Petambak Tradisional di Indramayu Tolak Sertifikasi CBIB

Petambak Tradisional di Indramayu Tolak Sertifikasi CBIB

Kamis, 24/10/2013 – 18:12

INDRAMAYU, (PRLM).- Sejumlah petambak udang tradisional yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Pesisir Indramayu menolak penerapan Sertifikasi Cara Budi Daya Ikan yang Baik dari Direktorat Jenderal Perikanan Budi Daya karena dinilai akan mematikan pemasaran ikan pada level usaha kecil.

“Sertifikasi CBIB itu hanya akan mengakomodasi pemasaran udang pada skala usaha besar, sehingga para petambak tradisional terancam tidak bisa memasarkan hasil budi daya udangnya,” kata Ketua Kompi, Juhadi didampingi Sekretaris Kompi, Iing Rohimin di sela dialog publik Perikanan Budi Daya di ASEAN di Indramayu, Kamis (24/10/13).

Dialog publik yang berlangsung 24-25 Oktober tersebut dihadiri sejumlah petambak tradisional dari berbagai daerah di Jawa Barat, LSM Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan Direktur Produksi Direktorat Produksi Direktorat Jenderal Perikanan Budi Daya, Coco Kokarkim Soetrisno. Dialog tersebut membahas seputar kebijakan Sertifikasi CBIB yang dilegalisasi dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. KEP.02/MEN/2007 tentang Cara Budi Daya Ikan yang Baik.

Sertifikasi tersebut merupakan turunan dari konvensi dunia mengenai sistem standar mutu dan keamanan pangan, seperti Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP), Good Aquaculture Practices (GAP), dan Aquaculture Stewardship Council (ASC). Di sejumlah Asia Tenggara, sertifikasi sejenis kini tengah digenjot pemerintah setempat untuk menghadapi pasar bebas ASEAN 2015.

Juhadi mengungkapkan, sertifikasi CBIB di Indonesia tidak memihak para pembudi daya lokal dengan skala usaha kecil karena membatasi pemasaran dengan menerapkan standardisasi yang belum bisa mereka penuhi. Sebab, saat ini para pembudi daya udang tradisional masih terkendala minimnya fasilitas dan infrastruktur.

Sekretaris Jenderal LSM KIARA, Abdul Halim mengungkapkan, sertifikasi CBIB akan berdampak buruk bagi para pembudi daya udang tradisional, terutama di dua daerah dengan kantong produksi udang terbesar, yaitu Kabupaten Indramayu, Jawa Barat dan Bumi Dipasena, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung.

Di Indramayu, dia mencatat, lahan perikanan budi daya air payau mencapai 22.514 hektare dengan komoditas unggulan meliputi udang, bandeng, dan rumput laut. Pada 2011, jumlah produksi dari tambak tersebut mencapai 101.454 ton dan memasok kebutuhan ikan dan udang sebanyak 40%-60% di Jawa Barat.

“Pemerintah seharusnya mendukung usaha kecil para pembudi daya udang ini dengan memberikan fasilitas dan infrastruktur yang memadai. Bukan malah menerapkan kebijakan baru yang justru mengancam usaha mereka,” tuturnya.

Direktur Produksi Direktorat Produksi Direktorat Jenderal Perikanan Budi Daya, Coco Kokarkim Soetrisno mengakui, keluhan para pembudi daya udang di Indonesia itu juga dirasakan di sejumlah negara lainnya di Asia Tenggara. Dia berjanji untuk tetap melindungi para petambak tradisional dengan melakukan pengawasan teknis di sejumlah tambak.

“Pengawasan teknis ini tujuannya untuk mempertahankan mutu. Jadi jika mutu ikan baik, para petambak akan tetap bisa memasarkan hasil usahanya meski belum dapat sertifikasi,” katanya. (A-192/A-108)***

Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/node/256139

KIARA Protes Keras Reklamasi Pantai di Manado, Ribuan Nelayan Ditelantarkan

KIARA Protes Keras Reklamasi Pantai di Manado

Ribuan Nelayan Ditelantarkan

Jumat, 25/10/2013

NERACA

Jakarta – Koordinator Pendidikan dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Selamet Daroyni, menjelaskan, sejak tahun 2008, KIARA telah mendapatkan pengaduan dari nelayan yang berada di sepanjang  pesisir Manado yang terkena dampak proyek reklamasi pantai.

“Para nelayan menyatakan bahwa luas lahan hasil reklamasi pantai Manado telah mencapai 150 hektar dari 76 hektar yang mendapat izin awal. Proyek ini telah menelantarkan hak hidup ribuan nelayan pantai Manado. Akibat kegiatan reklamasi pantai tersebut, sebanyak 29.500 nelayan di sepanjang pesisir Malalayang hingga Meras terusir dan kehilangan tempat tinggal dan tempat berusaha,” kata Selamet dalam keterangan resminya yang disampaikan ke Neraca, Kamis (24/10).

