Poros Maritim Jokowi-JK Tak Tentu Arah, Masyarakat Pesisir Terus TerpinggiArkan
Siaran Pers Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan www.kiara.or.id
Jakarta, 10 Januari 2017. Dua tahun sudah perjalanan Poros Maritim Jokowi-JK sejak disampaikan di depan para wakil rakyat dan diulang lagi di depan kepala Negara ASEAN. Janji untuk tidak lagi memunggungi bahkan berjaya di laut semakin tak tentu arah. Meski banyak lompatan besar dengan penegakan penangkapan ikan illegal dan perlindungan berupa asuransi di satu sisi, namun di sisi lain justru ada pembiaran perusakan dan perampasan ruang hidup dan hak konstitusional masyarakat pesisir. Perhatian terhadap nelayan sebagai pilar utama Poros Maritim masih minim. Demikian catatan KIARA mencermati perjalanan Poros Maritim Jokowi-JK di tahun 2016.
“Berdasarkan catatan KIARA, pada tahun 2016 konflik ruang kelola laut dan pesisir masih marak. Telah terjadi 16 kasus reklamasi, 17 kasus privatisasi pesisir dan pulau-pulau kecil, 18 kasus pertambangan, serta 40 kasus penangkapan nelayan cantrang. Hal ini menggambarkan minimnya keberpihakan Negara terhadap masyarakat pesisir” ungkap Armand Manila, Pelaksana Sekretaris Jenderal KIARA. “Meski secara tegas dinyatakan bahwa Pilar Utama Poros Maritim, namun kelemahan dalam kebijakan, implementasi dan strategi pemerintah sangatlah nyata. Koordinasi dan harmonisasi kebijakan antar instansi, baik antar kementrian maupun antara pusat dan daerah, tidak terjadi di lapangan. Sehingga sangatlah wajar Poros maritime menjadi tak tentu arah, bahkan seringkali dipakai alasan untuk semakin menyingkirkan masyarakat pesisir” imbuh Armand.
“Perjalanan kami cukup panjang dalam menolak reklamasi yang akan menghilangkan ruang hidup kami di Teluk Manado. Sepanjang itulah intimidasi terus dilakukan oleh oknum aparat pendukung reklamasi. Kasus terbaru terjadi pada akhir Desember, lima orang nelayan, perempuan nelayan dan pendamping ditodong dengan senjata api di tempat kami biasa kumpul, tanpa ada alasan yang jelas. Ini menunjukkan, betapa minimnya perlindungan bagi nelayan dalam memperjuangkan pesisir dan laut yang menghidupi kami,” ujar Sudirman Hililo, Nelayan Teluk Manado, Sulawesi Utara.
Kasus reklamasi dan pengurukan lahan tambak terjadi di kecamatan Tugu, Kota Semarang khususnya Pesisir Dukuh Tapak meskipun baru mengantongi izin prinsip hak penguasaan atas lahan yang diberikan oleh Walikota Semarang. ‘Semarang itu identik dengan banjir yang terjadi setiap tahun. Jika reklamasi terus dilakukan, bisa jadi Semarang akan tenggelam. Dapat dibayangkan dampak buruk yang akan terjadi jika tanah diuruk lalu ditimbun ke laut’ ujar Muchamad Aripin, Pelestari Ekosistem Pesisir Semarang, Jawa Tengah.
Hal senada disampaikan oleh Iwan, Nelayan Teluk Jakarta bahwa reklamasi berdampak buruk bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat pesisir di Teluk Jakarta. Ia menegaskan, proyek reklamasi tidak hanya terjadi di Teluk Jakarta tetapi juga terjadi di banyak wilayah pesisir di Indonesia. Untuk itu Iwan mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menjadikan isu reklamasi menjadi perhatian bersama dan harus dihentikan secara permanen. Pusat Data dan Informasi KIARA menyebutkan lebih dari 107,361 kepala keluarga nelayan terusir dari ruang hidupnya akibat reklamasi. Fakta ini menggambarkan maraknya perampasan ruang kelola masyarakat pesisir di Indonesia.
“Poros Maritim Jokowi-JK tak tentu arah ketika keluarga nelayan terusir dari lautnya sendiri. Hal ini diperburuk dengan belum diakuinya perempuan nelayan sebagai subjek hokum di perundang-undangan Indonesia. Sehingga mereka tidak mendapatkan dukungan yang mencukupi dari negara,” tambah Armand Manila.
KIARA juga menemukan minimnya perlindungan Negara bagi pekerja perikanan, sehingga mereka rentan menjadi korban perbudakan di atas kapal. Menurut Pusat Data dan Informasi KIARA (2016), 92% persoalan dialami oleh ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal ikan dan hanya 8% persoalan yang dialami oleh pekerja yang bekerja di kapal niaga.
“Pekerja perikanan di kapal asing dipaksa bekerja bisa sampai 20 jam perhari. Kami juga dipaksa memenuhi target penangkapan yaitu 20 ton untuk 3 bulan dan jika target tidak tercapai kami bisa dipukuli. Kami juga dipaksa untuk memberikan agunan kepada agensi, jadi kalau kami kabur agunan itu akan diambil oleh agensi” ujar Slamet Susilo, pekerja perikanan asal Rembang.
Kehadiran Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, seyogyanya bisa menjadi sarana bagi masyarakat pesisir untuk sejahtera dan berdaulat atas hak konstitusionalnya.
Janji menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia yang pernah disampaikan Presiden Jokowi Widodo pada pidato pelantikan Presiden 2014, harusnya dimulai dari pilar utamanya yakni nelayan. Dan dengan memperbaiki terlebih dahulu kehidupan masyarakat pesisir di seluruh Indonesia. Sudah saatnya Pemerintah Republik Indonesia menggembalikan arah poros maritim sesuai dengan mandat yang diberikan oleh rakyat Indonesia. Presiden Jokowi harus berani mengevaluasi, bahkan menghentikan seluruh proyek pembangunan yang berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat pesisir.
###
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
Sudirman Hililo (Nelayan Malalayang-Manado) 0853 9668 4692 Slamet Susilo (Pekerja Perikanan di Kapal Asing) 0822 6004 9146 Iwan (Nelayan Muara Angke) 0878 8706 6901 Muchamad Aripin (Pelestari Ekosistem Pesisir dan Mangrove) 0896 6842 9751 Armand Manila (Pelaksana Sekretaris Jenderal KIARA) 0821 8945 6000
Catatan untuk redaksi :
Jokowi menyatakan Indonesia akan menjadi Poros Maritim Dunia berdasarkan 5 pilar, yakni : (1) Membangun kembali budaya maritim Indonesia (2) Menjaga sumber daya laut dan menciptakan kedaulatan pangan laut dengan menempatkan nelayan pada pilar utama (3) Memberi prioritas pada pembangunan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, deep seaport, logistik, industri perkapalan, dan pariwisata maritim. (4) Menerapkan diplomasi maritim, melalui usulan peningkatan kerja sama di bidang maritim dan upaya menangani sumber konflik, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut dengan penekanan bahwa laut harus menyatukan berbagai bangsa dan negara dan bukan memisahkan.dan (5) Membangun kekuatan maritim sebagai bentuk tanggung jawab menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim.