• 0Shopping Cart
KIARA
  • Beranda
  • Tentang
  • Mandat & Program
  • Publikasi
  • Berita Pesisir
  • Kontak
  • English EN
  • French FR
  • Search
  • Menu

Pembangunan Giant Sea Wall Singkirkan Nelayan

October 16, 2014/in IUU Fishing, Kampanye & Advokasi, Pengelolaan Pesisir & Pulau - Pulau Kecil, Reformasi Kebijakan /by adminkiara

Pembangunan Giant Sea Wall Singkirkan Nelayan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim menilai pembanguan “Giant Sea Wall” yang bernilai ratusan triliun rupiah bisa bencana ekologis dan menyingkirkan nelayan dari ruang hidupnya.

“Proyek ini sangat merusak ekosistem pesisir Teluk Jakarta, kerusakan hutan mangrove dan terumbu karang akan menyebabkan bencana ekologis yang lebih besar,” katanya di Jakarta, Rabu (15/10).

Halim menjelaskan dalam pelaksanaan reklamasi pantai Jakarta seluas 2500 hektar, sepanjang tahun 2000-2011 sedikitnya 3.579 kepalakeluarga nelayan tergusur.

“Dalam proyek ini sedikitnya 16.855 nelayan akan kembali lagi di gusur dari ruang hidup dan ruang usahanya,” katanya menambahkan.

Ia mengatakan proyek ini memiliki banyak masalah selain menyingkirkan warga dan nelayan juga ternyata tidak bisa menyelesaikan persoalan banjir dan krisis air warga Jakarta.

“Bencana ekologis pasti terjadi seperti hilangnya ikan diperairan utara Jakarta, mengurangi potensi pariwisata bahari karena rusaknya laut serta abrasi di pesisir teluk Banten maupun pantai utara Jawa,” papar Abdul Halim.

Ia mengatakan proyek ini juga akan mengorbankan perempuan nelayan yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga nelayan dalam membantu mengolah ikan secara tradisional.

Salah satu solusi alternatif yang dapat dilakukan dengan menjalankan konsep “River Dike” seperti yang disampaikan oleh Ketua Kelompok Teknik Kelautan ITB Muslim Muin.

“Konsep ini lebih murah daripada pembangunan “Giant Sea Wall” cukup dengan tanggul sepanjang pantai pada daerah yang mengalami penurunan tanah dan mempertinggi tanggul sungai dan tidak perlu menutup fasilitas yang sudah ada,” tutupnya.

 

Sumber: http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/14/10/16/ndi7eb-pembangunan-giant-sea-wall-singkirkan-nelayan

 

https://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2014/10/Aksi-tolak-giant-sea-wall_Berita-satu-3-1.jpg 576 909 adminkiara http://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2016/03/kiara-FA-e1652968054749-300x90.png adminkiara2014-10-16 15:18:222014-10-16 15:18:22Pembangunan Giant Sea Wall Singkirkan Nelayan

Proyek Giant Sea Wall Rugikan Warga Jakarta

October 15, 2014/in Siaran Pers /by adminkiara

Siaran Pers Bersama

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Jakarta

 

Proyek Giant Sea Wall Rugikan Warga Jakarta

Jakarta, 15 Oktober 2014. Proyek MP3EI, Giant Sea Wall bernilai Rp. 600 triliun yang telah di resmikan pelaksanaannya (groundbreaking) pada tanggal 9 Ok tober 2014 lalu ternyata memiliki banyak masalah serius. Selain akan menggusur ribuan warga dan nelayan, juga tidak dapat menyelesaikan persoalan banjir dan krisis air yang selama ini menjadi langganan bagi warga Jakarta. Lebih dari itu, proyek ini melanggar ketentuan perundang-undangan, karena tidak memiliki izin lingkungan serta tidak berbasis hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).

Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) merupakam cara baru untuk penghancuran sumber daya alam sekaligus memicu bancana ekologis dan menyingkirkan warga dari ruang hidupnya. Giant Sea Wall merupakan bagian dari skema MP3EI setelah pemerintah DKI Jakarta gagal melindungi bisnis properti perumahan dan pergudangan dilahan hasil reklamasi pantai.

Pemerintah tidak pernah secara serius memperhatikan hak-hak nelayan tradisional Jakarta. Dalam pelaksanaan proyek Reklamasi pantai Jakarta seluas 2500 ha, sepanjang tahun 2000-2011, sedikitnya 3.579 Kepala Keluarga nelayan tergusur. Dalam proyek Giant Sea Wall ini sedikitnya 16.855 nelayan akan kembali lagi digusur dari ruang hidup dan ruang usahanya.

Proyek ini sangat merusak ekosistem pesisir Teluk Jakarta. Kerusakan hutan mangrove dan terumbu karang akan menyebabkan bencana ekologis yang lebih besar, antara lain hilangnya ikan di perairan utara Jakarta, mengurangi potensi pariwisata bahari karena rusaknya laut, serta abrasi di pesisir teluk Banten maupun pantai utara Jawa karena tambang pasir untuk pembuatan pulau buatan.

Proyek ini menggunakan jasa konsultasi dan juga pinjaman hutang luar negeri dari Belanda. Hal ini didasarkan pada kemampuan kota Rotterdam untuk mengatasi banjir. Padahal kondisi Belanda dan Indonesia sama sekali berbeda. Belanda yang berada di kawasan sub-tropis tentu karakteristik pesisirnya tidak sama dengan Indonesia yang berada di perairan tropis. Nilai ekologis, ekonomis dan sosial ekosistem pesisir sub-tropis tidak lah setinggi nilai ekosistem pesisir tropis. Oleh karena itu, pendekatan reklamasi dan pembangunan tembok raksasa di Teluk Jakarta juga menjadi tidak relevan dan lemah secara argumentasi ketika harus mengorbankan ekosistem pesisirnya.

 

Beberapa dampak yang akan muncul akibat Pembanguna Giant Sea di teluk Jakarta bagi nelayan di utara Jakarta antara lain:

Isu Penjelasan Perkiraan Dampak
Konsultasi Publik Perwakilan nelayan menyatakan bahwa mereka tidak pernah diinformasikan dan dilibatkan dalam perencanaan proyek GSW. Konflik sosial, penggusuran sebanyak 16.855 nelayan
Degradasi Lingkungan Proyek GSW diyakini akan semakin memperparah pencemaran di Teluk Jakarta, juga menghancurkan ekosistem mangrove dan terumbu karang yang tersisa. Jika ekosistem pesisir rusak, maka tidak akan ada lagi ikan di pesisir sehingga biaya melaut semakin tinggi dan beresiko
Akses Sumberdaya Masyarakat pesisir mempunyai hak dasar untuk mengakses sumber daya alam pesisir. Tetapi hak tersebut terhalang oleh kegiatan pengkaplingan pantai dan reklamasi yang menjadi bagian dari proyek GSW. Perempuan nelayan sebagai tulang punggung kegiatan perikanan tradisional di pesisir utara Jakarta akan semakin sengsara
Relokasi Nelayan Solusi memindahkan kampung nelayan ke rumah susun sangat tidak berpihak pada kepentingan nelayan. Pembangunan kanal sebagai “pintu masuk dan keluar” nelayan untuk melaut justru akan menganggu keberadaan sumberdaya ikan di utara Jakarta. Karakteristik kehidupan nelayan tidak dapat di jauhkan dari laut, dengan merelokasi ke rusun sama halnya dengan membunuh budaya melaut para nelayan.
Pencemaran Belum adanya kajian AMDAL dan studi komprehensif KLHS membuat proyek GSW ini lebih berpotensi mencemari lingkungan daripada penyediaan bahan baku air tawar. Debit air sungai yang melambat akan mempercepat proses pembusukan air sehingga berpotensi menyebarkan penyakit bagi masyarakat nelayan

Sumber: Pusat Data dan Indormasi KIARA, Oktober 2014.

