MENCELAKAI KONSTITUSI

MENCELAKAI KONSTITUSI

Oleh Abdul Halim

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA);

Koordinator Regional SEAFish (Southeast Asia Fisheries for Justice Network)

Bombardir serangan asing mengoyak keteguhan institusi Pemerintah Republik Indonesia (baca: Kementerian Kelautan dan Perikanan) yang bertanggungjawab atas pengelolaan sumber daya kelautan, pesisir dan perikanan nasional. Imbasnya Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi panduan penyelenggaran bangsa dan negara diabaikan dan bahkan dicelakai dalam 10 tahun terakhir.

Dua penanda liberalisasi sumber daya kelautan, pesisir dan perikanan nasional bermuara pada usaha perikanan tangkap dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dua aturan liberalis itu dikeluarkan kementerian negara yang bermarkas di seberang Stasiun Gambir, Jakarta.

Penanda pertama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Di dalam aturan ini, Menteri Kelautan dan Perikanan secara sengaja meliberalisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil kepada pihak asing hingga 6 dekade dan kepemilikan saham mencapai 80 persen.

Sedikitnya tujuh perubahan yang terindikasi kuat berpotensi melanggar hak-hak nelayan tradisional dan masyarakat pesisir atas ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Tujuh perubahan tersebut antara lain: Pertama, dimasukkannya unsur masyarakat dalam mengusulkan rencana pengelolaanwilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang ‘disetarakan’ dengan pemerintah dan dunia usaha. Revisi tersebut menyalahi Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 dengan melakukan penyetaraan antara masyarakat nelayan tradisional dengan pihak swasta. Padahal sejak awal sudah berbeda subyeknya. Perlakuan diskriminatif ini juga terjadi secara serampangan dengan dimasukkannya nelayan tradisional dalam unsur Pemangku Kepentingan Utama dalam Pasal 1 angka 30 bersama dengan nelayan modern, pengusaha pariwisata, dan pengusaha perikanan. Sangat jelas, DPR bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menghendaki adanya persaingan bebas yang sudah tentu akan mendiskriminasi nelayan tradisional dan pembudidaya ikan kecil. Begitu pula mengenai hak keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu. Undang-undang tidak menjelaskan Hak keberatan tersebut, bagaimana mekanismenya dan bagaimana ukuran keberatan serta jangka waktu tertentu tersebut.

Kedua, Pasal 21 dan Pasal 22 Revisi UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengecualikan wilayah ruang pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dikelola masyarakat adat dari kewajiban untuk memiliki perizinan, baik lokasi maupun pengelolaan. Pasal 21 tersebut mengesankan adanya persyaratan bertingkat. Di satu sisi memberikan keleluasaan kepada masyarakat hukum adat untuk mengelola ruang penghidupannya, namun di sisi lain membenturkannya dengan frase “mempertimbangkan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan”. Juga tidak ditegaskan definisi kepentingan nasional di dalam Revisi UU Pesisir ini. Selain itu, masyarakat hukum adat diwajibkan untuk mendapatkan pengakuan status hukum dengan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengakuan status hukum masyarakat adat menjadi potensi masalah terkait dengan sifat pasif negara dalam melakukan pengakuan hukum. Terlebih Revisi UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tidak memandatkan kepada pemerintah untuk aktif melakukan pengakuan terhadap kesatuan hukum adat sebelum penerbitan perizinan. Kondisi ini sangat potensial untuk mengusir masyarakat adat dari wilayah atau ruang penghidupannya di pesisir dan pulau-pulau kecil tanpa mendapat pengakuan status hukum masyarakat adat.

Ketiga, dengan mengubah skema hak menjadi skema perizinan melalui dua tahap, yaitu izin lokasi dan izin pengelolaan, tetap berpotensi melanggar hak nelayan tradisional. Dalam revisi UU Pesisir, skema tersebut tidak memastikan hak persetujuan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir terhadap pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Tanpa hak tersebut, skema ini dapat dipastikan akan tetap melanggar Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang memandatkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dimanfaatkan untuk ‘sebesar-besar kemakmuran rakyat’. Walaupun Revisi UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil telah mengakui hak akses atas wilayah yang telah diberikan izin lokasi dan izin pengelolaan,namun tidak ada sanksi atas pelanggaran hak-hak masyarakat tersebut. Sehingga undang-undang kembali lagi akan membiarkan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir yang telah tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara turun-temurun akan dilanggar haknya.

Selain itu, kewenangan pemberian perizinan dimiliki setiap tingkat pemerintahan dari kabupaten/kota, provinsi hingga pusat. Hal ini berpotensi melanggar syarat perizinan dan berimbas terhadap keluarnya perizinan secara mudah dan serampangan. Tidak ada pengawasan bertingkat yang dilakukan terhadap pemberian izin lokasi dan izin pengelolaan yang diterbitkan oleh daerah di tingkat lokal. Sehingga potensi terbitnya izin tanpa memenuhi persyaratan minimal dalam Undang-Undang Pesisir sangat besar terjadi.

Keempat, munculnya Pasal 26A yang akan mempermudah penguasaan asing atas pulau-pulau kecil. Pasal 26A mengatur pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dalam skema investasi penanaman modal dengan dasar izin menteri. Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya wajib “mengutamakan kepentingan nasional”. Namun tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai definisi dari frase “mengutamakan kepentingan nasional”. Undang-undang tersebut seolah-olah ingin melindungi kepentingan rakyat, namun mustahil investor asing akan memprioritaskan kepentingan bangsa Indonesia dalam mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pada Pasal 26A ayat (4), terindikasi kuat adanya praktek jual-beli pulau oleh orang asing. Bahkan terdapat praktek di lapangan yang bertentangan, misalnya di Gili Sunut, Nusa Tenggara Barat. Sebanyak 109 KK tergusur karena investasi pulau kecil oleh PT Blue Ocean Resort asal Singapura.

Pasal 26A terkait erat dengan Pasal 23A yang mengatur pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya. Untuk kegiatan: a. konservasi; b. pendidikan dan pelatihan; c. penelitian dan pengembangan; d. budi daya laut; e. pariwisata; f. usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari; g. pertanian organik; h. peternakan;  dan/atau i. pertahanan dan keamanan negara. Namun Pasal 26A yang mengatur investasi di pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya tidak mewajibkan adanya proses free prior informed consent(Persetujuan dengan Pemberian Informasi Awal/FPIC) yang dimandatkan Protokol Nagoya dari Konvensi Keanekaragaman Hayati yang telah diratifikasi melalui UU Nomor 10 tahun 2013. Oleh karena itu, Pasal 26A berpotensi menjadi salah satu celah untuk terjadi pembajakan keanekaragaman hayati (biopiracy).

Kelima, Revisi UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengakui adanya hak untuk mengusulkan wilayah penangkapan ikan secara tradisional dan wilayah Masyarakat Hukum Adat dalam RZWP-3K. Namun derajat hak tersebut turun dengan adanya kata “mengusulkan” yang menurunkan derajatnya menjadi ‘pertimbangan’ dalam penyusunan RZWP-3-K. Sehingga hak-hak tersebut potensial dipelintir dan dapat dilanggar dalam proses lebih lanjut. Ditambah lagi wilayah penangkapan nelayan tradisional dan wilayah masyarakat adat di perairan dengan kegiatan penangkapan ikan merupakan wilayah yang tidak bisa disamakan dengan daratan atau tanah karena sifat dari perairan yang dinamis. Sehingga tidak dapat dipastikan lebih lanjut wilayah penangkapan nelayan tradisional dan masyarakat adat dituangkan dalam peta-peta koordinat.

KeenamDalam Pasal 30 kewenangan menteri yang terlalu luas dengan kekuasaan untuk menetapkan perubahan peruntukan dan fungsi zona inti pada kawasan konservasi untuk eksploitasi. Hal ini berpotensi untuk memunculkan praktek tukar-guling kawasan konservasi yang pada akhirnya merugikan kepentingan masyarakat setempat, khususnya nelayan tradisional. Apalagi definisi nelayan tradisional di dalam Revisi UU Pesisir ini sangat sempit. Salah satu kasus yang terjadi adalah Kawasan Konservasi Ujungnegoro-Roban di Batang yang diubah karena adanya rencana pembangunan PLTU Batang. Selain itu, juga akan menjadikan proses konservasi menjadi sia-sia karena dengan mengubah zona inti sama saja mengubah upaya konservasi tersebut.

Ketujuh, Pasal 63 mewajibkan pemerintah dan pemerintah daerah didorong untuk memberdayakan masyarakat. Namun mengapa harus melibatkan orang/modal asing? Kenapa tidak membentuk BUMD yang bergerak di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bersama masyarakat setempat? Pada titik ini, pemerintah dan wakil rakyat di DPR RI beranggapan bahwa masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil lemah, rendah, tidak mandiri, dan tidak berdaya sehingga tidak mampu mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk kesejahteraan bersama sebagaimana diamanahkan di dalam UUD 1945.

Pengesahan Undang-Undang ini pada tanggal 18 Desember 2013 dilakukan tanpa partisipasi masyarakat serta nelayan tradisional dan petambak secara terbuka dengan proses yang sejati dan sepenuhnya. Sebaliknya, komprador asing di Gambir memilih melakukannya secara terbatas dan tertutup dengan hanya melibatkan akademisi, pihak swasta dan cenderung dipercepat. Hal tersebut sejatinya mengakibatkan pelanggaran mendasar atas hak partisipasi setiap warga negara dalam perumusan kebijakan nasional.

Penanda kedua adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 26 Tahun 2013 yang merevisi Permen Nomor 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Tak jauh berbeda spiritnya dengan pengesahan Perubahan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Menteri Kelautan dan Perikanan bahkan membolehkan komoditas perikanan bernilai tinggi yang tersebar di perairan Indonesia, yakni tuna, ditangkap dan langsung didagangkan di pasar luar negeri.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 26/PERMEN-KP/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia tidak menyelesaikan permasalahan pencurian ikan di Indonesia. Bahkan berpotensi tetap melanggar Pasal 25B UU No. 45 Tahun 2009.

