Desakan kepada Kejaksaan Agung untuk Menyelidiki Dugaan Korupsi dalam Kasus Pertambangan Ilegal PT Gema Kreasi Perdana

SIARAN PERS

Desakan kepada Kejaksaan Agung untuk Menyelidiki Dugaan Korupsi dalam
Kasus Pertambangan Ilegal PT Gema Kreasi Perdana

Jakarta, 15 Mei 2025 – Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Tim Advokasi Penyelamatan Pesisir dan Pulau Kecil (TAPaK) mendesak Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk segera menyelidiki dugaan korupsi dalam kasus pertambangan ilegal PT Gema Kreasi Perdana (PT GKP), anak usaha Harita Group. Perusahaan ini tetap beroperasi di Pulau Wawonii meskipun telah dinyatakan ilegal berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Sebab itu, pada 14 Mei 2025, kuasa hukum JATAM dan TAPaK mendatangi Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk secara resmi melaporkan dugaan praktik pertambangan ilegal yang dilakukan oleh PT GKP. Pelaporan tersebut berupaya mengungkap dugaan keterlibatan sejumlah lembaga negara dalam memberikan perlindungan terhadap operasi PT GKP, termasuk Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta aparat kepolisian.

Berbagai petunjuk menunjukkan bahwa meskipun izin PT GKP telah dicabut dan aktivitasnya dinyatakan ilegal, perusahaan masih membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), seolah-olah kegiatan mereka sah. Hal ini mengindikasikan kemungkinan adanya praktik korupsi yang memungkinkan perusahaan tetap beroperasi tanpa hambatan hukum.

Berbagai Perkara dan Gugatan Hukum yang Dimenangkan Warga Serangkaian gugatan hukum telah diajukan oleh warga dan berhasil dimenangkan, yang semakin menegaskan bahwa aktivitas PT GKP tidak memiliki dasar hukum. Salah satu putusan paling penting adalah Putusan Mahkamah Agung No. 403 K/TUN/TF/2024, yang membatalkan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) PT GKP, sehingga perusahaan tidak lagi memiliki hak legal untuk beroperasi di wilayah tersebut.

Selain itu, warga juga berhasil memenangkan dua gugatan uji materiil terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Konawe Kepulauan Nomor 2 Tahun 2021, yaitu melalui Putusan Mahkamah Agung No. 57 P/HUM/2022 dan No. 14 P/HUM/2023, yang membatalkan semua alokasi ruang untuk pertambangan di wilayah tersebut. Dengan adanya putusan ini, Kabupaten Konawe Kepulauan secara resmi menjadi daerah dengan nol (0) alokasi tambang, yang berarti setiap aktivitas pertambangan di sana adalah ilegal.

Kemenangan warga semakin diperkuat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-XXI/2023, yang secara tegas menolak upaya PT GKP untuk mengubah undang-undang agar bisa melanjutkan operasinya. Putusan ini menegaskan bahwa pulau kecil memang harus dilindungi dari eksploitasi pertambangan demi kelestarian ekosistem dan kesejahteraan masyarakat. Namun, meskipun telah ada berbagai putusan hukum yang jelas, PT GKP tetap beroperasi tanpa dasar hukum, menunjukkan adanya dugaan pembangkangan hukum yang didukung oleh pihakpihak tertentu dalam pemerintahan.

Dugaan Kerugian Negara dan Indikasi Korupsi yang Disponsori Negara Berdasarkan data yang diperoleh dari warga dan analisis singkat koalisi, hingga Mei 2025, tercatat terdapat 116 kapal tongkang berkapasitas 8.000 ton yang telah mengangkut nikel dari area pertambangan ilegal PT GKP, dengan total produksi mencapai 928.000 ton nikel. Jika dikalkulasikan berdasarkan standar harga acuan Bank Dunia, kerugian negara akibat ekspor ilegal ini diperkirakan mencapai Rp 261- 276 triliun, jumlah yang sangat besar dan seharusnya masuk dalam pendapatan negara jika perusahaan beroperasi secara sah.

