Keberpihakan Pemerintah Kunci Swasembada Garam

Keberpihakan Pemerintah Kunci Swasembada Garam

 

NERACA

Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama dengan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian tengah merumuskan peta jalan swasembada garam nasional. Salah satu target yang ingin dicapai adalah Indonesia bebas impor garam di tahun 2015. Hal itu disampaikan Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim kepada Neraca di Jakarta, Senin (22/12).

Halim mencatat, sedikitnya perwakilan petambak garam dari 5 kabupaten (Sikka, Ende, Ngada, Lembata dan Flores Timur) di Nusa Tenggara Timur mendesak keberpihakan pemerintah, dari hulu ke hilir. Desakan ini disampaikan di dalam Pertemuan Petambak Garam Nusa Tenggara Timur di Maumere, Kabupaten Sikka, pada tanggal 16-19 Desember 2014. Pertemuan ini merupakan tindaklanjut dari lokakarya di Sumenep, Madura, pada tanggal 15-18 September 2014 tentang Pengelolaan Garam Nasional yang Menyejahterakan Petambaknya.

Menurut dia, keberpihakan pemerintah menjadi kunci tercapainya target swasembada garam dan penutupan kran impor. Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2014) mencatat jumlah impor garam dibandingkan dengan produksi nasional lebih dari 80% sejak tahun 2010. Sekedar contoh, pada 2010, produksi garam sebesar 1,621,338 ton, impor 2,080,000 ton. Sementara pada 2014 sebesar 2,190,000 ton, impor 1,950,000 ton.

KIARA menyebut, besarnya angka impor disebabkan oleh, pertama, pengelolaan garam nasional yang terbagi ke dalam 3 kementerian (Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan) beda kewenangan dan tanpa koordinasi. Kedua, pemberdayaan garam rakyat tidak dimulai dari hulu (tambak, modal, dan teknologi) hingga hilir (pengolahan, pengemasan, dan pemasaran); dan ketiga lemahnya sinergi pemangku kebijakan di tingkat kabupaten/kota, provinsi dan pusat dengan masyarakat petambak garam skala kecil

“Mendapati angka impor yang tinggi sejak tahun 2010, sudah semestinya pemerintah menjalankan kebijakan satu pintu dan payung hukum. Di India, pengelolaan garam nasional terpusat dikerjakan oleh Pemerintah Pusat dan lembaga independen, yakni Salt Commissioner’s Office (SCO). Mereka bertugas untuk: memastikan bahwa petambak garam mendapatkan asuransi (jiwa dan kesehatan); beasiswa sekolah anak mereka; tempat beristirahat, air bersih dan kamar mandi yang layak; kelengkapan alat keselamatan bekerja; jaminan harga; sepeda dan jalan menuju tambak garam yang bagus,” kata Halim.

Dia menjelaskan, apa yang dilakukan oleh Pemerintah India tidaklah sulit untuk diterapkan di Indonesia. Tidak diperlukan lembaga baru, asal ada kesungguhan politik pemerintah dan kesediaan bekerjasama dengan masyarakat petambak garam skala kecil sehingga kran impor bisa ditutup dan petambak garam mendapatkan kesejahteraannya.

Sementara itu, pada kesempatan sebelumnya, KIARA mencatat, 65,2 persen anggaran kelautan dan perikanan untuk infrastruktur dan belanja barang dan jasa, bukan pemberdayaan nelayan. “Pemerintah bersama dengan DPR Republik Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015 pada tanggal 14 Oktober 2014. APBN Kementerian Kelautan dan Perikanan di tahun 2015 meningkat dibandingkan dengan tahun 2014, dari Rp5.784,7 triliun menjadi Rp6.368,7 triliun,” ujar Halim.

Di dalam dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2015 dan Nota Keuangan APBN 2015,  dana yang dialokasikan untuk masyarakat dan pemerintah daerah di 34 provinsi hanya sebesar 34,8 persen dari Rp6.726.015.251.000 (Enam triliun tujuh ratus dua puluh enam miliar lima belas juta dua ratus lima puluh satu ribu rupiah).

“Dari prosentase di atas, 29,6 persen dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur dan pengadaan barang dan jasa. Sementara upaya pemberdayaan masyarakat berbentuk penyaluran dana tunai sebesar 5,2 persen untuk kelompok usaha garam, rumput laut, perikanan tangkap dan budidaya,” sebutnya.