Pertama, kewajiban Vessel Monitoring System untuk kapal 30 GT dan asing dilonggarkan. Berdasarkan perubahan Pasal 19 persyaratan permohonan Surat Izin Penangkapan Ikan bagi kapal diatas 30 (tiga puluh) GT tidak diwajibkan memenuhi Surat Keterangan Pemasangan Transmitter vessel monitoring system. Surat keterangan pemasangan transmitter haruslah dikeluarkan oleh Pengawas Perikanan. Kewajiban memenuhi surat keterangan pemasangan transmitter awalanya ditegaskan dalam Permen KP No. 30 Tahun 2012 yang kemudian direvisi dengan Permen 26 Tahun 2013 yang melonggarkan kewajiban menjadi surat pernyataan kesanggupan memasang dan mengaktifkan transmiter sebelum kapal melakukan operasi penangkapan ikan.

Persyaratan tersebut selain kepada kapal penangkapan ikan diatas 30 GT juga kepada usaha perikanan tangkap yang menggunakan modal asing dan/atau tenaga kerja asing. Dengan tidak diwajibkannya pemasangan transmitter vessel monitoring system kepada usaha perikanan tangkap oleh asing akan meningkatkan pencurian ikan di perairan Indonesia. Karena kapal perikanan akan menangkap ikan di luar wilayah penangkapan yang ditetapkan izin yang diberikan. Permen Revisi Usaha Perikanan Tangkap tidak menjawab mandate UU Perikanan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menetapkan sistem pemantauan kapal perikanan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) huruf e UU No. 45 Tahun 2009. Penangkapan ikan diluar daerah atau wilayah yang diberikan izin berarti melakukan pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf e UU No. 45 Tahun 2009 yang mewajibkan penangkapan ikan di daerah yang ditetapkan.

Kedua, transhipment masih diperbolehkan. Pengaturan mengenai transhipment (alih muatan) dari antara kapal di atas perairan masih dimungkinkan dilakukan berdasarkan Permen 26 Tahun 2013. Perubahan pengaturan alih muatan tidak berbeda dengan peraturan yang sebelumnya, yang hanya dipindahkan pasalnya ke Pasal 37 ayat (7), ayat (8), ayat (9) dengan tambahan Pasal 37A, Pasal 37B, dan Pasal 37C yang mengatur persyaratan usaha pengangkutan ikan dengan pola kemitraan. Dengan masih diberikan kebebasan untuk melakukan alih muatan merupakan celah yang berisiko tetap terjadinya pencurian ikan. Terlebih dengan adanya pengecualian terhadap komoditas tuna segar untuk wajib diolah di dalam negeri.

Ketiga, komoditas tuna segar dikecualikan dari Unit Pengolahan Ikan. Pasal 44 ayat (1) Permen 26 Tahun 2013 mengatur setiap perusahaan yang menggunakan kapal penangkap ikan dengan jumlah kumulatif 200 (dua ratus) GT sampai dengan 2.000 (dua ribu) GT wajib bermitra dengan Unit Pengolah Ikan. Namun, berdasarkan Pasal 44 ayat (3a) Permen 26/2013 kewajiban usaha perikanan dengan jumlah kumulatif 200 (dua ratus) GT sampai dengan 2.000 (dua ribu) GT untuk bermitra dengan Unit Pengolah Ikan dikecualikan bagi komoditas tuna segar.

Sebagaimana diketahui bersama wilayah perairan Indonesia merupakan sebagian dari daerah penangkapan tuna (tuna fishing ground) dunia. Aturan Pasal 44 ayat (3a) yang mengecualikan penangkapan komoditas tuna segar tidak diwajibkan untuk diolah dalam negeri merupakan aturan yang akan merugikan sumber daya perikanan Indonesia. Berbagai kapal penangkap ikan tuna dari Jepang melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia dari yang terkecil sebesar 50 GT sampai berukuran lebih besar dari 300 GT. Sehingga pengecualian terhadap komoditas tuna merupakan pelanggaran terhadap Pasal 25B ayat (2) UU No. 45 Tahun 2009.

Pasal  25B ayat (2) UU No. 45 Tahun 2009 mewajibkan kepada pemerintah untuk memprioritaskan produksi dan pasokan ke dalam negeri untuk mencukupi kebutuhan konsumsi nasional. Pasal ini merupakan kebijakan penting mengenai “domestic obligation“ untuk memprioritaskan konsumsi protein bagi setiap warga negara Indonesia.

Dengan adanya klausul Pasal 44 ayat (3a), revisi permen tersebut telah mengelabui tekanan publik terhadap kebijakan pengelolaan perikanan Indonesia. Setelah sebelumnya Pasal 69 ayat (3) dan Pasal 88 Permen KP No. 30 Tahun 2012 memperbolehkan kapal penangkap ikan yang menggunakan alat penangkapan ikan purse seine berukuran diatas 1000 (seribu) GT yang dioperasikan secara tunggal untuk membawa langsung ikan hasil tangkapannya keluar negeri telah dihapuskan. Aturan ini telah dihapus dan ditambahkan dengan kewajiban melaporkan ke syahbandar untuk melakukan perbaikan/docking ke luar negeri. Dihapusnya peraturan Pasal 69 ayat (3) dan Pasal 88 seolah-olah hanya ilusi pengelolaan pangan untuk berdaulat namun kenyataannya hanya menjadi komoditas ekspor tanpa memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan pangan perikanan yang berkualitas.

Dua penanda di atas jelas mencelakai amanah konstitusi: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tak pelak, pekerjaan rumah Presiden 2014-2019 mengoreksi kedua aturan ini dan mengembalikan kedaulatan rakyat dalam mengelola sumber daya perikanan dan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil demi sebesar-besar kemakmuran rakyat melalui koperasi, kerjasama BUMD dan masyarakat pesisir, termasuk di dalamnya nelayan, petambak dan perempuan nelayan skala kecil/tradisional. Sudah saatnya negeri ini berdaulat, Bung!***

Sumber: Majalah Samudra Edisi Juli 2014

Restrukturisasi Hutang Belum Jelas, Petambak Eks-Dipasena Tagih Komitmen BRI dan BNI

Restrukturisasi Hutang Belum Jelas, Petambak Eks-Dipasena Tagih Komitmen BRI dan BNI

Jakarta, JMOL ** Ribuan petambak udang eks-Dipasena Lampung terpaksa menandatangani perjanjian akad kredit dengan BNI dan BRI. Status hutang kredit tersebut menjadi beban petambak, meski mereka tidak pernah menguasai secara langsung dan tidak pernah mendapatkan status laporan hutang. Padahal, setiap panen udang mereka dipotong 20 persen dari sisa hasil usaha, untuk melunasi hutang.

“Koperasi Bumi Dipa yang menaungi lebih dari 7.512 petambak udang eks-Dipasena mengirimkan surat kepada PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Surat tersebut sebagai pernyataan kembali komitmen petambak untuk menyelesaikan permasalahan mengenai Kredit Investasi dan Kredit Modal Kerja,” rilis Siaran Pers Bersama Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) Lampung, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Koalisi Anti Utang (KAU), Indonesia Human Right Committee for Social Justice (IHCS), Indonesia for Global Justice (IGJ), hari ini, Selasa (13/5), kepada JMOL.

Surat petambak merupakan tindak lanjut mediasi Komnas HAM pada 4 Mei 2012 yang dihadiri petambak, pihak bank, dan PT Aruna Wijaya Sakti/Charoen Phokpand Group (PT AWS/CPP). Pada mediasi tersebut, petambak menyatakan komitmennya untuk menyelesaikan permasalahan kredit yang disambut kesediaan pihak BRI dan BNI untuk melakukan restrukturisasi hutang petambak.

Akan tetapi hingga saat ini, belum ada langkah konkret pihak BRI maupun BNI untuk menindaklanjuti hasil mediasi. Kondisi ini tentu saja menimbulkan ketidakpastian bagi petambak.

PT AWS/CPP dinilai gagal melaksanakan kewajiban revitalisasi pertambakan udang eks-Dipasena sebagaimana yang diperjanjikan dalam penjualan aset eks-Dipasena oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA).

Kegagalan revitalisasi menimbulkan kekecewaan petambak yang berujung pada polemik pemutusan hubungan kemitraan. Merespons hal ini, secara sepihak, PT AWS/CPP menggugat 385 orang petambak dengan dalil telah ingkar janji (wanprestasi) dengan salah satunya, karena tidak beriktikad melunasi hutang kredit yang tidak pernah jelas statusnya.

Kredit tersebut pada dasarnya tidak dinikmati secara langsung oleh petambak, namun dikuasai oleh PT AWS/CPP.

PT AWS/CPP menjadi penerima dan penjamin (avalis) kredit tersebut sebagai konsekuensi perjanjian kemitraan inti-plasma yang menjadi modal revitalisasi, namun tidak pernah dilaksanakan.

Pasca-berakhirnya hubungan kemitraan dengan PT AWS/CPP, kegiatan usaha budidaya pertambakan udang di Bumi Dipasena telah berjalan normal. Untuk mendukung kegiatan budidaya, telah dibentuk badan usaha koperasi bernama Koperasi Petambak Bumi Dipasena (KPBD) yang berfungsi sebagai wadah ekonomi petambak melakukan budidaya udang secara lebih adil dan baik.

Petambak juga melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana pertambakan secara swadaya di bawah ‘Program Revitalisasi Mandiri’.

