Rakyat Terancam Dibebani Utang Proyek Coremap Sebesar Rp1,44 Triliun

Rakyat Terancam Dibebani Utang Proyek Coremap Sebesar Rp1,44 Triliun

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang yang diluncurkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sejak akhir tahun 1990-an silam, ternyata telah membuat negara terbebani utang sebesar US$85,75 miliar atau setara Rp1,44 triliun. Besarnya utang dari proyek yang berlangsung sejak tahun 1998 hingga berakhir di tahun 2019 nanti itu diungkapkan oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).

Sekretaris Jenderal KIARA Abdul Halim menegaskan, untuk menyelamatkan terumbu karang sebenarnya tidak memerlukan pinjaman hingga sedemikian besar yang akan membebani rakyat. “Tanpa utang masyarakat Indonesia mampu memperbaiki kerusakan terumbu karang yang lebih disebabkan oleh pemakaian alat tangkap merusak trawl, pencemaran laut dan lemahnya penegakan hukum,” kata Halim kepada Gresnews.com, Rabu (7/5).

Untuk menyelamatkan terumbu karang, kata Halim, yang harus dikedepankan adalah semangat gotong-royong yang menjadi karakter masyarakat Indonesia. Karena di level masyarakat pesisir, kesadaran mengenai rusaknya terumbu karang yang berakibat pada menurunnya hasil tangkapan ikan terus meningkat. “Hal ini mendorong mereka untuk berinisiatif menyelamatkan terumbu karang secara swadaya,” ujarnya menambahkan.

No Fase Coremap Nama Penghutang Jumlah Hutang
1 Fase I (1998-2004) Bank Dunia USD 6,9 Juta
Bank Pembangunan Asia USD 7 Juta
2 Fase II (2004-2009) Bank Dunia USD 56,2 Juta
Bank Pembangunan Asia USD 8,27 Juta
3 Fase III (2014-2019 Bank Dunia USD 47,38 Juta
    TOTAL USD 85,75

Sumber: KIARA

Pusat Data dan Informasi KIARA (2014) menemui fakta di Kepulauan Aru (Maluku) dan Pulau Lembata (NTT) kerusakan terumbu karang lebih banyak disebabkan faktor di luar nelayan tradisional. Faktor pertama adalah lemahnya penegakan hukum atas pemakaian alat tangkap merusak. Anehnya, kata Halim, fakta pengeboman di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, yang diduga melibatkan lembaga konservasi asing dibiarkan tanpa ditindak tegas. Di lain sisi, masyarakat nelayan tradisional telah berulangkali menyampaikan laporan tanpa kesungguhan menindaklanjutinya dari pemerintah.

Kedua, rehabilitasi karang dapat dilakukan tanpa utang jika pemerintah bersungguh-sungguh dan memprioritaskan jiwa swadaya atau gotong-royong masyarakat nelayan. Di Aru dan Lembata, masyarakat nelayan bahkan melakukan upaya-upaya preventif untuk mencegah kerusakan laut dengan mengedepankan kearifan lokal dalam mengelola kekayaan lautnya.

Perbaikan terumbu karang, tambah Halim, mutlak diperlukan di tengah masih maraknya pemakaian alat tangkap merusak, seperti trawl, potasium, dan bom. Di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia penggunaan alat-alat itu secara terang-benderang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.

Nyatanya, pemerintah lebih memilih mencari utang dan menggandeng asing untuk melaksanakan hal yang sebenarnya bisa dilakukan sendiri oleh nelayan tradisional. Pihak KKP beralasan program ini justru akan memberikan dampak positif bagi nelayan. Beberapa waktu lalu Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil KKP Toni Ruchimat mengatakan dilanjutkannya program Coremap merupakan bentuk keberhasilan dua program serupa. “Coremap III tahun ini adalah fase pelembagaan,” kata Toni.

