Archive for date: October 16th, 2014
Untung Rugi Tanggul Jakarta
/in Kampanye & Advokasi, Pengelolaan Pesisir & Pulau - Pulau Kecil, Pertambakan dan Mangrove, Reformasi Kebijakan /by adminkiara
DAMPAK PEMBANGUNAN
Untung Rugi Tanggul Jakarta
Setiap pembangunan kota perlu diukur manfaat dan dampaknya bagi warga, demikian pula rencana pembangunan tanggul laut raksasa di Teluk Jaklarta. Siapa akan menangguk untung dan siapa kelak yang menanggung dampak buruknya harus terjelaskan kepada publik karena kota dibangun untuk warga, bukan seglintir elite, seperti politisi atau pebisnis Oleh AHMAD SARIF Wacana Pembangunan tanggul laut raksasa Jakarta dan reklamasi dalam bentuk pulau-pulau muncul pada era Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, dengan usulan datang dari konsultan Belanda. Awalnya di sebut Sea Dike Plan Tahap III dan akan di bangun tahun 2020-2030.
Proyek itu lalu dimasukan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI untuk 2010-2030. Disebutkan, untk mengatasi pasang naik yang semakin tinggi karna pemanasan global, akan dibangun pulau-pulau dengan cara reklamasi. Pulau itu kan dilengkapi tanggul laut raksasa.
Belakangan, proyek yang kini disebut “Pembangunan Pesisir Terpadu Ibu Kota Negara” juga dimaksudkan untuk menyediakansumber air bersih.
Asumsinya, tanggul akan terisi air tawar dari 13 sungai yang bermuara di dalamnya. Dengan penyediaan air bakum diharapkan penyedotan air tanah pemicu penurunan daratan hingga 10 cm per tahun dapat dihentikan.
Dengan alasan itu pula, pada Juni 2013, pemerintah pusat bersama Pemprov DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten bersepakat mempercepat proyek itu. “Untuk giant sea wall, dari jadwal awalnya tahun 2020, akan ground breaking tahun 2014,” kata mantan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, di Jakarta, seperti dikutip Kompas, Kamis (7/3/2013). Percepatan dilakukan karena mendesaknya kebutuhan fasilitas itu, yaitu dipicu penurunan permukaan tanah di pesisir DKI yang akan mencapai 4 meter tahun 2020.
Namun, menurut Muslim Muin, ahli oseanografi yang juga mantan Kepala Program Studi Kelautan Institut Teknologi Bandung (ITB) , percepatan itu lebih karena besarnya minat swasta. Tak hanya menjadi infrastruktur pengendali banjir, proyek itu memamg disiapkan menghasilkan lahan reklamasi hingga 4.000 hektar.
Gubernur DKI Joko Widodo yang juga presiden terpilih, mengakui besarnya minat pihak swasta.”Tanggul laut memang menarik secara bisnis dan komersial sehingga banyak yang mau terlibat. Tidak hayna satu dua pihak, tetapi banyak”. Kata Jokowi (Kompas 7/3/2013).
Kamis (9/10), pemancangan tiang pertama akhirnya dilakukan, menandai pembangunan tanggul pesisir sepanjang 32 kilometer atau tahap I dari dari tiga lapis unggul. Dari panjang itu, pemerintah pusat dan pemprov DKI hanya akan menanggung pembiayaan 8 kilometer dengan dana 3,5 triliun. Sisanya 24 km dibiayai swasta pemegang kensesi lahan reklamasi.
Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana Indonesia Bernardus Djonoputro mengkritik model pembangunan itu. “menggantungkan pembangunan infrastruktur dasar kepada swasta merupakan cara berfikir keliru. Logikanya, swasta mau masuk pasti kalau menguntungkan bisnis mereka,’’tuturnya.
Dengan cara pikir swasta, tidak mengherankan jika proyek cenderung meminggirkan kepentingan masyarakat, utamanya nelayan di pesisir. “Itu berpotensi memicu kesenjangan luar biasa besar antara penduduk asli Jakarta dan pelaku ekonomi baruyang akan muncul di pulau-pulau reklamasi ini. Apakah itu sudah dikaji dampaknya?”kata Djonoputro.
Berdasarkan data dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), sedikitnya 16.855nelayan tergusur.
Solusi Bermasalah
Menurut Muslin Muin, tanggul laut raksassa bukan jawaban masalah Jakarta, Sebaliknya, berpotensi membawa banyak masalah baru. Jika alasannya mengatasi banjir rob, yang dibutuhkan tanggul pesisir .”Saya setuju daratan Jakarta mengalami penurunan signifikan. Karena itu, perlu ditanggul bagian pesisir yang menurun itu, selain juga perlu menanggul sungai-sungainya,”ungkapnya.