Proyek GSW ini juga akan mengorbankan perempuan nelayan yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga nelayan. Jika proyek yang tak berpihak pada nelayan ini dilanjutkan maka berbagai perkiraan dampak yang telah dijelaskan di atas sangat mungkin menjadi kenyataan. Sumber daya ikan yang hilang di pesisir membuat nelayan harus melaut jauh dari pantai sehingga memakan biaya sangat tinggi dan juga sangat beresiko dalam hal keselamatan melaut.

Belum adanya skema asuransi nelayan membuat perempuan nelayan akan menanggung semua dampak buruk jika kecelakaan laut terjadi. Akibatnya, ekonomi masyarakat nelayan yang sudah memprihatinkan akan membuat perempuan nelayan semakin menderita. Selama ini, perempuan nelayan ikut membantu mengolah ikan secara tradisional, sebuah usaha rumah tangga yang terancam karena proyek GSW tersebut. Pemerintah juga masih belum berpihak dan memberikan perhatian pada perempuan nelayan meski hanya lewat pemberian kemudahan untuk mengakses modal usaha. Sebuah ketidakadilan yang terus dipelihara oleh negara.

Jakarta perlu dibenahi, namun menyelesaikan banjir dan krisis air Jakarta bukan dengan membangun tanggul laut. Salah satu solusi alternative yang dapat dilakukan adalah dengan menjalankan konsep River Dike, seperti yang disampaikan oleh Muslim Muin dari ITB. Juga segera memperbaiki tata ruang Jakarta dan kota di sekitarnya. Lebih baik memperbaiki hulu 13 sungai daripada membendungnya di hilir (teluk Jakarta). Bendungan raksasa memungkinkan menjadi “comberan raksasa” daripada wadah penyedia bahan baku air minum.

 

Untuk Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

  1. Abdul Halim (Sekjend KIARA) di 0815 5310 0259
  2. Muhammad Taher (KNTI Jakarta) di 0813 1481 4823
https://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2014/10/aksi-Nelayan-Jakarta-tolak-Giant-Sea-Wall.jpg 688 1035 adminkiara http://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2016/03/kiara-FA-e1652968054749-300x90.png adminkiara2014-10-15 18:06:592014-10-15 18:06:59Proyek Giant Sea Wall Rugikan Warga Jakarta

Hentikan Proyek “Giant Sea Wall”!

October 7, 2014/in Kampanye & Advokasi, Pengelolaan Pesisir & Pulau - Pulau Kecil, Reformasi Kebijakan /by adminkiara

Hentikan Proyek “Giant Sea Wall”!

 

JAKARTA, KOMPAS.com – Proyek giant sea wall sangat potensial menggusur 16.855 nelayan Jakarta, baik yang menetap maupun pendatang. Sementara itu, persoalan banjir dan krisis air yang menjadi ancaman serius bagi keselamatan warga Jakarta tetap tidak terjawab.

“Dengan ongkos pemeliharaan Rp 1 triliun setiap tahun dan diambil dari uang negara, maka sesungguhnya pemerintah telah melakukan tindakan yang sangat tidak adil dan tidak manusiawi,” ujar Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Selasa (7/10/2014).

Menurut dia, Pemerintah sudah seharusnya menghentikan rencana pembangunan giant sea wall di Teluk Jakarta. Akan lebih tepat, lanjut Halim, pemerintah segera menjalankan pembangunan Jakarta secara partisipatif yang dapat meningkatkan daya dukung lingkungan hidup dan menyelamatkan Jakarta dari bencana ekologis berupa banjir, krisis air dan lain-lain.

“Secara logis, bendungan tentu akan memperlambat debit air yang mengakibatkan pendangkalan sungai-sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Akibatnya, selain biaya yang besar, juga diperlukan untuk normalisasi sungai-sungai tersebut,” kata Halim.