Pihak LIPI sendiri terlibat dalam melakukan monitoring. Hasilnya secara umum indicator biofisik yang dicapai program Coremap II meningkat. Data tersebut menyatakan bahwa terjadi peningkatan tutupan karang hidup sebesar 71 persen. Sementara, di Daerah Perlindungan Laut (DPL) terjadi peningkatan sebesar 57 persen. Untuk populasi ikan karang, rata-rata mengalami peningkatan sebesar 3 persen di setiap lokasi.

Dari sisi indikator sosial ekonomi, berdasarkan hasil Implementation Completion Report (ICR) Coremap II, wilayah-wilayah program Coremap telah menunjukan hasil yang memuaskan, terhadap pentingnya konservasi ekosistem terumbu karang. Ini terlihat dari capaian indikator public awareness sebesar 75 persen melebihi 70 persen yang ditargetkan.

Toni mengakui ada sebagain kecil alternatif usaha yang dikembangkan mengalami kemacetan dan berhenti produksi. Namun, kata dia, itu lebih disebabkan oleh minimnya pengetahuan teknis usaha yang dikembangkan.

Redaktur : Muhammad Agung Riyadi

Sumber: http://www.gresnews.com/berita/hukum/15075-rakyat-terancam-dibebani-utang-proyek-coremap-sebesar-rp1-44-triliun/

Ada Kerugian Negara, Proyek Inka Mina Dilaporkan ke KPK

Ada Kerugian Negara, Proyek Inka Mina Dilaporkan ke KPK

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Masih ingat dengan proyek Inka Mina? Proyek itu adalah proyek pengadaan 1000 kapal berbobot 30 Gross Ton yang dicanangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2010 lalu. Lewat program itu niat pemerintah sebenarnya baik, yaitu ingin meningkatkan taraf hidup nelayan tradisional agar bisa menghasilkan tangkapan ikan yang layak dan bisa bersaing dengan armada milik penguasaha perikanan dan armada asing.

Sayangnya, perjalanan program itu di lapangan ternyata sama sekali tidak mulus. Sejak dicanangkan hingga tahun 2013 kemarin, ternyata program itu tidak pernah memenuhi target dan diindikasikan telah menimbulkan kerugian negara. “Banyak kapal yang diberikan malah membenani nelayan dan mangkrak karena tidak dioperasikan,” kata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim kepada Gresnews.com, Senin (5/5).

Halim menilai klaim keberhasilan pelaksanaan program Inka Mina bak jauh panggang dari api. Masyarakat nelayan penerima kapal merugi dan bahkan terbebani secara moral akibat kapal tidak bisa dioperasikan. Tak hanya itu, keuangan negara juga dirugikan karena gagal menyejahterakan masyarakat perikanan tradisional. “Pada titik ini, BPK harus bergerak mengauditnya,” ujarnya.

Halim lantas menyodorkan data dari Pusat Data dan Informasi KIARA per bulan Mei 2014. Dari data itu ditemukan fakta beberapa kapal Inka Mina yang tersebar di 11 kabupaten/kota yang mangkrak. Berikut adalah datanya:

Tabel: Daftar Inka Mina Mangkrak dan Tidak Beroperasi di Indonesia

No Wilayah Penerima Keterangan
1 Kabupaten Bulungan dan Kota Tarakan, Kalimantan Utara Sejak diterima, kapal Inka Mina 198 (beroperasi 4 kali) dan Inka Mina 199 (hanya dipergunakan memancing) tidak pernah mendapatkan hasil apapun. 

Proses pembuatan kapal amburadul. Dalam artian, pengerjaan kapal dilakukan secara sungguh-sungguh saat Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi datang. Di luar itu, pekerja kapal terkesan main-main.

 

Kedua kapal Inka Mina tersebut, menurut nakhoda Kapal Inka Mina 198, tidak sesuai dengan karakter nelayan yang beroperasi di perairan Kalimantan Timur bagian Utara.