Selain kerugian ekonomi, aktivitas pertambangan ilegal PT GKP juga menyebabkan deforestasi besar-besaran. Data satelit menunjukkan bahwa pada tahun 2024 dan 2025, deforestasi di wilayah operasi PT GKP meningkat drastis, dengan luas masingmasing 62,66 hektare dan 188,94 hektare. Hal ini mengancam keseimbangan ekosistem dan sumber daya air yang menjadi bagian vital dari kehidupan masyarakat Wawonii.

Ironisnya, meskipun berasal dari aktivitas ilegal, PNBP dari PT GKP tetap diterima oleh negara. PT GKP juga diduga menyembunyikan informasi terkait operasinya dalam laporan keuangan Harita Group, sehingga menghindari transparansi publik tentang jumlah produksi dan pendapatan dari aktivitas pertambangan ilegal. Fakta ini menunjukkan adanya kemungkinan besar praktik korupsi dan manipulasi data untuk mempertahankan operasional perusahaan, yang berkontribusi pada perusakan lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam secara ilegal. Yulianto Behar Nggali Mara, Tim Kuasa Hukum TAPaK Pulau Wawonii merupakan identitas dan ruang hidup bagi 42.683 jiwa manusia dan juga merupakan ekosistem penting bagi makhluk lainnya. selain itu, pulau kecil sesungguhnya dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, jelas menyatakan bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak boleh ditambang. Kami menyerukan kepada Kejaksaan Agung untuk mengambil langkah tegas untuk menindak, menghentikan, menangkap dan memproses hukum para pihak yang terkait praktik korupsi sumber daya pertambangan di Pulau wawonii.

Fikerman Saragih, Tim Kuasa Hukum TAPaK menegaskan bahwa Kejaksaan Agung wajib mengusut dugaan keterlibatan pihak-pihak yang membiarkan atau bahkan mendukung pelanggaran hukum ini. Penyelidikan yang transparan dan independen diperlukan untuk memastikan bahwa tidak ada kepentingan tertentu yang sengaja mempertahankan aktivitas ilegal PT GKP dan demi keselamatan rakyat dan keberlanjutan ekosistem Pulau kecil Indonesia. Kejaksaan Agung tidak boleh tunduk kepada PT GKP yang jelas telah melakukan pelanggaran hukum perusakan lingkungan.

Tuntutan
Kami mendesak Kejaksaan Agung harus segera bertindak untuk menghentikan aktivitas ilegal yang dilakukan oleh PT GKP dan menyelidiki dugaan korupsi yang memungkinkan eksploitasi ini terus berlangsung. Kami mendesak:
1. Kejaksaan Agung segera melakukan penyelidikan terhadap pihak-pihak yang diduga terlibat dalam praktik korupsi terkait operasi ilegal PT GKP.
2. Seluruh lembaga negara yang diduga melindungi PT GKP harus diusut, termasuk kementerian terkait dan aparat kepolisian.
3. Harita Group harus bertanggung jawab atas aktivitas ilegal yang dilakukan oleh anak usahanya dan membuka transparansi penuh terhadap operasinya.
4. Segera hentikan semua aktivitas tambang ilegal di Pulau Wawonii dan pulihkan kembali lingkungan yang telah dirusak.

Kami mengajak seluruh masyarakat, akademisi, aktivis, dan media untuk turut mengawal kasus ini agar hukum ditegakkan secara adil dan transparan.

