Usut Kasus Proyek Inka Mina

Sektor Kelautan | Hentikan Program Bantuan Gratis

Usut Kasus Proyek Inka Mina

JAKARTA – Koalisi Rakyat untuk Peradilan Perikanan (Kiara) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut kasus dugaan penggelembungan proyek program bantuan 1.000 kapal Inka Mina periode 2009–2014 senilai 1,5 triliun rupiah oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

“Kami tengah mempersiapkan bukti-bukti autentik untuk melaporkan kasus ini ke KPK. Kami harapkan dua bukti awal yang tengah kami kumpulkan ini dapat rampung segera sehingga paling lambat bulan Juni mendatang semua bukti tersebut akan kami laporkan ke KPK,” kata Sekretaris Jenderal Kiara, Abdul Halim, yang dihubungi, Minggu (4/5).

Dia mengatakan beberapa persoalan yang ditemukan antara lain target pelaksanaan anggaran pengadaan kapal tidak tercapai. Spesifikasi kapal tidak sesuai dengan jumlah alokasi yang dianggarkan tiap unitnya, baik kualitas kapal, kualitas mesin, maupun sarana tangkap yang disediakan.

Selain itu, berdasarkan perhitungan nelayan, terdapat indikasi kenakalan pemenang tender pengadaan kapal. Hal itu dilakukan dengan mengurangi spesifikasi kapal dan lambat dalam menyelesaikan target terbangunnya kapal.

Dari pantauan Kiara dari tahun 2010 hingga 2013, berdasarkan informasi dari para nelayan yang menerima bantuan ini, sebenarnya harga dari kapal tersebut per unitnya tidak sampai 1,5 miliar rupiah. Spesifikasi kapal tidak sesuai dengan alokasi yang dianggarkan tiap unitnya, baik kualitas kapal, kualitas mesin, dan sarana tangkap yang disediakan.

Sebenarnya, kata dia, indikasi penyelewengan itu telah dilaporkan dan diketahui oleh KKP. Para nelayan telah melaporkan bahwa ada sekitar lima hingga enam perusahaan pembuat kapal untuk program ini yang melakukan kecurangan, mulai dari melakukan mark up harga hingga pengadaan kapal yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang dijanjikan.

Upaya Kiara membawa kasus tersebut ke ranah hukum mendapat dukungan dari Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB), Rokmin Dahuri.

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu mengatakan sah-sah saja jika ada pihak yang memiliki bukti-bukti kuat terkait adanya penyelewengan ataupun penyalahgunaan kekuasaan pada program pengadaan 1.000 kapal Inka Mina tersebut.

“Dengan dibawanya kasus dugaan penyelewengan ini ke ranah hukum, diharapkan ada efek jera dan menjadi pembelajaran bagi mereka yang terlibat. Biarkan masalah ini diselesaikan oleh pihak yang berwajib,” ungkapnya.

Rokhmin sebenarnya menyayangkan program Inka Mina yang dilaksanakan KPP tersebut. Menurut dia, program pengadaan atau pemberian 1.000 kapal Inka Mina secara cuma-cuma kepada nelayan tidak mendidik. Sebab, untuk membangun bangsa dengan menyejahterakan nelayan bukan dengan cara memberikan kapal secara gratis.

Program tersebut, menurut Rokhmin, akan membuat nelayan menjadi malas. Mereka akan selalu meminta kepada pemerintah tanpa ada usaha membebaskan dirinya dari kemiskinan.

Selain itu, lanjutnya, jika nantinya usaha yang dilakukan gagal, para nelayan tidak terpacu untuk bangkit kembali karena selama ini apa yang diusahakan merupakan pemberian gratis dari pihak lain, bukan hasil pengorbanannya.

Program pengadaan 1.000 kapal Inka Mina secara gratis tersebut diduga sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. “Karena itu, kami mengharapkan keberanian dari KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian untuk menuntaskan kasus yang terindikasi terjadi penyelewengan ini,” katanya.