 

Proses pembuatan kapal amburadul. Dalam artian, pengerjaan kapal dilakukan secara sungguh-sungguh saat Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi datang. Di luar itu, pekerja kapal terkesan main-main

2 Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat Inka Mina di Kabupaten Lombok Tengah, NTB, yakni Inka Mina 124 dan Inka Mina 125 tidak beroperasi dikarenakan biaya operasional yang tinggi dan tidak sesuai kebutuhan nelayan setempat. Inka Mina 124 diketuai oleh Sdr. Musaddat tidak lagi beroperasi karena kardannya rusak. Sudah sekali beroperasi ke Sumba, NTT, tetapi merugi. 

Inka Mina 125 diketuai oleh Sdr. Dahlan dari Dusun Awang, Desa Mertak, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, dan akan dikontrakkan kepada seseorang dari Sumbawa, NTB dengan mekanisme bagi hasil.

3 Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat Inka Mina 250 di Kabupaten Lombok Timur, NTB, diketuai Sdr. Lukman dari Dusun Toroh Tengan, Desa Tanjung Luar, Kecamatan Keruak, sama sekali tidak dilengkapi dengan alat/sarana tangkap sehingga kapal mangkrak sampai dengan hari ini di muara sungai Tanjung Luar. Sejak diserahkan pada tahun 2012, hanya beroperasi sebanyak 2 kali dan merugi.
4 Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat Inka Mina 18 dikelola oleh nelayan dari Desa Labuhan, Kecamatan Pringgabaya. Sejak diterima pada tahun 2011 sampai hari ini tidak pernah operasi. Bahkan saat diujicobakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan, Kabupaten Lombok Timur, kapal tidak bisa berjalan, mesin mati dan baling-baling terlepas. Sejak kejadian itu sampai hari ini kapal Inka Mina 18 mangkrak di sungai dan kondisinya hampir sudah tidak bisa terpakai karena sudah bocor dan air laut keluar masuk dan miring.
5 Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur Inka Mina di Desa Balauring, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata, NTT: (i) penerima kapal ternyata bukan kelompok nelayan dan diambil-alih oleh kepala desa; (ii) dikarenakan alat tangkapnya tidak sesuai, kapal tidak pernah dioperasikan.
6 Kabupaten Indramayu, Jawa Barat Inka Mina di Indramayu hanya diparkir di TPI Karang Song dikarenakan: (i) tidak ada dana pendampingan nelayan; (ii) spesifikasi kapal tidak sesuai dan dibutuhkan dana sebesar Rp. 100 juta untuk memperbaikinya.
7 Kabupaten Tanjung Balai dan Kota Medan, Sumatera Utara Di Sumatera Utara, Kapal Inka Mina 63 dan 64 digunakan untuk mengangkut bawang impor dari Malaysia ke Sumatera Utara. Secara fisik, kapal-kapal bantuan tersebut tidak layak untuk kegiatan menangkap ikan. Tingginya ongkos perawatan kapal telah mendorong penggunaan kapal tidak sesuai peruntukannya.
8 Kota Surabaya, Jawa Timur Kapal Inka Mina di Surabaya, Jawa Timur tidak bisa dioperasikan dikarenakan: (i) kelengkapan kapal yang minim; dan (ii) terbatasnya kapasitas nelayan dalam mengoperasikannya. Belakangan, Dinas Perikanan memilih memasang rumpon di Selat Madura.
9 Kepulauan Riau Inka Mina 343 di Pulau Panjang, Tanjung Pinang, dijadikan sebagai alat transportasi masyarakat untuk menghadiri resepsi pernikahan.

Sumber: KIARA

Untuk lebih melengkapi data, kata Halim, KIARA saat ini membuka posko pengaduan Inka Mina. Hasil temuan ini menurut dia akan segera dilaporkan ke penegak hukum. “Kami akan melaporkan berbagai temuan ini ke KPK,” ujar Halim.

