Skandal Omnibus Law Cipta Kerja_KEPAL

Skandal Omnibus Law Cipta Kerja

“Pandangan kritis atas putusan mahkamah konstitusi terhadap omnibus law cipta kerja”

 

Agenda sidang pengujian formil UU Cipta Kerja menjadi momentum untuk membuka kembali ruang bagi publik agar usaha pembatalan UU Cipta Kerja bisa terus dikembangkan. Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL) merupakan kumpulan organisasi yang terdiri atas 15 organisasi yang konsisten mengawal UU Cipta Kerja yang menjadi pemohon pengujian formil UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi. Sebagai pemohon dalam sidang, KEPAL terus mengikuti proses dan memantau perkembangan persidangan hingga putusan.

Melalui proses persidangan yang berlangsung dalam beberapa waktu, KEPAL berkesimpulan dan membuktikan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja Cacat Formil dalam beberapa proses : 1) Tahap Perencanaan (tanpa naskah akademik dan tanpa melibatkan partisipasi publik), 2) Tahap Penyusunan, 3) Tahap Pembahasan (pengambilan keputusan tingkat I dan II tanpa membaca RUU Cipta Kerja, pengambilan tingkat I dilakukan diluar jam kerja/dini hari, ketidakjelasan naskah karena berbagai versi dan tanpa partispasi publik), 4) Tahap Pengesahan (ketidakjelasan RUU Cipta Kerja yang disahkan karena terdapat berbagai versi) dan 5) Tahap Pengundangan (perubahan naskah UU Cipta Kerja yang berbeda saat pengesahan dan pengundangan).

Pada hari Kamis, 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi telah membacakan putusan perkara pengujian formil UU Cipta Kerja. Di dalam persidangan pengujian formil di Mahkamah Konstitusi, yang diuji adalah proses pembentukan UU Cipta Kerja, yang mana akhirnya Mahkamah Konstusi memutuskan bahwa proses pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara bersyarat apabila tidak dimaknai dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua tahun).

Bahwa apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk UU tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Cipta Kerja maka demi kepastian hukum terutama untuk menghindari kekosongan hukum atas undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan UU yang telah dicabut atau diubah tersebut harus dinyatakan berlaku kembali. Juga untuk menghindari dampak yang lebih besar terhadap pemberlakuan Cipta Kerja selama tenggang waktu 2 (dua) tahun tersebut Mahkamah juga menyatakan pelaksanaan UU ini yang berkaitan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas agar ditangguhkan terlebih dahulu, termasuk tidak dibenarkannya membentuk peraturan pelaksana baru serta tidak dibenarkan pula penyelenggara negara melakukan pengambilan kebijakan strategis yang dapat berdampak luas dengan mendasarkan pada norma UU Cipta Kerja yang secara formal telah dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat tersebut.

Putusan Mahkamah Konstitusi ini membuktikan bahwa, Pertama, omnibus law sebagai metode, tahapan pembentukan UU Cipta Kerja, dan cara pelibatan partisipasi publik dalam pembentukan UU Cipta Kerja tidak berlandaskan tertib hukum atau cacat formil; Kedua, Mahkamah Konstitusi tidak di bawah bayang-bayang presiden dan DPR sehingga berdasarkan proses persidangan memutuskan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat; Dan ketiga,  Pilihan gerakan rakyat untuk membela hak-hak konstitusional rakyat yang dilanggar dalam proses politik legislatif dapat dilakukan melalui Mahkamah Konstitusi adalah tepat sehingga momentum konsolidasi demokrasi tetap terjaga.

Pemaknaan frasa inkonstitusional bersyarat dalam putusan Mahkamah Konstitusi menurut KEPAL haruslah dimaknai bahwa Pertama, UU Cipta Kerja harus diperbaiki dlam batas dua tahun dan jika tidak berhasil maka akan menjadi inkonstitusional permanen, Kedua, Meskipun putusan majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UU Cipta Kerja tetap berlaku, tetapi tidak bisa diartikan bahwa perbaikan dan pelaksanaan UU Cipta Kerja bisa dilaksanakan dalam tenggang waktu dua tahun. Kalimat menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja menunjukan bahwa fokusnya adalah perbaikan UU Cipta Kerja. Ketiga, Perbaikan UU Cipta kerja juga tidak bisa hanya berupa revisi sederhana melainkan perbaikan UU Cipta Kerja harus dilakukan pada keseluruhan tahapan pembentukan undang-undang yang meliputi tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan. Perbaikan tersebut menyangkut landasan hukum omnibus law, yang berarti harus ada perubahan UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Keempat, Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna, yaitu hak rakyat untuk didengar pendapatnya; hak untuk dipertimbangkan pendapatnya; dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan. Prasyarat partisipasi masyarakat yang lebih bermakna bisa disebut sebagai penemuan hukum dari majelis Hakim Mahkamah Konstitusi.