Narahubung
Muh. Jamil – JATAM +6282156470477
Edy Kurniawan – YLBHI +6285395122233
FIkerman Saragih – KIARA +6282365967999
Yulianto Behar Nggali Mara – TAPak +6285239245552

 

Merampas Laut Merampas Hidup Nelayan

Book of Merampas Laut

Kita telah lama memunggungi laut…
sudah saatnya menjadikan Indonesia sebagai “Poros Maritim Dunia”

Saat dua pernyataan di atas populer karena disuarakan pada waktu kampanye pasangan calon presiden yang kemudian menang di pemilu sepuluh tahun lalu, saya sangatlah senang. Saya berharap pernyataan ini tidak hanya janji tetapi diimplementasikan dalam kebijakan rezim baru, saat itu. Ternyata, setelah sepuluh tahun berjalan, harapan tetap menjadi harapan. Bahkan ironi yang terjadi, meskipun di lima tahun pertama, jargon “Poros Maritim” sebagai pengejawantahan janji akan ‘menoleh’ ke laut tercatat di berbagai dokumen negara dan dibahas di rapat-rapat, tetapi tidak ada realisasi signifikan yang membawa ke arah perbaikan bagi pemangku utama dunia maritim kita, yaitu “nomad laut”

(Orang Sama-Bajau dan Orang Suku Laut), nelayan, pelayar, dan komunitas (adat) pesisir.

Persoalan-persoalan yang dihadapi komunitas maritim tidak kunjung membaik bahkan sebagian semakin memburuk. Persoalan pukat harimau di Selat Malaka, tidak terselesaikan sampai sekarang, padahal alat itu sudah dilarang sejak tahun 1980. Pengerukan pasir dan sedimen laut, pembangunan di pesisir melalui reklamasi, perkembangan perkebunan kelapa sawit di kawasan pesisir, telah mengubah kualitas ekosistem pesisir dan laut beserta sumber dayanya, sehingga juga menambah sulit kehidupan nelayan dan komunitas pesisir. Ironinya, penyingkiran mereka terjadi dengan dukungan kebijakan pemerintah atau melalui praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme aparat pemerintah dengan pelaku bisnis besar.

Observasi inilah yang membawa saya mempelajari teori-teorinya, yang dalam hal ini mengantarkan ke konsep coastal dan marine grabbing. Saya juga mendorong teman-teman untuk melakukan riset serius. Dalam konteks ini, Pak Slamet Subekti, “teracuni” oleh ide ini dan menggarap riset grabbing untuk disertasinya di Universitas Diponegoro. Dengan teman-teman aktivis, saya juga sering menjadi narasumber atau membantu riset-riset mereka untuk bahan advokasi lingkungan dan hak-hak nelayan dan komunitas lokal seperti kasus tambang pasir di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Buku ini, merupakan buah dari kombinasi kerja di dua domain ini, akademik dan aktivisme.

Akhirnya saya ucapkan selamat membaca dan melanjutkan diskusi serta gerakan koreksi di lapangan.

 

 

Reklamasi Ilegal Di Nias Masih Berlanjut, KIARA Bersama Nelayan Dusun II Desa Miga: Bukti Tidak Tegasnya Pemerintah Kepada Perusak Lingkungan

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Reklamasi Ilegal Di Nias Masih Berlanjut, KIARA Bersama Nelayan Dusun II Desa Miga: Bukti Tidak Tegasnya Pemerintah Kepada Perusak Lingkungan

 

 

Jakarta, 9 Mei 2025 – Akhir Maret 2025, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menerima pengaduan dari perwakilan Warga Desa Miga, Kecamatan Gunungsitoli, Kota Gunungsitoli, Pulau Nias. Pengaduan tersebut merupakan respon warga atas penimbunan atau reklamasi laut yang dilakukan di perairan pesisir Dusun II Desa Miga. Dari penuturan perwakilan warga, aktivitas tersebut diduga telah dilakukan sejak 19 Maret 2025 dengan dugaan luasan penimbunan perairan laut seluas 900 m². Warga menduga bahwa pemilik lahan lokasi reklamasi laut adalah Saudara Bp. Ama Yuru Harefa. Diduga bahwa aktivitas penimbunan atau reklamasi perairan laut tersebut dilakukan bersama pemilik alat berat (1 unit Excavator Merk Hitachi). Hingga hari ini perwakilan warga belum mengetahui secara pasti siapa pemilik alat berat tersebut. Perwakilan warga menyebutkan bahwa reklamasi/penimbunan laut diduga telah dilakukan sejak 19 Maret 2025 dengan dugaan penimbunan perairan laut seluas 1000 m².

