KIARA: Negara Dibebani Hutang Coremap Senilai Rp. 1,44 Triliun Selama 1998-2019

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

KIARA: Negara Dibebani Hutang Coremap

Senilai Rp. 1,44 Triliun Selama 1998-2019 

Jakarta, 6 Mei 2014. Sejak tahun 1998-2019, Indonesia dibebani hutang Coremap (Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang) sebesar USD 85,75 atau setara dengan Rp.1,44 Triliun (lihat Tabel 1). Padahal,  tanpa hutang, masyarakat Indonesia mampu memperbaiki kerusakan terumbu karang yang lebih disebabkan oleh pemakaian alat tangkap merusak trawl, pencemaran laut dan lemahnya penegakan hukum.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA menegaskan, “Untuk penyelamatan terumbu karang, sudah semestinya dikedepankan semangat gotong-royong yang menjadi karakter masyarakat Indonesia. Karena di level masyarakat pesisir, kesadaran mengenai rusaknya terumbu karang yang berakibat pada menurunnya hasil tangkapan ikan terus meningkat. Hal ini mendorong mereka untuk berinisiatif menyelamatkan terumbu karang secara swadaya”.

Tabel 1. Daftar Hutang Coremap

No Fase Coremap Nama Penghutang Jumlah Hutang
1 Fase I (1998-2004) Bank Dunia USD 6,9 Juta
Bank Pembangunan Asia USD 7 Juta
2 Fase II (2004-2009) Bank Dunia USD 56,2 Juta
Bank Pembangunan Asia USD 8,27 Juta
3 Fase III (2014-2019 Bank Dunia USD 47,38 Juta
TOTAL USD 85,75

Pusat Data dan Informasi KIARA (2014) menemui fakta di Kepulauan Aru (Maluku) dan Pulau Lembata (NTT) bahwa: pertama, kerusakan terumbu karang disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum atas pemakaian alat tangkap merusak. Anehnya, fakta pengeboman di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, yang diduga melibatkan lembaga konservasi asing dibiarkan tanpa ditindak tegas. Di lain sisi, masyarakat nelayan tradisional telah berulangkali menyampaikan laporan tanpa kesungguhan menindaklanjutinya.

Kedua, rehabilitasi karang dapat dilakukan tanpa hutang jika pemerintah bersungguh-sungguh dan memprioritaskan jiwa swadaya atau gotong-royong masyarakat nelayan. Di Aru dan Lembata, masyarakat nelayan bahkan melakukan upaya-upaya preventif untuk mencegah kerusakan laut dengan mengedepankan kearifan lokal dalam mengelola kekayaan lautnya.

Perbaikan terumbu karang, tambah Halim, mutlak diperlukan di tengah masih maraknya pemakaian alat tangkap merusak, seperti trawl, potasium, dan bom, di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang terang-benderang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.***

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekjen KIARA

Di +62 815 53100 259

 

KIARA: Negara Dibebani Hutang Coremap Senilai Rp. 1,44 Triliun Selama 1998-2019

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

KIARA: Negara Dibebani Hutang Coremap

Senilai Rp. 1,44 Triliun Selama 1998-2019 

Jakarta, 6 Mei 2014. Sejak tahun 1998-2019, Indonesia dibebani hutang Coremap (Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang) sebesar USD 85,75 atau setara dengan Rp.1,44 Triliun (lihat Tabel 1). Padahal,  tanpa hutang, masyarakat Indonesia mampu memperbaiki kerusakan terumbu karang yang lebih disebabkan oleh pemakaian alat tangkap merusak trawl, pencemaran laut dan lemahnya penegakan hukum.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA menegaskan, “Untuk penyelamatan terumbu karang, sudah semestinya dikedepankan semangat gotong-royong yang menjadi karakter masyarakat Indonesia. Karena di level masyarakat pesisir, kesadaran mengenai rusaknya terumbu karang yang berakibat pada menurunnya hasil tangkapan ikan terus meningkat. Hal ini mendorong mereka untuk berinisiatif menyelamatkan terumbu karang secara swadaya”.

Tabel 1. Daftar Hutang Coremap

No Fase Coremap Nama Penghutang Jumlah Hutang
1 Fase I (1998-2004) Bank Dunia USD 6,9 Juta
Bank Pembangunan Asia USD 7 Juta
2 Fase II (2004-2009) Bank Dunia USD 56,2 Juta
Bank Pembangunan Asia USD 8,27 Juta
3 Fase III (2014-2019 Bank Dunia USD 47,38 Juta
TOTAL USD 85,75

Pusat Data dan Informasi KIARA (2014) menemui fakta di Kepulauan Aru (Maluku) dan Pulau Lembata (NTT) bahwa: pertama, kerusakan terumbu karang disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum atas pemakaian alat tangkap merusak. Anehnya, fakta pengeboman di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, yang diduga melibatkan lembaga konservasi asing dibiarkan tanpa ditindak tegas. Di lain sisi, masyarakat nelayan tradisional telah berulangkali menyampaikan laporan tanpa kesungguhan menindaklanjutinya.

Kedua, rehabilitasi karang dapat dilakukan tanpa hutang jika pemerintah bersungguh-sungguh dan memprioritaskan jiwa swadaya atau gotong-royong masyarakat nelayan. Di Aru dan Lembata, masyarakat nelayan bahkan melakukan upaya-upaya preventif untuk mencegah kerusakan laut dengan mengedepankan kearifan lokal dalam mengelola kekayaan lautnya.

Perbaikan terumbu karang, tambah Halim, mutlak diperlukan di tengah masih maraknya pemakaian alat tangkap merusak, seperti trawl, potasium, dan bom, di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang terang-benderang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.***

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekjen KIARA

Di +62 815 53100 259