Nelayan Terbelit Utang

INKA MINA

Nelayan Terbelit Utang

JAKARTA, KOMPAS- Program 1.000 Kapal Inka Mina periode 2010-2014 untuk kelompok nelayan hingga kini belum berjalan optimal. Di sejumlah wilayah, kapal bantuan masih mangkrak sehingga untuk bisa mengoperasikannya, nelayan berutang sampai ratusan juta rupiah.  Sementara akses permodalan ke perbankan masih sulit.

Di Indramayu, Jawa Barat, spesifikasi bantuan kapal Inka Mina 121, 122, dan 123 tidak sesuai kebutuhan nelayan sehingga sulit dioperasikan. Nelayan terpaksa mencari pinjaman agar bisa memperbaiki dan mengoperasikan kapal. Namun upaya itu pun terganjal akses permodalan.

Dulloh, pengurus Kelompok Usaha Bersama (KUB) Pantai Lestari di Indramayu, Minggu (8/6), mengemukakan, kapal Inka Mina 123 yang diserahkan kepada kelompoknya sejak akhir tahun 2011 sampai sekarang masih mangkrak. Kualitas kapal bantuan itu sejak awal bermasalah, yakni cor kapal rusak, alat tangkap jaring tak sesuai kebutuhan, mesin kapal dan palkan tidak sesuai standar, serta tangki air kurang memadai.

Untuk memperbaiki kapal agar bisa beroperasi, dibutuhkan biaya Rp.300 juta. Kelompok itu telah berupaya mengakses pinjaman dari BRI, tapi kredit ditolak karena kendala agunan. Adapun kapal bantuan itu dinilai tidak memenuhi syarat untuk dijadikan agunan.

Di Kalimantan Utara, Kapal Inka Mina 199 yang diserahkan kepada kelompok nelayan sejak tahun 2011 juga baru bisa beroperasi pada awal 2014 setelah KUB Layar Sempadau melakukan sejumlah perbaikan melalui dana pinjaman koperasi.

Ketuan KUB Layar Sempadau Hamzah mengatakan, kapal itu semula tak dilengkapi alat tangkap memadai, yakni pukat cincin panjang 400 meter. Untuk perbaikan alat tangkap, nelayan mengeluarkan Rp.100 juta untuk penambahan pukat cincin menjadi 700 meter. (LKT).

Sumber: Kompas, Senen, 9 Juni 2014 hal 18

Sepuluh Tahun Pemerintah SBY, Sektor Perikanan Dikelola secara Liberal

JAKARTA, KOMPAS.com – Organisasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), menilai kebijakan kelautan dan perikanan saat ini liberal. Dampaknya bisa dilihat dari kampung-kampung nelayan tetap kumuh selama 10 tahun pemerintahan SBY.

Sekjen KIARA Abdul Halim menerangkan, liberalnya pengelolaan sektor kelautan terlihat dari ekpor besar-besaran ikan dari laut Indonesia. Alhasil, 53 persen ikan yang ada dipasaran saat ini adalah ikan impor.

“Kampung nelayan sanitasi buruk, kumuh, pendapatan juga rendah. Pemerintah tidak memfasilitasi pra produksi mereka,” ujar Abdul Halim di Jakarta, Jumat (30/5/2014).

Dia menilai, Pemerintah tidak memiliki perhatian yang serius bagi kehidupan nelayan. Menurutnya, kondisi nelayan saat ini serba sulit. Padahal, menurut Abdul, sebagai negara maritim harusnya Indonesia mengutamakan pembangunan kelautan dan perikanannya.

Kesejahteraan nelayan harus menjadi fokus utama sebagai negara maritim. Kesejahteraan nelayan yang buruk ditambah parah oleh tengkulak-tengkulak yang mengambil untung jauh lebih besar ketimbang nelayannya.

“Peran tengkulak sangat besar, alhasil nelayannya dapat sedikit tetapi tengkulak sangat besar,” tandasnya.

Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/05/30/1649059/Sepuluh.Tahun.Pemerintah.SBY.Sektor.Perikanan.Dikelola.secara.Liberal

Kesejahteraan Nelayan Dinilai Terabaikan

Kesejahteraan Nelayan Dinilai Terabaikan

 

JAKARTA (HN) – Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim  mengatakan, pemerintah dinilai belum memberikan jaminan perlindungan jiwa bagi nelayan tradisional dalam menjalankan aktivitas pencarian potensi laut.

Berdasarkan data yang dikutip dari Pusat Data dan Informasi KIARA, tercatat sebanyak 61 nelayan tradisional hilang dan meninggal dunia dalam periode Januari hingga Mei 2014. “Nelayan ketika melaksanakan tugasnya dihadapkan pada risiko besar, tapi hingga kini tidak ada jaminan perlindungan jiwa yang pasti,” kata Halim di Jakarta, Jumat (30/5).

Halim mempertanyakan alokasi anggaran yang disediakan untuk sektor kelautan dan perikanan nasional. Pasalnya sejak 2009 hingga 2014 anggaran di bidang kelautan dan perikanan terus meningkat yakni Rp 2 triliun menjadi Rp 7 triliun. “Anggaran ini masih sangat kecil dibandingkan Kementerian Pertanian sekitar Rp 19 triliun. Tapi anggaran untuk kesejahteraan nelayan malah tidak ada,” katanya.

Menjelang pergantian pemimpin negara yang akan datang, Halim meminta pemerintah menyiapkan anggaran khusus keselamatan jiwa nelayan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015.

Halim menganggap kehidupan nelayan di Indonesia tidak memiliki harapan baru, sebab kedua pasangan calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) Indonesia mendatang tidak menyinggung asuransi jiwa bagi nelayan tradisional. “Katanya ada Bank Nelayan, tapi sejak sekian lama tidak berjalan,” kata dia.

Pendapatan Kecil

Halim mengatakan, pendapatan nelayan sangat kecil meskipun dapat menangkap ikan secara besar-besaran. Kendalanya yaitu, pemerintah tidak memfasilitasi nelayan dengan teknologi penangkapan yang berkelanjutan dan terjangkau.

“Peran tengkulak di kampung-kampung nelayan sangat besar, mulai dari permodalan, penyediaan kapal hingga peralatan. Harga ditekan sedemikan rupa, hasilnya berimbas pada harga jual ikan,” kata Halim.

Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik mengatakan, nelayan kekurangan informasi kondisi alam dan cuaca di laut. Dengan begitu, kata Riza, nelayan kehilangan haknya mendapat perlindungan negara.

“Dalam kerangka antisipasi risiko kecelakaan, pemerintah tidak memberikan asuransi jiwa atau sosial kepada nelayan. Jika ini bisa diberikan, penghidupan nelayan akan semakin pasti,” katanya pada HARIAN NASIONAL di Jakarta, Jumat (30/5).

Riza mengatakan tren nelayan Indonesia semakin membahayakan sebab 80 persen nelayan yang melaut memasuki umur manula. Sisanya nelayan berumur paruh baya. Menurut Riza, tren ini sangat mengkhawatirkan, sebab lambat laun tidak akan ada lagi generasi pengganti yang mau menjadi nelayan.

“Minat anak muda menjadi nelayan semakin berkurang, sebab tidak ada perlindungan itu. Terlebih jaminan sosial dan risiko kecelakaan tidak ditanggung pemerintah. Padahal nelayan bekerja untuk memberi makan Indonesia dan negara tujuan ekspor kita,” katanya.

Riza meminta pemerintah yang akan datang menunjukkan apresiasinya kepada sektor perikanan dan kesejahteraan nelayan agar profesi nelayan menjadi pilihan strategis generasi muda mendatang.

