Oleh Abdul Halim
Sekretaris Jenderal KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan);
Koordinator Regional SEAFish (Southeast Asia Fisheries for Justice Network)
Menyebut kapal/perahu mengandaikan hadirnya nelayan. Tanpa alat produksi ini, nelayan yang notabene pahlawan protein bangsa akan mengalami kewalahan dalam menghadirkan ikan-ikan segar di meja jamuan makan bersama keluarga, sahabat, dan handai taulan.
Di Indonesia, tercatat sebanyak 2,2 juta nelayan yang bergerak di sektor perikanan tangkap atau menangkap ikan di laut. Lebih dari 95 persennya berkarakter tradisional atau skala kecil. Tidak seluruhnya memiliki kapal/perahu sebagai alat produksinya. Tak mengherankan, juga dikenal penyebutan buruh nelayan di dalam kosakata perikanan kita.
Sejak tahun 2010-2014, pengadaan kapal Inka Mina menjadi program Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan target 1.000 kapal, di mana harga per unit Rp 1.5 Miliar dan total nilai APBN sebesar Rp. 1,5 Triliun. Selang 4 tahun, klaim keberhasilan pelaksanaan program Inka Mina bak jauh panggang dari api. Masyarakat nelayan penerima kapal merugi dan bahkan terbebani secara moral akibat kapal tidak bisa dioperasikan. Tak hanya itu, keuangan Negara juga dirugikan karena gagal menyejahterakan masyarakat perikanan tradisional. Pada titik ini, BPK harus bergerak mengauditnya.
Pusat perkara
Pusat Data dan Informasi KIARA (Mei 2014) menemukan fakta beberapa Inka Mina yang tersebar sedikitnya di 11 kabupaten/kota mangkrak karena tidak bisa dioperasikan dan membebani nelayan penerima (lihat Tabel 1).
Tabel 1. Daftar Inka Mina Mangkrak dan Tidak Beroperasi di Indonesia
No |
Wilayah Penerima |
Keterangan |
1 |
Kabupaten Bulungan dan Kota Tarakan, Kalimantan Utara |
Sejak diterima, kapal Inka Mina 198 (beroperasi 4 kali) dan Inka Mina 199 (hanya dipergunakan memancing) tidak pernah mendapatkan hasil apapun.Proses pembuatan kapal amburadul. Dalam artian, pengerjaan kapal dilakukan secara sungguh-sungguh saat Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi datang. Di luar itu, pekerja kapal terkesan main-main.
Kedua kapal Inka Mina tersebut, menurut nakhoda Kapal Inka Mina 198, tidak sesuai dengan karakter nelayan yang beroperasi di perairan Kalimantan Timur bagian Utara.
Proses pembuatan kapal amburadul. Dalam artian, pengerjaan kapal dilakukan secara sungguh-sungguh saat Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi datang. Di luar itu, pekerja kapal terkesan main-main. |
2 |
Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat |
Inka Mina di Kabupaten Lombok Tengah, NTB, yakni Inka Mina 124 dan Inka Mina 125 tidak beroperasi dikarenakan biaya operasional yang tinggi dan tidak sesuai kebutuhan nelayan setempat. Inka Mina 124 diketuai oleh Sdr. Musaddat tidak lagi beroperasi karena kardannya rusak. Sudah sekali beroperasi ke Sumba, NTT, tetapi merugi.Inka Mina 125 diketuai oleh Sdr. Dahlan dari Dusun Awang, Desa Mertak, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, dan akan dikontrakkan kepada seseorang dari Sumbawa, NTB dengan mekanisme bagi hasil. |
3 |
Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat |
Inka Mina 250 di Kabupaten Lombok Timur, NTB, diketuai Sdr. Lukman dari Dusun Toroh Tengan, Desa Tanjung Luar, Kecamatan Keruak, sama sekali tidak dilengkapi dengan alat/sarana tangkap sehingga kapal mangkrak sampai dengan hari ini di muara sungai Tanjung Luar. Sejak diserahkan pada tahun 2012, hanya beroperasi sebanyak 2 kali dan merugi. |
4 |
Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat |
Inka Mina 18 dikelola oleh nelayan dari Desa Labuhan, Kecamatan Pringgabaya. Sejak diterima pada tahun 2011 sampai hari ini tidak pernah operasi. Bahkan saat diujicobakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan, Kabupaten Lombok Timur, kapal tidak bisa berjalan, mesin mati dan baling-baling terlepas. Sejak kejadian itu sampai hari ini kapal Inka Mina 18 mangkrak di sungai dan kondisinya hampir sudah tidak bisa terpakai karena sudah bocor dan air laut keluar masuk dan miring. |
5 |
Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur |
Inka Mina di Desa Balauring, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata, NTT: (i) penerima kapal ternyata bukan kelompok nelayan dan diambil-alih oleh kepala desa; (ii) dikarenakan alat tangkapnya tidak sesuai, kapal tidak pernah dioperasikan. |
6 |
Kabupaten Indramayu, Jawa Barat |
Inka Mina di Indramayu hanya diparkir di TPI Karang Song dikarenakan: (i) tidak ada dana pendampingan nelayan; (ii) spesifikasi kapal tidak sesuai dan dibutuhkan dana sebesar Rp. 100 juta untuk memperbaikinya. |
7 |
Kabupaten Tanjung Balai dan Kota Medan, Sumatera Utara |
Di Sumatera Utara, Kapal Inka Mina 63 dan 64 digunakan untuk mengangkut bawang impor dari Malaysia ke Sumatera Utara. Secara fisik, kapal-kapal bantuan tersebut tidak layak untuk kegiatan menangkap ikan. Tingginya ongkos perawatan kapal telah mendorong penggunaan kapal tidak sesuai peruntukannya. |
8 |
Kota Surabaya, Jawa Timur |
Kapal Inka Mina di Surabaya, Jawa Timur tidak bisa dioperasikan dikarenakan: (i) kelengkapan kapal yang minim; dan (ii) terbatasnya kapasitas nelayan dalam mengoperasikannya. Belakangan, Dinas Perikanan memilih memasang rumpon di Selat Madura. |
9 |
Kepulauan Riau |
Inka Mina 343 di Pulau Panjang, Tanjung Pinang, dijadikan sebagai alat transportasi masyarakat untuk menghadiri resepsi pernikahan. |
Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Mei 2014), dihimpun berdasarkan keterangan masyarakat nelayan dan penelusuran lapangan.
Temuan lapangan di atas menunjukkan bahwa penyelenggaraan program Inka Mina menuai persoalan, di antaranya: (1) Target pelaksanaan anggaran pengadaan kapal tidak tercapai; (2) Spesifikasi kapal tidak sesuai dengan jumlah alokasi yang dianggarkan tiap unitnya, baik kualitas kapal, kualitas mesin, dan sarana tangkap yang disediakan; (3) Berdasarkan perhitungan nelayan, terdapat indikasi kenakalan pemenang tender pengadaan kapal. Hal ini dilakukan dengan mengurangi spesifikasi kapal dan lambat dalam menyelesaikan target terbangunnya kapal; (4) Terdapat beberapa kapal Inka Mina yang rusak atau tidak bisa dioperasikan, seperti Inka Mina 199 dan 198 di Kalimantan Timur. Akibatnya KUB nelayan memiliki beban moral tanpa ada mekanisme pengembalian kapal kepada Negara. Lebih parah lagi, Inka Mina 63 dipergunakan untuk mengangkut bawang impor dari Malaysia dan kemudian tenggelam di perairan Sialang Buah, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara.
Hal lainnya adalah tidak sinkronnya data pengadaan kapal yang terbangun dan tercatat antara Dinas Provinsi/Kabupaten/Kota dan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP dengan UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan), misalnya data yang dimiliki oleh UKP4 sebanyak 735 kapal yang berhasil dibangun, sementara KKP mencatat 733 kapal. Selisih ini menunjukkan lemahnya mekanisme pengawasan dan pelaporan perkembangan program pengadaan 1.000 kapal ini. Jika dari sisi jumlah pengadaan saja tidak cocok, potensi kelirunya pelaporan terkait berhasil atau gagalnya kapal pasca serah-terima di pelbagai wilayah besar kemungkinan terjadi (lihat Tabel 2).
