Kasus Benjina Ancam Produk Ekspor Perikanan Indonesia

Jum’at, 10 April 2015

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Kasus perbudakan dan penyuapan yang dilakukan PT Pusaka Benjina Resources berbuntut. Tidak hanya menyentuh ranah hukum, kasus Benjina yang juga turut dieskpos media internasional, berpotensi mengancam produk impor perikanan Indonesia.

Kekhawatiran tersebut berlanjut pasca dipublikasikannya laporan investigatif terkait kasus perbudakan Benjina oleh media internasional Associated Press (AP) beberapa waktu lalu. Sekjen Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim mengatakan, jika kasus Benjina tidak segera ditangani melalui jalur hukum, maka dampak serius akan menimpa sektor ekspor perikanan Indonesia. Bahkan, ia khawatir, produksi perikanan yang hendak dikirim pemerintah ke luar negeri berpeluang diboikot negara luar.

“Kemungkinan boikot produk perikanan di pasar internasional bisa terjadi bilamana kasus Benjina tidak segera dituntaskan pemerintah,” kata Abdul kepada Gresnews.com, Jum’at (10/4).

Abdul menuturkan, praktik boikot produk perikanan pernah dialami perusahaan Thailand Charoen Phokpand Foods. Perusahaan milik Thailand tersebut ditengarai melakukan praktik pelanggaran di sektor perikanan sehingga berdampak pada pemboikotan produk ekspor. Abdul berharap, pemboikotan produksi perikanan tersebut tidak sampai dialami oleh Indonesia.

Kekhawatiran serupa juga disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Susi mengaku cemas bilamana kasus Benjina mempengaruhi relasi Indonesia dengan negara-negara tujuan ekspor produk perikanan seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa.

Susi menyadari, negara-negara tujuan ekspor perikanan Indonesia mayoritas sensitif terhadap praktek penyimpangan dan pelanggaran. Dalam keterangannya, Susi tak ingin produk perikanan Indonesia bernasib sama dengan komoditas sawit Indonesia yang sulit diekspor karena terjebak persoalan lingkungan.

“Pemerintah berkomitmen menindak setiap praktik perbudakan. Ini penting sekaligus menjadi pesan kepada dunia internasional bahwa Indonesia tidak akan melakukan pembiaran atas kasus perbudakan yang terjadi di perairan Indonesia,” tegas Susi.

Sebelumnya, Tim Satgas IUU Fishing Mas Achmad Santosa menurunkan tim untuk mengusut kasus pelanggaran Benjina di Kepulauan Aru, Maluku.

Achmad berharap keterlibatan dan dukungan sejumlah pihak dapat mempercepat waktu penyelidikan. Achmad mengaku, hingga kini tim satgas pun masih terus menelusuri fakta soal sejumlah pelanggaran HAM termasuk praktik perbudakan para ABK.

“Hingga kini tim satgas terus mendalami data dan informasi pelanggaran kapal eks asing milik Benjina,” kata Achmad.

Achmad menilai, kejahatan perbudakan kepada ABK masuk kategori pelanggaran HAM. Adapun indikasi lain dari praktik perbudakan tersebut yaitu kerja paksa sehingga penyelidikan turut melibatkan Institusi Kepolisian dan Komnas HAM.

Selain mencari fakta (fact finding) terkait kerja paksa, tim satgas terus melakukan analisis dan evaluasi terhadap kapal-kapal eks asing milik PT PBR.

Reporter : everd@gresnews.com
Redaktur : Ramidi

Sumber:

http://www.gresnews.com/mobile/berita/ekonomi/150104-kasus-benjina-ancam-produk-ekspor-perikanan-indonesia/#sthash.0vqRdMWR.uxfs

Indonesia Didesak Ratifikasi Konvensi ILO, Cegah Perbudakan Pekerja Kapal Ikan

Jum’at, 10 April 2015

JAKARTA, GRESNEWS.COM – Indonesia dinilai perlu untuk meratifikasi konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. Sebab dengan mengadopsi konvensi tersebut ke dalam regulasi nasional, Indonesia bisa mencegah terjadinya praktik perbudakan terhadap pekerja di sektor perikanan.

Juru Bicara Serikat Pekerja Indonesia Luar Negeri (SPILN) Imam Syafi’i mengatakan banyaknya kasus yang menimpa tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di sektor perikanan di luar negeri seharusnya menjadi alasan pemerintah untuk segera meratifikasi konvensi tersebut. Misalnya, kasus 26 TKI Anak Buah Kapal (ABK) di kapal ikan yang saat ini masih terlantar di Angola, menjadi salah satu contoh minimnya perlindungan dan standar layak bagi mereka untuk bekerja.

“Isi konvensi ILO 188/2007 mencakup aturan soal jam kerja, fasilitas kesehatan, dan hal yang detail sampai ukuran tempat tidur bagi TKI bidang perikanan,” ujar Imam saat dihubungi Gresnews.com, Jumat (10/4).

Menurut Imam, aturan tersebut secara tidak langsung menunjukkan adanya perlindungan bagi pekerja di bidang perikanan. Kalau Indonesia mau meratifikasi konvensi tersebut maka pekerja di bidang perikanan akan mendapatkan paket perlindungan tersebut sesuai standar internasional.

“Sementara kalau negara tempat TKI bekerja belum meratifikasinya, setidaknya TKI bersangkutan masih bisa menjadikan konvensi ILO sebagai dasar gugatan untuk meminta pertolongan negara,” ujar Iman menambahkan.

Senada dengan Imam, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim menuturkan, konvensi ILO 188/2007 menjadi acuan negara-negara anggota ILO termasuk Indonesia untuk menyusun regulasi di tingkat nasional terkait pekerjaan penangkapan ikan. Konvensi ini penting untuk diratifikasi untuk mencegah terjadinya perbudakan pada pekerja perikanan.

“Contohnya perbudakan ini pernah dilakukan perusahaan Thailand yang diduga ada kaitannya dengan perusahaan Indoensia,” ujar Abdul kepada Gresnews.com, Jumat (10/4).

Berdasarkan data dari Kiara, Konvensi ILO 188/2007 berisi ketentuan untuk memastikan awak kapal yang bekerja di kapal penangkap ikan mendapatkan pemenuhan syarat minimal ketika bekerja. Misalnya terkait standar persyaratan layanan, akomodasi, makanan, perlindungan kesehatan, keselamatan kerja, dan jaminan sosial. Semua standar tersebut menjadi tanggungjawan pemilik kapal penangkap ikan.

Hingga kini baru sepuluh negara yang meratifikasi konvensi ini. Diantaranya Argentina (2011), Bosnia Herzegovina (2010), Moroko (2013), Afrika Selatan (2013), dan Kongo (2014).

Reporter : Lilis Khalisotussurur
Redaktur : Muhammad Agung Riyadi

Sumber:

http://www.gresnews.com/mobile/berita/hukum/1330104-indonesia-didesak-ratifikasi-konvensi-ilo-cegah-perbudakan-pekerja-kapal-ikan/#sthash.JBV7V69M.uxfs