Editor: Arif Giyanto

Sumber:http://jurnalmaritim.com/2014/8/1149/restrukturisasi-hutang-belum-jelas-petambak-eks-dipasena-tagih-komitmen-bri-dan-bni

Revisi UU Perikanan Penting untuk Pengakuan Peran dan Perlindungan Perempuan Nelayan

Revisi UU Perikanan Penting untuk Pengakuan Peran dan Perlindungan Perempuan Nelayan

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Peran perempuan nelayan di dunia sudah diakui sangat penting. Di seluruh dunia, sedikitnya 56 juta orang secara langsung terlibat di dalam aktivitas perikanan, dimana di dalamnya termasuk perempuan nelayan yang memainkan peranan penting dalam pengolahan dan pemasaran hasil tangkapan ikan. Jika dihitung, sebanyak 660 sampai dengan 880 juta orang atau 12 persen dari jumlah populasi dunia bergelut dan atau bergantung di sektor ini.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim mengatakan, FAO yang menjadi himpunan 189 negara sudah mengakui pentingnya keberadaan dan peran perempuan nelayan dalam aktivitas perikanan skala kecil/tradisional. “Hal ini dibuktikan dengan prioritas rekomendasi dilakukannya penelitian secara mendalam mengenai jumlah, sebaran dan peran perempuan nelayan di dunia pasca perundingan Komisi Perikanan FAO tentang perdagangan ikan di Norwegia Februari 2014 lalu,” ujarnya kepada Gresnews.com, Minggu (18/5).

Sayangnya dalam praktiknya, pengakuan itu belumlah diimplementasikan dalam bentuk jaminan kepastian hukum kepada perempuan nelayan. Di Indonesia misalnya perlindungan terhadap perempuan nelayan belum ditegaskan dalam UU Perikanan. Karena itu, kata Halim, hal pertama yang harus dilakukan pemerintah untuk mengimplementasikan perlindungan tesebut adalah dengan merevisi UU Perikanan.

Kedua, mendorong hadirnya negara dalam pengelolaan sumber daya ikan yang menghubungkan sisi hulu-hilir di kampung-kampung (perempuan) nelayan agar bisa bersaing di dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. “Ketiga, memprioritaskan kebijakan anggaran nasional dan daerah untuk menyejahterakan dan melindungi perempuan nelayan,” kata Halim.

Ketua Presidium PPNI Jumiati mengatakan, krusialnya peran perempuan nelayan juga terlihat dari sisi konsumsi ikan. Ikan, kata dia, menjadi menu yang banyak dipilih oleh populasi dunia hingga 17 persen dan bahkan di beberapa negara mencapai lebih dari 50 persen. Tingginya tingkat konsumsi ikan ini dikontribusikan oleh perempuan nelayan.

Di negara-negara Afrika Barat, misalnya, ikan menjadi menu utama, seperti Senegal sebesar 43 persen, 72 persen di Sierra Leone, dan 55 persen di Gambia dan Ghana. Bagaimana di Asia? Tak jauh berbeda, tingkat konsumsi protein dari ikan juga tinggi. Contohnya, 70 persen di Maladewa, 60 persen di Kamboja, 57 persen di Bangladesh, 55 persen di Sri Lanka, dan Indonesia sebesar 54 persen.

Sebanyak 47 persen perempuan nelayan bekerja di sektor perikanan, utamanya di bagian pengolahan dan pemasaran hasil tangkapan ikan. Dalam konteks ini, sebanyak 48 persen pendapatan keluarga nelayan dikontribusikan oleh perempuan nelayan. Sayangnya, meski berkontribusi besar, nelayan perempuan masih kerap menjadi korban kejahatan karena masih minimnya perlindungan negara.

FAO menemukan fakta di beberapa negara bahwa perempuan nelayan menjadi korban transaksi seks di sektor perikanan. “Dalam konteks ini, Pemerintah Indonesia harus memberikan perlindungan dari ancaman kekerasan, baik psikis, fisik dan seksual,” kata Jumiati.

Hal ini ditegaskan dalam Konferensi Rio+20 dimana dilahirkan kesepakatan yang menegaskan pentingnya komitmen negara-negara yang menandatangani untuk bersungguh-sungguh mendalami jumlah, sebaran dan peran perempuan (nelayan). “Indonesia yang turut serta dalam pertemuan itu, sampai dengan hari ini belum memberikan pengakuan dan perlindungan kepada perempuan nelayan,”ujar Jumiati.

Redaktur : Muhammad Agung Riyadi

Sumber: http://www.gresnews.com/berita/sosial/170185-revisi-uu-perikanan-penting-untuk-pengakuan-peran-dan-perlindungan-perempuan-nelayan/

Nelayan Indonesia Jangan Jadi Penonton Terpinggirkan

Nelayan Indonesia Jangan Jadi Penonton Terpinggirkan

Jakarta (Antara Babel) – Nelayan tradisional di Indonesia masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan sehingga pemberdayaan nelayan dinilai banyak pihak perlu menjadi prioritas pembangunan nasional.

“Pemberdayaan nelayan termasuk petambak memang harus dimulai setelah sekian lama tidak mendapat prioritas dalam pembangunan nasional,” kata Direktur Pusat Studi Oseanografi dan Teknologi Kelautan Universitas Surya Alan F Koropitan, PhD di Jakarta, Kamis (19/6).

Alan mengingatkan bahwa Indonesia ketika merdeka hanya memiliki luas perairan laut sekitar 100.000 kilometer persegi, namun dengan adanya Deklarasi Djuanda dan diakui secara internasional maka total luas perairan laut Indonesia menjadi sekitar 5,8 juta kilometer persegi.

Jadi, ujar dia, luas perairan laut mencapai 70 persen dari total wilayah kedaulatan RI, namun total pekerja di sektor laut dan pesisir hanya berkisar 5,6 juta orang yang terbagi atas 2,3 juta nelayan dan 3,3 juta petambak di Tanah Air.

“Dengan kondisi lahan yang ada sekarang sekitar 120 ribu hektare, maka total lahan budidaya laut jika diekspansi akan mencapai 500 ribu hektare. Ini akan menyamai total lahan budidaya laut Vietnam,” paparnya.

Ia juga mengingatkan dengan adanya pertambahan penduduk dunia maka kebutuhan makanan laut khususnya ikan segar akan mengalami kenaikan besar hingga 45 persen per tahun, tapi pangsa pasar Indonesia masih 3,57 persen.

Sebelumnya, Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Gellwynn Jusuf mengatakan, persoalan masih digunakannya cara-cara tradisional berpotensi menghambat kemajuan nelayan kecil.

“Indonesia masih menghadapi persoalan dengan sisi tradisional dan budaya yang kadangkala menghambat nelayan untuk maju,” kata Gellwynn Jusuf di Jakarta, Selasa (10/6).

Menurut Gellwynn, contoh dari persoalan tradisional tersebut antara lain adat istiadat yang kurang terbuka serta masih belum fasihnya dalam hal menerapkan manajemen keuangan.

Padahal, ujar dia, nelayan memiliki risiko kerja yang tinggi di laut, ketergantungan dengan faktor alam dan bahan bakar minyak (BBM) sebagai komponen utama usaha yang juga berkontribusi menghambat.

“Serta masih sering terjadinya konflik antarkelompok nelayan yang mengakibatkan rentannya profesi nelayan oleh tekanan eksternal,” kata Dirjen Perikanan Tangkap KKP.

Ia juga mengingatkan masalah lainnya adalah masih lemahnya akses nelayan terhadap sumber-sumber pembiayaan, penerapan teknologi dan penetrasi pasar

Instrumen Internasional
Untuk membantu nelayan, Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) M Riza Damanik mengatakan, pengadopsian Instrumen Internasional Perlindungan Nelayan Kecil dapat membantu kebijakan dalam sektor kelautan dan perikanan di Indonesia.

KNTI memandang VGSSF (Instrumen Internasional Perlindungan Nelayan Kecil) akan mempercepat koreksi kebijakan dan prioritas pemerintah RI sekaligus membantu pemerintah dalam menyusun kebijakan yang tepat untuk melindungi nelayan.

Sebagaimana diketahui, Sidang ke-31 Komite Perikanan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) di Roma, Italia, 9-13 Juni 2014, berhasil mengadopsi Instrumen Internasional Perlindungan Nelayan Skala Kecil atau “Voluntary Guidelines on Small-scale Fisheries” (VGSSF).

Menurut Riza, dengan instrumen tersebut maka ke depannya tidak akan ada lagi hambatan baik birokrasi maupun politik dari pemerintah dan DPR pascapemilu 2014 untuk melindungi nelayan tradisional.

Ia juga mengingatkan bahwa secara domestik, Mahkamah Konstitusi RI telah menjabarkan hak-hak konstitusional nelayan tradisional Indonesia.

“Di tingkat global, Indonesia sebagai anggota FAO juga sudah bersepakat dengan VGSSF,” kata Riza yang juga menjadi bagian delegasi RI di Roma.

Riza menyatakan VGSSF merupakan instrumen pertama di dunia yang secara khusus memberi kepastian atas kewajiban setiap negara melindungi nelayan kecil.

Sebelumnya, Riza juga telah mengingatkan nelayan kecil merupakan unsur yang penting guna memenuhi pasokan pangan mengingat semakin besarnya kebutuhan produksi perikanan baik nasional maupun global.

“Ada tiga alasan mendasar Indonesia perlu segera membenahi komitmennya melindungi nelayan kecil. Pertama, pasokan pangan dari perikanan semakin signifikan mengejar gap pemenuhan pangan domestik yang kian tumbuh sejalan pertumbuhan penduduk,” katanya.

Menurut dia, alasan kedua adalah perikanan telah masuk menjadi sektor yang akan diliberalisasi dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.

Sedangkan alasan ketiga, lanjutnya, adalah fakta bahwa seperempat dari total masyarakat miskin di Indonesia bertempat tinggal di perkampungan nelayan.

Ia memaparkan di Indonesia diperkirakan sekitar 13,8 juta orang menggantungkan langsung kehidupannya terhadap sektor perikanan, di mana 90 persen di antaranya adalah pelaku usaha skala kecil.

Wujudkan UU Perlindungan
Sementara itu, lembaga swadaya masyarakat yaitu Serikat Nelayan Indonesia (SNI) dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mendesak agar UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan segera diwujudkan dan dilaksanakan.