“Peningkatan produksi perikanan masih menjadi prioritas pemerintah. Tantangannya adalah selama ini kenaikan produksi tidak memberikan kesejahteraan kepada nelayan. Ditambah lagi daya saing produk perikanan dari kampung-kampung nelayan yang belum serius digarap. Ironisnya perluasan kawasan konservasi perairan juga dijadikan sebagai target pelaksanaan anggaran. Akibatnya, luasan wilayah tangkap nelayan menyempit, modal melaut dan harga jual hasil tangkapan ikan tidak sebanding. Dengan perkataan lain, politik anggaran Presiden Jokowi) belum menyasar upaya perlindungan dan pemberdayaan untuk kesejahteraan nelayan,” jelas Halim.

Lebih parah lagi, lanjut Halim, pemerintah ikut terlibat dalam praktek pengrusakan ekosistem pesisir dan laut melalui reklamasi lahan di Kabupaten Kayong Utara (Kalimantan Barat) senilai Rp5 miliar dan lanjutan reklamasi kavling industri di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara sebesar Rp731.850.000. “Mendapati politik anggaran di atas, tahun 2015 masih menjadi masa suram pembangunan kelautan dan perikanan bagi masyarakat perikanan skala kecil (nelayan, perempuan nelayan, petambak garam dan budidaya),” tutur Halim.

Sumber: http://www.neraca.co.id/industri/48891/Keberpihakan-Pemerintah-Kunci-Swasembada-Garam

Kiara: Tunjukkan Keberpihakan Kepada Petambak Garam Rakyat

Kiara: Tunjukkan Keberpihakan Kepada Petambak Garam Rakyat

 

Jakarta (Antara) – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menghendaki pemerintah benar-benar menunjukkan keberpihakan kepada petambak garam rakyat sebagai langkah utama menuju Indonesia bebas impor garam.

“Keberpihakan pemerintah menjadi kunci tercapainya target swasembada garam dan penutupan keran impor,” kata Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.

Abdul Halim mengungkapkan, Pusat Data dan Informasi Kiara per Desember 2014 mencatat jumlah impor garam dibandingkan dengan produksi nasional lebih dari 80 persen sejak tahun 2010.

Ia mengemukakan, besarnya angka impor itu disebabkan antara lain pengelolaan garam nasional yang terbagi ke dalam tiga kementerian, yaitu Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Hal tersebut mengakibatkan terjadinya beda kewenangan tanpa koordinasi, serta pemberdayaan garam rakyat yang tidak dimulai dari hulu (tambak, modal, dan teknologi) hingga hilir (pengolahan, pengemasan, dan pemasaran).

Selain itu, ujar dia, permasalahan lainnya adalah lemahnya sinergi pemangku kebijakan di tingkat kabupaten/kota, provinsi dan pusat dengan masyarakat petambak garam skala kecil.

Mendapati angka impor yang tinggi sejak tahun 2010, Kiara mendesak agar sudah semestinya pemerintah menjalankan kebijakan satu pintu dan payung hukum.

“Di India, pengelolaan garam nasional terpusat dikerjakan oleh Pemerintah Pusat dan lembaga independen, yakni Salt Commissioner¿s Office (SCO),” katanya.

Abdul Halim memaparkan, SCO di India bertugas memastikan bahwa petambak garam mendapatkan asuransi (jiwa dan kesehatan); beasiswa sekolah anak mereka; tempat beristirahat, air bersih dan kamar mandi yang layak; kelengkapan alat keselamatan bekerja; jaminan harga; sepeda dan akses jalan menuju tambak garam yang bagus.

Sebagaimana diketahui, Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama dengan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian tengah merumuskan peta jalan swasembada garam nasional dengan salah satu target adalah Indonesia bebas impor garam di tahun 2015.(ab)

Sumber: https://id.berita.yahoo.com/kiara-tunjukkan-keberpihakan-kepada-petambak-garam-rakyat-104956470–finance.html

Kurangi Impor, Pemerintah Harus Berpihak Pada Petambak Garam

Kurangi Impor, Pemerintah Harus Berpihak Pada Petambak Garam

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama dengan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian tengah merumuskan peta jalan swasembada garam nas

ional. Salah satu target yang ingin dicapai adalah Indonesia bebas impor garam di tahun 2015.