“Belum lagi kemunduran garis pantai yang diakibatkan proses sedimentasi yang berkurang seiring rusaknya hutan mangrove sebagai perangkap alami sedimen dari daratan maupun lautan,” tambahnya.

Halim mengatakan, dari masalah-masalah tersebut, pendekatan prinsip kehati-hatian (theprecautionary principle) mutlak diberlakukan sebagaimana tercantum dalam prinsip ke 15 dalam Deklarasi Rio tahun 1992 yang juga menjadi landasan dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam prinsip tersebut dinyatakan bahwa, “Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty shall not be used as a reason for postponing cost-effective measures to prevent environmental degradation“.

“Prinsip tersebut muncul jika terdapat ancaman kerugian yang serius atau tidak bisa dipulihkan, pengambil keputusan tidak dapat menggunakan kurangnya kepastian atau bukti ilmiah sebagai alasan untuk menunda dilakukannya upaya pencegahan atas ancaman tersebut. Jika pihak yang berwenang tidak mempunyai cukup bukti yang meyakinkan tentang akibat sebuah kegiatan terhadap lingkungan, maka izin kegiatan tersebut tidak boleh dikeluarkan,” kata Halim.

Intinya, lanjut dia, jika pemerintah sebagai pihak yang berwenang tidak memiliki bukti ilmiah bahwa tidak akan ada kerusakan lingkungan yang tak dapat dipulihkan, maka kegiatan tersebut harus kembali pada pertimbangan kepentingan kelestarian lingkungan.

Sebelumnya Halim mengatakan, proyek giant sea wall menuai keragu-raguan kuat dari banyak pihak, baik dari akademisi dan masyarakat sipil untuk membuat bendungan raksasa di teluk Jakarta. Bahkan, belakangan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Putra atau Ahok, mulai tidak percaya diri untuk melanjutkan proyek bernilai Rp 250 Triliun lebih itu.

Keraguan Ahok dapat dipahami setelah melihat langsung kegagalan proyek bendungan laut Semaguem di Korea Selatan. Secara faktual kota tersebut hanya dilalui oleh satu sungai dan berakhir dengan kondisi bendungan yang tercemar.

“Hal tersebut jelas tidak sesuai dengan rencana pemerintah untuk menjadikan giant sea wall yang selain sebagai penahan gelombang, juga sebagai tempat penampuangan bahan baku air minum,” ujar Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) di Jakarta, Selasa (7/10/2014).

 

Sumber: http://properti.kompas.com/index.php/read/2014/10/07/134025221/Hentikan.Proyek.Giant.Sea.Wall

https://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2014/10/reklamasi-di-teluk-Jakarta.jpg 254 448 adminkiara http://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2016/03/kiara-FA-e1652968054749-300x90.png adminkiara2014-10-07 15:02:212014-10-07 15:02:21Hentikan Proyek "Giant Sea Wall"!

Pembangunan “Giant Sea Wall” Tak Relevan Lagi untuk Jakarta

October 7, 2014/in Kampanye & Advokasi, Pengelolaan Pesisir & Pulau - Pulau Kecil, Reformasi Kebijakan /by adminkiara

Pembangunan “Giant Sea Wall” Tak Relevan Lagi untuk Jakarta

 

JAKARTA, KOMPAS.com – Proyek giant sea wall menuai keragu-raguan kuat dari banyak pihak, baik dari akademisi dan masyarakat sipil untuk membuat bendungan raksasa di teluk Jakarta. Bahkan, belakangan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Putra atau Ahok, mulai tidak percaya diri untuk melanjutkan proyek bernilai Rp 250 Triliun lebih itu.

Keraguan Ahok dapat dipahami setelah melihat langsung kegagalan proyek bendungan laut Semaguem di Korea Selatan. Secara faktual kota tersebut hanya dilalui oleh satu sungai dan berakhir dengan kondisi bendungan yang tercemar.