Putusan Mahkamah Konstitusi pengujian formil UU Cipta Kerja, dapat menjadi pedoman  konstitusionalitas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai perwujudan demokrasi berkedaulatan rakyat dalam negara hukum. Dalam konteks sebagaimana tersebut di atas, maka hasil dari perjuangan konstitusional gerakan rakyat berupa putusan-putusan Mahkamah Konstitusi  terkait konstitusionalitas pembentukan peraturan perundang-undangan, dan konstistusionalitas hak-hak rakyat, perekonomian nasional, dan sumber sumber agraria harus menjadi landasan kerja bagi pemerintah/Pemda, DPR/DPRD, dan pengadilan.

Selengkapnya, unduh buku: Skandal Omnibus Law Cipta Kerja_KEPAL 2022

“Tiada Demokrasi Tanpa Prosedur Demokratik Salah Prosedur dan Salah Atur Omnibus Law Cipta Kerja?”

“Tiada Demokrasi Tanpa Prosedur Demokratik Salah Prosedur dan Salah Atur Omnibus Law Cipta Kerja?”

Pada tanggal 22 Januari 2020 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menetapkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja sebagai Prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020.

Rancangan Undang-Undang tersebut mendapatkan penolakan dari sejumlah Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, DewanPerwakilan Daerah Kabupaten/Kota dan mendapatkan perlawanan dari massa rakyat.

Menyikapi disahkannnya Undang-Undang Cipta Kerja, sejumlah organisasi yang selama ini melakukan pemajuan dan pembelaan hak-hak konstitusional melalui pembaruan hukum dan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi, memutuskan untuk membentuk sebuah komite aksi yang bernama Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL)

Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL) menyatakan pandangan sebagai berikut:

  1. Pilihan hukum yang ada untuk membatalkan Undang-Undang Cipta Kerja dilakukan melalui dua mekanisme, yaitu: Pertama, meminta presiden menggeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu); dan Kedua, melalui permohonan pengujian formil dan pengujian materiil Undang-Undang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi. Pilihan hukum tersebut memiliki konsekuensi yang berbeda, terutama dalam menempatkan peran masyarakat sipil untuk mengawal setiap proses dan mempertahankan hak konstitusional rakyat dalam pembentukan hukum;
  2. Dinamika saat ini, pilihan dikeluarkannya Perppu masih sangat bergantung pada keputusan Presiden. Peran masyarakat sipil dalam proses ini pun terbatas dalam menawarkan opini semata. Di sisi lain, Konstitusi dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi memberikan ruang kepada Warga Negara untuk menuntut dan memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya, melalui pengujian formil dan pengujian materiil ke Mahkamah Konstitusi. Pilihan ini sekaligus mengantisipasi tidak dikeluarkannya Perppu oleh Presiden. Pengujian formil terhadap Undang-Undang Cipta Kerja menjadi relevan dan sangat urgen dilakukan saat ini mengingat hanya diberikan waktu maksimal dimohonkan 45 hari sejak dicatatkan dalam Lembaran Negara;
  3. Urgensi pengujian formil tidak sekedar untuk menjegal Undang-Undang Cipta Kerja, lebih dari itu adalah untuk mengawal independensi Mahkamah Konstitusi sebagai Pengawal Konstitusi dalam pelaksanaan dan mengeksekusi putusan, mempertahankan tafsir Mahkamah Konstitusi terkait hak-hak konsitusional dalam berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi yang berlaku final and binding;

Karena merupakan hak konstitusional, maka bagi warga negara Indonesia yang merasa proses pembentukan suatu undang-undang tidak sesuai prosedur, maka dapat melakukan gugatan atas proses pembentukan suatu undang-undang ke Mahkamah Konstitusi. Di dalam mekanisme di Mahkamah Konstitusi gugatan prosedur pembentukan suatu undang-undang disebut dengan Pengujian Formil.

Salah prosedur pembentukan UU Cipta Kerja antara lain : 1. Tanpa Naskah Akademik; 2. Tanpa partisipasi publik; 3. Beberapa pasal tidak jelas rumusannya; 4. Ketidakpastian Naskah RUU; 5. Perubahan setelah disahkan; dan 6. Omnibuslaw Tidak Dikenal Dalam Sistem Hukum Indonesia.

Selain salah formil, UU Cipta Kerja juga salah materi, diantaranya yaitu bertentangan dengan prinsip-prinsip kedaulatan pangan dengan mempermudah impor pangan, tidak membatasi penanaman modal asing di pertanian hortikultura, dan mempermudah alih fungsi lahan pertanian.

