Masyarakat Pulau Pari: Hentikan Penimbunan Perairan yang Terjadi di Pulau Tengah, Gugusan Pulau Pari: KKP Abai dalam Pengawasan, Penindakan dan Sanksi Kepada Pelaku Pengrusakan Laut Indonesia!

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Masyarakat Pulau Pari:

Hentikan Penimbunan Perairan yang Terjadi di Pulau Tengah, Gugusan Pulau Pari: KKP Abai dalam Pengawasan, Penindakan dan Sanksi Kepada Pelaku Pengrusakan Laut Indonesia !

 

Jakarta, 30 Juli 2023 – Praktik penimbunan perairan yang biasa disebut reklamasi, kini terus terjadi di Pulau Tengah, gugusan Pulau Pari. Gugusan Kepulauan Pari merupakan salah satu gugusan kepulauan yang berada di Kelurahan Pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Praktik penimbunan perairan tersebut dilakukan oleh pengembang yang memprivatisasi Pulau Tengah.

Menyikapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menegaskan bahwa praktik penimbunan pantai atau penimbunan perairan yang terjadi di berbagai pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan bentuk tindakan yang merusak lingkungan perairan. “Penimbunan pantai dan penimbunan perairan merupakan tindakan yang merusak ekosistem perairan pesisir dan tentu saja akan merugikan nelayan, pembudidaya ikan maupun rumput laut yang seharusnya hak-haknya dihormati dan dilindungi. Praktik penimbunan pantai dan perairan juga merupakan kegiatan yang dilarang sesuai dengan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007,” tegas Susan.

KIARA mengecam KKP untuk segera bertindak menghentikan praktik-praktik penimbunan pantai dan perairan yang ternyata selama ini telah dilakukan oleh pengembang/investor Pulau Tengah. Hal tersebut jelas sangat merugikan nelayan yang memanfaatkan gugusan perairan Pulau Pari sebagai ruang yang difungsikan nelayan untuk berbagai aktivitas yang berkelanjutan. “Jika dilihat dan diidentifikasi secara spasial, ternyata penimbunan pantai dan perairan yang terjadi di Pulau Tengah dimulai sejak tahun 2011 dengan luasan awal ± 9 Ha. Hingga saat ini, luasan Pulau Tengah diidentifikasi telah bertambah secara signifikan. Nelayan Pulau Pari dan KIARA kuat menduga bahwa bahan dan material yang digunakan untuk menimbun pantai dan perairan Pulau Tengah merupakan substrat dan terumbu karang yang berasal dari perairan Pulau Tengah. Aktivitas yang dilarang tersebut telah dilakukan secara perlahan-lahan, hingga diduga menyebabkan kerusakan ekosistem perairan yang terdapat di perairan Pulau Tengah. Dugaan tersebut diperkuat dengan temuan warga yang mendokumentasikan terumbu karang yang telah mati dan diduga digunakan sebagai pondasi penimbunan tersebut,” jelas Susan.

KIARA melihat bahwa aktivitas pengembang Pulau Tengah merupakan miniatur dari proyeksi implementasi PP No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Eksploitas pasir laut sebagai substrat alami di perairan akan secara masif terjadi, hal tersebut dengan dalih melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Tetapi kenyataannya akan terjadi seperti yang di Pulau Tengah, karena akan digunakan untuk menimbun pantai dan perairan, dan pada akhirnya akan terjadinya perusakan ekosistem pesisir secara masif dan legal.

 

Merusak Ekosistem Perairan dan Merugikan Nelayan

KIARA mencatat bahwa nelayan Pulau Pari juga telah mengeluhkan bahwa mereka mengalami kerugian yang diakibatkan oleh aktivitas yang dilakukan oleh pengembang Pulau Tengah, baik karena aktivitas penimbunan pantai dan perairan maupun privatisasi dan pembatasan nelayan untuk mengakses perairan Pulau Tengah.

Ketua Forum Peduli Pulau Pari (FP3) yang juga nelayan tradisional, Bobbi mengatakan bahwa “privatisasi yang dilakukan telah menyebabkan hilangnya hak-hak konstitusional nelayan untuk mengakses seluruh gugus perairan yang ada di Pulau Pari. Nelayan mengeluhkan mereka diusir jika mendekat ke Pulau Tengah. Bahkan aktivitas budidaya ikan dan rumput laut yang dilakukan oleh nelayan sering mengalami kerusakan sehingga gagal panen. Ironinya kondisi per bulan Juli ini, jalur nelayan untuk melintasi perairan dangkal di Pulau Tengah telah ditutup dengan menggunakan material pasir, batu dan terumbu karang mati oleh pengembang tersebut.”