 

Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyebutkan bahwa pada tanggal 14 April 2025 KIARA bersama Nelayan Dusun II Desa Miga, Kecamatan Gunungsitoli, Kota Gunungsitoli, Pulau Nias secara langsung telah mengirimkan surat desakan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang juga ditembuskan ke beberapa instansi Pemerintahan terkait yang dapat menindak tegas kegiatan reklamasi tersebut. “Hingga saat ini perwakilan warga Dusun II Desa Miga menyatakan kepada kami bahwa reklamasi masih berlangsung. KIARA melihat bahwa reklamasi/penimbunan laut ini masih terjadi di Nias karena tidak adanya keseriusan maupun tindakan tegas dari Menteri Kelautan dan Perikanan maupun dari pihak yang berwenang kepada pelaku. Perairan yang direklamasi memiliki ekosistem karang dan ekosistem lainnya yang seharusnya dilindungi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan maupun Kementerian Lingkungan Hidup. Ironinya, kedua kementerian itu tidak pernah ke lapangan untuk melakukan verifikasi, penindakan dengan disertai upaya hukum yang tegas!” jelas Susan.

 

Salah seorang perwakilan nelayan dari Desa Miga, Syukur Halawa menyebutkan bahwa aktivitas reklamasi/penimbunan laut yang dilakukan di Dusun II Desa Miga telah ditolak tegas oleh warga Dusun II Desa Miga, telah dilaporkan dan juga telah diketahui oleh aparat desa, Pemerintah Daerah melalui Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Gunungsitoli, Walikota Gunungsitoli hingga DPRD Kota Gunungsitoli, bahkan juga aparat keamanan dari tingkat kecamatan hingga kota di Kota Gunungsitoli. “Padahal tanggal 02 April 2025, Pemerintah Kota Gunungsitoli telah menanggapi pengaduan penolakan dari Warga Desa Miga melalui Asisten Pemkot Gunungsitoli. Asisten Pemkot Gunungsitoli menyampaikan hasil keputusan bersama dengan pihak terkait adalah menghentikan kegiatan reklamasi karena tidak memiliki izin dari Pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ironinya, keputusan tersebut tidak ditanggapi oleh pemilik Lahan dan hingga saat ini aktivitas penimbunan masih terus berlangsung dan tidak ada tindakan tegas kepada pemilik lahan maupun para pihak yang melakukan reklamasi/ penimbunan laut. Padahal aktivitas reklamasi/ penimbunan pantai tersebut telah mengganggu kami nelayan kecil dan diduga telah merusak ekosistem karang yang ada di dalam perairan kami,” jelas Syukur Halawa.

 

Syukur Halawa menambahkan bahwa “kami sebagai warga yang menolak reklamasi menyatakan kecewa karna tahapan dari pemberian teguran hingga peringatan terlalu lama. Reklamasi harus berhenti. Warga meminta Pemkot dan tim terpadu untuk memasang spanduk di lokasi reklamasi yang menyatakan bahwa reklamasi dihentikan karena belum memiliki izin dan akan merusak lingkungan. Nelayan di Desa Miga memiliki kearifan lokal bahwasannya terumbu karang maupun karang-karang lainnya di di perairan laut pesisir laut adalah tempatnya ikan-ikan mencari makan dan berlindung. Dengan maraknya reklamasi beberapa tahun ini membuat nelayan makin resah karena nelayan di desa Miga banyak yang menangkap ikan dan dipinggiran perairan tersebut karena mereka nelayan yang dengan perahu dayung. Apa yang bisa dilakukan pemerintah terhadap kami nelayan kecil ini? Apakah melindungi kami atau mau mengusir kami?” tanya Syukur Halawa.