UU Cipta Kerja potensial menghambat penyediaan Tanah Objek Reforma Agraria dengan mengubah ketentuan kewajiban fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar perkebunan.

UU Cipta Kerja berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum serta mereduksi perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh. Dan UU Cipta Kerja potensial melanggar hak atas pendidikan dengan memperluas komersialisasi pendidikan.

Undang-Undang Cipta Kerja tidak  memperkuat pengaturan dalam rangka penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak atas pangan, terutama dalam realisasi progresif pemenuhan hak atas pangan berdasarkan pengoptimalan sumber daya produktif melalui kebijakan reforma agraria sehingga terwujud kedaulatan pangan yang bersendikan produksi petani, nelayan dan masyarakat yang bekerja di perdesaan.

Undang-Undang Cipta Kerja memperluas liberalisasi pangan, komersialisasi pendidikan dan pasar bebas tenaga kerja. Hal ini sesungguhnya menunjukan paradigma lama, yaitu upaya mengundang investasi dengan cara menjadikan upah murah sebagai keunggulan komparatif. Untuk mendukung upah murah, maka harga pangan juga harus murah dengan mengandalkan impor pangan, daan sistem pendidikan link and macth, artinya menjadikan tenaga terdidik sebagai “sekrup” mesin investasi.

Jika sebelumnya prosedur demokrasi demokrasi dipergunakan untuk liberalisasi perekonomian, sumber daya alam, ketenagakerjaan dan lain-lain, dan kini, dalam pembentukan UU Cipta,  prosedurnyapun sekalian dilanggar.

Untuk itu di diperlukan pembaruan hukum yang dapat dijadikan landasan pemerintahan dalam realisasi progresif pemenuhan hak-hak konstitusional rakyat Indonesia.

Rekomendasi

  1. Perjuangan konstitusional gerakan rakyat yang telah menghasilkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi harus dijadikan landasan pemerintah/pemda, DPR/DPRD, dan pengadilan.
  2. Gerakan rakyat harus mengawal hak-hak konstitusional yang tercantum dalam UUD 1945 maupun yang tercantum di dilam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi;
  3. Memperkuat bantuan hukum dan solidaritas kepada masyarakat korban ketidakadilan pembangunan.

 

Selengkapnya unduh buku: “Tiada Demokrasi Tanpa Prosedur Demokratik”

Download the English Version: “No Democracy without Prosedure”

Hasil Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Uji Formil UUCK – Aliansi KEPAL

ALIANSI KEPAL (KOMITE PEMBELA HAK KONSTITUSIONAL):

Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Serikat Petani Indonesia (SPI), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa), Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Perkumpulan Pemantau Sawit/Perkumpulan Sawit Watch, Indonesia Human Right Committee For Social Justice (IHCS), Indonesia For Global Justice (Indonesia Untuk Keadilan Global), Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Yayasan Daun Bendera Nusantara, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Jaringan Masyarakat Tani Indonesia (JAMTANI), Aliansi Organis Indonesia (AOI), Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air (KRUHA), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

 

Melihat sikap Pemerintah yang memandang UU Cipta Kerja (UUCK)  masih berlaku, yang ditandai dengan tiadanya penundaan kebijakan strategis dan penundaan pembentukan peraturan pelaksana terkait UUCK, diperlukan sebuah penyikapan melalui pelurusan makna putusan MK dan pemantauan pelanggaran putusan MK uji formil UU Cipta Kerja. Pada Rabu, 23 Februari 2022 lalu, Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL) mengadakan sebuah agenda bertajuk Eksaminasi Publik Terhadap Putusan MK Uji Formil UU Cipta Kerja Nomor 107/PUU-XVIII/2020 jo Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Menghadirkan tiga majelis eksaminator untuk memberikan pandangannya diantaranya, Prof. Dr. H. Lauddin Marsuni, S.H., M.H., (Guru Besar Hukum Tata Negara, UMI Makassar), Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, SH., M.C.L., M.P.A., (Guru Besar Hukum Agraria, Universitas Gadjah Mada), dan Prof. Dr. H. Achmad Sodiki, S.H., (Hakim Mahkamah Konstitusi RI Periode 2013-2018).

Eksaminasi Publik putusan MK uji formil UUCK menyimpulkan putusan MK jelas bahwa UUCK tidak berlaku, dan jika tetap diberlakukan akan menimbulkan akibat hukum. Tafsir berbeda dari pemerintah akibat dipergunakannya ruang kekuasaan dan produk hukum yang elitis yang menimbulkan gugatan atas moralitas dan integeritas hukum penguasa.

 

Selengkapnya salinan dokumen hasil eksaminasi publik :
Final Hasil-Eksaminasi-Publik KEPAL-2.pdf