Mencari Penjelasan Pemerintah

Mencari Penjelasan Pemerintah

Pemerintah akhirnya merevisi aturan main kontroversial tentang usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolaan perikanan RI. Namun, sayangnya, apa latar belakang maupun penjelasan resmi terkait revisi tersebut tidak jadi dilakukan.

Awalnya, sesuai dengan undangan yang beredar via pesan pendek (SMS) di ponsel, Dirjen Perikanan Tangkap KKP, Gellwynn Daniel Hamzah Jusuf akan menggelar jumpa pers terkait revisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI). Acara rencananya digelar 3 Oktober 2013, pukul 09.30 di ruang rapat Arwana, Gedung Mina Bahari II Lantai 14, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat.

Namun, pada hari H, jumpa pers itu ternyata tidak pernah ada. Beberapa awak media yang datang pun kecewa. Sementara, sebagian awak media yang menggunakan blackberry (BB) lebih beruntung. Mereka sudah mengetahui pembatalan yang disebarkan melalui BBM itu semalam sebelumnya.

Ketika dikonfirmasi tentang pembatalan itu Gellwynn mengaku acara dibatalkan lantaran hanya sedikit wartawan yang akan hadir. Informasi itu diterima dari anak buahnya. “Dibatalkan karena menurut humas, setelah konfirmasi dengan media, banyak yang tidak bisa hadir,” tulis Gellwynn melalui pesan pendeknya kepada Agro Indonesia pekan lalu.

Namun, lain Gellwynn, lain anak buahnya. Menurut humas Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, KKP, Hendy Toz, jumpa pers itu bukan dibatalkan, tapi sekadar ditunda. “Ini sesuai dengan instruksi MenKP (Menteri Kelautan dan Perikanan), APEC (Asia-Pacific Economic Coperation) dulu, baru jumpa pers,” kata Hendy.

Namun, sempat pula beredar rumor batalnya jumpa pers lantaran Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif Cicip Sutardjo harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rumor ini langsung mentah karena juru bicara KPK, Johan Budi SP membantahnya. “Pemanggilan itu tidak ada,” tegasnya saat dihubungi Agro Indonesia.

Hanya saja, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Abdul Halim menilai alasan penangguhan jumpa pers itu tidak logis. Aktivis muda yang akrab disapa Halim ini menenggarai batalnya jumpa pers itu karena KKP sedang tiarap. KKP sedang konsolidasi dan gelisah telah diindikasikan korupsi oleh lembaga anti rasuah itu.

“Bulan puasa kemarin, kami dan tim penelusuran KPK sudah diskusi panjang lebar tentang adanya indikasi korupsi dari terbitnya Permen 30/2012,” ungkap Halim.

Halim menambahkan, tim penelusuran KPK juga sudah  mendatangi kantor DPP Golkar untuk mendalami lebih jauh peran partai politik ini terhadap terbitnya Permen 30/2012 dan keterkaitannya dengan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.

Asing Difasilitasi

Yang jelas, Halim menilai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) memang pantas ditangani KPK.

Halim pun merujuk pada Bab IX tentang alih muatan (transhipment), terutama Pasal 69 ayat (3). Pasal ini membolehkan alih muatan dengan syarat ikan wajib didaratkan di pelabuhan pangkalan dan tidak dibawa keluar negeri. Namun, semua itu tidak berlaku untuk kapal penangkap ikan yang mengunakan alat penangkap ikan purse seine (pukat cincin) berukuran di atas 1.000 gross ton (GT) yang dioperasikan secara tunggal.

Lebih jauh, Pasal 88 menyebutkan kapal berbobot 1.000 GT ke atas itu dapat mendaratkan ikan di luar pelabuhan pangkalan, baik di dalam negeri atau pun luar negeri.

Pemerintah coba mengamankan pasal itu dengan kententuan penangkapan dilakukan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di luar 100 mil, penempatan pemantau (observer) di atas kapal serta melaporkan rencana dan pelaksanaan pendaratan ikan di pelabuhan dalam atau luar negeri kepada kepala pelabuhan pangkalan yang tercantum dalam Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI).