Pembuatan tanggul laut, kata Muslim, dilakukan lebih untuk melindungi 17 pulau reklamasi. Itulah mengapa pihak swasta yang mendapat konsesi lahan reklamasi bersemangat.
Alasan menyediakan air bersih lebih tak masuk akal.”Debit air yang masuk teluk Jakarta dari 13 sungai rata-rata 300 meter kubik per detik. Artinya ada 270 meter kubik harus dipompa ke luar, itu energi memompanya pakai apa?” katanya. “Kalau mau ambil air untuk bahan baku bersih, lebih masuk akal dari sungai di bagian hulu.
Total biaya untuk memompa air dari tanggul dan meningkat kan kualitas air dalam tanggul, menurut hitungan Muslim, 600 juta dollar AS per tahun.” Kalau alasannya kenaikan muka air laut, Singapura juga Malaysia juga terancam. Apakah mereka membuat tanggul laut? Tidak, karena kenaikan muka air laut tidak signifikan.”
Belanda dan Korea Selatan
Sejak awal, proyek itu hendak meniru tanggul laut belanda, negeri yang sebagian besar daratannya di bawah permukaan laut. Tanggul laut raksasa di Belanda dibangun setelah negeri itu dilanda badai laut berketinggian air 30 meter pada 1953. Air yang hampir beku menerjang kota, menewaskan 1.835 orang, memaksa 110.000 warga mengungsi. Tiga belas tanggul raksasa dibangun bertahap selama 39 tahun sejak saat itu.
“Indonesia tidak memiliki badai laut.” Kata Muslim.
Belakangan, Pemprov DKI melirik tanggul laut raksassa Samengeum, Korea Selatan. Namun, tanggul laut terpanjang di dunia itu bukan tanpa masalah. Setelah terhenti dua tahun karena protes keras masyarakatnya, tanggul laut 33,9 km selesai dibangun pada 2006.
Riset Hye Kyung Lee dari Seol National University (2013), kualitas air yang di gelontorkan dari dua sungai ke dalam tanggul ternyata tercemar industri pertanian dan peternakan di hulu. Akibatnya ide sebagai sumber air bersih tak terwujud.
Bagaimana dengan Teluk Jakarta, muara 13 sungai yang tercemar ? Riset Badan Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPDP BPPT) menyebut, pembangunan tanggul laut akan menaikan muka air di dalam tanggul hingga 0,5-1 meter setelah14 hari simulasi. Arus air di dalam Tanggul juga mengecil sehingga kualitas air dalam tanggul memburuk secara progesif.
Peneliti BPDP BPPT, Widjo Kongko, menyebut, penurunan kualitas air itu ditandai dengan perubahan signifikan parameter lingkungan, seperti kenaikan biological oxygen demand (BOD) lebih dari 100 prsen, penurunan dissolved oxygen (DOlebih dari ) 20 persen , dan penurunan salinitas air lebih dari 3 persen.
Widodo Pranoho, peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan pesisir KKP, mengatakan, proyek itu akan berdampak ekologis, bukan hanya terhadap pesisir Jakarta dan Kepulauan Seribu, tetapi hingga Banten. ”Tanggul ini bisa menjadi comberan raksasa.” katanya.
Selain itu, tanggul akan menyebabkan perubahan arus laut dan akan mengerus beberapa pulau di Pulau Seribu, Sala satunya Pulau Onrust. Adapun dampak di pesisir Serang, Banten, seperti dikemukakan Kepala Kelompok Peneliti Kerentanan Pesisir KKP Semeidi Husrin, berpotensi merusak pesisir Banten karena pasir reklamasi teluk Jakarta dari Banten.
Jadi, seharusnya yang dipikirkan dulu adalah menata air di hulu, bukan bendung di hilir. Tanggul laut Jakarta untuk siapa?
Sumber : Kompas, Senin 13 Oktober 2014
Penolakan “Giant Sea Wall” Menguat
/in Kampanye & Advokasi, Pengelolaan Pesisir & Pulau - Pulau Kecil, Pertambakan dan Mangrove, Reformasi Kebijakan /by adminkiara
Penolakan “Giant Sea Wall” Menguat
JAKARTA – Penolakan atas pembangunan tanggul raksasa atau giant seawall (GSW) terus menguat. Sejumlah elemen masyarakat melakukan aksi unjuk rasa di Bundaran Hotel Indonesia, Rabu (15/10). Aksi unjuk rasa itu melibatkan 100 orang dari dua organisasi, yakni Koalisi Rakyat untuk Keadilan dan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Jakarta.
