Revisi UU Perikanan Penting untuk Pengakuan Peran dan Perlindungan Perempuan Nelayan
Revisi UU Perikanan Penting untuk Pengakuan Peran dan Perlindungan Perempuan Nelayan
JAKARTA, GRESNEWS.COM – Peran perempuan nelayan di dunia sudah diakui sangat penting. Di seluruh dunia, sedikitnya 56 juta orang secara langsung terlibat di dalam aktivitas perikanan, dimana di dalamnya termasuk perempuan nelayan yang memainkan peranan penting dalam pengolahan dan pemasaran hasil tangkapan ikan. Jika dihitung, sebanyak 660 sampai dengan 880 juta orang atau 12 persen dari jumlah populasi dunia bergelut dan atau bergantung di sektor ini.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim mengatakan, FAO yang menjadi himpunan 189 negara sudah mengakui pentingnya keberadaan dan peran perempuan nelayan dalam aktivitas perikanan skala kecil/tradisional. “Hal ini dibuktikan dengan prioritas rekomendasi dilakukannya penelitian secara mendalam mengenai jumlah, sebaran dan peran perempuan nelayan di dunia pasca perundingan Komisi Perikanan FAO tentang perdagangan ikan di Norwegia Februari 2014 lalu,” ujarnya kepada Gresnews.com, Minggu (18/5).
Sayangnya dalam praktiknya, pengakuan itu belumlah diimplementasikan dalam bentuk jaminan kepastian hukum kepada perempuan nelayan. Di Indonesia misalnya perlindungan terhadap perempuan nelayan belum ditegaskan dalam UU Perikanan. Karena itu, kata Halim, hal pertama yang harus dilakukan pemerintah untuk mengimplementasikan perlindungan tesebut adalah dengan merevisi UU Perikanan.
Kedua, mendorong hadirnya negara dalam pengelolaan sumber daya ikan yang menghubungkan sisi hulu-hilir di kampung-kampung (perempuan) nelayan agar bisa bersaing di dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. “Ketiga, memprioritaskan kebijakan anggaran nasional dan daerah untuk menyejahterakan dan melindungi perempuan nelayan,” kata Halim.
Ketua Presidium PPNI Jumiati mengatakan, krusialnya peran perempuan nelayan juga terlihat dari sisi konsumsi ikan. Ikan, kata dia, menjadi menu yang banyak dipilih oleh populasi dunia hingga 17 persen dan bahkan di beberapa negara mencapai lebih dari 50 persen. Tingginya tingkat konsumsi ikan ini dikontribusikan oleh perempuan nelayan.
Di negara-negara Afrika Barat, misalnya, ikan menjadi menu utama, seperti Senegal sebesar 43 persen, 72 persen di Sierra Leone, dan 55 persen di Gambia dan Ghana. Bagaimana di Asia? Tak jauh berbeda, tingkat konsumsi protein dari ikan juga tinggi. Contohnya, 70 persen di Maladewa, 60 persen di Kamboja, 57 persen di Bangladesh, 55 persen di Sri Lanka, dan Indonesia sebesar 54 persen.
Sebanyak 47 persen perempuan nelayan bekerja di sektor perikanan, utamanya di bagian pengolahan dan pemasaran hasil tangkapan ikan. Dalam konteks ini, sebanyak 48 persen pendapatan keluarga nelayan dikontribusikan oleh perempuan nelayan. Sayangnya, meski berkontribusi besar, nelayan perempuan masih kerap menjadi korban kejahatan karena masih minimnya perlindungan negara.
FAO menemukan fakta di beberapa negara bahwa perempuan nelayan menjadi korban transaksi seks di sektor perikanan. “Dalam konteks ini, Pemerintah Indonesia harus memberikan perlindungan dari ancaman kekerasan, baik psikis, fisik dan seksual,” kata Jumiati.
Hal ini ditegaskan dalam Konferensi Rio+20 dimana dilahirkan kesepakatan yang menegaskan pentingnya komitmen negara-negara yang menandatangani untuk bersungguh-sungguh mendalami jumlah, sebaran dan peran perempuan (nelayan). “Indonesia yang turut serta dalam pertemuan itu, sampai dengan hari ini belum memberikan pengakuan dan perlindungan kepada perempuan nelayan,”ujar Jumiati.
Redaktur : Muhammad Agung Riyadi