Temuan KIARA ini memang tidak jauh berbeda dari hasil audit internal pihak KKP sendiri. Dokumen hasil audit internal KKP yang diterima redaksi Gresnews.com menyebutkan target pembuatan kapal Inka Mina memang tidak pernah sesuai. Tahun 2010 misalnya, dari target pembuatan 60 unit, hanya terealisasi 46 unit. Tahun 2011 dari target 253 unit hanya teralisasi 232 unit. Sedangkan tahun 2012, dari target 249 unit hanya terealisasi 242 unit. Sedangkan untuk tahun 2013 dan 2014 belum terpantau, namun di tahun 2013 target mencapai 250 kapal dan di 2014 target mencapai 230 kapal, sehingga pada akhir tahun 2014 kuota 1000 kapal terpenuhi.

Kedua, dari hasil audit internal KKP terhadap 106 unit kapal yang sudah diserahkan di 46 kabupaten/kota, pihak Inspektorat Jenderal KKP menemukan, dari jumlah tersebut hanya 28 kapal atau 26,42 persen yang benar-benar operasional dan sesuai dengan tujuan pengadaan. Sementara kapal yang sudah operasional namun bermasalah mencapai 32 unit atau 30,19%.

Masalah yang dialami kapal-kapal ini beragam mulai dari belum memiliki ijin (9 kapal), menggunakan ijin daerah (4 unit), hasil tangkapan belum optimal dan masih rugi (9 kapal), belum diketahui produksinya (4 kapal), kapal terbakar dan mesin mengalami kerusakan (2 kapal), dan lain-lain. Sisanya ada kapal yang sudah diserahkan namun belum operasional sama sekali yaitu sebanyak 46 kapal (43,40%).

Dari sisi pengadaan pihak Inspektorat menyimpulkan, kapal Inka Mina belum sepenuhnya sesuai dengan tujuan pengadaannya. Hal ini dapat dilihat dengan masih rendahnya kapal Inka Mina yang telah operasional dan dapat meningkatkan produksi serta pendapatan nelayan yaitu hanya 28 unit kapal.

Selain itu dari sisi operasional pihak Inspektorat seperti disebutkan dokumen tersebut, juga ditemukan adanya pelanggaran ijin operasional. Akibat tidak optimalnya pengadaan kapal ini, di beberapa daerah potensi ikan yang ada malah banyak yang dinikmati nelayan asing dengan armada kapal yang lebih baik.

Meski demikian, Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo mengklaim proyek  Inka Mina telah berhasil menyejahterakan nelayan. Program yang lebih dikenal dengan sebutan Program 1000 kapal itu, merupakan implementasi dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2010 tentang percepatan Pelaksanaaan Prioritas Pembangunan Nasional. Di bidang perikanan, pemerintah melalui KKP memberi dukungan sarana maupun prasarana, kapal Inka Mina dengan ukuran 30 GT keatas.

Hingga 2014 mendatang, pemerintah menargetkan bantuan sebanyak 1000 kapal kepada kelompok nelayan di berbagai wilayah Indonesia. “Sebanyak 507 atau 98% kapal inka mina dari total 519 realisasi pembangunan selama 2010-2012 telah sukses beroperasi dan berhasil meningkatkan hasil tangkapan serta pendapatan nelayan di sejumlah daerah,” demikian kata Sharif Cicip Sutardjo dalam pernyataan tertulis yang diterima redaksi Gresnews.com, beberapa waktu lalu.

Menurut Cicip, setidaknya hingga tahun 2013, kapal-kapal tersebut telah berkontribusi terhadap peningkatan produksi hasil tangkapan yang mencapai sebesar 5,81 juta ton. Selain itu program itu juga meningkatkan pendapatan masyarakat dengan besaran total pendapatan rata-rata Rp46 juta pertrip dengan kisaran 10 orang ABK perkapal. Karena itu Cicip percaya diri program ini mulai memperlihatkan dampak positifnya.