Harus Dihentikan

Ke depan, kata Rokhmin, pemerintah hendaknya meniadakan program-program pemberian bantuan kepada masyarakat secara gratis atau tanpa syarat. “Bantuan yang berikan hendaknya dengan pemberdayaan masyarakat, mulai dari pemberian bantuan modal atau kerja secara dipinjamkan, pelatihan keterampilan sumber daya manusia dan lainnya,” katanya.

Menurut Rokhmin, upaya menyejahterakan nelayan akan lebih efektif jika pemerintah mendorong permodalan untuk nelayan kecil, pelatihan keterampilan untuk mengoperasikan ukuran besar, pembenahan infrastruktur perikanan, dan jaminan pasar.

Sebelumnya, Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Riza Damanik, mengatakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KPP) telah gagal melaksanakan program pengadaan 1.000 kapal Inka Mina. “Program ini tidak berkontribusi positif terhadap penambahan jumlah kapal ikan secara nasional. Hal ini karena proyek pengadaan bantuan 1.000 kapal bagi nelayan itu sarat manipulasi,” katanya. mza/ers/E-3

Sumber:  http://koran-jakarta.com/?11354-usut%20kasus%20proyek%20inka%20mina

Usut Kasus Proyek Inka Mina

Sektor Kelautan | Hentikan Program Bantuan Gratis

Usut Kasus Proyek Inka Mina

JAKARTA – Koalisi Rakyat untuk Peradilan Perikanan (Kiara) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut kasus dugaan penggelembungan proyek program bantuan 1.000 kapal Inka Mina periode 2009–2014 senilai 1,5 triliun rupiah oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

“Kami tengah mempersiapkan bukti-bukti autentik untuk melaporkan kasus ini ke KPK. Kami harapkan dua bukti awal yang tengah kami kumpulkan ini dapat rampung segera sehingga paling lambat bulan Juni mendatang semua bukti tersebut akan kami laporkan ke KPK,” kata Sekretaris Jenderal Kiara, Abdul Halim, yang dihubungi, Minggu (4/5).

Dia mengatakan beberapa persoalan yang ditemukan antara lain target pelaksanaan anggaran pengadaan kapal tidak tercapai. Spesifikasi kapal tidak sesuai dengan jumlah alokasi yang dianggarkan tiap unitnya, baik kualitas kapal, kualitas mesin, maupun sarana tangkap yang disediakan.

Selain itu, berdasarkan perhitungan nelayan, terdapat indikasi kenakalan pemenang tender pengadaan kapal. Hal itu dilakukan dengan mengurangi spesifikasi kapal dan lambat dalam menyelesaikan target terbangunnya kapal.

Dari pantauan Kiara dari tahun 2010 hingga 2013, berdasarkan informasi dari para nelayan yang menerima bantuan ini, sebenarnya harga dari kapal tersebut per unitnya tidak sampai 1,5 miliar rupiah. Spesifikasi kapal tidak sesuai dengan alokasi yang dianggarkan tiap unitnya, baik kualitas kapal, kualitas mesin, dan sarana tangkap yang disediakan.

Sebenarnya, kata dia, indikasi penyelewengan itu telah dilaporkan dan diketahui oleh KKP. Para nelayan telah melaporkan bahwa ada sekitar lima hingga enam perusahaan pembuat kapal untuk program ini yang melakukan kecurangan, mulai dari melakukan mark up harga hingga pengadaan kapal yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang dijanjikan.

Upaya Kiara membawa kasus tersebut ke ranah hukum mendapat dukungan dari Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB), Rokmin Dahuri.

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu mengatakan sah-sah saja jika ada pihak yang memiliki bukti-bukti kuat terkait adanya penyelewengan ataupun penyalahgunaan kekuasaan pada program pengadaan 1.000 kapal Inka Mina tersebut.

“Dengan dibawanya kasus dugaan penyelewengan ini ke ranah hukum, diharapkan ada efek jera dan menjadi pembelajaran bagi mereka yang terlibat. Biarkan masalah ini diselesaikan oleh pihak yang berwajib,” ungkapnya.