 

KIARA bersama perwakilan warga Dusun II Desa Miga mencatat bahwa aktivitas penimbunan/reklamasi laut yang dilakukan di Dusun II Desa Miga adalah tindakan pengerusakan sumber daya laut dan bertentangan dengan semangat perlindungan dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan kemudian kembali ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010. Secara lebih rinci, berikut peraturan perundang-undangan lainnya yang secara tegas melarang aktivitas penimbunan/reklamasi laut yang dilakukan di Dusun II Desa Miga: Pertama, Pasal 4 huruf a Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang menyebutkan bahwa “Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilaksanakan dengan tujuan: a. melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan”.

 

Kedua, Pasal 35 huruf c, d, h, dan l Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang menyebutkan bahwa: “Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap Orang secara langsung atau tidak langsung dilarang: c. menggunakan bahan peledak, bahan beracun, dan/atau bahan lain yang merusak Ekosistem terumbu karang; d. menggunakan peralatan, cara, dan metode lain yang merusak Ekosistem terumbu karang; h. menggunakan cara dan metode yang merusak padang lamun; dan l. melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya.

 

Ketiga, Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 4 Tahun 2019 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Sumatera Utara Tahun 2019-2039 hanya memberikan alokasi ruang di Kec. Gunungsitoli sebagai zona perikanan tangkap pelagis dan zona pelabuhan, bukan aktivitas penimbunan/reklamasi, dan Keempat, Pasal 84 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 4 Tahun 2019 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Sumatera Utara Tahun 2019-2039 yang menyebutkan bahwa: “Dalam pemanfaatan WP3K, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan: a. Kegiatan pemanfaatan ruang di WP3K yang tidak sesuai dengan alokasi ruang yang telah ditetapkan; dan g. Kegiatan reklamasi di WP3K tanpa izin”.

 

Sekjen KIARA, Susan Herawati menambahkan bahwa aktivitas reklamasi/ penimbunan laut tersebut akan sangat berdampak terhadap lingkungan dan juga nelayan kecil dan tradisional yang memanfaatkan ruang laut tersebut baik sebagai ruang tangkap maupun tempat tambat perahu mereka. “Jumlah nelayan di pesisir Kota Gunungsitoli adalah 1.884 jiwa, dan mereka yang akan terdampak langsung akibat reklamasi ini. Selain itu, keberlanjutan terumbu karang di wilayah perairan akan berpotensi hancur karena tertimbun material reklamasi. Nelayan di pesisir Kota Gunungsitoli merupakan salah satu aktor berkontribusi besar terhadap ketahanan pangan di Pulau Nias. Produksi perikanan di Pulau Nias Total produksi perikanan laut nelayan Kota Gunungsitoli sebesar 7.068 ton di tahun 2023. Hal ini harus menjadi perhatian serius bagi Menteri Kelautan dan Perikanan karena ketidaktegasan terhadap aktivitas reklamasi akan secara langsung menjadi preseden buruk penindakan para perusak lingkungan. Menteri Kelautan dan Perikanan maupun Menteri Lingkungan Hidup harus turun dan melakukan penindakan tegas terhadap pelaku. Hal ini untuk meminimalisir potensi kerusakan yang semakin meluas dan akan berdampak terhadap hasil produksi perikanan laut nelayan yang juga berdampak pada perekonomian nelayan lokal dan keberlanjutan ekosistem perairan di wilayah tersebut!” pungkas Susan.(*)

 

 

Informasi Lebih Lanjut

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, +62-857-1017-0502

 

Kesaksian Perwakilan Warga Pesisir Manado Utara terkait Gugatan PKKPRL PT Manado Utara Perkasa, Warga Pesisir Manado Utara: Itu Ruang Tangkap Kami, Jangan Direklamasi!

Jakarta, 7 Mei 2025

Siaran Pers Bersama

Tim Advokasi Penyelamatan Pesisir dan Pulau Kecil (TAPaK)

Kesaksian Perwakilan Warga Pesisir Manado Utara terkait Gugatan
PKKPRL PT Manado Utara Perkasa, Warga Pesisir Manado Utara: Itu
Ruang Tangkap Kami, Jangan Direklamasi!