Sejumlah nelayan dari Muara Angke, Marunda, dan Cilincing mengangkatposter-poster yang bertuliskan penolakan terhadap pembangunan GSW yang diperkirakan menghabiskan anggaran sekitar 600 triliun rupiah. Mereka menyatakan menolak pembangunan GSW yang dinilai hanya untuk melindungi pengembang perumahan mewah dan sejumlah gudang milik pengusaha di sepanjang Pantai Utara, Jakarta Utara.
Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Slamet Daroyni, menyatakan pembangunan GSW juga menjadi bukti gagalnya revitalisasi lingkungan pendukung pascareklamasi Pantai Utara Jakarta beberapa tahun lalu.
“Perencanaan awal itu reklamasi Pantai Utara seluas 2.700 hektare akan dibarengi dengan revitalisasi lingkungan 2.500 hektare. Tetapi, sampai saat ini, revitalisasi tidak pernah dilakukan yang berakibat sejumlah perumahan mewah mulai kebanjiran,” ujar Slamet saat orasi di Bundaran Hotel Indonesia.
Dia mengungkapkan bukti gagalnya revitalisasi lingkungan hidup pascareklamasi ialah terjadinya banjir yang menimpa perumahan elite PantaiMutiara setinggi 40 cm pada tahun 2008. Slamet meyakini pembangunan GSW ditujukan sebagai pengganti revitalisasi lingkungan hidup yang memiliki kepentingan melindungi pengembang dan sejumlah gudang usaha di lahan hasil reklamasi Pantai Utara.
Dia menyebutkan sejumlah pengembang yang memiliki kepentingan kuat terhadap GSW, yakni Agung Sedayu Grup, Jakarta Propertindo, Ancol, dan sejumlah pengembang lainnya. “Ada 12 perusahaan pengembang yang ada di lahan reklamasi Pantai Utara yang memiliki kepentingan kuat terhadap GSW,” ujarnya.
Slamet juga menegaskan pembangunan GSW tidak akan menyelesaikan banjir dan krisis air bersih. GSW bahkan menjadi langkah awal dishumanisasi karena akan menggusur ribuan warga dan nelayan. Proyek itu juga melanggar UU karena tidak memiliki izin lingkungan serta tidak berbasis hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Tidak adanya KLHS sebagai basis keputusan akhir menyelesaikan banjir di Jakarta menjadi bukti GSW bukan solusi banjir.
Dalam orasi yang penuh semangat, Slamet mengatakan, akibat pembangunan ini, terjadi konflik berkepanjangan antara warga dan perusahaan pengerukan pasir di Tangerang. Kebutuhan pasir untuk pengerukan pembangunan GSW membutuhkan ratusan ribu ton kubik. Ia memprediksi kebutuhan pasir untuk GSW melebihi kebutuhan pasir saat pelaksanaan reklamasi Pantai Utara yang saat itu mencapai 330 ribu ton kubik.
“Saat ini, PT Jetstar sebagai perusahaan pengerukan pasir untuk giant sea wall dan pulau buatan di Pontang, Tangerang, tengah berkonflik dengan nelayan setempat karena laut tempat mereka mencari makan keruh,” ujarnya.
Bencana Ekologis
Slamet memprediksi pembangunan GSW akan menggusur ruang hidup dan ruang usaha sekitar 16.855 nelayan. Proyek itu dipastikan merusak ekosistem pesisir Teluk Jakarta, hutan mangrove, dan terumbu karang yang akan menyebabkan bencana ekologis yang lebih besar.
Iyus, 56 tahun, salah satu nelayan Muara Angke, Jakarta Utara, yang turut dalam aksi demo, mempertanyakan nasibnya jika GSW jadi dibangun. “Kalau ada tanggul, kami sebagai nelayan kecil sudah dipastikan tidak bisa melaut,” ujarnya. (pin/frn/AR-3)
Sumber: http://www.koran-jakarta.com/?22165-penolakan+%E2%80%9Cgiant+sea+wall%E2%80%9D+menguat
Giant Sea Wall to inflict losses on Jakartans: Groups
/in Kampanye & Advokasi, Pengelolaan Pesisir & Pulau - Pulau Kecil, Pertambakan dan Mangrove, Reformasi Kebijakan /by adminkiara
Giant Sea Wall to inflict losses on Jakartans: Groups
The Jakarta Post, Jakarta | Jakarta | Wed, October 15 2014,
Jakarta News
The Giant Sea Wall, a Rp 600 trillion (US$49.07 billion) construction project in the Masterplan for the Acceleration and Expansion of Indonesian Economic Development (MP3EI) that started on Oct. 9, poses serious problems for Jakarta’s residents, NGOs have said.