Rokhmin sebenarnya menyayangkan program Inka Mina yang dilaksanakan KPP tersebut. Menurut dia, program pengadaan atau pemberian 1.000 kapal Inka Mina secara cuma-cuma kepada nelayan tidak mendidik. Sebab, untuk membangun bangsa dengan menyejahterakan nelayan bukan dengan cara memberikan kapal secara gratis.

Program tersebut, menurut Rokhmin, akan membuat nelayan menjadi malas. Mereka akan selalu meminta kepada pemerintah tanpa ada usaha membebaskan dirinya dari kemiskinan.

Selain itu, lanjutnya, jika nantinya usaha yang dilakukan gagal, para nelayan tidak terpacu untuk bangkit kembali karena selama ini apa yang diusahakan merupakan pemberian gratis dari pihak lain, bukan hasil pengorbanannya.

Program pengadaan 1.000 kapal Inka Mina secara gratis tersebut diduga sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. “Karena itu, kami mengharapkan keberanian dari KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian untuk menuntaskan kasus yang terindikasi terjadi penyelewengan ini,” katanya.

Harus Dihentikan

Ke depan, kata Rokhmin, pemerintah hendaknya meniadakan program-program pemberian bantuan kepada masyarakat secara gratis atau tanpa syarat. “Bantuan yang berikan hendaknya dengan pemberdayaan masyarakat, mulai dari pemberian bantuan modal atau kerja secara dipinjamkan, pelatihan keterampilan sumber daya manusia dan lainnya,” katanya.

Menurut Rokhmin, upaya menyejahterakan nelayan akan lebih efektif jika pemerintah mendorong permodalan untuk nelayan kecil, pelatihan keterampilan untuk mengoperasikan ukuran besar, pembenahan infrastruktur perikanan, dan jaminan pasar.

Sebelumnya, Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Riza Damanik, mengatakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KPP) telah gagal melaksanakan program pengadaan 1.000 kapal Inka Mina. “Program ini tidak berkontribusi positif terhadap penambahan jumlah kapal ikan secara nasional. Hal ini karena proyek pengadaan bantuan 1.000 kapal bagi nelayan itu sarat manipulasi,” katanya. mza/ers/E-3

Sumber:  http://koran-jakarta.com/?11354-usut%20kasus%20proyek%20inka%20mina

KIARA: Sedikitnya 11 Kabupaten/Kota Penerima Kapal Inka Mina Membebani Nelayan dan Merugikan Keuangan Negara

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

KIARA: Sedikitnya 11 Kabupaten/Kota Penerima Kapal Inka Mina

Membebani Nelayan dan Merugikan Keuangan Negara 

Jakarta, 5 Mei 2014. Program “Pembangunan dan Pengelolaan Kapal Inka Mina Tahun 2010-2013” merugikan keuangan Negara, membebani nelayan dan mangkrak karena tidak bisa dioperasikan.

Abdul Halim, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menegaskan bahwa, “Klaim keberhasilan pelaksanaan program Inka Mina bak jauh panggang dari api. Masyarakat nelayan penerima kapal merugi dan bahkan terbebani secara moral akibat kapal tidak bisa dioperasikan. Tak hanya itu, keuangan Negara juga dirugikan karena gagal menyejahterakan masyarakat perikanan tradisional. Pada titik ini, BPK harus bergerak mengauditnya”.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Mei 2014) menemukan fakta beberapa Inka Mina yang tersebar sedikitnya di 11 kabupaten/kota mangkrak karena tidak bisa dioperasikan dan membebani nelayan penerima (lihat Tabel 1).

Tabel 1. Daftar Inka Mina Mangkrak dan Tidak Beroperasi di Indonesia

No Wilayah Penerima Keterangan
1 Kabupaten Bulungan dan Kota Tarakan, Kalimantan Utara Sejak diterima, kapal Inka Mina 198 (beroperasi 4 kali) dan Inka Mina 199 (hanya dipergunakan memancing) tidak pernah mendapatkan hasil apapun.