Terkait kebijakan itu, sedikitnya perwakilan petambak garam dari 5 kabupaten di Nusa Tenggara Timur (Sikka, Ende, Ngada, Lembata dan Flores Timur) di Nusa Tenggara Timur mendesak keberpihakan pemerintah, dari hulu ke hilir. Desakan ini disampaikan di dalam Pertemuan Petambak Garam Nusa Tenggara Timur di Maumere, Kabupaten Sikka, pada tanggal 16-19 Desember 2014.

Pertemuan ini merupakan tindaklanjut dari lokakarya di Sumenep, Madura, pada tanggal 15-18 September 2014 tentang Pengelolaan Garam Nasional yang Menyejahterakan Petambaknya. Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim mengatakan, keberpihakan pemerintah menjadi kunci tercapainya target swasembada garam dan penutupan keran impor.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2014) mencatat jumlah impor garam dibandingkan dengan produksi nasional lebih dari 80% sejak tahun 2010 (lihat tabel). Besarnya angka impor ini, menurut Halim disebabkan oleh beberapa hal. Pertama adalah pengelolaan garam nasional yang terbagi ke dalam tiga kementerian yaitu Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

“Hal ini menimbulkan kebingungan karena ada beda kewenangan dan tanpa koordinasi,” kata Halim dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Senin (22/12).

Kedua, adalah terkait pemberdayaan garam rakyat tidak dimulai dari hulu (tambak, modal, dan teknologi) hingga hilir (pengolahan, pengemasan, dan pemasaran). Ketiga, lemahnya sinergi pemangku kebijakan di tingkat kabupaten/kota, provinsi dan pusat dengan masyarakat petambak garam skala kecil.

Tabel: Jumlah Produksi Nasional dan Impor Garam Tahun 2010-2014

No Tahun Produksi (Ton) Impor (Ton)
1 2010 1,621,338 2,080,000
2 2011 1,621,594 2,830,000
4 2012 2,473,716 2,310,000
5 2013 1,090,000 2,020,000
6 2014 2,190,000 1,950,000

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2014)

Karena itulah, kata Halim, angka impor garam menjadi tidak terkendali. Mendapati angka impor yang tinggi sejak tahun 2010, dia menyarankan, sudah semestinya pemerintah menjalankan kebijakan satu pintu dan payung hukum.

Di India, kata Halim, pengelolaan garam nasional terpusat dikerjakan oleh Pemerintah Pusat dan lembaga independen, yakni Salt Commissioner’s Office (SCO). Mereka bertugas untuk memastikan petambak garam mendapatkan asuransi (jiwa dan kesehatan), beasiswa sekolah anak mereka, dan tempat beristirahat.

“Selain itu komisi ini juga memastikan petambak mendapatkan akses air bersih dan kamar mandi yang layak, kelengkapan alat keselamatan bekerja, jaminan harga, bahkan sepeda dan jalan menuju tambak garam yang bagus,” ujar Halim.

Apa yang dilakukan oleh Pemerintah India tidaklah sulit untuk diterapkan di Indonesia. “Tidak diperlukan lembaga baru, asal ada kesungguhan politik pemerintah dan kesediaan bekerjasama dengan masyarakat petambak garam skala kecil sehingga kran impor bisa ditutup dan petambak garam mendapatkan kesejahteraannya,” kata Halim.

Sebelumnya Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengaku resah melihat fenomena impor garam yang masih berlangsung hingga saat ini. Susi menilai aktivitas impor garam menjadi salah satu penyebab utama jebolnya devisa negara selama ini.

Terkait pembahasan soal garam, Susi mengatakan sudah ada rapat koordinasi bersama dengan Kementerian Perdagangan. “Kemarin sudah digelar rakor bersama dan kita meminta stop impor garam. Kan sayang devisa negara kita terbuang hanya untuk impor garam saja,” tegas Susi usai menggelar konferensi pers di Gedung Mina Bahari I, Jakarta.

Susi mengaku geram sekaligus mengkritik kebijakan yang dilakukan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang sampai saat ini dinilai belum mampu memutus rantai impor garam.

Kritik Susi tersebut cukup beralasan pasalnya, di tahun depan, program swasembada garam akan digenjot KKP. Proyek itu menurut Susi, membutuhkan kucuran dana yang lumayan besar mengingat cakupan pendanaannya sudah termasuk dengan sektor kesejahteraan para petambak garam.