Dia mengklaim, sudah banyak cerita sukses kelompok nelayan penerima bantuan kapal Inka Mina. Bahkan rata rata, semenjak menggunakan kapal Inka Mina, nelayan penerima bantuan mendapatkan hasil dua kali lipat. “Ini menunjukkan, sesungguhnya penggunaan kapal Inka Mina mempunyai tujuan untuk mengurangi kepadatan operasi penangkapan ikan di wilayah pantai dan di bawah 12 mil yang telah padat dengan perahu-perahu nelayan,” ujar Cicip.

Selain itu dengan bantuan kapal seberat 30 GT, nelayan dapat melakukan optimalisasi fishing ground di wilayah penangkapan ikan nasional. Kemudian, dengan menggunakan kapal Inka Mina, nelayan diharapkan mampu untuk meningkatkan produksi dan produktivitasnya. “Dengan program Inka Mina, secara langsung mendukung peningkatan kemampuan anak buah kapal (ABK) dari skala kecil ke skala menengah dan besar dan bisa merekrut ABK minimal 10 nelayan per kelompok,” kata Cicip.

Menurut Cicip, berdasarkan data yang diperoleh dari pengelolaan kapal inka mina yang telah operasional, secara keseluruhan pendapatan rata-rata 25 unit kapal Inka Mina per trip operasi penangkapan dapat mencapai lebih dari Rp100 juta. Sementara untuk 16 unit kapal berpendapatan antara Rp75 juta – Rp100 juta pertrip. Sementara 39 unit kapal lainnya berpendapatan antara Rp50 juta – Rp75 juta/trip.

Selebihnya ada 153 unit kapal berpendapatan antara Rp25 – Rp75 juta/trip dan 274 unit kapal berpendapatan dibawah Rp 25juta/trip. “Nilai tersebut telah mendongkrak pendapatan yang cukup signifikan dan sangat diluar dugaan,” ujar Cicip.

Ia juga mengaku besarnya hasil tangkapan serta pendapatan untuk setiap kapal di setiap daerah berbeda. Bahkan beberapa diantaranya menunjukkan nilai yang fantastis. Seperti di Kabupaten Luwu, Selawesi Selatan dari tiga kapal yang telah beroperasional sejak tahun 2010 total pendapatan di peroleh sebesar Rp5 miliar.

Selain itu nelayan mendapat berbagai keuntungan lainnya seperti yang telah dirasakan oleh nelayan di Kabupaten Majene Sulawesi Barat yang kini dapat menghasilkan tuna dengan kualitas ekspor yang semula hanya Grade C kini bisa menghasilkan tuna dengan Grade A dengan harga US$12 per kilogram. “Tuna yang dihasilkan berkualitas ekspor dan sekarang negara tujuan ekspor mereka sudah merambah ke Jepang,” ujar Cicip.

Redaktur : Muhammad Agung Riyadi

Sumber: http://www.gresnews.com/berita/hukum/22055-ada-kerugian-negara-proyek-inka-mina-dilaporkan-ke-kpk/0/

KIARA: Negara Dibebani Hutang Coremap Senilai Rp. 1,44 Triliun Selama 1998-2019

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

KIARA: Negara Dibebani Hutang Coremap

Senilai Rp. 1,44 Triliun Selama 1998-2019 

Jakarta, 6 Mei 2014. Sejak tahun 1998-2019, Indonesia dibebani hutang Coremap (Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang) sebesar USD 85,75 atau setara dengan Rp.1,44 Triliun (lihat Tabel 1). Padahal,  tanpa hutang, masyarakat Indonesia mampu memperbaiki kerusakan terumbu karang yang lebih disebabkan oleh pemakaian alat tangkap merusak trawl, pencemaran laut dan lemahnya penegakan hukum.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA menegaskan, “Untuk penyelamatan terumbu karang, sudah semestinya dikedepankan semangat gotong-royong yang menjadi karakter masyarakat Indonesia. Karena di level masyarakat pesisir, kesadaran mengenai rusaknya terumbu karang yang berakibat pada menurunnya hasil tangkapan ikan terus meningkat. Hal ini mendorong mereka untuk berinisiatif menyelamatkan terumbu karang secara swadaya”.