Proses pembuatan kapal amburadul. Dalam artian, pengerjaan kapal dilakukan secara sungguh-sungguh saat Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi datang. Di luar itu, pekerja kapal terkesan main-main.

Kedua kapal Inka Mina tersebut, menurut nakhoda Kapal Inka Mina 198, tidak sesuai dengan karakter nelayan yang beroperasi di perairan Kalimantan Timur bagian Utara.

Proses pembuatan kapal amburadul. Dalam artian, pengerjaan kapal dilakukan secara sungguh-sungguh saat Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi datang. Di luar itu, pekerja kapal terkesan main-main

2 Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat Inka Mina di Kabupaten Lombok Tengah, NTB, yakni Inka Mina 124 dan Inka Mina 125 tidak beroperasi dikarenakan biaya operasional yang tinggi dan tidak sesuai kebutuhan nelayan setempat. Inka Mina 124 diketuai oleh Sdr. Musaddat tidak lagi beroperasi karena kardannya rusak. Sudah sekali beroperasi ke Sumba, NTT, tetapi merugi.

Inka Mina 125 diketuai oleh Sdr. Dahlan dari Dusun Awang, Desa Mertak, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, dan akan dikontrakkan kepada seseorang dari Sumbawa, NTB dengan mekanisme bagi hasil.

3 Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat Inka Mina 250 di Kabupaten Lombok Timur, NTB, diketuai Sdr. Lukman dari Dusun Toroh Tengan, Desa Tanjung Luar, Kecamatan Keruak, sama sekali tidak dilengkapi dengan alat/sarana tangkap sehingga kapal mangkrak sampai dengan hari ini di muara sungai Tanjung Luar. Sejak diserahkan pada tahun 2012, hanya beroperasi sebanyak 2 kali dan merugi.
4 Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat Inka Mina 18 dikelola oleh nelayan dari Desa Labuhan, Kecamatan Pringgabaya. Sejak diterima pada tahun 2011 sampai hari ini tidak pernah operasi. Bahkan saat diujicobakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan, Kabupaten Lombok Timur, kapal tidak bisa berjalan, mesin mati dan baling-baling terlepas. Sejak kejadian itu sampai hari ini kapal Inka Mina 18 mangkrak di sungai dan kondisinya hampir sudah tidak bisa terpakai karena sudah bocor dan air laut keluar masuk dan miring.
5 Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur Inka Mina di Desa Balauring, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata, NTT: (i) penerima kapal ternyata bukan kelompok nelayan dan diambil-alih oleh kepala desa; (ii) dikarenakan alat tangkapnya tidak sesuai, kapal tidak pernah dioperasikan.
6 Kabupaten Indramayu, Jawa Barat Inka Mina di Indramayu hanya diparkir di TPI Karang Song dikarenakan: (i) tidak ada dana pendampingan nelayan; (ii) spesifikasi kapal tidak sesuai dan dibutuhkan dana sebesar Rp. 100 juta untuk memperbaikinya.
7 Kabupaten Tanjung Balai dan Kota Medan, Sumatera Utara Di Sumatera Utara, Kapal Inka Mina 63 dan 64 digunakan untuk mengangkut bawang impor dari Malaysia ke Sumatera Utara. Secara fisik, kapal-kapal bantuan tersebut tidak layak untuk kegiatan menangkap ikan. Tingginya ongkos perawatan kapal telah mendorong penggunaan kapal tidak sesuai peruntukannya.
8 Kota Surabaya, Jawa Timur Kapal Inka Mina di Surabaya, Jawa Timur tidak bisa dioperasikan dikarenakan: (i) kelengkapan kapal yang minim; dan (ii) terbatasnya kapasitas nelayan dalam mengoperasikannya. Belakangan, Dinas Perikanan memilih memasang rumpon di Selat Madura.
9 Kepulauan Riau Inka Mina 343 di Pulau Panjang, Tanjung Pinang, dijadikan sebagai alat transportasi masyarakat untuk menghadiri resepsi pernikahan.