Terkait hal itu, Susi berharap ada kesamaan visi dan semangat lintas kementerian untuk bersama-sama membangun produktivitas dan kemandirian garam dalam negeri.

Pada kesempatan berbeda, pernyataan Susi direspon positif oleh Wakil Menteri Perindustrian Alex Retraubun. Alex mengaku optimis target swasembada garam nasional dapat dicapai apabila pemerintah segera tancap gas mengelola sentra produksi garam diseluruh wilayah Indonesia.

Alex menjelaskan, akumulasi kemampuan produksi garam Indonesia terletak di Jawa Timur (Madura) dan di Kabupaten Nagekeo (Nusa Tenggara Timur). Menurut Alex, sudah waktunya NTT masuk sebagai basis garam nasional karena disana terdapat ladang garam seluas 90 hektare yang belum tergarap secara maksimal.

“Potensi garam di NTT sangat luar biasa. Kita kalkulasi saja misalnya di Pulau Jawa masa produksi garam yang hanya berlangsung empat bulan saja sudah mampu produksi 70 ton per hektar per tahun. Sementara di NTT 8 bulan tidak turun hujan. Dengan periode waktu kemarau yang panjang ini, artinya NTT bisa memproduksi garam 2 kali lipat minimal 140 ton per hektar per tahun,” ungkap Alex.

Redaktur : Muhammad Agung Riyadi

 

Sumber: http://www.gresnews.com/berita/detail-print.php?seo=102312-kurangi-impor-pemerintah-harus-berpihak-pada-petambak-garam

Pemberian izin kapal Vietnam di Indonesia dikecam

Pemberian izin kapal Vietnam di Indonesia dikecam

Pemerintah Indonesia memberi izin kepada hampir 2.000 kapal nelayan Vietnam untuk berlindung di perairan Indonesia. Namun langkah tersebut dikecam oleh pegiat lingkungan hidup.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti membenarkan telah memberi izin kepada para nelayan Vietnam tersebut untuk berlindung selama tidak mencuri ikan Indonesia.

“Kita kan juga mau diplomasi baik, but it doesn’t mean we’re gonna let them do it. Jadi surat resmi (pemberian izin) saya layangkan,” kata Susi Pudjiastuti kepada wartawan BBC Indonesia Rizki Washarti.

Pemberian izin ini bermula ketika pemerintah Provinsi Ba Ria-Vung Tau, Vietnam, melalui Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Ho Chi Minh City meminta izin kepada pemerintah Indonesia agar hampir 2.000 kapal nelayan Vietnam dapat berlindung di perairan Indonesia akibat cuaca buruk.

“Kita menerima nota diplomatik (permohonan berlindung) itu. Lalu atas arahan dari bapak Konsul Jenderal, nota diplomatik itu kita teruskan kepada pemerintah pusat, kepada Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Kelautan dan Perikanan,” kata juru bicara KJRI Ho Chi Minh City, Desy Nurmala Sari, Jumat (19/12).

Cuaca

Alasan pemerintah Vietnam soal cuaca buruk ditanggapi Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Andi Eka Sakya. Dia mengatakan memang ada kemungkinan gelombang setinggi di atas tiga meter di sekitar pulau Natuna, pekan depan.

Namun, lepas dari adanya kemungkinan cuaca buruk, pemerintah Indonesia semestinya bisa menempuh jalan lain.

Dengan memberikan izin kepada nelayan Vietnam untuk berlindung di Indonesia, tidak ada yang bisa menjamin mereka tidak mencuri ikan Indonesia, kata pegiat dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim.

“Mestinya pemberian izin itu ditunda terlebih dahulu dan berkomunikasi langsung dengan Kedutaan Besar Vietnam di Jakarta untuk meminta upaya penyelamatan dan pemulangan nelayan-nelayan Vietnam tersebut,” kata pegiat dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim.

Pemberian izin kepada nyaris 2.000 kapal Vietnam untuk berlindung di perairan Indonesia mengemuka dua pekan setelah Angkatan Laut Indonesia menenggelamkan tiga kapal asal Vietnam pelaku penangkapan ikan secara ilegal di perairan Kepulauan Riau.

 

Sumber: http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/12/141219_kapal_vietnam_berlindung?SThisFB