“Untuk memaksimalkan upaya perbaikan, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan menjadi sangat penting untuk diwujudkan,” kata Sekjen SNI Budi Laksana.

Menurut dia, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan penting karena didapati berbagai temuan klasik dari hulu ke hilir yang dialami oleh pelaku perikanan skala kecil atau tradisional.

Ia memaparkan sejumlah permasalahan itu antara lain nelayan kian sulit mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) untuk melaut, sulit mendapatkan es batu untuk penyimpanan ikan, serta tidak ada alternatif pekerjaan saat cuaca ekstrem.

Selain itu, lanjut dia, nelayan kerap mengalami keterbatasan modal dan sulit mengakses permodalan, serta tidak ada informasi mengenai wilayah dan potensi sebaran ikan yang diterima nelayan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota/Kabupaten/Provinsi.

Sedangkan dalam tahap melaut, cuaca ekstrem menjadi kendala terberat nelayan serta beroperasinya kapal besar di wilayah pesisir (1-12 mil) yang mengurangi tangkapan nelayan kecil.

“Pembiaran terhadap pemakaian alat tangkap trawl mengakibatkan rusaknya ekosistem pesisir dan hilangnya jaring nelayan,” ucapnya.

Berdasarkan data SNI dan Kiara, setidaknya terdapat sebanyak 14,7 juta jiwa pelaku perikanan, mulai dari sektor perikanan tangkap, budidaya, pengolahan dan pemasaran di Indonesia bekerja tanpa kebijakan politik perlindungan dan pemberdayaan setingkat undang-undang dan pengalokasian anggaran yang sesuai kebutuhan.

Sekjen Kiara Abdul Halim mengingatkan, hal tersebut akan melemahkan daya saing bangsa dalam kompetisi regional dan global, di antaranya Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.

“Sudah bukan zamannya negara kelautan terbesar di dunia tidak memastikan perlindungan dan pemberdayaan nelayan melalui kebijakan politik dan penganggarannya,” kata Abdul Halim.

Untuk itu, Sekjen Kiara mengingatkan bahwa presiden yang terpilih pada Pemilu Presiden 2014 mendatang harus segera memberlakukan UU itu.

“Tanpa politik pengakuan negara, pelaku perikanan nasional hanya akan menjadi penonton di Tanah Airnya,” ujarnya.

 

Sumber: http://www.antarababel.com/print/10895/nelayan-indonesia-jangan-jadi-penonton-terpinggirkan

Sulyati: Sarjana Pendidikan di Kampung Nelayan

“Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang,” demikian pesan Bung Karno yang mengilhami Sulyati, perempuan bertubuh mungil dari Desa Gempolsewu, Kecamatan Rowosari, Kabupaten Kendal. Ia bermimpi, suatu hari nanti akan ada anak nelayan yang bisa lulus kuliah dan menjadi sarjana. Pasalnya, pendidikan tinggi di kampung-kampung nelayan masih dianggap ‘barang’ mahal. Cap buruk tentang kebodohan pun masih melekat di kampung-kampung nelayan.

sulyati OKIa biasa dipanggil Mbak Sul, istri nelayan dan ibu dari tiga anak yang hingga hari ini melawan kebodohan dan kemiskinan di kampungnya.

Sarjana Pendidikan

Di kebanyakan kampung nelayan, pendidikan bukan hal yang diprioritaskan. Angka putus sekolah yang terjadi di kampung nelayan pun kian meningkat setiap tahunnya. Mbak Sul memperkirakan di kampungnya saja tiap tahun sekitar 20 anak nelayan putus sekolah. Biaya hidup yang kian tinggi dan biaya pendidikan yang kian mahal menjadikan pendidikan seperti barang eksklusif.

Banyak yang putus sekolah, biaya sekolah mahalnya minta ampun. Nelayan Gempolsewu banyak yang hidup miskin, musim rendeng semakin membuat nelayan hidup sulit. Apalagi sekarang anak-anak suka main hape, sekolah bukan hal penting. Jadi banyak juga dari mereka pengen cepat kerja, jadi buruh-buruh supaya bisa beli hape itu,” cerita Mbak Sul sambil tersenyum.

Melihat angka putus sekolah yang kian tinggi menggerakkan Mbak Sul mendobrak stigma buruk tentang kebodohan. Ia dan suaminya bekerja keras bersama agar bisa meraih gelar sarjana. Mulanya Mbak Sul mulai mengajar di tahun 2001 sebagai guru TK yang bergaji Rp.20.000 per bulan. Gaji yang diterima Mbak Sul tentu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Namun dedikasinyalah yang terus membuat Mbak Sul terus mengajar. Hingga akhirnya ia harus berhenti menjadi guru TK untuk mengurus anaknya yang sakit. Mbak Sul kembali mengajar mengajar anak-anak TK baru dilanjutkan pada tahun 2005, setelah anaknya pulih dari sakit flek yang dideritanya.

“Waktu mulai mengajar lagi tahun 2005 gajinya sudah naik jadi Rp. 50.00 per bulan,” katanya penuh semangat.

Hingga di tahun 2012 impian Mbak Sul untuk melanjutkan ke jenjang kuliah tidak tertahankan. Ia ingin membuktikan bahwa istri nelayan pun bisa bermimpi menjadi sarjana dan perlahan meraihnya.

“Ndak mudah mendapatkan gelar, pinjam uang sana sini untuk bayar SPP. Apalagi waktu mulai kuliah saya baru melahirkan anak ketiga, kalau saya kuliah anak saya titipkan ke saudara-saudari. Nah kalau pulang itu baru saya ambil. Kadang sudah pada tidur saya gendong bawa pulang,” kenang Mbak Sul.

Masa-masa kuliah konon menjadi masa paling sulit bagi Mbak Sul. Suaminya harus menjadi TKI untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kehidupan nelayan belum mampu menutupi kebutuhan sehari-hari Mbak Sul dan keluarga kala itu. Praktis ia yang mengurus anak-anaknya sembari kuliah. Namun, perjuangannya membawa hasil, Mbak Sul menjadi sarjana dan mendapat gelar S.Pd (Sarjana Pendidikan).

Sanitasi Gempolsewu

Apa yang kita bayangkan ketika mengukur seseorang itu kaya atau tidak? Uang, jabatan, titel, atau berbatas materi? Bagi Mbak Sul, di tengah kampungnya Gempolsewu, kekayaan seseorang dinilai dari apakah rumahnya memiliki WC atau tidak.

“Orang kaya di kampung kami itu artinya punya WC sendiri di rumah, ndak perlu repot lari-lari ke jamban dan antri,” ujar Mbak Sul sembari tertawa.

Terlebih lagi di kampungnya tidak ada tempat pembuangan sampah, semua dibuang ke sungai yang berakhir ke laut. Tanpa dipungkiri, kondisi kampung Gempolsewu kian kumuh dan masyarakatnya rentan penyakit. Jika banjir rob datang, semua sampah dan isi dari sungai masuk ke rumah-rumah nelayan.

Anak-anak kecil banyak yang terserang penyakit. Pada tahun 2012 seorang anak kecil yang merupakan murid didik Mbak Sul meninggal dunia karena terkena DBD (Demam Berdarah). Mbak Sul dan kawan-kawan menjadi motor penggerak melakukan aksi  untuk meminta fogging (Penyemprotan jentik-jentik nyamuk) di kampungnya.

“Saya kehilangan dan sedih, rasanya sulit sekali meminta pemerintah peduli kepada kesehatan nelayan,” harap Mbak Sul.

Hingga hari ini, warga sekitar Gempolsewu selalu datang ke rumah Mbak Sul jika keluarganya sedang sakit dan membutuhkan informasi fasilitas kesehatan dari pemerintah. Namun, kebutuhan dasar untuk mendapatkan fasilitas kesehatan, lingkungan dan sanitasi bersih masih menjadi hal mahal untuk didapat oleh nelayan Gempolsewu.

“Kebanyakan nelayan ndak ngerti harus kemana dan gimana kalau mereka sakit, mereka punya kartu nelayan tapi ndak ada fungsi,” kesal Mbak Sul.

Sekar Wilujeng

Nelayan Gempolsewu pun harus terus berhadapan dengan perubahan iklim yang semakin tidak menentu. Musim rendeng atau musim paceklik kerap membuat nelayan terjebak pada lintah darat. Melihat banyaknya nelayan yang terjebak hutang, Mbak Sul mulai melakukan perubahan melalui Sekar Wilujeng, kelompok perempuan nelayan yang beranggotakan 50 orang perempuan nelayan.

Mbak Sul bersama kelompoknya mulai mengembangkan tabungan rendeng. Tabungan yang dapat digunakan oleh nelayan jika musim paceklik tiba. Melalui tabungan inilah anggotanya mulai perlahan-lahan terlepas dari lintah darat. Terpenting budaya menabung sudah tumbuh dan membuat kelompok Sekar Wilujeng kian bersemangat untuk lepas dari lilitan hutang.

Tidak sampai di situ, Mbak Sul pun mulai menggerakan perempuan nelayan untuk membuat hasil olahan laut, seperti kerupuk, ikan asin, dan terasi. Hasil produknya dijual di sekitar kampung dan pasar terdekat. Mbak Sul menilai panganan sehat hanya berasal dari olahan sendiri, bukan dari tradisi membeli makanan cepat saji ataupun instan.

“Sulit menemukan pasar yang mau menerima produk kami, karena memang kemasannya masih tradisional dan sederhana. Tapi kelompok Sekar Wilujeng selalu semangat dan ndak pernah menyerah,” imbuh Mbak Sul.

Pada tahun 2012, Mbak Sul bergabung dalam PPNI atau Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia. Mimpinya telah tergabung bersama kelompok perempuan nelayan dari seluruh Indonesia adalah perempuan nelayan haruslah sejahtera.

