Tiap 21 April, Indonesia merayakan hari penghormatan tertinggi atas jasa seorang pejuang emansipasi perempuan: Raden Ajeng Kartini. Seorang perempuan dari keturunan darah biru penggugat budaya patriarki yang dipandangnya menghambat kemajuan perempuan. Namun, Indonesia punya banyak pahlawan pejuang perempuan. Siapa tidak kenal Cut Nyak Dhien, Dewi Sartika atau Martha Christina Tiahahu. Mereka semua adalah sebagian dari pahlawan yang mendorong Indonesia merdeka.
Jauh setelah RA Kartini wafat, seorang perempuan bertubuh kecil dan memiliki tatapan mata yang tajam lahir dengan mimpi yang sama. Ia dikenal dengan nama Masnuah asal Rembang, Jawa Tengah. Masnuah (40) atau biasa dipanggil Mba Nuk terlahir di Rembang pada tahun 1974. Ayahnya seorang nelayan dan ibunya berprofesi sebagai ibu rumah tangga.
Mba Nuk terbiasa melihat kehidupan nelayan, di mana pada saat bersamaan ia pun semakin dekat dengan lingkaran kemiskinan nelayan, tengkulak, beragam penyakit masyarakat dan budaya patriarki, di antaranya kekerasan terhadap perempuan.
Masnuah akhirnya menikah umur 18 tahun dengan salah seorang nelayan dari Morodemak, Jawa Tengah. Namun dalam hatinya, mimpi bersekolah masih terus hidup. Ya, Mba Nuk akhirnya menikah dan menjadi istri nelayan.
Memberi Nama Puspita Bahari.
Mba Nuk tinggal di Morodemak, Jawa Tengah, bersama suaminya, Su’udi (45). Suaminya adalah seorang nelayan. Dari sosoknyalah ialah belajar bagaimana sepenuhnya menjadi seorang perempuan nelayan. Mba Nuk dikaruniai seorang anak laki-laki, Muhammad Vicky Alansyah (20).
Melihat lingkungan sekitarnya, di mana nelayan acapkali pulang tanpa hasil, terlilit hutang, dan perempuan nelayan yang banting tulang mencari hutang, Mba Nuk tergerak untuk menginisiasi gerakan perubahan untuk perempuan nelayan di kampungnya pada tahun 2005. Awalnya Mba Nuk hanya ingin menggerakkan kemandirian perempuan nelayan dalam menghadapi dinamika yang biasanya terjadi di desa pesisir: kemiskinan.
Dengan hanya bermodalkan keyakinan, Mba Nuk membentuk Puspita Bahari. Kegiatan awalnya hanya dimulai dengan mengajak perempuan nelayan untuk lebih aktif dalam kegiatan usaha.
Setelah melihat potensi yang ada, Mba Nuk mulai mengumpulkan modal sebesar Rp.1.000.000 dari iuran anggota. Modal tersebut kemudian dibelikan beras untuk disalurkan kepada keluarga nelayan. Per kilogram beras yang disalurkan, Koperasi Puspita Bahari hanya mengambil keuntungan Rp.200. Dari ketekunan dan konsistensi kelompok, dalam setahun koperasi Puspita Bahari dapat meraih keuntungan Rp.2.000.000.
Namun pada tahun 2006 Koperasi Puspita Bahari mulai mengalami kesulitan. Hasil tangkapan nelayan kian menurun dan berdampak langsung terhadap perputaran uang di Koperasi Puspita Bahari.
“Nelayan tidak melaut itu ujung-ujungnya utang, koperasi diutangi terus, modal habis tapi semangatnya terus hidup kok,” ujar Mba Nuk sembari tersenyum.
Mba Nuk semakin giat mencari program-program pemberdayaan masyarakat. Lewat tangannyalah perempuan nelayan sekitar Morodemak mendapatkan pelatihan usaha, seperti membuat aneka makanan ringan.
Pelatihan yang diberikan ternyata mengalami kendala, daya beli konsumen sangat rendah.
“Waktu itu kita jual gorengan harganya Rp.300 dan donat itu cuma Rp.500, tapi itu mahal buat nelayan. Enggak penting bersih atau higienis buat nelayan, yang penting murah dan dapat banyak,” ujar Mba Nuk.
Mengutip pepatah dari Presiden Abraham Lincoln,
“Yang penting bukan berapa kali aku gagal, tapi yang penting berapa kali aku bangkit dari kegagalan”.
Mba Nuk tidak patah semangat.
“Semua orang pasti pernah gagal, tapi kan bedanya siapa yang mau bangkit untuk maju atau cuma ndelok (melihat) kegagalannya tok,” tambah Mba Nuk.