“Hal tersebut jelas tidak sesuai dengan rencana pemerintah untuk menjadikan giant sea wallyang selain sebagai penahan gelombang, juga sebagai tempat penampuangan bahan bakuair minum,” ujar  Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) di Jakarta, Selasa (7/10/2014).

Halim mengatakan, kondisi Teluk Jakarta merupakan muara dari 13 sungai sehingga akan semakin memperbesar kemungkinan pencemaran di Teluk Jakarta. Sebabnya, menurut dia, proses sedimentasi secara alami yang terganggu.

Tak heran, belakangan Ahok sendiri “putar haluan” dengan keinginannya menjadikan bendungan laut di Rotterdam, Belanda, sebagai referensi untuk memuluskan proyek yang diklaim bisa mencegah Jakarta dari langganan banjir. Padahal, kata Halim, pendekatan “keras” terhadap solusi banjir di wilayah pesisir sudah tak lagi menjadi tren.

“Bahkan, di Belanda sekalipun konon sebagian besar wilayahnya berada di bawah permukaan laut,” ujar Halim.

Pada sebuah tulisan berjudul “The Transition in Dutch Water Management” (Wan der Brugge, et al, 2005) menyebutkan, bahwa pendekatan teknis dengan membangun konstruksi untuk melawan air seharusnya diimbangi dengan pendekatan kolaboratif antara aspek teknis dan sosial serta ekologi. Di Belanda sendiri, pernah terjadi banjir besar pada 1953 yang mengakibatkan kerugian hebat khususnya kota Rotterdam. Tercatat kurang lebih 2000 orang meninggal dan 47.300 rumah hancur disapu banjir.

Di buku tersebut juga disebutkan, untuk merespon bencana tersebut dibangun dam atau bendungan raksasa yang mengawal pesisir Belanda. Pada perkembangannya, banyak bangunan bersejarah dan ruang hijau yang dikorbankan dan akhirnya membuat masyarakat melakukan protes. Salah satu contoh nyata pada 1970, yaitu proyek Eastern Scheldt Dam di Oosterschelde.

“Sejak saat itu, pendekatan yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda adalah mengedepankan konsep adaptasi dibanding mitigasi. Misalnya, lewat pembahasan bersama rencana menanggulangi banjir dengan berbagai pihak terkait seperti antar pemerintah, masyarakat, akademisi, pemilik tanah, pengusaha,” kata Halim.

Halim mengatakan, kecenderungan mengadopsi teknologi dengan pendekatan kaca mata kuda dan merusak keseimbangan alam tentu akan merugikan kota Jakarta itu sendiri. Belanda, yang berada di kawasan sub-tropis, tentu karakteristik pesisirnya tidak sama dengan Indonesia yang berada di perairan tropis.

“Nilai ekologis, ekonomis dan sosial ekosistem pesisir sub-tropis tidaklah setinggi nilai ekosistem pesisir tropis. Karena itu, pendekatan reklamasi dan pembangunan tembok raksasa di Teluk Jakarta juga tidak relevan dan lemah secara argumentasi ketika harus mengorbankan ekosistem pesisirnya,” kata Halim.

 

Sumber: http://properti.kompas.com/read/2014/10/07/113939521/Pembangunan.Giant.Sea.Wall.Tak.Relevan.Lagi.untuk.Jakarta#komentar

https://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2014/10/reklamasi-PIK.jpg 336 448 adminkiara http://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2016/03/kiara-FA-e1652968054749-300x90.png adminkiara2014-10-07 15:00:172014-10-07 15:00:17Pembangunan "Giant Sea Wall" Tak Relevan Lagi untuk Jakarta

Government Should Withdraw Salt Import Policy : Kiara

October 7, 2014/in Kampanye & Advokasi, Pertambakan dan Mangrove, Reformasi Kebijakan /by adminkiara

Government Should Withdraw Salt Import Policy : Kiara

Jakarta (Antara) – The People’s Coalition for Fishery Justice is asking the government to withdraw its salt import policy, claiming it harms local salt farmers.