“Dalam kajian Kiara, pelaku perikanan Indonesia tidak ada yang memiliki kapal 1.000 GT. Asing lah yang banyak bermain. Bagaimana mungkin negara diuntungkan, jika asing difasilitasi? Di sini jelas lah ada oknum-oknum KKP yang memperoleh rente dari hasil kerjasama dengan pihak asing,” cetus Halim.

Memang, hingga 13 Februari 2013, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, KKP mengeluarkan izin untuk kapal penangkap ikan berbendera Indonesia, berukuran diatas 30 GT sebanyak 4.142 unit. Termasuk 21 unit kapal ukuran paling besar (kisaran 500-800 GT).

Sedangkan untuk kapal penangkap ikan kategori pukat cincin sebanyak 1.373 unit atau 33,14% dari seluruh jumlah kapal penangkap ikan dan hanya 1 unit kapal berukuran di atas 700 GT.

Per Februari 2012, ada 492 unit kapal yang beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan 881 unit kapal yang beraktivitas di perairan kepulauan dan teritorial. Sementara, kapal ikan pukat cincin yang biasa beroperasi di perairan Indonesia dan ZEEI, belum ada yang merambah hingga ke laut lepas.

Yang jelas, Kiara menyatakan belum memiliki informasi kesepakatan antara perusahaan asing pemilik kapal 1.000 GT dengan KKP untuk memanfaatkan aturan tersebut. Sumber Agro Indonesia di KKP juga membenarkan bahwa hingga aturan itu direvisi belum ada pengusaha yang memanfaatkan.

Tidak beralasan

Sementara Dirjen Perikanan Tangkap KKP, Gellwynn Daniel Hamzah Jusuf menyatakan, melalui Permen 30/2012 sebetulnya pemeintah berupaya mendorong agar usaha perikanan tangkap bergairah. Para pelaku usaha perikanan juga bisa memanfaatkan potensi perikanan yang ada di ZEEI dan laut lepas.

Gellwynn menegaskan, dalam Permen 30/2012 pihaknya mengizinkan operasional kapal penangkap ikan kategori pukat cincin yang berbobot mati 1.000 GT boleh beroperasi pada lebih 100 mil. Dengan catatan, wajib berbendera Indonesia dan seluruh anak buah kapalnya (ABK) juga harus warga negara Indonesia.

”Untuk kapal 1.000 GT harus berbadan hukum Indonesia. Notaris Indonesia. Izin dari Indonesia. Tidak ada joint venture,” tegas Gellywnn.

Menurut Gellywnn, yang semula menjabat Sekretaris Jenderal KKP dan kemudian dilantik menjadi Dirjen PT pada 18 Februari 2013 menggantikan Heriyanto Marwoto ini, kekhawatiran beberapa pihak sungguh tidak beralasan. Karena dalam Permen 30/2012, kapal 1.000 GT aturan mainnya wajib memasang Vessel Monitoring System (VMS) dan juga observer. Lagi pula, orang KKP pun akan selalu ikut serta dalam setiap operasi penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal 1.000 GT.

“Izin tidak sembarangan. Kami akan selektif. Kami juga tidak main-main. Yang melanggar akan kami cabut SIPI-nya (Surat Izin Penangkapan Ikan),” kata Gellwynn.

Dia juga minta soal transhipment tidak perlu dibesar-besarkan. Karena Permen-Permen terdahulu pun mengizinkan praktik tersebut, jauh sebelum lahir Permen 30/2012. “Justru dengan adanya Permen 30/2012, diharapkan transhipment menjadi tertata dan terkelola dengan baik.”