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Mei 2014), dihimpun berdasarkan keterangan masyarakat nelayan

Oleh karena itu, tambah Halim, KIARA membuka Posko Pengaduan Inka Mina dan melaporkan berbagai temuan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).***

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekjen KIARA

di +62 815 53100 259

Keluarga Nelayan Desak Menteri Luar Negeri dan Menteri Kelautan Pastikan Keberadaan Nelayan yang Ditangkap Malaysia

Siaran Pers Bersama

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Wilayah Langkat

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

 

Keluarga Nelayan Desak Menteri Luar Negeri dan Menteri Kelautan

Pastikan Keberadaan Nelayan yang Ditangkap Malaysia

 

Jakarta, 2 Mei 2014. Sapriyandi (19 tahun), seorang Anak Buah Kapal penangkap ikan yang berasal dari Dusun I Desa Kelantan Kabupaten Langkat tidak kembali kerumah setelah ditangkap oleh Aparat Malaysia. Sapriyandi diketahui terakhir bersama Nakhoda dan dua orang ABK lain ditangkap aparat Malaysia saat sedang pulang dari melaut mencari ikan pada tanggal 22 September 2013 lalu. Saat itu Sapriyandi dan Nakhoda dan 2 (dua) orang ABK lainnya ditangkap oleh Aparat Malaysia dengan bersenjatakan lengkap dan tanpa ada perlawanan Sapriyandi bersama dengan lainnya dibawa Aparat Malaysia.

Namun malangnya, Sapriyandi tidak pernah kembali setelah penangkapan tersebut. Padahal Nakhoda dan ABK kapal nelayan lainnya telah kembali tanpa ada masalah apapun. Hingga keterangan pers ini dipublikasikan tidak ada kejelasan mengenai keberadaan Sapriyandi. Hingga keluarga korban yang diwakili oleh Sari Purnati, kakak kandung korban berkirim surat kepada Menteri Kelautan dan Perikanan serta kepada Menteri Luar Negeri Republik Indonesia mempertanyakan upaya yang bisa dilakukan. Sari Purniati, berkirim surat dikarenakan Sapriyandi merupakan tulang punggung keluarga yang menjadi penting setelah orang tua mereka tiada.

Perlindungan warga negara di luar negeri merupakan kewajiban pemerintah yang ditegaskan UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Selain melakukan perlindungan, pemerintah juga berkewajiban memberikan bantuan kepada warga negara Indonesia yang sedang memiliki masalah di luar negeri. Ditegaskan dalam Pasal 21 UU No. 37 Tahun 1999, apabila Warga Negara terancam bahaya nyata, perwakilan Republik Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan serta mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia atas biaya negara.

Untuk itu, KIARA bersama dengan KNTI wilayah Langkat mendesak Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk: pertama, memastikan keberadaan Supriyandi dengan berkoordinasi dengan Kedutaan Besar Indonesia dan Konsulat Jendral Indonesia di Malaysia. Kedua, memastikan pemenuhan hak dasar keluarga korban yang hingga saat ini tidak mendapatkan nafkah ekonomi setelah Sapriyandi ditangkap aparat Malaysia. Ketiga, menyelesaikan masalah perbatasan wilayah laut antara Indonesia dengan Malaysia. Terakhir memperkuat anggaran nasional serta infrastruktur pengawasan perbatasan untuk memastikan perlindungan nelayan tradisional Indonesia di perbatasan.