“The government should be seriously considering how to increase the quality and production of local salt, so it will compete in the free market to fill the nation’s need for salt and to increase the welfare of salt farmers,” Kiara’s Coordinator of Education and Networks Strengthening, Selamet Daroyni, said here on Friday.

He insisted the Ministry of Marine Affairs and Fisheries, Ministry of Industry, and Ministry of Trade immediately withdraw the policy because it is causing a decrease in salt production.

“The price of local salt is only Rp350 per kilogram, while the price of imported salt is Rp1.300 per kilogram. It really is a disservice for farmers,” he said.

He further said the government has the responsibility for the welfare of the people by withdrawing the salt import policy, building the infrastructure to improve the quality of local salt, as well as promoting andmarketing salt farmers’ products.

He said he hoped the next President, Joko Widodo, would revise the salt policy into a ‘one door’ policy, stopthe importing practices, and successfully bring prosperity to Indonesian salt farmers.

“Some of the farmers are now bankrupt because the income from salt is no longer meeting their daily needs,” he stated.

Based on the data from the Central Statistics Agency 2013, imported salt from Australia reached 128 thousand tons, valued at 5,73 million US dollars, while imported salt from New Zealand measured 143 thousand tons and was worth 60,3 million US dollars. (*)

Editor : FAROCHA
Source: http://www.antarajatim.com/lihat/berita/142033/government-should-withdraw-salt-import-policy-kiara
https://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2014/09/Petani-Garam-Tradisional-Sumenep-Madura-3-1.jpg 426 640 adminkiara http://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2016/03/kiara-FA-e1652968054749-300x90.png adminkiara2014-10-07 11:59:242014-10-07 11:59:24Government Should Withdraw Salt Import Policy : Kiara

KIARA: Giant Sea Wall Untungkan Pengusaha Properti, Melanggar Hak Warga dan Merusak Daya Dukung Lingkungan

October 7, 2014/in Siaran Pers /by adminkiara

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

KIARA: Giant Sea Wall Untungkan Pengusaha Properti, Melanggar Hak Warga dan Merusak Daya Dukung Lingkungan

Jakarta, 7 Oktober 2014, Proyek Giant Sea Wall menuai keragu-raguan yang kuat dari banyak pihak baik dari akademisi dan masyarakat sipil untuk membuat bendungan raksasa di teluk Jakarta. Bahkan belakangan wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Putra (Ahok) mulai tidak percaya diri untuk melanjutkan proyek bernilai Rp.250 Triliun lebih tersebut. Keraguan Ahok dapat dipahami setelah melihat langsung kegagalan proyek bendungan laut Semaguem di Korea Selatan. Secara faktual kota tersebut hanya dilalui oleh satu sungai saja dan berakhir dengan kondisi bendungan yang tercemar. Hal tersebut jelas tidak sesuai dengan rencana pemerintah untuk menjadikan Giant Sea Wall yang selain sebagai penahan gelombang juga sebagai tempat penampuangan bahan baku air minum. Kondisi dimana Teluk Jakarta merupakan muara dari 13 sungai akan semakin memperbesar kemungkinan pencemaran di Teluk Jakarta karena proses sedimentasi secara alami yang terganggu.

Belakangan Ahok ingin menjadikan bendungan laut di Rotterdam Belanda sebagai referensi untuk memuluskan proyek yang diklaim bisa mencegah Jakarta dari langganan banjir. Padahal pendekatan “keras” terhadap solusi banjir di wilayah pesisir sudah tidak lagi menjadi trend, bahkan di Belanda sekalipun yang konon sebagian besar wilayahnya berada di bawah permukaan laut. Dalam sebuah tulisan berjudul “The Transition in Dutch Water Management” (van der Brugge, et al, 2005) menyebutkan bahwa pendekatan teknis dengan membangun konstruksi untuk melawan air seharusnya diimbangi dengan pendekatan kolaboratif antara aspek teknis dan sosial serta ekologi. Di Belanda sendiri, pernah terjadi banjir besar pada 1953 yang mengakibatkan kerugian hebat khususnya kota Rotterdam. Tercatat kurang lebih 2000 orang meninggal dan 47.300 rumah hancur disapu banjir.