Kreasi Produk Puspita Bahari
Di tahun 2009, Mba Nuk kembali mengajak perempuan di kampungnya mengolah makanan berbahan dasar ikan, seperti kerupuk, abon, dan keripik. Di Desa Morodemak, kebanyakan istri nelayan telah membuat kerupuk sendiri, namun hanya sekadar untuk konsumsi rumahan.
“Banyak di desa kami ini ikan kecil dibuang-buang karena dianggap tidak punya nilai. Lah, ikan itu kalau dikasih bumbu, ditambahi tepung lalu digoreng kering ya jadi iwak peyek untuk makan. Murah meriah dan bergizi itu,” ujar Mba Nuk.
Lagi-lagi produknya mengalami kendala, kerupuk olahan Puspita Bahari kesulitan menembus pasar. Ruang gerak perempuan mengakibatkan mutu kerupuk tidak seragam, ada yang terlalu tebal dipotong atau terlalu tipis dipotong. Perempuan kesulitan keluar dari rumahnya sehingga pembuatan kerupuk dilakukan di rumah masing-masing.
Akhirnya Mba Nuk ‘mengakali’ kendala itu dengan membagikan standar resep yang seragam. Bahan baku produknya ditentukan dan Mba Nuk semakin giat mendatangi rumah-rumah perempuan yang mengolah kerupuk dan produk-produk ikan lainnya.
“Mendapatkan mutu yang sama itu sulit benar, tapi yang penting dijalani dan ikhlas pasti nanti ada hasilnya” ujar Mba Nuk.
Mbak Nuk tidak bisa menoleransi saat mendapati perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan. Ia mengambil peran sebagai paralegal sebagai pelindung dan pendamping untuk perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan dukungan LBH APIK Semarang.
Di sisi lain, Mba Nuk melihat sampah menjadi masalah yang dihadapi oleh masyarakat Morodemak sedari dulu. Tidak ada TPS membuat sampah berserakan di mana-mana, tidak heran jika kambing piaraan warga tidak makan rumput, tetapi sampah.
Mba Nuk memutuskan untuk membantu mengelola sampah dengan cara paling sederhana, yaitu memisahkan sampah organik dan non-organik. Tak hanya tu, Mba Nuk pun berusaha mendapatkan pelatihan cara mengolah sampah menjadi tas atau bantal.
Menuai hasil
“Namanya orang usaha, sedikit pun pasti ada hasilnya. Tapi kembali sama niatannya, mau baik apa buruk, kalau baik ya hasilnya baik,” ujar Mba Nuk.
Sekarang Puspita Bahari yang diketuai Mbak Nuk berhasil memotivasi dan melahirkan kader-kader perempuan yang berkelompok di beberapa desa sekitar Morodemak dan sudah mengikuti jejaknya, di antaranya kelompok Sekar Samudra, Muara Indah, Mekar Wangi, Sari Laut dan Tarisa Jaya.
Hasil dari perjalanan panjang Mba Nuk untuk mendapatkan hidup yang lebih baik mulai dirasakan perlahan oleh Mba Nuk. Ia pernah mendapat penghargaan Kusala Swadaya pada Oktober 2011 sebagai kelompok perempuan nelayan yang berhasil mengatasi kekumuhan di perkampungan nelayan. Ia pun pernah menjadi inspirator dalam acara Kick Andy di Metro TV dan terpilih sebagai wanita inspiratif 2012. Kemudian Tupperware She Can Award di Trans7 tahun 2013. Di tahun 2014, Mbak Nuk berhasil menjadi penerima beasiswa (fellow) Yayasan Ashoka dan mendapatkan penghargaan Frans Seda Award 2014 sebagai pejuang kemanusiaan dari Unika Atmajaya Jakarta.
Mba Nuk pun pernah dipercaya menjadi mediator bantuan tiga kapal nelayan dari Dompet Dhuafa yang disalurkan lewat Layar Nusantara/LBH Semarang dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Kapal itu diperuntukkan kepada tiga kelompok nelayan yang tergabung dalam Paguyuban Nelayan Morodemak yang beranggotakan suami-suami perempuan nelayan kelompok Puspita Bahari.
Kini Mba Nuk dipercaya menjadi Sekretaris Jenderal dari Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) pada 16 Mei 2014 melalui Pertemuan Nasionalnya yang difasilitasi KIARA di Jakarta. Perjuangan Mba Nuk tidak secara instan menuai hasil, namun berjuang adalah sebaik-baiknya usaha. Mba Nuk masih menaruh harapan bahwa perempuan nelayan dapat memperoleh hidup yang lebih baik, bukan hanya secara finansial tapi juga dalam pendidikan. Terpenting, Mba Nuk berharap, Negara dapat mengakui peran perempuan nelayan dan Negara dapat memberikan fasilitas penuh terhadap kemajuan perempuan nelayan Indonesia melalui politik kebijakan dan penganggarannya.***