Majelis Hakim kembali menyelenggarakan persidangan gugatan Keputusan Tata
Usaha Negara tentang Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut
(PKKPRL) kepada PT Manado Utara Perkasa (PT. MUP) (06/05/2025), di
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan tersebut terdaftar dalam
register perkara Nomor 444/G/LH/2024/PTUN.JKT. Keputusan Tata Usaha Negara
(KTUN) berupa PKKPRL tersebut diterbitkan oleh Menteri Investasi/Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atas nama Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor: 20062210517100001 tentang Persetujuan Kesesuaian Kegiatan
Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) kepada PT Manado Utara Perkasa, tanggal 17
Juni 2022. Dalam gugatan ini, PT Manado Utara Perkasa merupakan Tergugat II
Intervensi. Penggugat PKKPRL Manado Utara ini adalah Koalisi Rakyat untuk
Keadilan Perikanan (KIARA) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
yang tergabung dalam Tim Advokasi Penyelamatan Pesisir dan Pulau Kecil (TAPaK).
Judianto Simanjuntak sebagai Kuasa Hukum Penggugat yang tergabung dalam Tim
Advokasi Penyelamatan Pesisir Dan Pulau Kecil (TAPaK) menyatakan dalam
persidangan ini, Penggugat menghadirkan 2 (dua) orang saksi perwakilan warga
pesisir Manado Utara datang ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Kehadiran 2 (dua) orang saksi tersebut menyampaikan keterangan warga pesisir
Manado Utara khususnya nelayan dan perempuan terkait apa yang telah
dialami/dirasakan langsung oleh mereka. “Penting bagi Majelis Hakim yang
menangani gugatan PKKPRL Manado Utara ini untuk mengetahui bagaimana
proses penyusunan KTUN ini yang tidak melibatkan dan tidak mengakomodir
berbagai penolakan yang dilakukan oleh warga terdampak. Selain tidak adanya
partisipasi, Majelis Hakim juga harus mengetahui bagaimana dampak proses
reklamasi ini bagi nelayan dan masyarakat pesisir lainnya, dan bahkan konflik
sosial telah terjadi sebagai akibat PKKPRL Manado Utara ini,” tegas Judianto.
Judianto Simanjuntak melanjutkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil di Indonesia, partisipasi masyarakat secara bermakna (Meaningful
Participation), terutama warga yang tinggal di sekitaran pesisir atau pulau kecil,
tidak dapat dipisahkan. Hal ini sesuai dengan asas peran serta masyarakat
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf h dan huruf d Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Faktanya pola interaksi antara Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM) atas nama Menteri Kelautan dan Perikanan dengan masyarakat
dengan masyarakat Terdampak masih bersifat Manipulasi (Manipulation) yang
masuk dalam kategori tidak ada partisipasi ( Non Partisipasi). Jadi penerbitan Objek
Sengketa (PKKPRL) tidak didasarkan pada informasi yang lengkap kepada
masyarakat yang bermukim di pesisir Teluk Manado/Laut Sulawesi, sehingga
bertentangan dengan asas keterbukaan.

Saksi pertama yang berprofesi sebagai nelayan kecil/tradisional yang berasal dari
Kelurahan Bitung-Karangria menerangkan bahwa objek sengketa tersebut
merupakan area tangkap nelayan kecil/tradisional yang tinggal di Kecamatan Bitung
Karangria. “Saya sebagai nelayan melaut di dekat pantai hingga 500 meter ke laut
dari pantai. Ada ikan yang kami tangkap khusus di area muara sungai. Dilokasi
yang akan direklamasi itu, kami menangkap ikan marlin, layaran, kembung, tuna
gigi anjing, nike, kerapu dan masih banyak lagi. Setiap hari dari hasil tangkapan
itu akan kami dijual ke pasar. Reklamasi akan merugikan kami karena ikan akan
pindah ke lokasi lain,” jelas Saksi pertama.
Saksi pertama melanjutkan bahwa “di Kecamatan Tumumpa Dua, pantainya telah
dipagari, akan tetapi rencana tersebut juga dilakukan di Kecamatan Bitung
Karang Ria, akan tetapi pagar tersebut hingga saat ini belum berdiri karena kami
melakukan penolakan pemasangan pagar itu. Kami sebagai nelayan memiliki
pengetahuan dan tradisi dalam melihat ikan. Nelayan memantau laut dan ikan
dari rumah kami yang tepi pantai. Jika nelayan melihat burung camar di atas laut
berarti itu menandakan adanya ikan, sehingga kami bisa langsung bersiap ke laut
untuk menangkap ikan. Saat pantai kami itu dipagar, maka kami tidak bisa
memantau dan melakukan tradisi itu lagi,” tegas Saksi pertama.