Tabel 1. Daftar Hutang Coremap

No Fase Coremap Nama Penghutang Jumlah Hutang
1 Fase I (1998-2004) Bank Dunia USD 6,9 Juta
Bank Pembangunan Asia USD 7 Juta
2 Fase II (2004-2009) Bank Dunia USD 56,2 Juta
Bank Pembangunan Asia USD 8,27 Juta
3 Fase III (2014-2019 Bank Dunia USD 47,38 Juta
TOTAL USD 85,75

Pusat Data dan Informasi KIARA (2014) menemui fakta di Kepulauan Aru (Maluku) dan Pulau Lembata (NTT) bahwa: pertama, kerusakan terumbu karang disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum atas pemakaian alat tangkap merusak. Anehnya, fakta pengeboman di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, yang diduga melibatkan lembaga konservasi asing dibiarkan tanpa ditindak tegas. Di lain sisi, masyarakat nelayan tradisional telah berulangkali menyampaikan laporan tanpa kesungguhan menindaklanjutinya.

Kedua, rehabilitasi karang dapat dilakukan tanpa hutang jika pemerintah bersungguh-sungguh dan memprioritaskan jiwa swadaya atau gotong-royong masyarakat nelayan. Di Aru dan Lembata, masyarakat nelayan bahkan melakukan upaya-upaya preventif untuk mencegah kerusakan laut dengan mengedepankan kearifan lokal dalam mengelola kekayaan lautnya.

Perbaikan terumbu karang, tambah Halim, mutlak diperlukan di tengah masih maraknya pemakaian alat tangkap merusak, seperti trawl, potasium, dan bom, di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang terang-benderang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.***

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekjen KIARA

Di +62 815 53100 259

 

KIARA: Negara Dibebani Hutang Coremap Senilai Rp. 1,44 Triliun Selama 1998-2019

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

KIARA: Negara Dibebani Hutang Coremap

Senilai Rp. 1,44 Triliun Selama 1998-2019 

Jakarta, 6 Mei 2014. Sejak tahun 1998-2019, Indonesia dibebani hutang Coremap (Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang) sebesar USD 85,75 atau setara dengan Rp.1,44 Triliun (lihat Tabel 1). Padahal,  tanpa hutang, masyarakat Indonesia mampu memperbaiki kerusakan terumbu karang yang lebih disebabkan oleh pemakaian alat tangkap merusak trawl, pencemaran laut dan lemahnya penegakan hukum.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA menegaskan, “Untuk penyelamatan terumbu karang, sudah semestinya dikedepankan semangat gotong-royong yang menjadi karakter masyarakat Indonesia. Karena di level masyarakat pesisir, kesadaran mengenai rusaknya terumbu karang yang berakibat pada menurunnya hasil tangkapan ikan terus meningkat. Hal ini mendorong mereka untuk berinisiatif menyelamatkan terumbu karang secara swadaya”.

Tabel 1. Daftar Hutang Coremap

No Fase Coremap Nama Penghutang Jumlah Hutang
1 Fase I (1998-2004) Bank Dunia USD 6,9 Juta
Bank Pembangunan Asia USD 7 Juta
2 Fase II (2004-2009) Bank Dunia USD 56,2 Juta
Bank Pembangunan Asia USD 8,27 Juta
3 Fase III (2014-2019 Bank Dunia USD 47,38 Juta
TOTAL USD 85,75

Pusat Data dan Informasi KIARA (2014) menemui fakta di Kepulauan Aru (Maluku) dan Pulau Lembata (NTT) bahwa: pertama, kerusakan terumbu karang disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum atas pemakaian alat tangkap merusak. Anehnya, fakta pengeboman di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, yang diduga melibatkan lembaga konservasi asing dibiarkan tanpa ditindak tegas. Di lain sisi, masyarakat nelayan tradisional telah berulangkali menyampaikan laporan tanpa kesungguhan menindaklanjutinya.