Dalam buku tersebut juga di sebutkan. Merespon bencana tersebut, dibangunlah dam atau bendungan raksasa yang mengawal pesisir Belanda. Pada perkembangannya, banyak bangunan bersejarah dan ruang hijau yang dikorbankan akhirnya membuat masyarakat melakukan protes (contohnya pada 1970 yaitu proyek Eastern Scheldt Dam di Oosterschelde). Sejak saat itu, pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda adalah mengedepankan konsep adaptasi dibanding mitigasi. Misalnya melalui pembahasan bersama rencana menanggulangi banjir dengan berbagai pihak terkait seperti antar pemerintah, masyarakat, akademisi, pemilik tanah, pengusaha.

Kecendrungan mengadopsi teknologi dengan pendekatan kaca mata kuda dan merusak keseimbangan alam tentu akan merugikan kota Jakarta itu sendiri. Belanda yang berada di kawasan sub-tropis tentu karakteristik pesisirnya tidak sama dengan Indonesia yang berada di perairan tropis. Nilai ekologis, ekonomis dan sosial ekosistem pesisir sub-tropis tidak lah setinggi nilai ekosistem pesisir tropis. Oleh karena itu, pendekatan reklamasi dan pembangunan tembok raksasa di Teluk Jakarta juga menjadi tidak relevan dan lemah secara argumentasi ketika harus mengorbankan ekosistem pesisirnya.

Secara logis, bendungan tentu akan memperlambat debit air yang mengakibatkan pendangkalan sungai-sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Akibatnya, biaya yang besar  juga diperlukan untuk normalisasi sungai-sungai tersebut. Belum lagi kemunduran garis pantai yang diakibatkan proses sedimentasi yang berkurang seiring rusaknya hutan mangrove sebagai perangkap alami sedimen dari daratan maupun lautan.

Dari masalah tersebut, pendekatan prinsip kehati-hatian (the precautionary principle) mutlak diberlakukan sebagaimana tercantum dalam prinsip ke 15 dalam Deklarasi Rio tahun 1992 yang juga menjadi landasan dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam prinsip tersebut dinyatakan bahwa, “Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty shall not be used as a reason for postponing cost-effective measures to prevent environmental degradation”.

Prinsip tersebut muncul jika terdapat ancaman kerugian yang serius atau tidak bisa dipulihkan, pengambil keputusan tidak dapat menggunakan kurangnya kepastian atau bukti ilmiah sebagai alasan untuk menunda dilakukannya upaya pencegahan atas ancaman tersebut. Jika pihak yang berwenang tidak mempunyai cukup bukti yang meyakinkan tentang akibat sebuah kegiatan terhadap lingkungan, maka izin kegiatan tersebut tidak boleh dikeluarkan. Intinya, jika pemerintah sebagai pihak yang berwenang tidak memiliki bukti ilmiah bahwa tidak akan ada kerusakan lingkungan yang tak dapat dipulihkan, maka kegiatan tersebut harus kembali pada pertimbangan kepentingan kelestarian lingkungan.

Selain itu, proyek giant sea wall ini potensial menggusur 16.855 nelayan Jakarta baik yang menetap maupun pendatang. Sementara itu, persoalan banjir dan krisis air yang menjadi ancaman serius bagi keselamatan warga Jakarta tetap tidak terjawab. Dengan ongkos pemeliharaan Rp. 1 triliun setiap tahun dan diambil dari uang negara, maka sesungguhnya pemerintah telah melakukan tindakan yang sangat tidak adil dan tidak manusiawi.