“Perempuan nelayan itu tahu, mampu dan mau—ia harus mendapatkan keadilan dalam hak dan akses terhadap sumber daya alam yang bersih, sehat dan berkelanjutan untuk hidup mereka yang lebih sejahtera. Ini seperti mimpi, tapi mimpi yang harus jadi kenyataan,” tutup Sulyati, sarjana pendidikan.*** (SH)

Kabar Bahari: Presiden Jokowi (harus) atasi Pencuri Ikan

Penangkapan ikan secara ilegal, tidak diatur dan dilaporkan bukanlah fenomena baru dalam perikanan tangkap. Kerugian Indonesia akibat penangkapan ikan tanpa izin, tak dilaporkannya hasil tangkapan ikan, dan penangkapan ikan di area yang belum diatur pengelolaannya mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahun. Pada 2001 saja, Organisasi Pangan Dunia (FAO) memperkirakan Indonesia kehilangan Rp30 triliun per tahun dari sektor ini.

Fisheries Resources Laboratory menyebut akibat pencurian ikan di Laut Arafura selama kurun 2001-2013, Indonesia merugi Rp520 triliun.

Merujuk pada data Kementerian Kelautan dan Perikanan, saat ini terdapat sedikitnya 550 ribu kapal yang mengantongi surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI). Dari jumlah itu, 1.200 adalah eks bahtera berbendera asing.

Masih tingginya kasus pencurian ikan atau illegal fishing di wilayah perairan laut Indonesia menunjukkkan lemahnya pengawasan negara dalam menjaga kekayaan sektor bahari kita. Pengawasan laut belum terkoordinasi dengan baik akibat adanya ego sektoral sejumlah kementerian dan lembaga negara.

 

Ikuti informasi terkait buletin Kabar Bahari selengkapnya  di >>KLIK DISINI<<

KISAH CALO BERGAJI DOLAR

Investigasi Majalah Tempo Tentang Pencurian Ikan

KISAH CALO BERGAJI DOLAR

Orang dalam di Kementerian Perhubungan dan Kementerian Perikanan dituding memuluskan izin kapal siluman. Makelarnya digaji ribuan dolar perbulan.

AGAK tergesa, Luther Palambi turun dari Mabiru 15, kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang baru saja sandar di dermaga Pelabuhan Perikanan Nusantara Ambon, Maluku, pada medio Maret lalu. Pelaut lulusan Sekolah Pelayaran Poso ini menjinjing koper hitam yang sedikit kusam. Isinya dokumen perizinan kapal, dari surat laik operasi kapal, surat aktivitas transmitter kapal, hingga segepok paspor puluhan awak kapalnya.

Meski tugasnya cuma mengurus surat-surat kapal dan izin penangkapan ikan, Luther menyandang jabatan keren. Dialah nakhoda kapal Maribu 15. Lho, kapten kapal besar berbobot sampai 365 gross tonnage kok repot mengurus izin ini-itu? Luther tersenyum kecut sebelum menjawab, “Ada dua kapten di Maribu. Satunya orang Thailand.

Menurut Luther, kapten Thailand bertanggung jawab atas pengawasan dan memastikan operasional kapal berlangsung lancar. “Yang lainnya tugas saya, termasuk mengurus surat izin ke syahbandar,” kata Luther.

Kapten seperti Luther bukan barang aneh di banyak pelabuhan perikanan di Indonesia. di Ambon, Bitung, Tual, sampai Sorong, banyak pelaut Indonesia di pekerjakan sebagai “kapten boneka”.

Mereka semua bertuga di atas kapal siluman- kapal berbendera Indonesia yang sebenarnya dikendalikan orang asing. Sang pemilik asli, atau orang kepercayaanya, biasanya juga ada diatas kapal. Kadang mereka menyaru jadi master fishing atau engineer. Merekalah kapten kapal yang sesungguhnya.

Kepala Kantor Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Bitung, Pung Nugroho Saksono, membenarkan fenomena ini. Membuktikannya pun, kata dia, tak sulit: semua kapal siluman pasti melakukan perawatan berkala alias docking ke negara asalnya. “Ini mencurigakan karena ada banyak galangan kapal di Bitung,” kata Pung ketika ditemui Tempo  pada akhir Mei lalu. Kalau memang kapal itu milik orang Indonesia, kenapa harus docking jauh-jauh?”

Pung lalu membuka data pengawasan lembaganya di Bitung dan menunjukkan table berisi daftar penerbitan surat berlayar sepanjang 2013. Tercatat ada sedikitnya 52 kapal penangkap ikan yang berlayar ke  Pelabuhan General Santos  di Filipina dan Pelabuhan Kaoshiung, Taiwan, untuk docking. “Padahal, secara legal, kapal-kapal itu milik perusahaan dalam negeri,” kata Pung sambil geleng-geleng.

 

SETIAP pemilik kapal siluman pasti membutuhkan calo atau makelar untuk mengurus perizinan di Indonesia. Sang makelar  yang bertugas menyiasati aturan agar kapal dari Thailand, Taiwan, dan Filipina itu bisa bebas mencari ikan di perairan Nusantara.

Tak sulit menjadi calo kapal asing. Seorang pengusaha yang pernah mengendalikan ratusan kapal siluman di Batam, Bitung, sampa Sorong, bercerita bahwa hal pertama yang dibutuhkan hanya selembar surat izin usaha perikanan. Berbekal surat itu, seorang calo bisa memohon alokasi area penangkapan ikan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sayangnya, pengusaha ini tak mau namanya disebut karena khawatir bisnisnya terganggu. Dia masih sering membantu kapal asing yang hendak beroperasi di Indonesia.

Dalam prosedur pengajuan kedua izin vital tersebut, pemerintah memang tidak memeriksa kepemilikan kapal pemohon. Dengan kata lain, seorang bisa mendapatkan izin penangkapan ikan meski tak punya satu pun kapal.

Celah inilah yang dimanfaatkan oleh calo. Berbekal kedua dokumen itu, mereka pergi ke Pelabuhan Songkhla di Thailand, General Santos di Filipina, atau Kaoshiung di Taiwan. “Di sana banyak pemilik kapal ikan yang siap diajak bekerja sama,” ujar si pengusaha. Jika harga disepakati, sang calo kembali ke Tanah Air dan mulai mengurus dokumen perizinan untuk kapal asing itu. “Seluruh biaya ditanggung pemilik kapal,” katanya.

Pertama-tama, sang calo harus mengurus perubahan kepemilikan kapal dari berbendera asing ke  bendera Indonesia. Ini diurus di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan. Setelah itu, kapal harus mengantongi surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan surat izin kapal pengangkut ikan (SKIPI) di Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Meski kedua izin terakhir itu harus diurus di kantor Kementerian di Ibu Kota, Makelar di pelabuhan semacam Bitung dan Ambon sudah punya jaringan sampai ke Jakarta. “Mereka punya orang dalam,” kata penguasa ini.

Biasanya, calo menggeluti berbagai bidang usaha sebagai upaya penyamaran. Ada yang punya perusahaan penangkapan ikan meski jarang melaut. Ada juga yang memiliki unit pengolahan ikan ala kadarnya. Semua usaha itu hanya kedok untuk bisnis utama mereka: makelar perizinan.

Seorang petinggi Kementerian Kelautan dan Perikanan tak membantah informasi ini. Dia tak mau bicara terbuka karena khawatir kehilangan posisinya. “Brokernya banyak sekali, dari barat sampai ke timur Indonesia,” katanya.

Sang pejabat mengaku kementeriannya kewalahan mengatasi ulah para calo ini. Meski bukan wilayah tugasnya, dia menyarankan sebuah cara jitu untuk membongkar kedok para makelar. “Cek saja alamat yang dipakai pada surat izin usaha perikanan mereka,” katanya. Ketika bertugas di bidang pengawasan, dia mengaku pernah menemukan bengkel, apotek, sampai toko kelontongan dipakai sebagai alamat usaha perikanan.

MESKI pengawasan sudah diperketat, calo tak kekurangan akal. Pasalnya, imbalan untuk mereka juga selangit. Seorang calo di Bitung bercerita bagaimana dia dibayar Rp. 10 juta setiap bulan selama kapal siluman beroperasi di Indonesia. itu belum termasuk komisi untuk keberhasilan mengurus izin yang bisa sampai Rp 100 juta per kapal.

Seorang calo lain berkisah bahwa tarif mereka juga bergantung pada area penangkapan ikan yang diinginkan. Jika kapal asing itu minta lokasi penangkapan ikan di sekitar Natuna, makelar akan minta honor US$  5.000 per bulan alias lebih dari Rp 50 juta. Adapun tarif makelar di laut Sulawesi mencapai US$ 7.000. Tarif untuk makelar yang bisa mencarikan area penangkapan ikan di Laut Arafura adalah yang paling mahal: US$ 10 ribu. “Soalnya, ikan disana masih banyak,”katanya.

Bekas Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Aji Soelarso mengiyakan semua informasi itu. Merogoh kocek ratusan juta rupiah untuk mendapatkan izin dari pintu belakang, kata dia, tak ada artinya bagi pemilik kapal siluman. Soalnya, sekali melaut di Indonesia, mereka mendapat tangkapan ikan bernilai triliunan rupiah. “Apalagi hasil tangkapan kapal abal-abal itu langsung diangkut ke negara asalnya, tak mampir ke pelabuhan kita,” kata Aji.

KEBERADAAN kapten boneka yang merangkap jadi calo perizinan kapal siluman sudah lama jadi keprihatinan pemerhati perikanan di Indonesia. “Banyak kapten kapal  kita yang memang hanya bertugas mengurusi dokumen,” kata Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), kepada Tempo, awal Jui lalu.

Selain untuk mengurus dokumen, nama mereka dicatut buat dicantumkan dalam surat izin dan dokumen perizinan berlayar. “Ini harus ditertibkan.” Katanya. Tanpa peran calon dan kapten boneka ini, sebenarnya pemilik kapal asing tak punya celah untuk mencari ikan di perairan Nusantara.

Halim memastikan bahwa perbaikan di sektor perizinan akan berperan besar mengatasi maraknya pencurian ikan di negeri ini. “Selama ini permainan izin kapal eks asing ini merupakan sumber masalah yang tak pernah ditangani,” katanya tegas.

