Inilah Temuan Awal Satgas Illegal Fishing di Sektor Kelautan
Selasa, 26 Mei 2015
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti membentuk Tim Satgas Anti Ilegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing pada akhir 2014, dengan salah satu tugas melakukan evaluasi dan audit kepatuhan terhadap seluruh kapal perikanan di atas 30 gross tonnage (GT) yang beroperasi di perairan Indonesia.
Hasilnya, tim satgas menemukan ribuan kapal melanggar peraturan, seperti satu ijin yang digunakan untuk 3-4 kapal. Artinya jika 1.132 kapal yang terdaftar dikalikan tiga kapal, ada lebih dari 3000 kapal eks asing yang ijinnya harus diperiksa kembali. Hasil lainnya, ada 3000 – 4000 kapal eks asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia.
“Pelanggaran yang dilakukan kapal eks asing diantaranya adalah menggunakan nahkoda dan ABK warga negara asing dengan jumlah 4.130 orang,” kata Ketua Satgas Anti Ilegal Fishing Mas Achmad Santosa dalam acara Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam (GN SDA) di sektor kelautan di Kantor Gubernur Jawa Tengah, Semarang, Selasa (19/05/2015).
Oleh karena itu, menteri memperpanjang moratorium izin kapal hingga Oktober 2015 “Bulan April 2015 kemarin habis dan diperpanjang hingga Oktober 2015 oleh Menteri KKP,” kata Achmad Santosa yang akrab dipanggil Ota.
Tim satgas masih bekerja mengevaluasi keabsahan badan hukum perusahaan kapal, melakukan pengaturan operasional kapal dan evaluasi kewajiban pembayaran perusahaan kepada negara, seperti pengecekan dokumen Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan ketepatan waktu pembayarannya, termasuk Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) sesuai peraturan.
Data awal Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menunjukkan ada 907 dari 1.132 kapal eks asing yang terdaftar dari 156 perusahaan yang melanggar peraturan. 500-an kapal dari 49 perusahaan diantaranya melakukan pelanggaran berat dan bisa di pidanakan. “Perusahaan yang melanggar bisa dikenai pemidanaan maupun hukuman administrasi,” lanjutnya.
Tim satgas sendiri telah merekomendasikan tindakan kepada kapal-kapal dan perusahaan yang melanggar tersebut kepada Menteri KKP.
Tim juga menemukan Unit Pengolahan Ikan (UPI) tidak berfungsi, adanya manipulasi data dengan menurunkan ukuran kapal di dokumen (mark down) dan berlayar tanpa ada Surat Laik Operasi (SLO). “Bahkan catatan serius kami ada kapal dengan ABK asing sampai 90% dan double flagging, satu kapal dengan dua bendera,” kata Ota.
Tim satgas mengusulkan amandemen Undang-undang No.31/2004 jo UU No.45/2009 tentang Perikanan, dengan memperberat ancaman terhadap pelaku untuk memberikan efek jera, seperti pemidanaan dan denda bagi kapal eks asing yang tidak memiliki Vessel Monitoring System (VMS). Catatan sementara ada 907 kapal eks asing tidak mengaktifkan dan memiliki VMS saat berlayar, sehingga tidak bisa dipantau KKP.
Juga perlu didata dan dievaluasi mengenai bongkar/alih muatan antar kapal diatas laut (transhipment) dan penggunaan alat tangkap. Tim juga merekomendasikan pengkajian ulang pelabuhan khusus yang dimiliki perusahaan.
“Hal penting yakni kedepan korporasi harus menjadi subjek hukum, sehingga bertanggung jawab secara hukum. Selama ini KKP kesulitan menghukum korporasi karena aturan hukumnya lebih mengatur hukuman bagi pengurus korporasinya,” jelasnya.
Penyelundupan satwa, barang konsumsi, narkotika, dan senjata api juga bagian dari tugas tim satgas. Belajar dari kasus perbudahakan di Benjina, Maluku, tim merekomendasikan perbaikan ketenagakerjaan sektor kelautan terkait hak asasi manusia.
Untuk mengefektifkan penegakan hukum di sektor kelautan, tim mengusulkan tiga hal yaitu kemampuan mendeteksi pelanggaran, merespon temuan dari pendeteksian dan kemampuan menghukum.
Terkait peradilan perikanan, Ota melihat perlu evaluasi dan pengkajian lanjut. “Catatan kami belum ada pemidanaan berat dari hasil peradilan perikanan dan tentu hal ini tidak akan memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan,” katanya.
Rekomendasi KIARA
Menanggapi GN SDA di sektor kelautan, Sekjen Keadilan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim kepada Mongabay mengatakan perlu perhatian dalam beberapa hal seperti pengecekan tapal batas Indonesia dengan 10 negara tetangga yang belum final, keterhubungan sektor hulu dan hilir dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan untuk kesejahteraaan masyarakat pesisir.
Juga adanya kebijakan yang tidak memihak kepentingan masyarakat seperti pemberian hak pengelolaan pulau kecil kepada asing. Dan perombakan perizinan sektor kelautan dan perikanan, dalam satu pintau dan transparan, yang sebelumnya terbagi di KKP dan Kementerian Perhubungan.
“Pengelolaan sumber daya laut tersebar dibanyak kementerian sektoral seperti ESDM, KKP, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kehutanan dan lainnya. Masing-masing punya payung hukum sendiri dan tidak ada kordinasi,” katanya.
Ia mengatakan ketidakjelasan pengelolaan tata ruang laut, berpotensi pada penyalahgunaan wewenang. Sehingga, melalui GN SDA, perlu harmonisasi undang-undang pengelolaan sumber daya laut dan perbaikan keselembagaan untuk memperkuat kordinasi antar lembaga negara.
Rep: Tommy Apriando, Yogyakarta
Sumber: http://www.mongabay.co.id/