KIARA: UU Cipta Kerja Merampas Kedaulatan Masyarakat Bahari

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Jakarta, 8 Oktober 2020 – RUU Omnibus Law Cipta Kerja baru saja disahkan oleh Pemerintah Pusat dan DPR RI pada Senin, 5 Oktober 2020. Pengesahan ini menjadi penanda bahwa investasi dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam di kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil akan semakin masif ditemui di lapangan.

Pada saat yang sama, masyarakat pesisir atau masyarakat bahari yang terdiri dari nelayan tradisional/nelayan skala kecil, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pelestari ekosistem pesisir, dan masyarakat adat pesisir semakin terancam hidupnya.

UU ini dalam pembahasannya sangat tidak transparan karena tidak melibatkan masyarakat yang akan terdampak, khususnya masyarakat pesisir atau masyarakat bahari Indonesia. Dengan kata lain, tak ada tranparansi dan partisipasi publik dalam perumusan UU ini. Bahkan tak jarang, UU ini dibahasa secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh publik.

Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menyatakan bahwa Pemerintah dan DPR RI telah mengkhianati amanat UUD 1945, yang memberikan mandat, diantaranya untuk menciptakan kesejahteraan bersama serta mencerdaskan kehidupan berbangsa. Sebaliknya, melalui UU ini, Pemerintah dan DPR RI akan menciptakan ketidakadilan, krisis sosial dan krisis lingkungan hidup semakin parah, baik kini maupun pada masa yang akan datang.

“Bagi kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, UU ini adalah ancaman yang sangat besar, dimana investor mendapatkan kemudahan investasi tanpa harus adanya persyaratan sosial, ekologis, dan budaya. Dampaknya, kehancuran bagi kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil akan semakin masif terjadi,” tegas Susan Herawati.

Dalam catatan KIARA, UU Cipta Kerja akan menghancurkan keberlanjutan ekosistem di kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Pada saat yang sama, masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut harus menghadapi ancaman penggusuran dan kehilangan ruang hidup.

“UU Cipta Kerja akan  terus menggusur ruang hidup nelayan dan masyarakat pesisir atau masyarakat bahari lainnya. Ini adalah perampokan terhadap kedaulatan masyarakat bahari,” kata Rignolda Djamaluddin, Direktur Perkumpulan Kelompok Pengelola Sumber Daya Alam (KELOLA) sekaligus anggota KIARA yang berbasis di Sulawesi Utara.

Menurut KIARA, ada 12 kecacatan UU Cipta Kerja bagi kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil termasuk bagi masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut, yaitu: pertama, pengesahan UU Cipta Kerja merupakan bukti pengkhianatan terbesar Pemerintah dan DPR RI terhadap Mandat UUD 1945 dan Pancasila; kedua, Pembahasan UU Cipta Kerja tidak melibatkan nelayan, perempuan nelayan dan masyarakat pesisir lainnya; ketiga, memberikan karpet merah bagi investor untuk mengeruk sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil; keempat, akan menggusur lebih dari 8 juta rumah tangga perikanan di Indonesia yang tinggal di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil; kelima, memberikan kebebasan kepada kapal-kapal asing mencuri kembali ikan di laut Indonesia; keenam, investor asing diperbolehkan mengeksploitasi pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya tanpa memperdulikan aspek ekologis, budaya masyarakat dan kearifan yang sudah hidup ribuan tahun dari generasi ke generasi; ketujuh, memberikan karpet merah bagi pengusaha tambang di kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil melalui RZWP3K, RZ KSN dan RZ KSNT. Dampaknya, lautan Indonesia akan terancam hancur; kedelapan, Masyarakat Pesisir di seluruh Indonesia tidak membutuhkan undang-undang yang akan merampas ruang hidup mereka. Nelayan dan Perempuan Nelayan telah memiliki hukum adat dalam mengatur ruang laut secara turun temurun; kesembilan, menghapus dasar hukum Komisi Nasional yang Mengkaji Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan) sebagai lembaga yang menghitung potensi sumber daya perikanan di Indonesia; kesepuluh, nelayan dan perempuan nelayan tak butuh Omnibus yang hanya mengakomodir kepentingan investasi di laut. Nelayan dan Perempuan Nelayan butuh laut dan ruang hidup yang lestari; kesebelas, rancangan kebijakan zonasi ditetapkan langsung oleh pemerintah pusat. Ruang partisipasi masyarakat pesisir semakin sempit; dan keduabelas, mempercepat dan memperluas kehancuran keberlanjutan ekosistem pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.

Menurut Muhammad Arman Manila, Direktur Perkumpulan Jaringan Pengembangan Kawasan Pesisir (JPKP) sekaligus anggota KIARA yang berbasis di Sulawesi Tenggara, UU Cipta merupakan bukti pengkhianatan Jokowi terhadap janjinya yang akan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, dimana nelayan akan ditempatkan sebagai pilar utama.

“Janji Poros maritim dunia yang pernah dikampanyekan pada tahun 2014 hanya basa-basi politik semata. Kini, semakin terbukti janji itu dikhianati sendiri oleh Jokowi melalui UU Cipta Kerja,” tandas Arman.

Lebih jauh, KIARA mengajak seluruh elemen masyarakat di Indonesia untuk terus melakukan penolakan serta perlawanan terhadap UU Cipta Kerja yang jelas-jelas hanya akan menguntungkan investor, baik domestik maupun asing, tetapi menggusur masyarakat dari ruang hidupnya.

“Kami mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk berjuang menolak dan melawan UU Cipta Kerja yang akan menzalimi hak-hak masyarakat, khususya masyarakat bahari,” pungkas Susan Herawati. (*)

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050
Rignolda Djamaluddin, Direktur Perkumpulan KELOLA/anggota KIARA
yang berbasis di Sulawesi Utara, +62 813-5460-1480
Muhammad Arman Manila, Direktur Perkumpulan JPKP/anggota KIARA
yang berbasis di Sulawesi Tenggara, +62 821-8945-6000