Menurut data KIARA, intimidasi dan tindak kekerasan terhadap nelayan terus berlangsung selama proses pengurugan lahan. Terakhir pada tanggal 19 Oktober 2013 lalu, sedikitnya 20 satpam dan 6 preman PT Gerbang Nusa Perkasa/PT Kembang Utara melakukan penyerangan terhadap masyarakat nelayan di Ruang Terbuka Pantai Sario Tumpaan, Manado.

“Sebanyak 6 nelayan dan pemuda mengalami luka-luka di bagian kaki, dada, dan wajah akibat lemparan batu. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh orang suruhan PT Gerbang Nusa Perkasa/PT Kembang Utara dan diketahui milik Hengky Wijaya ini, dilakukan saat nelayan hendak melakukan pengukuran tapal batas ruang terbuka pantai dengan wilayah konsesi reklamasi sesuai kesepakatan mediasi yang difasilitasi oleh Komnas HAM pada tanggal 4 September 2010,” ujarnya.

Atas tindakan intimidasi dan kekerasan yang terjadi dan dampak reklamasi pantai manado terhadap lingkungan hidup dan keberlangsungan hidup nelayan yang sangat terancam, KIARA pada Kamis tanggal 24 Oktober 2013 telah mengirim surat protes kepada Walikota Manado dengan tembusan ke berbagai instansi pemerintah di Jakarta dan Manado serta kepada seluruh Media cetak maupun leketronik yang berada di Jakarta maupun di Manado.

Surat tersebut berisi desakan kepada Pemerintah Kota Manado untuk, pertama, sesegera mungkin untuk melakukan penghentian aktivitas reklamasi pantai dan menghentikan pemberian izin reklamasi pantai di seluruh wilayah pantai Manado.

Kedua, menghormati, menaati dan menjalankan kesepakatan hasil mediasi pada tanggal 4 September 2010 yang difasilitasi oleh Komnas HAM. Ketiga, melakukan koordinasi dengan aparat kepolisian setempat untuk melakukan penghentian tindakan premanisme dari perusahaan dan memberikan perlindungan kepada nelayan tradisional Manado.

Keempat, segera melakukan evaluasi internal terhadap kinerja aparatur pemerintahan kota Manado, terutama bagi unit-unit kerja yang berkaitan dengan perizinan pengelolaan lahan guna mencegah terjadinya pelanggaran terhadap peraturan perudang-undangan yang lebih tinggi dan merugikan masyarakat.

Kelima, memberikan perlindungan dan pengakuan hak bagi keberadaan para nelayan tradisional,  Sebagaimana dimanatkan dalam pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Di samping itu, KIARA juga menilai, konflik yang berujung pada kekerasan ini seharusnya tidak terjadi bila pemerintah kota dan para pengusaha properti menghormati peraturan perundang-undangan. Dari hasil temuan lapangan diketahui bahwa keluarnya izin reklamasi pantai tidak sesuai dengan mekanisme izin lingkungan sebagaimana di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dimana dalam prosesnya tidak ada konsultasi publik dan tidak ada kajian yang memadai terkait dengan dampak lingkungan hidup, ekonomi, sosial dan budaya serta dampak teknis yang akan memberikan dampak penting bagi keberlangsungan kehidupan nelayan tradisional Manado.

Lebih dari itu, sebut KIARA, para nelayan tradisional berpedoman kepada hasil putusan perkara Gugatan Hukum (Judicial Review) terhadap Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada tanggal 16 Juni 2011, terkhusus pasal Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3), Mahkamah Konstitusi menetapkan pengkavlingan, privatisasi dan komersialisasi perairan pesisir dan pulau-pulau kecil adalah bertentangan dengan Konstitusi.

“Mahkamah Konstitusi juga menegaskan adanya 4 hak konstitusional masyarakat nelayan tradisional dan adat, yang tidak boleh dirampas atau ditukar-gulingkan. Yaitu, hak untuk melintas; hak untuk mengelola sumber daya dan kaidah budaya nya; hak memanfaatkan sumber daya; dan, hak mendapatkan lingkungan perairan yang sehat dan bersih. Secara otomatis, kegiatan pengusahaan pesisir laut oleh individu mau lembaga swasta dalam bentuk apapun merupakan perbuatan melawan hukum, dan merupakan kejahatan serius,” tegas surat tersebut.

Sumber: http://www.neraca.co.id/harian/article/34408/KIARA.Protes.Keras.Reklamasi.Pantai.di.Manado

KIARA Protes Keras Reklamasi Pantai di Manado, Ribuan Nelayan Ditelantarkan

KIARA Protes Keras Reklamasi Pantai di Manado

Ribuan Nelayan Ditelantarkan

Jumat, 25/10/2013

NERACA

Jakarta – Koordinator Pendidikan dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Selamet Daroyni, menjelaskan, sejak tahun 2008, KIARA telah mendapatkan pengaduan dari nelayan yang berada di sepanjang  pesisir Manado yang terkena dampak proyek reklamasi pantai.