Kedua, rehabilitasi karang dapat dilakukan tanpa hutang jika pemerintah bersungguh-sungguh dan memprioritaskan jiwa swadaya atau gotong-royong masyarakat nelayan. Di Aru dan Lembata, masyarakat nelayan bahkan melakukan upaya-upaya preventif untuk mencegah kerusakan laut dengan mengedepankan kearifan lokal dalam mengelola kekayaan lautnya.

Perbaikan terumbu karang, tambah Halim, mutlak diperlukan di tengah masih maraknya pemakaian alat tangkap merusak, seperti trawl, potasium, dan bom, di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang terang-benderang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.***

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekjen KIARA

Di +62 815 53100 259

 

KIARA Desak BPK Audit Program Kapal Inka Mina

KIARA Desak BPK Audit Program Kapal Inka Mina

 

Jakarta, JMOL ** Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengirim rilis hari ini, Senin (5/5) berisi sedikitnya 11 kabupaten/kota penerima Kapal Inka Mina membebani nelayan dan merugikan keuangan negara.

Program ‘Pembangunan dan Pengelolaan Kapal Inka Mina Tahun 2010-2013’ merugikan keuangan negara, membebani nelayan, dan mangkrak karena tidak bisa dioperasikan.

“Klaim keberhasilan pelaksanaan program Inka Mina bak jauh panggang dari api. Masyarakat nelayan penerima kapal merugi dan bahkan terbebani secara moral akibat kapal tidak bisa dioperasikan. Tak hanya itu, keuangan Negara juga dirugikan karena gagal menyejahterakan masyarakat perikanan tradisional. Pada titik ini, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan—red)harus bergerak mengauditnya,” ujar Abdul Halim, Sekjen KIARA.

Pusat Data dan Informasi KIARA Mei 2014 menemukan fakta beberapa Inka Mina yang tersebar sedikitnya di 11 kabupaten/kota mangkrak karena tidak bisa dioperasikan dan membebani nelayan penerima.

Misalnya di Kabupaten Bulungan dan Kota Tarakan, Kalimantan Utara. Sejak diterima, kapal Inka Mina 198 (beroperasi 4 kali) dan Inka Mina 199 (hanya dipergunakan memancing) tidak pernah mendapatkan hasil apa pun.

Proses pembuatan kapal pun amburadul. Dalam artian, pengerjaan kapal dilakukan secara sungguh-sungguh saat Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi datang. Di luar itu, pekerja kapal terkesan main-main. Kedua kapal Inka Mina tersebut, menurut nakhoda Kapal Inka Mina 198, tidak sesuai dengan karakter nelayan yang beroperasi di perairan Kalimantan Timur bagian Utara.

Inka Mina di Kabupaten Lombok Tengah, NTB, yakni Inka Mina 124 dan Inka Mina 125, tidak beroperasi dikarenakan biaya operasional yang tinggi dan tidak sesuai kebutuhan nelayan setempat. Inka Mina 124 diketuai oleh Musaddat tidak lagi beroperasi karena kardannya rusak. Sudah sekali beroperasi ke Sumba, NTT, tetapi merugi.

Inka Mina 125 diketuai oleh Dahlan dari Dusun Awang, Desa Mertak, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, dan akan dikontrakkan kepada seseorang dari Sumbawa, NTB dengan mekanisme bagi hasil.

Inka Mina di Indramayu hanya diparkir di TPI Karang Song dikarenakan tidak ada dana pendampingan nelayan serta spesifikasi kapal tidak sesuai dan dibutuhkan dana sebesar Rp 100 juta untuk memperbaikinya.

Editor: Arif Giyanto

Sumber: http://jurnalmaritim.com/2014/8/984/KIARA-Desak-BPK-Audit-Program-Kapal-Inka-Mina