Saksi pertama juga menjelaskan bahwa dia telah ikut bergabung untuk melakukan
aksi penolakan reklamasi di Kantor Walikota dan juga DPRD Provinsi Sulawesi
Utara. “Saya bersama nelayan lainnya telah menyampaikan penolakan karena
reklamasi akan berdampak kepada kami sebagai nelayan. Kami nelayan diterima
oleh DPRD Sulawesi Utara. Hasilnya DPRD Sulawesi Utara telah mengeluarkan
surat rekomendasi pemberhentian sementara reklamasi, akan tetapi reklamasi
tidak berhenti dan masih berjalan. Kami juga menagih janji Walikota ketika
beberapa tahun yang lalu Walikota mengeluarkan surat bahwa area tambatan
perahu tidak akan dialihfungsikan untuk kegiatan apapun,” jelas Saksi pertama.
Sedangkan Saksi Kedua adalah perwakilan perempuan pesisir Manado Utara yang
merupakan ibu rumah tangga, yang juga berprofesi sebagai nelayan dan juga pegiat
pariwisata. Saksi kedua menyebutkan bahwa menyebutkan bahwa area yang akan
direklamasi PT Manado Utara Perkasa adalah area penangkapan ikan. “Selain itu,
wilayah pantai Bitung Karang Ria adalah tempat belajar bahasa inggris
anak-anak nelayan dan warga lainnya secara gratis. Belajar bahasa inggris
sering kami awali dengan bersih-bersih pantai. Ini kami lakukan agar anak-anak
ini sadar akan lingkungan pantai dan laut. Selain itu, bagi kami pegiat pariwisata,
keindahan pantai ini adalah nilai jual kami untuk menarik wisatawan untuk
makan sambil menikmati pemandangan pantai dan laut. Akan tetapi dengan
adanya reklamasi ini, kami mengalami penurunan wisatawan dan berakibat
berkurangnya pendapatan kami,” jelas Saksi kedua.

Saksi kedua menambahkan bahwa dalam proses penerbitan PKKPRL ini, Saksi
kedua tidak pernah dilibatkan. “Bahkan kami mengetahui adanya rencana
reklamasi tersebut setelah adanya plang yang menyebutkan Reklamasi dan izin
PKKPRL PT Manado Utara Perkasa. Setelah kami melihat plang itu, kami
melakukan penolakan ke berbagai kantor pemerintah, dari Walikota, kantor
Gubernur, DPRD, kantor Polisi, juga di pantai Bitung Karang Ria kami lakukan
aksi damai. Akan tetapi, suara kami tidak pernah didengar!” tegas Saksi kedua.
Kuasa Hukum lainnya (TAPaK), Mulya Sarmono menyebutkan bahwa dari
keterangan 2 (dua) orang saksi tersebut membuktikan Menteri Investasi/Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang menerbitkan Objek Sengketa (PKKPRL)
tersebut atas nama Menteri Kelautan dan Perikanan tidak menerapkan ASAS
KEHATI-HATIAN. Sebenarnya penerapan asas kehati-hatian sangat penting,
sebab reklamasi di Teluk Manado/Laut Sulawesi berpotensi mengganggu bahkan
merusak karang dan/atau terumbu karang yang telah hidup di Teluk Manado yang
memiliki peran yang sangat penting dalam melindungi wilayah pantai dari
hempasan gelombang besar, dan berperan penting dalam menopang produktivitas
perairan Teluk Manado/Laut Sulawesi.