Gellwynn mengklaim bahwa terbitnya Permen 30/2012 melalui beberapa pertimbangan strategis. Permen yang digodok selama kurang lebih 8 tahun ini sejatinya mendorong investor dalam negeri untuk melakukan usaha penangkapan di laut lepas. Di mana, tujuan akhirnya adalah volume produksi perikanan bisa meningkat dan berdampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Fenny YL Budiman

Sumber: http://agroindonesia.co.id/2013/10/08/mencari-penjelasan-pemerintah/

“Indonesia darurat pangan, ancam pemenuhan hak atas pangan”

 “Indonesia darurat pangan, ancam pemenuhan hak atas pangan”

Jakarta-  Ditengah turunnya angka penderita kelaparan kronis di dunia,  Indonesia justru mengalami kondisi darurat pangan. Hal ini ditandai dengan meningkatnya impor pangan, menurunnya jumlah produsen pangan skala kecil, menurunnya luasan lahan produksi pangan, menurunnya produksi pangan, meningkatnya jumlah penduduk, dan tidak adanya kebijakan nasional untuk membangun kedaulatan pangan serta memberikan perlindungan bagi para produsen pangan skala kecil. Dapat dikatakan negara tidak serius bahkan abai untuk memenuhi kewajiban hak atas pangan rakyatnya. Demikian ditekankan oleh Aliansi untuk Desa Sejahtera, jelang Hari Pangan Sedunia 2013 (14/10/2013).

“Kunci untuk mengatasi kelaparan dan pemenuhan gizi bangsa terletak pada kebijakan untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan meningkatkan ketersediaan pangan di dalam negeri, dan paling nyata terwujud dalam anggaran pangan yang membangun kemandirian pangan kita, bukan mengandalkan pangan impor yang jumlah dan nilainya semakin besar”. Semua harus berbasis pada lokalitas dan produsen pangan skala kecil kita Jelas Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera

Jumlah penduduk kekurangan gizi di Indonesia berkurang dari sekitar 20 persen dari total jumlah penduduk pada dekade 1990-an menjadi 8,6 persen pada tahun 2012, tetapi tidak dilakukan dengan menggunakan potensi pangan negeri sendiri. “Pencapaian ini dapat dikatakan semu, karena bertumpu pada pangan impor yang rentan gejolak pangan dunia, harga naik akan dengan mudah menghalangi akses masyarakat terhadap pangan.” Tambahnya  lagi. Padahal potensi pangan lokal kita ada, tetapi diabaikan.

Meskipun Indonesia telah memiliki UU Pangan yang berdasarkan pada Hak atas pangan, tetapi belum adanya peraturan pemerintah, menyebabkan UU ini  belum dapat dijalankan. Said Abdullah, Koordinator Pokja Beras menekankan,” Hal yang perlu segera dibenahi dengan mewujudkan kelembagaan pangan yang kuat dan tidak lagi menjadikan pangan, sebagai komoditas sumber keuntungan bagi kelompok tertentu.”  Said mengingatkan lagi, terlalu sering, petani menjadi korban atas nama pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, saat pemerintah mengijinkan impor dilakukan justru pada saat petani akan panen. “Hal-hal ini yang perlu diatur, sehingga hak para penghasil pangan kita tidak dilanggar atas nama apa pun.” Jelasnya.

Abdul Halim, menegaskan konsisi sektor perikanan pun tidak berbeda. “Terjadi pengurangan anggaran untuk mengelola laut kita. Anggaran  KKP hanya 0,308%, yang berimplikasi pada minimnya upaya penyejahteraan masyarakat nelayan tradisional.” Kondisi ini semakin buruk dengan adanya kebijakan ekspor perikanan.  “Kebijakan ini  menggerus bahan baku ikan pada akhirnya memaksa perusahaan dan konsumen domestik untuk bergantung pada produk perikanan impor. Pemenuhan gizi masyarakat kita pun terganggu.  Terbukti ikan impor yang beredar banyak mengandung formalin.” Tambahnya lagi.  Volume ekspor hasil perikanan sebesar 657.793 ton naik 31,95% dibanding tahun 2009..

