Posts

“Tiada Demokrasi Tanpa Prosedur Demokratik Salah Prosedur dan Salah Atur Omnibus Law Cipta Kerja?”

“Tiada Demokrasi Tanpa Prosedur Demokratik Salah Prosedur dan Salah Atur Omnibus Law Cipta Kerja?”

Pada tanggal 22 Januari 2020 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menetapkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja sebagai Prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020.

Rancangan Undang-Undang tersebut mendapatkan penolakan dari sejumlah Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, DewanPerwakilan Daerah Kabupaten/Kota dan mendapatkan perlawanan dari massa rakyat.

Menyikapi disahkannnya Undang-Undang Cipta Kerja, sejumlah organisasi yang selama ini melakukan pemajuan dan pembelaan hak-hak konstitusional melalui pembaruan hukum dan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi, memutuskan untuk membentuk sebuah komite aksi yang bernama Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL)

Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL) menyatakan pandangan sebagai berikut:

  1. Pilihan hukum yang ada untuk membatalkan Undang-Undang Cipta Kerja dilakukan melalui dua mekanisme, yaitu: Pertama, meminta presiden menggeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu); dan Kedua, melalui permohonan pengujian formil dan pengujian materiil Undang-Undang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi. Pilihan hukum tersebut memiliki konsekuensi yang berbeda, terutama dalam menempatkan peran masyarakat sipil untuk mengawal setiap proses dan mempertahankan hak konstitusional rakyat dalam pembentukan hukum;
  2. Dinamika saat ini, pilihan dikeluarkannya Perppu masih sangat bergantung pada keputusan Presiden. Peran masyarakat sipil dalam proses ini pun terbatas dalam menawarkan opini semata. Di sisi lain, Konstitusi dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi memberikan ruang kepada Warga Negara untuk menuntut dan memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya, melalui pengujian formil dan pengujian materiil ke Mahkamah Konstitusi. Pilihan ini sekaligus mengantisipasi tidak dikeluarkannya Perppu oleh Presiden. Pengujian formil terhadap Undang-Undang Cipta Kerja menjadi relevan dan sangat urgen dilakukan saat ini mengingat hanya diberikan waktu maksimal dimohonkan 45 hari sejak dicatatkan dalam Lembaran Negara;
  3. Urgensi pengujian formil tidak sekedar untuk menjegal Undang-Undang Cipta Kerja, lebih dari itu adalah untuk mengawal independensi Mahkamah Konstitusi sebagai Pengawal Konstitusi dalam pelaksanaan dan mengeksekusi putusan, mempertahankan tafsir Mahkamah Konstitusi terkait hak-hak konsitusional dalam berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi yang berlaku final and binding;

Karena merupakan hak konstitusional, maka bagi warga negara Indonesia yang merasa proses pembentukan suatu undang-undang tidak sesuai prosedur, maka dapat melakukan gugatan atas proses pembentukan suatu undang-undang ke Mahkamah Konstitusi. Di dalam mekanisme di Mahkamah Konstitusi gugatan prosedur pembentukan suatu undang-undang disebut dengan Pengujian Formil.

Salah prosedur pembentukan UU Cipta Kerja antara lain : 1. Tanpa Naskah Akademik; 2. Tanpa partisipasi publik; 3. Beberapa pasal tidak jelas rumusannya; 4. Ketidakpastian Naskah RUU; 5. Perubahan setelah disahkan; dan 6. Omnibuslaw Tidak Dikenal Dalam Sistem Hukum Indonesia.

Selain salah formil, UU Cipta Kerja juga salah materi, diantaranya yaitu bertentangan dengan prinsip-prinsip kedaulatan pangan dengan mempermudah impor pangan, tidak membatasi penanaman modal asing di pertanian hortikultura, dan mempermudah alih fungsi lahan pertanian.

UU Cipta Kerja potensial menghambat penyediaan Tanah Objek Reforma Agraria dengan mengubah ketentuan kewajiban fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar perkebunan.

UU Cipta Kerja berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum serta mereduksi perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh. Dan UU Cipta Kerja potensial melanggar hak atas pendidikan dengan memperluas komersialisasi pendidikan.

Undang-Undang Cipta Kerja tidak  memperkuat pengaturan dalam rangka penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak atas pangan, terutama dalam realisasi progresif pemenuhan hak atas pangan berdasarkan pengoptimalan sumber daya produktif melalui kebijakan reforma agraria sehingga terwujud kedaulatan pangan yang bersendikan produksi petani, nelayan dan masyarakat yang bekerja di perdesaan.

Undang-Undang Cipta Kerja memperluas liberalisasi pangan, komersialisasi pendidikan dan pasar bebas tenaga kerja. Hal ini sesungguhnya menunjukan paradigma lama, yaitu upaya mengundang investasi dengan cara menjadikan upah murah sebagai keunggulan komparatif. Untuk mendukung upah murah, maka harga pangan juga harus murah dengan mengandalkan impor pangan, daan sistem pendidikan link and macth, artinya menjadikan tenaga terdidik sebagai “sekrup” mesin investasi.

Jika sebelumnya prosedur demokrasi demokrasi dipergunakan untuk liberalisasi perekonomian, sumber daya alam, ketenagakerjaan dan lain-lain, dan kini, dalam pembentukan UU Cipta,  prosedurnyapun sekalian dilanggar.

Untuk itu di diperlukan pembaruan hukum yang dapat dijadikan landasan pemerintahan dalam realisasi progresif pemenuhan hak-hak konstitusional rakyat Indonesia.

Rekomendasi

  1. Perjuangan konstitusional gerakan rakyat yang telah menghasilkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi harus dijadikan landasan pemerintah/pemda, DPR/DPRD, dan pengadilan.
  2. Gerakan rakyat harus mengawal hak-hak konstitusional yang tercantum dalam UUD 1945 maupun yang tercantum di dilam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi;
  3. Memperkuat bantuan hukum dan solidaritas kepada masyarakat korban ketidakadilan pembangunan.

 

Selengkapnya unduh buku: “Tiada Demokrasi Tanpa Prosedur Demokratik”

Download the English Version: “No Democracy without Prosedure”