Ketika dimintai konfirmasi, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Gellwyn Jusuf menolak tudingan tentang banyaknya permainan broker di lembaganya. “Broker memang ada, tapi mereka punya kuasa resmi untuk mengurus perpanjangan izin kapal,” katanya. Meski begitu, dia berjanji menindak tegas makelar yang membuka pintu bagi pencoleng ikan di Indonesia.

Sumber: Majalah Tempo, 23-29 Juni 2014.

KISAH CALO BERGAJI DOLAR

Investigasi Majalah Tempo Tentang Pencurian Ikan

KISAH CALO BERGAJI DOLAR

Orang dalam di Kementerian Perhubungan dan Kementerian Perikanan dituding memuluskan izin kapal siluman. Makelarnya digaji ribuan dolar perbulan.

AGAK tergesa, Luther Palambi turun dari Mabiru 15, kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang baru saja sandar di dermaga Pelabuhan Perikanan Nusantara Ambon, Maluku, pada medio Maret lalu. Pelaut lulusan Sekolah Pelayaran Poso ini menjinjing koper hitam yang sedikit kusam. Isinya dokumen perizinan kapal, dari surat laik operasi kapal, surat aktivitas transmitter kapal, hingga segepok paspor puluhan awak kapalnya.

Meski tugasnya cuma mengurus surat-surat kapal dan izin penangkapan ikan, Luther menyandang jabatan keren. Dialah nakhoda kapal Maribu 15. Lho, kapten kapal besar berbobot sampai 365 gross tonnage kok repot mengurus izin ini-itu? Luther tersenyum kecut sebelum menjawab, “Ada dua kapten di Maribu. Satunya orang Thailand.

Menurut Luther, kapten Thailand bertanggung jawab atas pengawasan dan memastikan operasional kapal berlangsung lancar. “Yang lainnya tugas saya, termasuk mengurus surat izin ke syahbandar,” kata Luther.

Kapten seperti Luther bukan barang aneh di banyak pelabuhan perikanan di Indonesia. di Ambon, Bitung, Tual, sampai Sorong, banyak pelaut Indonesia di pekerjakan sebagai “kapten boneka”.

Mereka semua bertuga di atas kapal siluman- kapal berbendera Indonesia yang sebenarnya dikendalikan orang asing. Sang pemilik asli, atau orang kepercayaanya, biasanya juga ada diatas kapal. Kadang mereka menyaru jadi master fishing atau engineer. Merekalah kapten kapal yang sesungguhnya.

Kepala Kantor Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Bitung, Pung Nugroho Saksono, membenarkan fenomena ini. Membuktikannya pun, kata dia, tak sulit: semua kapal siluman pasti melakukan perawatan berkala alias docking ke negara asalnya. “Ini mencurigakan karena ada banyak galangan kapal di Bitung,” kata Pung ketika ditemui Tempo  pada akhir Mei lalu. Kalau memang kapal itu milik orang Indonesia, kenapa harus docking jauh-jauh?”

Pung lalu membuka data pengawasan lembaganya di Bitung dan menunjukkan table berisi daftar penerbitan surat berlayar sepanjang 2013. Tercatat ada sedikitnya 52 kapal penangkap ikan yang berlayar ke  Pelabuhan General Santos  di Filipina dan Pelabuhan Kaoshiung, Taiwan, untuk docking. “Padahal, secara legal, kapal-kapal itu milik perusahaan dalam negeri,” kata Pung sambil geleng-geleng.

 

SETIAP pemilik kapal siluman pasti membutuhkan calo atau makelar untuk mengurus perizinan di Indonesia. Sang makelar  yang bertugas menyiasati aturan agar kapal dari Thailand, Taiwan, dan Filipina itu bisa bebas mencari ikan di perairan Nusantara.

Tak sulit menjadi calo kapal asing. Seorang pengusaha yang pernah mengendalikan ratusan kapal siluman di Batam, Bitung, sampa Sorong, bercerita bahwa hal pertama yang dibutuhkan hanya selembar surat izin usaha perikanan. Berbekal surat itu, seorang calo bisa memohon alokasi area penangkapan ikan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sayangnya, pengusaha ini tak mau namanya disebut karena khawatir bisnisnya terganggu. Dia masih sering membantu kapal asing yang hendak beroperasi di Indonesia.

Dalam prosedur pengajuan kedua izin vital tersebut, pemerintah memang tidak memeriksa kepemilikan kapal pemohon. Dengan kata lain, seorang bisa mendapatkan izin penangkapan ikan meski tak punya satu pun kapal.

Celah inilah yang dimanfaatkan oleh calo. Berbekal kedua dokumen itu, mereka pergi ke Pelabuhan Songkhla di Thailand, General Santos di Filipina, atau Kaoshiung di Taiwan. “Di sana banyak pemilik kapal ikan yang siap diajak bekerja sama,” ujar si pengusaha. Jika harga disepakati, sang calo kembali ke Tanah Air dan mulai mengurus dokumen perizinan untuk kapal asing itu. “Seluruh biaya ditanggung pemilik kapal,” katanya.

Pertama-tama, sang calo harus mengurus perubahan kepemilikan kapal dari berbendera asing ke  bendera Indonesia. Ini diurus di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan. Setelah itu, kapal harus mengantongi surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan surat izin kapal pengangkut ikan (SKIPI) di Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Meski kedua izin terakhir itu harus diurus di kantor Kementerian di Ibu Kota, Makelar di pelabuhan semacam Bitung dan Ambon sudah punya jaringan sampai ke Jakarta. “Mereka punya orang dalam,” kata penguasa ini.

Biasanya, calo menggeluti berbagai bidang usaha sebagai upaya penyamaran. Ada yang punya perusahaan penangkapan ikan meski jarang melaut. Ada juga yang memiliki unit pengolahan ikan ala kadarnya. Semua usaha itu hanya kedok untuk bisnis utama mereka: makelar perizinan.

Seorang petinggi Kementerian Kelautan dan Perikanan tak membantah informasi ini. Dia tak mau bicara terbuka karena khawatir kehilangan posisinya. “Brokernya banyak sekali, dari barat sampai ke timur Indonesia,” katanya.

Sang pejabat mengaku kementeriannya kewalahan mengatasi ulah para calo ini. Meski bukan wilayah tugasnya, dia menyarankan sebuah cara jitu untuk membongkar kedok para makelar. “Cek saja alamat yang dipakai pada surat izin usaha perikanan mereka,” katanya. Ketika bertugas di bidang pengawasan, dia mengaku pernah menemukan bengkel, apotek, sampai toko kelontongan dipakai sebagai alamat usaha perikanan.

MESKI pengawasan sudah diperketat, calo tak kekurangan akal. Pasalnya, imbalan untuk mereka juga selangit. Seorang calo di Bitung bercerita bagaimana dia dibayar Rp. 10 juta setiap bulan selama kapal siluman beroperasi di Indonesia. itu belum termasuk komisi untuk keberhasilan mengurus izin yang bisa sampai Rp 100 juta per kapal.

Seorang calo lain berkisah bahwa tarif mereka juga bergantung pada area penangkapan ikan yang diinginkan. Jika kapal asing itu minta lokasi penangkapan ikan di sekitar Natuna, makelar akan minta honor US$  5.000 per bulan alias lebih dari Rp 50 juta. Adapun tarif makelar di laut Sulawesi mencapai US$ 7.000. Tarif untuk makelar yang bisa mencarikan area penangkapan ikan di Laut Arafura adalah yang paling mahal: US$ 10 ribu. “Soalnya, ikan disana masih banyak,”katanya.

Bekas Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Aji Soelarso mengiyakan semua informasi itu. Merogoh kocek ratusan juta rupiah untuk mendapatkan izin dari pintu belakang, kata dia, tak ada artinya bagi pemilik kapal siluman. Soalnya, sekali melaut di Indonesia, mereka mendapat tangkapan ikan bernilai triliunan rupiah. “Apalagi hasil tangkapan kapal abal-abal itu langsung diangkut ke negara asalnya, tak mampir ke pelabuhan kita,” kata Aji.

KEBERADAAN kapten boneka yang merangkap jadi calo perizinan kapal siluman sudah lama jadi keprihatinan pemerhati perikanan di Indonesia. “Banyak kapten kapal  kita yang memang hanya bertugas mengurusi dokumen,” kata Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), kepada Tempo, awal Jui lalu.

Selain untuk mengurus dokumen, nama mereka dicatut buat dicantumkan dalam surat izin dan dokumen perizinan berlayar. “Ini harus ditertibkan.” Katanya. Tanpa peran calon dan kapten boneka ini, sebenarnya pemilik kapal asing tak punya celah untuk mencari ikan di perairan Nusantara.

Halim memastikan bahwa perbaikan di sektor perizinan akan berperan besar mengatasi maraknya pencurian ikan di negeri ini. “Selama ini permainan izin kapal eks asing ini merupakan sumber masalah yang tak pernah ditangani,” katanya tegas.

Ketika dimintai konfirmasi, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Gellwyn Jusuf menolak tudingan tentang banyaknya permainan broker di lembaganya. “Broker memang ada, tapi mereka punya kuasa resmi untuk mengurus perpanjangan izin kapal,” katanya. Meski begitu, dia berjanji menindak tegas makelar yang membuka pintu bagi pencoleng ikan di Indonesia.

Sumber: Majalah Tempo, 23-29 Juni 2014.

KAPAL SILUMAN DI LAUT NUSANTARA

INVESTIGASI Majalah Tempo

KAPAL SILUMAN DI LAUT NUSANTARA

Selama bertahun-tahun, laut Indonesia menjadi sasaran empuk pencoleng asing. Berasal dari Taiwan sampai Thailand, mereka menggunakan kapal berbendera Merah Putih dengan memanipulasi beragam perizinan. Di samudra kita, para garong dengan leluasa mencuri ikan dan mengangkutnya ke negeri seberang. Negara dirugikan hingga ratusan triliun rupiah. Dalam dua bulan terakhir, Tempo menelusuri sepak terjang kapal-kapal siluman tersebut.