Achmad Surambo, ketua Pokja Sawit ADS situasi pangan yang genting ini dapat dilihat dari dari banyaknya lahan pangan yang dialih fungsikan menjadi lahan non pangan.  “ Hal ini mengakibatkan terjadinya kelaparan atau pun konflik karena kepemilikan lahan.  Bertentangan  dengan penetapan target untuk perluasan lahan pangan sebesar 2 juta ha, justru terus mengeluarkan ijin bagi alih fungsi lahan pangan.”  Ungkapnya.

Achmad menyoroti dampak tidak langsung dan langsung dari konversi lahan pangan ke perkebunan sawit.  “Lahan   yang tidak   dikonversi untuk perkebunan sawit tetap terkena dampak pembangunan kanal dan jalan untuk mendukung industri sawit, sehingga masyarakat tidak dapat menggunakan lahan sawah lebak karena mengering. Sementara yang dikonversi menjadi perkebunan sawit kehilangan wilayah kelola untuk menghasilkan pangan.” Insentif justru diberikan kepada para pemilik modal besar di bisnis pangan.

Darurat pangan yang terjadi saat ini perlu segera diatasi karena pemenuhan kebutuhan pangan merupakan hak asasi manusia, yang sudah seharusnya menjadi prioritas utama pemerintah.  “Mengalokasi anggaran untuk menciptakan kedaulatan pangan, bukan mencari jalan mudah dengan melakukan impor pangan merupakan pilihan politik dan strategi pemerintah yang harus diambil segera.” Tegas Tejo. Ada 7 langkah strategis yang harus dilakukan segera : 1) Pulihkan kemampuan produsen pangan skala kecil dengan menata sumber-sumber agraria;  2) Peningkatan investasi publik untuk pangan; 3) Lindungi pasar pangan lokal; 4) Hentikan pemberian lahan kepada perusahaan besar dan  hentikan konversi lahan pangan; 5) Perbaiki cadangan pangan; 6) Perbaiki tata kelola pangan nasional; 7) Lakukan diversifikasi pangan sesuai potensi lokal. Tanpa hal tersebut, angka-angka pengurangan penduduk yang kelaparan dan kekurangan gizi, serta berbagai penghargaan internasional malah menjadi salah satu bukti pengabaian hak atas pangan, dengan menghancurkan sistem pangannya sendiri.

###

Catatan untuk Redaksi:

·         FAO menyebutkan angka orang yang menderita kelaparan kronis menurun, menjadi 842 juta orang. Sekitar 826,3 juta hidup di negara berkembang, sebagian besar hidup di pedesaan, dengan mata pencaharian utamanya menyediakan pangan.

·         Kemiskinan sebagai penyebab kelaparan dan malnutrisi.  Indonesia dianggap berhasil oleh FAO untuk mengurangi kelaparan meskipun tingkat penurunannya lamban.

·         Untuk petani dalam kurun 2003-2013  “menghilang” 5.07 juta  rumah tangga.

·         Aliansi untuk Desa Sejahtera merupakan aliansi dari ornop dan jaringan dengan fokus kerja mengupayakan penghidupan pedesaan yang lestari dengan pendekatan pada 3 komoditas : (1) beras/pangan, ketua pokja Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP); (2) sawit, ketua Pokja Sawit Watch dan (3) ikan, ketua Pokja Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Aliansi untuk Desa Sejahtera memiliki 4 pilar untuk memperkuat penghidupan di pedesaan (1) akses terhadap sumber daya alam, (2) akses pasar, (3) adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, dan (4) keadilan gender.

Informasi lebih lanjut:

Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Nasional Aliansi untuk Desa Sejahtera (0816-1856754)

Abdul Halim, Koordinator Pokja Ikan/Sekjen KIARA (0815-53100259)

Said Abdullah, Koordinator Pokja Beras ADS (0813-82151413)

A.Surambo, Koordinator Pokja Sawit ADS (0812-8748726)