per tahun dinilai tidak rasional. “Era SBY saja yang cuma lima ribu per tahun tidak kesampaian kok,” katanya.
Sementara itu Koordinator Pojka Sawit ADS Achmad Surambo mengatakan, visi para capres soal kedaulatan pangan hanyalah visi-misi banyak ide namun miskin strategi. “Mereka malah memberikan peluang pada pemilik modal, baik pengusaha pangan maupun pengebun besar. Yang ada malah peningkatan buruh-buruh,” ujarnya kepada Gresnews.com.
Hal itu ditunjukan salah satunya dalam visi Prabowo yang mencanangkan menambah lahan pangan dua juta untuk sawah dan dua juta untuk biodiesel dengan jumlah pekerja dua belas juta orang melalui MP3EI. “Nah, ini kan menempatkan petani sebagai pekerja bukan pengelola pangan,” ucapnya.
Demikian pula dengan Jokowi yang menjanjikan land reform sembilan juta hektare yaitu masing-masing seluas dua hektare bagi delapan belas juta petani gurem. Sisanya masing-masing satu juta hektare untuk pencetakan sawah baru dan pemberdayaan lahan kering. “Inikan mau pakai lahan siapa?” kata Rambo.
Visi-misi kedua capres untuk mengubah situasi pangan ke depan untuk mewujudkan kedaulatan pangan sangat penting dipertanyakan. “Bagaimana mau mewujudkan kedaulatan pangan jika tak ada yang bicara tentang subsidi, asuransi, dan juga daulat benih. Sementara impor pangan dan perjanjian intetrnasional terkakit lemahnya sistem pangan kita masih dianggap keharusan,” kata Said.
Koordinator Nasional ADS Tejo Wahyu Jatmiko mengatakan dengan tegas bahwa Indonesia hanya butuh pemimpin yang berani memimpin langsung kedaulatan pangan. “Visi misi kan sudah tersusun di undang-undang, jadi tinggal jalani saja, jangan hanya bicara,” ujarnya.
Tejo mengatakan, ada tujuh langkah strategis yang dapat dilakukan untuk menciptakan kedaulatan pangan yang intinya menyasar pada petani kecil dan nelayan tradisional. Pertama, mengembalikan kemampuan produsen pangan skala kecil dengan menata sumber agraria.
Kedua, meningkatkan investasi publik untuk pangan. Ketiga, melindungi pasar lokal dari liberalisasi pangan. Keempat, menghentikan pemberian lahan kepada pengusaha besar dan tidak melakukan konversi lahan pangan. Kelima, memperbaiki tata kelola pangan nasional. Keenam melakukan diversifikasi pangan sesuai potensi lokal. Ketujuh pemanfaatan teknologi yang dapat dikuasai oleh penghasil pangan skala kecil.
Untuk visi kelautan, Ketua Pokja Perikanan ADS Abdul Halim mengatakan ada kesalahan visi yang diusung Jokowi yaitu ingin membuat Kawasan Konservasi Perairan menjadi 17 juta ha dan tambahan 700 ha lahan konservasi. Dengan membuat kawasan konservasi laut menjadi bertambah luas, kata Halim, otomatis tidak boleh digunakan sebagai area tangkap bagi nelayan khususnya nelayan tradisional.
Dan program semacam ini, kata Halim tidak akan bisa memberikan kontribusi terhadap target produksi ikan sebesar 40-50 juta ton. “Jangan malah seperti tidak baca buku sejarah, mau menetapkan kawasan konservasi perairan menjadi 17 juta hektare dan tambahan 700 hektare lahan konservasi, ini kan malah membatasi kontribusi nelayan tradisional,” ujar Halim.
Reporter : Aditya Widya Putri
Redaktur : Muhammad Agung Riyadi