BERULANGKALI Daniel Kaghahing mengusap matanya yang berkaca-kaca. Mantan pelaut di Papusungan, Lembeh Selatan –sebuah pulau tepat di seberang kita Bitung, Sulawesi Utara- itu sedang meratapi garis kehidupannya yang nahas. Ditemui akhir Mei lalu, pria 39 tahun ini baru sebulan keluar dari penjara.

Nasib buruknya bermula dua tahun lalu. Ketika itu Daniel memegang jabatan mentereng: kapten kapal. Banteranya tidak sembarangan. Besarnya 319 gross tonnage dan bisa berlayar mencari ikan sampai jauh. Namanya Meriyana. Sekali melaut, Daniel bisa tak pulang sampai enam bulan.

Pada awal 2012, sebuah peristiwa mengubah garis tangan Daniel. Sepulang dari kegiatannya menangkap ikan di Laut Arafura, polisi mencarinya dengan tuduhan terlibat pemalsuan document kapal. Sekembali ke Bitung, Meriyana memang berubah nama menjadi Yungin 05.

Daniel terkejut. Selama delapan tahun jadi nakhoda kapal, baru kali ini dia berurusan dengan penegak hukum. Rasa kagetnya bertambak ketika majelis hakim menjatuhkan hukuman 20 bulan penjara. Bukan hanya itu, semua document izinya sebagai pelaut juga disita pengadilan, termasuk sertifikat ahli nautia kapal penangkap ikan (atkapin) tingkat dua. “Sejak itu saya tidak bisa melaut lagi,” katanya pilu.

Ironisnya, pelanggaran seperti yang dilakoni Daniel itu dilakukan juga oleh banyak pelatu lain di Bitung. Kapten kapal yang menakhodai bahtera dengan dokumen palsu bertebaran disana. Di atas kapal siluman itu, mereka tak lebih dari kapten boneka.

TUDINGAN  bahwa sebagai besar kapal penangkap ikan di Indonesia diam-diam ternyata milik warga negara dan perusahaan asing sebenarnya sudah lama terdengar.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara). Lembaga swadaya masyarakat yang kerap melakukan riset dan advokasi di bidang ini, secara khusus mengangkat itu dalam peringatan hari nelayan Nasional pada 6 April lalu. Mereka menggelar unjuk rasa di Bundaran Hotel Indonesia, menuding pemerintah membiarkan banyak kapal siluman mencari ikan di perairan Nusantara.

Sekretaris Jenderal Kiara, Abdul Halim, mengaku punya sederet bukti untuk mendukung tuduhan itu. “Selama ini ada kesan bahwa pelakunya justru dilindungi  pemerintah,” kata Halim, dua pekan lalu.

Tak mengherankan kalau Halim geregetan. Kerugian Indonesia akibat penangkapan ikan tanpa izin, tak dilaporkannya hasil tangkapan ikan, dan penangkapan ikan di area yang belum diatur pengelolaannya (illegal, unreported, and unregulated fishing) mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahun.  Pada 2001 saja, Organisasi Pangan Dunia (FAO) memperkirakan Indonesia kehilangan Rp 30 triliun per tahun dari sektor ini.

Sebuah lembaga riset lain, Fisheries Resources Laboratory, mengungkapkan angka yang lebih mencengangkan. Akibat pencurian ikan di Laut Arafura selama kurun 2001-2013, negeri ini sudah merugi Rp 520 triliun. Uang sebanyak itu bisa dipakai untuk membangun lebih dari seratus jembatan antarpulau sebesar Suramadu. “Modus illegal fishing yang paling banyak terjadi adalah pemalsuan izin,” tulis hasil analisis itu.

Secara tersirat, pemerintah tak menolak kesahihan data lembaga ini. Pasalnya, dokumen penelitian ini justru ditemukan Tempo di situs Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Bagaimana pemalsuan izin kapal siluman ini bisa terjadi? Halim menunjuk lemahnya pengawasan atas proses alih kepemilikan pada kapal yang semula berbendera asing. “Semua berawal dari sana,” katanya.

Merujuk pada data Kementerian Kelautan dan Perikanan, saat ini terdapat sedikitnya   550 ribu kapal yang mengantongi surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI). Dari jumlah itu, 1.200 adalah eks bahtera berbendara asing.

Kapal-kapal asing itu berubah kepemilikan seiring dengan pemberlakukan Undang-Undang Perikanan  Nomor 45 tahun 2009. Yaitu melarang sepenuhnya kapal asing menangkap ikan di laut Nusantara. Kini kapal-kapal raksasa tersebut tercatat sebagai milik orang atau perusahaan Indonesia.

Masalahnya, banyak warga yang yang yakin ada permainan di bawah meja. Para pemilik kapal lama kapal asing itu sebenarnya masih menguasai asetnya dengan menyiasati perizinan.

Rokhmin Dahuri, Menteri Kelautan dan Perikanan di era Presiden Megawati Soekarnoputri, termasuk yang mempercayai hal itu. “Namanya kapal pinjam bendera (flag of convenience). Kapal semacam itu semi-legal: secara de jure resmi milik pengusaha Indonesia, tapi secara de facto milik asing,” katanya pekan lalu.

Mantan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Perikanan Aji Soelarso sependapat. Dihubungi terpisah, dia mengungkapkan bahwa peralihan kepemilikan kapal asing ke pengusaha Indonesia itu menggunakan modus transaksi palsu. “Akibatnya, sekarang banyak kapal abal-abal,” katanya pada awal Juni lalu.

Kedua mantan pejabat ini menegaskan bahwa praktek kapal siluman merupakan modus terbaru penangkapan ikan illegal. “Dengan bendera Indonesia, kapal-kapal asing ini leluasa menangkap ikan di luar wilayah yang menjadi haknya,” kata Rokhmin dengan nada geram.

 

MARI kembali pada kisah Daniel Kaghahing. Pada media 2011, Meriyana -kapal yang dinakhodai Daniel- berangkat dari pelabuhan Bitung. Mereka berencana melaut selama enam bulan di Laut Arafura.

Baru dua bulan beroperasi di perairan kaya ikan itu, sebuah panggilan masuk ke telepon satelit yang terpasang di Meriyana. Seorang pegawai PT. Karya Bitung Sejati –perusahaan pemilik Meriyana- meminta Daniel segera merapat ke pelabuhan Pamoko, Timika Papua. “Saya diminta mengambil dokumen surat izin penangkapan ikan yang sudah diperpanjang,” katanya kepada Tempo, akhir Mei lalu.

Sampai Timika beberapa hari kemudian, Daniel sempat kebingungan karena tak ada orang Karya Bitung Sejati di sana. Dia malah di temui seseorang bernama Warsono, yang mengaku sebagai bos PT Yungin Prima Sentosa.

“Dia memerintah lambung kapal saya dicat ulang dan diberi nama baru: Yungin 05,” kata Daniel mengenang. Pada dokumen surat penangkapan ikan pun, nama kapal Daniel sudah berubah. Tak ada Meriyana.

Daniel mengikuti perintah Warsono, karena dia tahun persisi Karya Bintang Sejati bukanlah pemilik asli Meriyana. Apalagi Warsono member jaminan bahwa manajemen Karya Bintang sudah menyetujui perubahan itu. “Pemilik Meriyana itu orang Taiwan. Namanya Agi,”kata Daniel. Dia menduga Warsono adalah orang suruhan Agi.

Setelah pengecatan ulang rampung, Meriyana alias Yungin 05 melaut lagi. Meski  sempat waswas karena berlayar dengan dokumen palsu, Daniel memutuskan jalan terus. “Soalnya pengelola pelabuhan Pomako menerbitkan surat persetujuan berlayar untuk Yungin 05. Kalau ada masalah seharusnya surat itu tidak keluar,” katanya yakin.

 

BITUNG hanya salah satu dari sekian pelabuhan perikanan di Indonesia yang jadi markas kapal siluman. Begitu pula pelabuhan Batam, Muara Baru (Jakarta), Bali, Tual, serta Sorong dan Timika (Papua). “Sebagian besar kapal siluman itu beroperasi di Laut Natuna dan Arafura,” kata mantan petinggi Kementerian Kelautan dan Perikanan, Aji Sularso.

Bagaimana menemukan kapal penangkap ikan siluman di perairan seluas itu? Gampang. Lihat saja anak buah kapalnya. Kalau sebagian besar ABK tidak bisa berbahasa Indonesia, hampir pasti kapal itu kapal siluman.

Riza Damanik, Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, bercerita panjang-lebar mengenai praktek kapal siluman yang kerap dikeluhkan anggotanya. Rupanya, pemilik kapal menempatkan ABK dari negaranya untuk memastikan bahwa ikan tangkapannya dijual ke negara si pemilik kapal. “Mereka juga bertugas memantau uang yang dikelola mitranya di Indonesia,” ujar Riza.

Menurut Riza, kapal di pelabuhan Bitung, banyak mempekerjakan ABK asal Taiwan dan Filipina, sedangkan kapal siluman di Ambon kebanyakan mempekerjakan awak asal Thailand.

Pada pertengahan Maret lalu, Tempo melihat sendiri betapa banyak ABK asal Thailand di Pelabuhan Perikanan Nusantara Ambon, Maluku. Mereka ada di semua sudut. Saking maraknya pelabuhan tersebut oleh pelaut dari Negeri Gajah Putih, para penjaga kantin dan warung di sana sekarang lumayan fasih berbahasa Thailand. Dengan bahasa Thai yang terpatah-patah, mereka melayani awak kapal asing yang sibuk membeli susu, makanan ringan, sampo dan sabun mandi.

Tak hanya di kantin, Tempo sempat naik ke kapal Mabiru 15 yang baru bersandar di pelabuhan yang berlokasi di Tantui, Ambon itu. Di atas kapal, obrolan riuh rendah dengan bahasa yang terdengar asing segera terdengar. Luther Palambi, nakhoda Mabiru 15, terus terang mengaku sebagian besar awaknya berasal dari Thailand. “Cuma lima yang dari Indonesia,” katanya ringan.