Mulya Sarmono lebih lanjut menyatakan asas kehati-hatian terdapat dalam Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Nomor: 59/G/LH/2023/PTUN.JKT
tanggal 24 Juli 2023, yang kemudian dikuatkan melalui Putusan Mahkamah Agung
Nomor: 277 K/TUN/LH/2024, tanggal 24 Agustus 2024, pada alinea ketiga halaman
338 yang menyatakan bahwa Asas Kehati-hatian mengarahkan agar pengambil
keputusan tidak berhenti melakukan tindakan pencegahan. Sebaliknya, beberapa hal
atau informasi yang masih diliputi ketidakpastian seharusnya menjadi alasan untuk
pengambil keputusan untuk melakukan tindakan pencegahan sebagai wujud
tindakan hati-hati, maka pengambil keputusan (in casu Tergugat) menggunakan
Doktrin in dubio pro natura yaitu haruslah memberikan pertimbangan atau
penilaian yang mengutamakan kepentingan perlindungan dan pemulihan
lingkungan hidup;

Merespon keterangan dua (2) saksi perwakilan warga Manado Utara, Sekjen Koalisi
Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, menyebutkan bahwa
keterangan dua perwakilan warga tersebut membuktikan kepada Majelis Hakim
bahwa tidak adanya partisipasi yang bermakna dari masyarakat menyatakan
penolakan pesisir pantai Manado Utara untuk penyiapan lahan dengan cara
reklamasi. “Tidak adanya partisipasi bermakna dari warga, bahkan telah terjadi
beragam dan berbagai aksi penolakan baik di level Sulawesi Utara maupun level
Kota Manado menjadi fakta bahwa nelayan kecil/tradisional dan warga pesisir
Manado Utara lainnya dengan tegas menolak reklamasi pantai Manado Utara.
Berdasarkan data Kemendagri tahun 2025 bahwa terdapat 633 jiwa nelayan yang
secara resmi tercatat sebagai nelayan yang akan terdampak dari reklamasi ini
Akan tetapi juga banyak nelayan kecil dan tradisional yang tidak tercatat
berprofesi sebagai nelayan,”. tegas Susan.

Susan menambahkan bahwa “Dari penjelasan dua saksi tersebut, pada pokoknya
menyampaikan bahwa mereka mengetahui bahaya dan dampak reklamasi bagi
lingkungan, sosial, perekonomian, bahkan potensi hilangnya budaya nelayan
untuk melaut. Reklamasi juga pernah terjadi sekitar tahun 1995 untuk
pembangunan jalan Boulevard di Manado Selatan. Dampak reklamasi itu, nelayan
mengungkapkan bahwa desa sekitar yang tidak pernah banjir, menjadi banjir.
Dulu mereka nelayan masih bisa menangkap ikan marlin di laut Manado Selatan
maupun laut Manado Utara, tapi setelah reklamasi jalan Boulevard, ikan tersebut
tidak lagi ditemukan di Manado Selatan, dan tinggal di Manado Utara. Ini
menjadi urgensi bagi Majelis Hakim untuk berpihak pada keadilan dan
keberlanjutan sosial-ekologi di wilayah pesisir dari ancaman reklamasi dan
perusakan ekosistem laut!” tutup Susan. (*)

TIM ADVOKASI PENYELAMATAN PESISIR DAN PULAU KECIL
(TAPaK)
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) – Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (WALHI) – Trend Asia – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI) – Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) bersama Greenpeace Indonesia
(*) Narahubung
– Judianto Simanjuntak (Kuasa Hukum/TAPaK): +62 857-7526-0228
– Mulya Sarmono (Kuasa Hukum/TAPaK): +62 821-8723-3020
– Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan: +62-857-1017-0502