“Lokasi pengerukan dan penimbunan perairan yang saat ini tengah dilakukan merupakan lokasi yang sebelumnya sehari-hari kami sebagai nelayan kecil manfaatkan. Lokasi itu nelayan kecil manfaatkan sebagai tempat pasang jaring, sero, dan bubu. Bahkan kami dan perempuan nelayan juga memanfaatkan lokasi itu sebagai tempat mencari kerang serta ikan lainnya seperti ikan lainnya udang, dan juga teripang. Lokasi itu telah kami manfaatkan secara berkelanjutan dengan alat tangkap ramah lingkungan sejak tujuh generasi sebelumnya. Tetapi saat ini akses kami telah diputus untuk ke lokasi tersebut,” ungkap Bobbi.

Seharusnya Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah segera bertindak tegas untuk menindak, memberikan sanksi tegas kepada perusahaan pengembang dan menghentikan segala aktifitas penimbunan di Pulau Tengah.

KIARA menegaskan bahwa pelaku kejahatan lingkungan tidak hanya diberikan sanksi administratif, tetapi sanksi pidana sesuai Undang-Undang 27 Tahun 2007 tentang perusakan perairan pesisir harus diterapkan oleh Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) selaku Pemerintah Pusat yang mengurus pesisir dan pulau-pulau kecil beserta perairannya. KKP telah abai menjaga kelestarian pesisir dan pulau-pulau di Indonesia dengan terus membiarkan penimbunan dan pengrusakan terumbu karang terus terjadi selama 10 tahun terakhir. KKP tidak pernah serius melakukan pengawasan dan pemantauan atas kerusakan yang terjadi di pesisir dan pulau-pulau kecil karena pengrusakan Pulau Tengah dibiarkan terjadi di wilayah yang paling dekat dengan kantor KKP itu sendiri.

“Penimbunan pantai dan perairannya serta privatisasi pulau yang secara sadar telah dilakukan, telah terbukti melanggar UU No. 27 Tahun 2007 serta hak-hak nelayan tradisional untuk melintas, mengakses laut dan hak untuk mendapatkan perairan yang bersih serta sehat sebagaimana telah diakui melalui Putusan MK No. 3 Tahun 2010. Sudah seharusnya KKP menunjukkan wibawanya dan perannya kepada nelayan dan masyarakat pesisir pulau-pulau kecil dengan cara menindak tegas pengembang Pulau Tengah. Buktikan ketegakan KKP kepada Nelayan Pulau Pari, bukan tunduk kepada Investor!” pungkas Susan. (*)

Informasi Lebih Lanjut

Ketua Forum Peduli Pulau Pari, Bobbi, +62 857-8161-9276

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

 

Nelayan Masalembu Gelar ‘‘Rokat Tase (Petik Laut)”, Sebuah Pesan Untuk Menjaga Lautan

Rilis Media Bersama
(Kelompok Nelayan Rawatan Samudra Masalembu, WALHI Jawa Timur, LBH Surabaya dan KIARA)

 

Nelayan Masalembu Gelar ‘‘Rokat Tase (Petik Laut)”, Sebuah Pesan Untuk Menjaga Lautan

 

Masalembu, 18 Juli 2023 – Sekitar 125 lebih nelayan Masalembu yang tergabung dalam kelompok nelayan Rawatan Samudra menggelar acara rutinan petik laut sebagai bentuk wujud syukur atas karunia sang pencipta dengan melimpahnya hasil laut yang memberikan hidup pada warga. Ini merupakan tradisi budaya yang diwariskan oleh para leluhur untuk dijaga dan dihormati oleh setiap generasi nelayan. Acara ini diadakan rutin selama satu tahun sekali, tepatnya memasuki pertengahan bulan Juli. Musim di mana ombak lautan tidak tinggi dan cuaca begitu bersahabat, sehingga banyak nelayan yang panen ikan.

Kegiatan petik laut ini diawali 3 hari sebelum kegiatan dengan mengaji di setiap pangkalan, lalu hari saat petik laut digelar dilakukan istighotsah dan doa bersama, lalu diakhiri dengan pawai kapal nelayan yang sebelumnya telah dihias dengan pernak-pernik cantik, menambah khidmat kegiatan tersebut.

Dalam acara petik laut ini warga Masalembu yang tergabung dalam Kelompok Nelayan Rawatan Samudra juga menyampaikan pesan bahwa laut merupakan sumber kehidupan, karena itu wajib dilindungi dan dijaga. Karena hampir setiap tahun hasil laut nelayan mengalami penurunan yang cukup signifikan, dari yang dahulunya bisa mendapatkan ikan rata-rata 1 ton, lalu menyusut menjadi 600-500 Kg.

Penyebab penurunan tangkapan nelayan ini ada 3 faktor. Pertama, yakni kerusakan ekosistem laut Masalembu yang diakibatkan oleh keberadaan kapal cantrang dan bom ikan. Mereka mengeruk ikan tanpa pandang bulu, bahkan sampai terumbu karang yang menjadi rumah bagi ikan ikut hancur. Keberadaan kapal cantrang dan bom ikan ini menjadi ancaman bagi nelayan Masalembu yang notabene adalah nelayan tradisional, maka tak heran konflik antar nelayan intensitasnya begitu tinggi.

Kedua, faktor keberadaan lalu lalang kapal besar yang tidak mematuhi prosedur, serta tidak jelasnya zonasi membuat keberadaan eksositem laut Masalembu terancam. Tahun 2022 silam kapal bermuatan batu bara pernah tumpah di Masalembu sehingga mencemari perairan sekitar. Tidak hanya itu pada 2023 kemarin juga ada kapal kecelakaan dan mencemari perairan sekitar. Dilewatinya perairan Masalembu oleh kapal-kapal besar membuat keberadaan ekosistem laut seperti terumbu karang rusak. Keberadaan kapal-kapal besar tersebut menjadi ancaman bagi masa depan ekosistem laut Masalembu.

Ketiga, faktor perubahan iklim menjadi ancaman tersendiri bagi nelayan. Sebab dampak perubahan iklim begitu nyata bagi nelayan dan ekosistem laut Masalembu. Peningkatan suhu laut telah mengakibatkan pemutihan terumbu karang dan menyebabkan terganggunya reproduksi ikan, selain itu peningkatan permukaan air laut juga mengancam daratan pulau, menyebabkan terkisisnya daratan atau dikenal abrasi sampai ancaman rob yang menjadikan hidup nelayan menjadi semakin rentan. Begitu pula cuaca yang tidak menentu, menjadikan nelayan tidak bisa memprediksi musim tangkap serta meningkatkan resiko kecelakaan.

Berangkat dari ketiga faktor tersebut, maka sudah seharusnya ada perubahan tata kelola laut serta bagaimana upaya untuk menjaga eksositem laut Masalembu yang menjadi ruang tersisa biodiversitas laut, khususnya di Jawa Timur. Perusakan demi perusakan, terutama oleh kapal cantrang, jalur lalu lintas laut serta potensi adanya tambang pasir laut pasca diterbitkannya PP No. 26 Tahun 2023 semakin menambah kerentanan nelayan dan ekosistem laut di Masalembu.

Karena itu, kami Kelompok Nelayan Rawatan Samudra Masalembu, WALHI Jawa Timur, LBH Surabaya dan KIARA dalam kegiatan petik laut ini menyampaikan sebuah pesan kepada pemerintah khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kabupaten Sumenep.

Pertama, tindak tegas kapal cantrang dan larang segera keberadaan cantrang, lalu segera tetapkan kawasan Masaelmbu sebagai zona tangkap nelayan tradisional agar tidak ada lagi kapal cantrang yang menjadi ancaman. Kedua, segera tetapkan kawasan laut masalembu sebagai kawasan ekosistem esensial atau lindung agar ada perlindungan bagi biodiversitas laut di sana, serta memperjelas zona rute kapal pengangkut agar tidak sembarangan lewat dan mematuhi prosedur standar operasional dan lingkungan. Ketiga, menolak keberadaan PP No. 26 Tahun 2023 terkait tambang dan ekspor pasir laut. Karena keberadaannya akan semakin memperparah ekosistem laut Masalembu, serta menjadi ancaman bagi masa depan nelayan tradisional.