Penggunaan awak asing jelas melanggar Undang-Undang Perikanan. Bapak Pemeriksa Keuangan pernah mengaudit keberadaan tenaga kerja asing di sektor ini tahun 2010. Setelah memeriksa ratusan kapal di Jakarta, Medan, Manado, dan Ambon, BPK menemukan hampir 2.000 awak kapal asing. Bahkan banyak kapal penangkap ikan yang separuh awaknya berkewarganegaran asing.

Tak hanya tenaga kasar, para ahli penangkapan ikan (fishing master) dan kepala kamar mesin (engineer) juga kerap warga negara asing. Hanya para nakhoda yang biasanya orang Indonesia. “Tapi kapten kita tak berkuasa. Kapten sebenarnya adalah fishing master,” kata seorang mantan ABK di Kapal Tamina 1, yang berpangkalan di Ambon. Dia takut kehilangan pekerjaan jikan namanya dipublikasikan.

Awak kapal kerap menyebut fishing master sebagai “maestro” atau “tekong”. Banyak bukti menunjukkan bahwa tekong ini justru pemilik kapal yang sebenarnya.

Awak kapal ini lalu bercerita bagaimana Kapal Tamina 1 lolos dari patrol TNI angkatan Laut pada akhir 2011. “Waktu itu kami ada di Laut Arafura. Kami baru saja menurunkan jaring ketika bel kapal berbunyi tiga kali,” ucapnya.

Tekong kemudian muncul di anjungan dan berterik dalam bahasa Thailand. Nadanya panic. “Dia minta jaring segera diangkat dan dilipat,” kata pelaut itu. Setelah itu, Tamina 1 melaju cepat kearah perairan Timor Leste.

Sambil kabur, bendera Indonesia di geladak di turunkan, berganti  jadi bendera Thailand. Meski resminya kapal itu milik PT. Tanggul Mina Nusantara, rupanya pemilik kapal mengantongi dua dokumen kepemilikan. “Di anjungan, ada dua koper dokumen. Satu Indonesia, satunya Thailand.”

Wajar kalau tekong Tamina 1 tak mau kapalnya kepergok patroli Indonesia. menurut awaknya, kapal ini sering memindahkan hasil tangkapan ikannya di laut lepas alias transshipment. “Selama enam bulan kami di Arafura, setidaknya dua kali kami diperintahkan memindahkan ikan ke kapal Thailand,” kata si ABK.

Tri Harso Wahyudi, pengurus PT. Tanggul Mina Nusantara, mengaku bahwa kapalnya mempekerjakan banyak ABK asing. Hengky, pengurus PT. Mabiru, juga tak membantah. Alasannya sederhana: awak kapal Indonesia tak setangguh awak kapal negeri seberang. “Pelaut Indonesia sering menolak berlayar lebih dari satu bulan,” kata Hengky.

Tapi keduanya membantah jika dikatakan kapal mereka disebut kapal siluman yang kerap mencuri ikan. “Kalau benar begitu, potong saja tangan tekongnya,” kata Hengky dengan nada tinggi.

 

DANIEL Kaghahing dan kapal barunya, Yungin 05, kembali ke Bitung pada kahir 2011. Semula tak ada persoalan. Masalah baru muncul beberapa bulan kemudian, ketiak Yungin bersiap melaut lagi.

“Kami mendadak dilarang berangkat,” kata Daniel. Polis mencium keanehan dalam dokumetn kapal Daniel. Salah satunya adalah soal spesifikasi kapal. Volume Yungin 05 tercatan 476 gross Tonnage, padahal Meriyana hanya 319 gross tonnage.

Tak perlu waktu lama, Daniel di periksa, lalu ditahan. Pada Maret tahun lalu, pengadilan Negeri Bitung menghukum bapak satu anak ini 16 bulan penjara karena terbukti bersalah menggunakan menggunakan document kapal palsu. Tambahan empat bulan kurungan harus dilakoninya karena tak mampu membayar denda Rp. 1,5 miliar.

Adapun di Pengadilan Negeri Jakarta pusat, Warsono juga di sidang. Tapi hanya di vonis tiga bulan penjara. Sedangkan Agi hingga kini tak jelas rimbanya. Bos PT. Karya Bitung Sejati, Kristian T. Limboto, menolak mengomentari kasus Daniel. Dia tak Merespon telepon dan pesan pendek yang dikirim Tempo.

Warsono alias Abian segendang sepenarian. Telepon, pesan pendek, hingga surat permohonan wawancara yang dikirim Tempo ke rumahnya di komplek Mediterania Boulevard Jakarta Utara, tak berbalas. Kantor PT Yungin Prima Sentosa di lantai lima AKA Building, Jakarta Selatan, kini tak ada lagi, berganti menjadi ruang perkuliahan kampus Universitas Thamrin.

Tinggalah Daniel meratap sendiri. “Saya merasa dikorbankan,” katanya. Karena tak bisa lagi melaut, kini dia menghidupi keluarganya dengan menjadi tukang ojek.

DIREKTUR Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Gellwyn Jusuf mengakui liku-liku perizinan kapal eks milik asingdi Indonesia adalah masalah pelik. “Seharusnya kapal asing yang disita pemerintah tak boleh mendapatkan surat izin penangkapan ikan,” katanya dua pekan lalu.

Tapi di lapangan, toh pelanggaran terus terjadi. April lalu, tak lama setelah Daniel Kaghahing bebasa dari bui, Yungin 05 kembali melaut. Namanya berubah menjadi KM AAA 2. Pemiliknya masih tak berubah: Warsono alias Abian. Yang berbeda Cuma nama kaptennya. Kini kapal itu dinakhodai seorang pelaut bernama Zet Dara. Tanpa rebut-ribut, kapal siluman itu melenggang bebas di laut Nusantara.

Sumber: Majalah Tempo, 23-29 Juni 2014.

Daya Saing Perikanan Menurun

KELAUTAN Daya Saing Perikanan Menurun

JAKARTA, KOMPAS- Daya saing perikanan Indonesia menunjukkan pelemahan. Selain perikanan tangkap yang cenderung stagnan, Indonesia dinilai belum mampu mengoptimalkan pengolahan ikan yang bernilai tambah.

Hal itu terungkap dalam Diskusi Visi Misi Kelautan dan Perikanan Calon Presiden 2014: Tantangan dan Peluang Nelayan Tradisional, di Jakarta, Kamis  (19/6).

Direktur Eksekutif Indonesia  for  Global Justice Riza Damanik mengemukakan, pengolahan produk perikanan terus menurun. Tahun 2008, kontribusi produk ikan olahan  tercatat  40 persen  dari  total produk  ikan nasional. Namun, pada tahun 2013,  produk  olahan ikan  menurun, yakni hanya 20-30 persen dari  total produksi  ikan. Total produksi  perikanan mencapai 18,8 juta ton meliputi  perikanan  tangkap 5,4 juta ton dan perikanan  budidaya 13 juta ton.

Ketertinggalan nilai  tambah perikanan menjadi  ironis mengingat  Indonesia merupakan  produsen  ikan terbesar dunia setelah Tiongkok. “Liberalisasi perikanan pada Masyarakat  Ekonomi ASEAN  2015 harus disikapi dengan mendorong kualitas  sumber daya manusia  dan  produk  bernilai tambah,“ kata  Riza.

Jumlah  tenaga kerja di sektor  pengolahan  juga  masih  tertinggal. Menurut  Riza, dari total 13,8 juta orang tenaga kerja di sektor perikanan, hanya 10 persen tenaga kerja di sektor pengolahan. Selebihnya,50,4 persen di sektor produksi dan 36 persen di pemasaran.

Daya saing lemah

Menurut  Riza, lemahnya daya saing  sektor  perikanan merupakan  ancaman dalam  menghadapi  MEA 2015. Di  tingkat  ASEAN, Indonesia  hanya di peringkat  ketiga dalam sektor  perikanan.

Sementara  itu konsumsi  ikan masyarakat  terus meningkat  seiring  pertumbuhan penduduk dan minat  makan  ikan. Di tingkat  nasional, tingkat konsumsi  ikan tahun 2013 mencapai 35,15 kilogram (kg) per kapita dan diprediksi  menjadi 40 kg per kapita dalam kurun 5 tahun.

Senada dengan itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim,mengemukakan,  sudah saatnya ekspor ikan dioptimalkan  dalam  bentuk  olahan.

Ia mencontohkan, Indonesia sebagai  produsen tuna terbesar  dunia  selama ini  mengedepankan  ekspor ikan dalam bentuk utuh atau  gelondongan. Ikan utuh yang diekspor kemudian  kembali masuk  ke Indonesia dalam bentuk  impor produk  olahan.

Terobosan  calon  pesiden  diharapkan mampu memperkuat nelayan, memberantas  pencuri  ikan,melakukan pembangunan pelabuhan  yang lebih merata, serta melakukan reformasi perbankan agar  mendukung  permodalan bagi nelayan.

Hingga kini Indonesia juga belum mampu memanfaatkan wilayah tangkap Zona Ekonomi Eksklusif  Indonesia (ZEEI) dan laut  lepas  yang kaya ikan. Dari total 2,3 juta nelayan di Tanah Air, sejumlah 99,5 persen kapal ikan menangkap ikan di perairan kepulauan. ZEEI hanya tersentuh oleh 0,5 persen dari jumlah kapal ikan nasional. Akibatnya, ZEEI menjadi sarang pencurian oleh kapal asing.

Presiden mendatang diharapkan melakukan  diplomasi maritim secara bilateral kepada negara-negara asalpencuri ikan, termasuk pengaturan bersama pemberantasan praktik  penangkapan ikan ilegal. Selain itu juga evaluasi izin kapal asing dan memboikot negara-negara tujuan ikan ilegal.(LKT)

Sumber: KOMPAS, Jumat, 20 Juni 2014, Halaman 18