KIARA: Menteri Kelautan dan Perikanan Tidak Boleh Kendor dengan Memperbolehkan Kembali Alih Muatan di Tengah Laut
Siaran Pers
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
KIARA: Menteri Kelautan dan Perikanan Tidak Boleh Kendor dengan
Memperbolehkan Kembali Alih Muatan di Tengah Laut
Jakarta, 9 Februari 2015. Rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyusun petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan alih muatan (transhipment) di tengah laut dengan melonggarkan ketentuan-ketentuan di dalam Peraturan Menteri Nomor 57 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA menegaskan, “Pengelolaan Perikanan di Indonesia jelas diarahkan untuk memajukan pembangunan perikanan nasional dan menyejahterakan para pelaku dalam negeri, khususnya nelayan dan perempuan nelayan. Pembolehan kembali alih muatan di tengah laut jelas mencederai amanah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jucnto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan”.
Sebagaimana diketahui, Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan menyebutkan, “Setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan harus mendaratkan ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan”. Ditambah lagi, Pasal 25 ayat (1) bahwa, “Usaha perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan, meliputi praproduksi, produksi, pengolahan dan pemasaran”.
Mengacu pada klausul-klausul di atas, sudah semestinya Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak membuka peluang sedikitpun terhadap praktek alih muatan (transhipment) di tengah laut. Pusat Data dan Informasi KIARA (Februari 2015) menemukan fakta bahwa transhipment berakibat pada: pertama, menghilangnya pemasukan Negara akibat hilangnya pendapatan bukan pajak di Kementerian Kelautan dan Perikanan seperti diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2006, misalnya jasa pelabuhan perikanan. Dalam hal ini, masyarakat pelaku perikanan skala kecil dan industri dalam negeri kehilangan kesempatan untuk ikut mengolah bahan mentah.
Kedua, pelabuhan pangkalan dalam negeri dianggap tidak berkualitas dibandingkan pelabuhan di negara lain untuk pendaratan hasil tangkapan ikan. Hal ini merugikan Negara akibat selisih harga jual dalam mata rantai perdagangan produk perikanan, khususnya upaya Negara untuk meningkatkan nilai tambah produk perikanan sebelum diekspor.
Ketiga, volume hasil tangkapan ikan yang dialih-muatkan di tengah laut tidak bisa terdata dengan pasti oleh otoritas Negara. Hal ini menyulitkan pengambil kebijakan untuk mengevaluasi dan merevisi stok ikan yang masih tersedia. Pengalaman buruk inilah yang dialami oleh negara-negara di Kepulauan Pasifik berkenaan dengan pengelolaan ikan tuna yang tidak didaratkan ke pelabuhan pangkalan sebagaimana diatur, di antaranya di Kepulauan Solomon sebanyak 2,201 ton, Republik Kepulauan Mikronesia (2,017 ton), Palau (1,758 ton), Kiribati (1,701 ton), Vanuatu (1,600 ton), Niue (126 ton), Tonga (82 ton), dan Kepulauan Cook (3 ton).
Kerugian Negara yang tergambar dan pengalaman negara-negara lain di atas semestinya menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia, khususnya Menteri Kelautan dan Perikanan. Sudah saatnya Republik ini mengakhiri kutukan sumber daya alam yang tidak menyejahterakan warganya.***
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA
di +62 815 53100 259