“Kalau di Malaysia nelayan dapat perlindungan, seperti mendapat kuota bahan bakar minyak (BBM), dana pengobatan ketika terjadi kecelakaan, bahkan negara menanggung keluarga yang ditinggal melaut sekian lamanya. Nelayan termotivasi untuk lebih produktif,” ujarnya. | DIAN RISKI ROSMAYANTI

Sumber: http://www.harian-nasional.com/index.php/ekonomi/kesejahteraan-nelayan-dinilai-terabaikan

Gerakan Pembudidayaan Ikan Tuna Gagal

Sektor Kelautan

Gerakan Pembudidayaan Ikan Tuna Gagal

JAKARTA – Gerakan pembudidayaan ikan tuna oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan tidak menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat, khususnya nelayan, sebagai pihak aktif yang dilibatkan dalam program tersebut. Padahal, salah satu visi utama digalakkannya kegiatan budi daya, di samping untuk meningkatkan produksi ikan tuna, adalah untuk memacu perekonomian nelayan di sekitar lokasi budi daya khususnya dan nasional umumnya.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Abdul Halim, di Jakarta, kemarin, mengatakan visi tersebut sebenarnya menjadi acuan bagi pemerintah untuk tidak hanya fokus pada peningkatkan produksi ikan tuna, namun juga berupaya meningkatkan keahlian dari pada nelayan sendiri. Stagnannya perekonomian nelayan dapat terlihat dari belum maksimalnya produksi, pengolahan, serta minimnya nilai tambah produk-produk perikanan.

Hal itu merupakan salah satu indikator bahwa penggiatan budi daya ikan sama sekali tidak memberikan pengaruh posotif bagi perekonomian para nelayan.

Hal tersebut diduga karena lemahnya pelatihan teknis bagi nelayan yang selanjutnya berdampak pada tidak efisiennya pengolahan budi daya. Adapun akibat lanjutannya adalah pada kemiskinan yang dialami oleh nelayan yang tentunya juga menjadi kerugian bagi negara sendiri.

Gerakan budi daya ikan seperti pembudidayaan ikan tuna yang dilakukan oleh KKP, di satu sisi, amat potensial dalam memacu pertumbuhan ekspor nasional, namun tidak sejalan dengan kesejahteraan para nelayan. Pasalnya, marjin harga yang tinggi pada ekspor gelondongan dan barang jadi di negara tujuan merugikan nelayan dalam negeri sehingga para nelayan kembali bergantung pada impor.

Untuk itu, Abdul Halim, menganjurkan pemerintah untuk segera menghentikan ekspor ikan gelondongan atau beku dan segar dalam bentuk utuh karena tidak memiliki nilai tambah bagi nelayan, bahkan memicu tingginya ikan impor ke Indonesia. Sebanyak 70 persen dari aktivitas budi daya Indonesia tidak efisien, artinya nilai produksi tinggi namun nilai jual tidak optimal.

Pilihan kebijakan tersebut, menurut Ketua Dewan

Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), M Riza Damanik, semestinya segera ditempuh oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan karena kebijakan tersebut hendak memosisikan nelayan sebagai pelaku aktif yang akan berperan besar dalam melestarikan sumber daya laut nasional ke depannya.

Kendala Ekspor

Beberapa persoalan besar mengakibatkan sulitnya produktivitas ikan tuna Indonesia untuk bersaing dengan negara-negara penghasil ikan tuna lainnya di ASIA, seperti Thailand, China, Vietnam, dan India. Pertama, regulasi kita memberi toleransi bagi penjualan ikan tuna secara langsung ke luar negeri tanpa terlebih dahulu didaratkan di pelabuhan kita.

Kedua, armada kapal ikan kita yang beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan laut lepas sangatlah kurang sehingga sulit untuk produksi. Ketiga, penanganan di sektor hilir masih lemah dan rentan dengan masalah, seperti industri pengolahan yang belum memenuhi syarat minimum. ers/E-3

Sumber: http://koran-jakarta.com/?13031-gerakan+pembudidayaan+ikan+tuna+gagal