“Para nelayan menyatakan bahwa luas lahan hasil reklamasi pantai Manado telah mencapai 150 hektar dari 76 hektar yang mendapat izin awal. Proyek ini telah menelantarkan hak hidup ribuan nelayan pantai Manado. Akibat kegiatan reklamasi pantai tersebut, sebanyak 29.500 nelayan di sepanjang pesisir Malalayang hingga Meras terusir dan kehilangan tempat tinggal dan tempat berusaha,” kata Selamet dalam keterangan resminya yang disampaikan ke Neraca, Kamis (24/10).

Menurut data KIARA, intimidasi dan tindak kekerasan terhadap nelayan terus berlangsung selama proses pengurugan lahan. Terakhir pada tanggal 19 Oktober 2013 lalu, sedikitnya 20 satpam dan 6 preman PT Gerbang Nusa Perkasa/PT Kembang Utara melakukan penyerangan terhadap masyarakat nelayan di Ruang Terbuka Pantai Sario Tumpaan, Manado.

“Sebanyak 6 nelayan dan pemuda mengalami luka-luka di bagian kaki, dada, dan wajah akibat lemparan batu. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh orang suruhan PT Gerbang Nusa Perkasa/PT Kembang Utara dan diketahui milik Hengky Wijaya ini, dilakukan saat nelayan hendak melakukan pengukuran tapal batas ruang terbuka pantai dengan wilayah konsesi reklamasi sesuai kesepakatan mediasi yang difasilitasi oleh Komnas HAM pada tanggal 4 September 2010,” ujarnya.

Atas tindakan intimidasi dan kekerasan yang terjadi dan dampak reklamasi pantai manado terhadap lingkungan hidup dan keberlangsungan hidup nelayan yang sangat terancam, KIARA pada Kamis tanggal 24 Oktober 2013 telah mengirim surat protes kepada Walikota Manado dengan tembusan ke berbagai instansi pemerintah di Jakarta dan Manado serta kepada seluruh Media cetak maupun leketronik yang berada di Jakarta maupun di Manado.

Surat tersebut berisi desakan kepada Pemerintah Kota Manado untuk, pertama, sesegera mungkin untuk melakukan penghentian aktivitas reklamasi pantai dan menghentikan pemberian izin reklamasi pantai di seluruh wilayah pantai Manado.

Kedua, menghormati, menaati dan menjalankan kesepakatan hasil mediasi pada tanggal 4 September 2010 yang difasilitasi oleh Komnas HAM. Ketiga, melakukan koordinasi dengan aparat kepolisian setempat untuk melakukan penghentian tindakan premanisme dari perusahaan dan memberikan perlindungan kepada nelayan tradisional Manado.

Keempat, segera melakukan evaluasi internal terhadap kinerja aparatur pemerintahan kota Manado, terutama bagi unit-unit kerja yang berkaitan dengan perizinan pengelolaan lahan guna mencegah terjadinya pelanggaran terhadap peraturan perudang-undangan yang lebih tinggi dan merugikan masyarakat.

Kelima, memberikan perlindungan dan pengakuan hak bagi keberadaan para nelayan tradisional,  Sebagaimana dimanatkan dalam pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Di samping itu, KIARA juga menilai, konflik yang berujung pada kekerasan ini seharusnya tidak terjadi bila pemerintah kota dan para pengusaha properti menghormati peraturan perundang-undangan. Dari hasil temuan lapangan diketahui bahwa keluarnya izin reklamasi pantai tidak sesuai dengan mekanisme izin lingkungan sebagaimana di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dimana dalam prosesnya tidak ada konsultasi publik dan tidak ada kajian yang memadai terkait dengan dampak lingkungan hidup, ekonomi, sosial dan budaya serta dampak teknis yang akan memberikan dampak penting bagi keberlangsungan kehidupan nelayan tradisional Manado.

Lebih dari itu, sebut KIARA, para nelayan tradisional berpedoman kepada hasil putusan perkara Gugatan Hukum (Judicial Review) terhadap Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada tanggal 16 Juni 2011, terkhusus pasal Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3), Mahkamah Konstitusi menetapkan pengkavlingan, privatisasi dan komersialisasi perairan pesisir dan pulau-pulau kecil adalah bertentangan dengan Konstitusi.

“Mahkamah Konstitusi juga menegaskan adanya 4 hak konstitusional masyarakat nelayan tradisional dan adat, yang tidak boleh dirampas atau ditukar-gulingkan. Yaitu, hak untuk melintas; hak untuk mengelola sumber daya dan kaidah budaya nya; hak memanfaatkan sumber daya; dan, hak mendapatkan lingkungan perairan yang sehat dan bersih. Secara otomatis, kegiatan pengusahaan pesisir laut oleh individu mau lembaga swasta dalam bentuk apapun merupakan perbuatan melawan hukum, dan merupakan kejahatan serius,” tegas surat tersebut.

Sumber: http://www.neraca.co.id/harian/article/34408/KIARA.Protes.Keras.Reklamasi.Pantai.di.Manado