The People’s Coalition for Fisheries Justice Indonesia (KIARA) and the Indonesian Traditional Fishermen’s Association (KNTI) said in a joint statement on Wednesday that the Giant Sea Wall would not only remove thousands of local people and fishermen from their homes but was also unlikely to be effective in resolving the flooding and water crisis that had long disrupted the lives of Jakarta’s residents.
Moreover, the project violated laws in that, for instance, it did not have environmental permits and was not based on the results of a regional strategic environmental assessment (KLHS).
Abdul Halim of KIARA said the MP3EI was a new method of natural resource destruction, which could trigger ecological disasters and remove people from their places of residence.
The Giant Sea Wall had been included in the MP3EI scheme after the Jakarta administration failed to protect settlements and warehouses in coastal reclamation areas he said.
“The government has never paid close attention to the rights of traditional fishermen in Jakarta,” said Halim in a press release made available toThe Jakarta Post on Wednesday.
During the implementation of the Jakarta coastal reclamation project on a 2,500-hectare area in 2000-2011, as many as 3,579 fishing families were forcefully removed from their homes.
In the Giant Sea Wall project, at least 16,855 fishermen will be removed from where they live and make a living.
“The project is destructive to the ecosystem in Jakarta Bay,” said Halim.
He said damage to mangrove forests and coral reefs would cause larger ecological disasters, such as the disappearance of fish in northern Jakarta waters and the decline of maritime tourism potential from a damaged marine environment and abrasion at Banten Bay and along the northern Java coast due to ongoing sand mining for the reclamation. (ebf)
Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2014/10/15/giant-sea-wall-inflict-losses-jakartans-groups.html
Pembangunan Giant Sea Wall Singkirkan Nelayan
/in IUU Fishing, Kampanye & Advokasi, Pengelolaan Pesisir & Pulau - Pulau Kecil, Reformasi Kebijakan /by adminkiara
Pembangunan Giant Sea Wall Singkirkan Nelayan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim menilai pembanguan “Giant Sea Wall” yang bernilai ratusan triliun rupiah bisa bencana ekologis dan menyingkirkan nelayan dari ruang hidupnya.
“Proyek ini sangat merusak ekosistem pesisir Teluk Jakarta, kerusakan hutan mangrove dan terumbu karang akan menyebabkan bencana ekologis yang lebih besar,” katanya di Jakarta, Rabu (15/10).
Halim menjelaskan dalam pelaksanaan reklamasi pantai Jakarta seluas 2500 hektar, sepanjang tahun 2000-2011 sedikitnya 3.579 kepalakeluarga nelayan tergusur.
“Dalam proyek ini sedikitnya 16.855 nelayan akan kembali lagi di gusur dari ruang hidup dan ruang usahanya,” katanya menambahkan.
Ia mengatakan proyek ini memiliki banyak masalah selain menyingkirkan warga dan nelayan juga ternyata tidak bisa menyelesaikan persoalan banjir dan krisis air warga Jakarta.
“Bencana ekologis pasti terjadi seperti hilangnya ikan diperairan utara Jakarta, mengurangi potensi pariwisata bahari karena rusaknya laut serta abrasi di pesisir teluk Banten maupun pantai utara Jawa,” papar Abdul Halim.
Ia mengatakan proyek ini juga akan mengorbankan perempuan nelayan yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga nelayan dalam membantu mengolah ikan secara tradisional.
Salah satu solusi alternatif yang dapat dilakukan dengan menjalankan konsep “River Dike” seperti yang disampaikan oleh Ketua Kelompok Teknik Kelautan ITB Muslim Muin.
“Konsep ini lebih murah daripada pembangunan “Giant Sea Wall” cukup dengan tanggul sepanjang pantai pada daerah yang mengalami penurunan tanah dan mempertinggi tanggul sungai dan tidak perlu menutup fasilitas yang sudah ada,” tutupnya.
Sumber: http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/14/10/16/ndi7eb-pembangunan-giant-sea-wall-singkirkan-nelayan

Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan
Jl. Tebet Utara 1 C No.9 RT.08/RW.01, Kel. Tebet Timur, Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan. 12820, Indonesia. Tlp/Fax +62-21 22902055
Tentang KIARA
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) adalah organisasi non-pemerintah yang berdiri pada tanggal 6 april 2003. Organisasi nirlaba ini diinisiasi oleh WALHI, Bina Desa, JALA (Jaringan Advokasi untuk Nelayan Sumatera Utara), Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN), dan individu-individu yang menaruh perhatian terhadap isu kelautan dan perikanan.