Terakhir, kami nelayan Masalembu benar-benar mengharapkan adanya produk dan implementasi hukum yang berpihak pada nelayan, itu penting agar nelayan tidak melakukan tindakan main hakim sendiri seperti kejadian pembakaran 2 kapal cantrang di perairan selatan Pulau Datuk, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat beberapa pekan yang lalu, peristiwa ini menunjukkan bahwa tidak mungkin nelayan diam saja ketika lautnya dirusak. Kami juga meminta pemerintah untuk memperhatikan nasib nelayan Masalembu seperti kesejahteraan yang jauh dari kata sejahtera. Meskipun katanya Masalembu banyak ikan, tetapi nelayan banyak yang terjebak dalam jaring kemiskinan. Sehingga hal ini juga patut menjadi perhatian.

Narahubung:
Matsehri (Ketua Rawatan Samudra), 0852-3537-9955
Jailani (Panitia Rokat Tase/Petik Laut), 0823-1099-0214
Wahyu (WALHI Jawa Timur), 0821-4583-5417
Fikerman (KIARA), 0823-6596-7999
Wahid (LBH Surabaya), 0878-5395-2524

 

Aksi Diam Warga Pesisir Demak Menolak Penambangan Sedimentasi Pasir Laut. Masyarakat Pesisir Demak: Tolak Tambang Pasir Laut dengan Alasan Apapun!

Aksi Diam Warga Pesisir Demak Menolak Penambangan Sedimentasi Pasir Laut.
Masyarakat Pesisir Demak: Tolak Tambang Pasir Laut dengan Alasan Apapun!

 

Pada tanggal 17 Juli 2023 rombongan Komisi IV DPR RI bersama Bupati Demak, Dirjen PRL KKP, serta dinas terkait lainnya datang ke Pelabuhan Morodemak dan disambut aksi diam oleh masyarakat pesisir Tridesa (Morodemak, Margolindo, dan Purworejo). Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk kekecewaan warga pesisir Demak terhadap rencana penambangan sedimentasi pasir laut di Muara Demak.

Aksi diam dan membentangkan spanduk penolakan tambang pasir laut adalah bentuk protes warga atas sikap manipulatif yang telah dilakukan untuk mengecoh warga dan mengambil sampel pasir laut yang dilakukan oleh Kantor Pelabuhan Perikanan Pantai Morodemak, Universitas Diponegoro, dan PT Wijaya Karya (WiKa). Rencana eksploitasi pasir laut tersebut akan digunakan untuk pembangunan tanggul Demak. Padahal yang rencana sebenarnya akan digunakan untuk supply material proyek Tanggul Semarang seperti yang disampaikan Bupati Demak dalam Harian Tribun.

Merespon hal tersebut, Masyarakat Pesisir Demak kecewa dengan adanya survei yang dilakukan langsung di lokasi rencana penambangan pasir laut. Masyarakat Pesisir Demak sejak awal sudah bersikap tegas dan jelas menolak penambangan pasir laut tanpa dalil atau alasan apapun. Masyarakat sangat menyayangkan hal tersebut karena hingga sampai saat ini tuntutan kami sebagai warga pesisir belum dijalankan terkait normalisasi dermaga Muara Demak. Normalisasi dermaga tersebut sangat dibutuhkan oleh nelayan karena menjadi akses keluar masuknya kapal nelayan tradisional ke dermaga Muara Demak.

Oleh karena itu, Masyarakat Pesisir Demak membentangkan spanduk penolakan tambang pasir, serta tulisan-tulisan penolakan lainnya untuk memberi pesan penolakan yang tegas dan jelas atas penambangan pasir laut. Masyarakat Pesisir Demak memiliki hak atas wilayah pesisir dan laut Demak, hak tersebut juga berlaku bagi seluruh masyarakat pesisir serta anak cucu masyarakat pesisir.

Masyarakat Pesisir Demak menuntut kepada pemerintah dan seluruh pihak untuk tidak melakukan sikap-sikap intimidatif dan manipulatif kepada masyarakat yang melakukan penolakan tambang pasir laut tersebut. Masyarakat Pesisir Demak juga memiliki hak untuk membentangkan spanduk penolakan tersebut, serta memiliki hak untuk tidak dilepaskan. Hal itu kami lakukan supaya pesan penolakan kami tetap dapat dilihat dan didengar langsung oleh publik. Masyarakat Pesisir Demak Tolak Penambangan Pasir Laut di Pesisir Muara Demak

#SaveDemak
#HidupMasyarakatPesisir
#NelayanBerdaulat

Narahubung
Salim +62 812-5931-6171

Hidayah +62 896-3723-6392