Tabel 2. Realisasi Pengadaan Kapal Inka Mina
Tahun Pengadaan |
Target |
Realisasi |
Beroperasi |
2010 |
56 unit |
46 unit (10 tidak terbangun) |
40 unit |
2011 |
253 unit |
232 unit (21 tidak terbangun) |
175 unit |
2012 |
254 unit |
249 unit (5 tidak terbangun) |
– |
2013 |
224 unit |
208 unit (16 tidak terbangun) |
– |
2014 |
200 unit |
– |
– |
Sumber: UKP4, 2013
Perbaikan
Dalam Rapat Teknis Perencanaan Kapal yang diselenggarakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tanggal 29 Januari 2014 di Jakarta, sedikitnya 3 hal penulis utarakan di hadapan peserta yang notabene mewakili Dinas Kelautan dan Perikanan Kota/Kabupaten/Provinsi di Indonesia: pertama, Menteri Kelautan dan Perikanan menyiapkan database online perkembangan program, meliputi implementasi, pelaporan, pemantauan dan verifikasi lapangan, sehingga bisa diakses dengan mudah dan cepat oleh para pemangku kepentingan, termasuk aparatur hukum. Hal ini bertujuan untuk meminimalisasi terjadinya penyimpangan-penyimpangan.
Kedua, UKP4 dan BPK melakukan audit keseluruhan atas program Inka Mina 2010-2013 agar nilai keberhasilan atau kegagalannya bisa diukur oleh khalayak luas, khususnya masyarakat nelayan, dan dapat dijadikan sebagai pedoman perbaikan pelaksanaan program tersebut di tahun 2014.
Ketiga, penegakan hukum atas kelalaian pemangku kepentingan yang menyebabkan kerugian Negara akibat salah spesifikasi dan sasaran penerima, ketidaktepatan waktu penyelesaian pembangunan kapal, serta indikasi penggelembungan harga. Terkait hal ini, upaya penting yang harus dilakukan segera adalah menggugat 8 galangan kapal yang bermasalah (lihat Tabel 3). Tujuannya ada sanksi setimpal dan efek jera bagi yang lain. Pertanyaannya, beranikah Menteri Kelautan dan Perikanan/Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kota/Kabupaten/Provinsi yang bertanggung jawab langsung kepada Walikota/Bupati/Gubernur?
Tabel 3. Daftar Galangan Kapal Bermasalah
No |
Nama Galangan |
Keterangan |
1 |
PT. Lion Fiberglass dan PT. Aru Marine Fish (Tanggerang) |
Tidak bertanggung jawab pasca pembangunan |
2 |
CV. Carita Boat (Tanggerang) dan PT. Wirakarsa Konstruksi (Bulukumba) |
Pengiriman Kapal Inka Mina Prov. Papua Barat TA.2011 terlambat (tiba di lokasi penerima kapal pada tahun 2013) |
3 |
PT. Soesanto Soekardi Boatyard (SSB) (Kronjo Tanggerang) |
Pengerjaan pembangunan tidak tepat waktu |
4 |
CV. Sumber Harapan (Bulukumba) |
Kapal Inka Mina Manokwari Tahun Anggaran 2012 belum tiba di lokasi |
5 |
PT. Phinisi Semesta (Bulukumba) |
Tidak dapat menyelesaikan pembangunan kapal sesuai kontrak Inka Mina Provinsi Kalimantan Selatan Tahun Anggaran 2013 |
6 |
CV. Sahabat Sejati (Kupang) |
Tidak mengerjakan kapal sesuai spesifikasi teknis dan kontrak kapal Non-Inka Mina Kabupaten Flores Timur Tahun Anggaran 2013 |
Sumber: KKP, 2014
Upaya perbaikan secara terus-menerus sejatinya adalah tabiat manusia, karakter mulia yang membedakannya dengan makhluk hidup lainnya, tak terkecuali dengan konsisten melakukan ketiga solusi di atas. Tanpa kesungguhan, bocornya seribu kapal akan kembali terulang di tahun politik ini.***
Sumber: Sumber: Majalah Samudra Edisi 134, Tahun XII, Juni 2014