 

Untuk informasi lebih lanjut, silahkan menghubungi:

Sari Purnati, Kakak Sapriyandi

di +62 853 7389 2189

 

Tajruddin Hasibuan, Presidium KNTI Region Sumatera,

di +62 813 7093 1995

 

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA

di +62 815 53100 259

 

A. Marthin Hadiwinata, Koordinator Advokasi Hukum dan Kebijakan KIARA

di +62 856 2500 181

 

Sekretariat Nasional Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

The People’s Coalition for Fisheries Justice Indonesia

Jl. Manggis Blok B-4

Perumahan Kalibata Indah

Jakarta 12750

Telp. +62 21-7993528

Faks. +62 21-7993528

Website. www.kiara.or.id

Mangrove Masih Isu Pinggiran

Mangrove Masih Isu Pinggiran

Stok Karbon Lebih Tinggi daripada di Hutan

 

Penelitian Pusat Penelitian Kehutanan International menunjukan, ekosistem mangrove menyimpan stok karbon lima kali lipat dibandingkan dengan hutan hujan tropis. Namun, perlindungan ekosistem mangrove dari deforestasi dan degradasi belum menjadi prioritas dalam pembangunan ataupun program REDD+.

“Kalau ekosistem mangrove dihancurkan, mustahil mengembalikan lagi,” kata Daniel Murdiyarso, peneliti pada Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (Cifor), yang juga anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Rabu (30/4), di Jakarta. Ia menjadi salah satu pembicara dalam diskusi “Perubahan Iklim dan Keanekaragaman Hayati dalam Pengelolaan Lahan Basah Kawasan pesisir” oleh AIPI.

Indonesia dengan belasan ribu pulau punya luas hutan mangrove terbesar di dunia(23 persen). Namun, luasan itu dari tahun ke tahun berkurang dengan laju 52.000 hektar per tahun untuk lahan tambak, pemukiman, infrastruktur, dan kebun sawit.

Saat ini, luas huan mangrove tak lebih dari 2,8 juta hektar, jauh berkurang dibandingkan 20 tahun lalu yang mencapai 5 juta hektar. “Saat ini belum ada aturan kuat terkait perlindungan mangrove,” kata dia.

Dari sisi stok karbon, ekosistem mangrove pada tutupan atas sekitar 150 ton per hektar, terpaut sedikit dibandingkan stok karbon hutan tropis sebesar 200 ton per hektar.

Namun, saat dihitung stok karbon pada bagian substrat mangrove, nilainya lebih dari 1.000 ton per hektar. Substrat mangrove terbentuk dari serasah yang terjebak dan terakumulasi dalam kondisi rendah/tanpa oksigen (anaerob). Kedalamannya bisa mencapai 3 meter.

Menurut Daniel yang juga guru besar di IPB, pembukaan tambak dapat membongkar substrat membuat karbon terlepas ke udara. Itu menyumbang emisi tinggi yang berdampak memperparah perubahan iklim.

Pembicara lain, Deputi Badan Pengelola REDD+ William Sabandar dan Direrktur Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kementerian Kehutanan Herudjojo Tjiptono , mengatakan,ekosistem mangrove masih terpinggirkan. Bahkan, Heru tidak membantah. Ekosistem mangrove terkesan masih dianaktirikan dalam pengelolaan hutan.

Menjadi Korban

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan pernah menegaskan, dualisme pengelolaan ekosistem mangrove oleh Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengorbankan benteng alam daratan dari abrasi. Terkait hal itu, Herudjojo mengatakan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mengarahkan, mulai tahun 2015 Kemenhut hanya mengelola ekosistem mangrove di dalam kawasan hutan (Hutan Negara), sedangkan KKP mengelola ekosistem diluaar kawasan hutan.

William menyebutkan, ekosistem mangrove ada dalam Strategi Nasional REDD+ 2012. “Perhatian masih ke gambut. Padahal, mangrove menyimpan stok karbon tinggi,” kata dia.

Sumber: Kompas, Jumat, 2 Mei 2014

NASIB NELAYAN; Menjala Kesejahteraan

NASIB NELAYAN

Menjala Kesejahteraan

 

Konsumsi ikan terus meningkat. Di atas kertas, hal ini seharusnya menjadi sinyal positif untuk menggairahkan sektor perikanan tangkap dan mendorong peningkatan kesejahteraan nelayan. Namun, kenyataan berkata lain. Kesejahteraan nelayan justru menurun.

Menurut publikasi Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi ikan per kapita tahun 2009 tercatat 28 kilogram (kg) per kapita per tahun. Tahun 2013, jumlah ikan yang dimakan meningkat menjadi 35 kg per kapita. Jika dihitung, konsumsi ikan per kapita masyarakat Indonesia naik 5,7 persen per tahun sepanjang lima warsa terakhir.

Hasil jajak pendapat yang diselenggarakan Litbang Kompas pada Maret lalu juga menguatkan angka-angka dari BPS ini. Lebih dari 90 persen responden mengaku sering mengkonsumsi ikan. Satu dari dua peserta jajak pendapat lewat telepon ini memakan ikan beberapa kali dalam seminggu.

Peningkatan minat melahap ikan idealnya berbanding lurus dengan kesejahteraan nelayan di negeri ini lewat kenaikan permintaan pasar. Nelayan seharusnya mampu berproduksi lebih besar atau meningkatkan harga ikan seiring tingginya permintaan pasar. Sayangnya, kondisi di lapangan masih jauh dari kondisi ideal.

Tengok saja angka nilai tukar nelayan (NTN) Indonesia yang justru menyusut. Bulan Maret 2014, NTN di angka 103,38. Lebih rendah dari NTN bulan Maret 2013 sebesar 105,19.

Nilai NTN yang merupakan perbandingan antara pendapatan dari ikan hasil tangkapan dengan barang dan jasa yang di konsumsi rumah tangga nelayan menjadi indikator kesejahteraan. Nelayan semakin sejahtera jika nilai NTN semakin besar. Faktanya, nilai NTN malah makin mengecil. Kesejahteraan nelayan Indonesia secara umum makin terpuruk.

Penurunan kesejahteraan nelayan tak lepas dari sejumlah kendala. Salah satunya adalah keterbatasan kapal. Dari 627.000 nelayan, 63 persennya merupakan nelayan yang hanya mengoperasikan kapal berkapasitas maksimal 10 gros ton (GT). Bahkan, sekitar 90 persen nelayan di Laut Jawa mengoperasikan kapal kecil atau sama sekali tidak punya kapal. Dari sisi perolehan ikan, sebagian besar tangkapan di wilayah ini justru dihasilkan oleh aktifitas kapal pukat cincin skala besar berbobot mati di atas 1.000 ton.

Persoalan keterbatasan alat juga berimbas pada rendahnya pendapatan mereka. Nelayan sebenarnya mampu menangkap ikan dalam jumlah besar, hanya saja sistem pengawetan ikan yang bisa menjamin membawa ikan dalam kondisi segar menjadi kendala utama.

Pesoalan semacam ini dialami nelayan di sejumlah daerah, seperti Bengkulu, Aceh, dan Sulawesi Tengah, sampai sekarang. Sebagian nelayan di daerah-daerah itu pernah dengan sengaja membuang sekitar dua ton ikan hasil tangkapan mereka di tengah laut. Ikan senilai Rp 20 juta itu dibuang karena nelayan tak punya cukup es batu untuk mengawetkan ikan. Ada juga nelayan yang terpaksa tidak mengoperasikan kapalnya karena sulit memperoleh es batu. Ikan tangkapan pun harus harus dilepas dengan harga murah karena tak bisa disimpan terlalu lama.

Kebijakan pemerintah pun terkadang hanya berpihak kepada nelayan yang punya dana besar. Misalnya, pemerintah lewat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengolahan Perikanan Republik Indonesia membuka peluang bagi kapal pemodal besar melakukan ekspor langsung. Aktifitas perikanan tangkap antara pemodal dan nelayan serta sektor hulu dan hilir semakin timpang.

Program pemerintah di sektor perikanan sebaiknya tidak hanya memancing gairah nelayan pemodal besar. Pemerintah perlu mewujudkan program yang menyerupai jala sehingga bisa mengangkat semua pemain perikanan, khususnya nelayan kecil.

(BIMA BASKARA/LITBANG KOMPAS)

Sumber: Kompas, 30 April 2014