Untuk itu, Pemerintah sudah seharusnya menghentikan rencana pembangunan Giant Sea Wall di Teluk Jakarta. Akan lebih tepat pemerintah segera menjalankan pembangunan kota Jakarta secara partisipatif yang dapat meningkatkan daya dukung lingkungan hidup dan menyelamatkan Jakarta dari bencana ekologis berupa banjir, krisis air dan lain-lain.

Untuk Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

Abdul Halim (Sekjend KIARA) di +62815 5310 0259

http://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2016/03/kiara-FA-e1652968054749-300x90.png 0 0 adminkiara http://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2016/03/kiara-FA-e1652968054749-300x90.png adminkiara2014-10-07 11:08:062014-10-07 11:08:06KIARA: Giant Sea Wall Untungkan Pengusaha Properti, Melanggar Hak Warga dan Merusak Daya Dukung Lingkungan

Kiara Tolak Harga BBM Bersubsidi Naik untuk Nelayan

October 3, 2014/in Kampanye & Advokasi, Reformasi Kebijakan /by adminkiara

Kiara Tolak Harga BBM Bersubsidi Naik untuk Nelayan

Laporan: Widya Victoria

RMOL. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menentang rencana pemerintah kembali menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada awal 2015.

Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan Kiara, Slamet Daryoni menekankan, kebijakan menaikkan BBM bersubsidi hanya akan menambah angka kemiskinan masyarakat pesisir karena biaya melaut semakin tinggi. Sedangkan,  harga ikan di pasaran sulit mengalami kenaikan akibat mekanisme pasar.

“Kami berharap presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) memikirkan pengelolaan dan pendistribusian BBM bersubsidi yang tepat sasaran kepada nelayan tradisional.” katanya di Jakarta, Jumat (26/9).

Ia menjelaskan, semenjak diberlakukannya kebijakan pembatasan pendistribusian BBM bersubsidi, nelayan semakin sulit mendapatkan bahan bakar kapal, bahkan sebagian besar tidak melaut karena tidak mendapatkan BBM untuk melaut. Sementara untuk turun ke laut, nelayan harus menyiapkan sedikitnya 60 hingga 70 persen dari total ongkos produksinya.

“Seharusnya pemerintah mengkaji dan mencari solusi, bagaimana mengatasi penyelewengan penyaluran BBM bersubsidi, karena selama ini, sebagian besar BBM bersubsidi hanya dinikmati pengusaha, industri perikanan,” ujarnya.[wid]

 

Sumber: http://ekbis.rmol.co/read/2014/09/26/173612/Kiara-Tolak-Harga-BBM-Bersubsidi-Naik-untuk-Nelayan-

https://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2014/02/Untitled-1.jpg 315 980 adminkiara http://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2016/03/kiara-FA-e1652968054749-300x90.png adminkiara2014-10-03 17:06:582014-10-03 17:06:58Kiara Tolak Harga BBM Bersubsidi Naik untuk Nelayan

Sudah 207 Nelayan Tewas dalam Kecelakaan Laut

October 3, 2014/in Kampanye & Advokasi, Reformasi Kebijakan /by adminkiara

Sudah 207 Nelayan Tewas dalam Kecelakaan Laut

Laporan: Widya Victoria

RMOL. Pemerintah perlu memberikan jaminan perlindungan jiwa kepada nelayan. Sebab, jumlah nelayan yang meninggal akibat kecelakaan saat beraktivitas di tengah laut terus mengalami peningkatan selama empat tahun terakhir.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mencatat, pada tahun 2010 ada 86 nelayan meninggal, meningkat menjadi 149 orang pada 2011 dan sebanyak 160 orang pada 2012. Bertambah lagi di tahun 203 menjadi 225 nelayan tradisional yang meninggal.

Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan Kiara, Slamet Daryoni memperkirakan, tahunini angka kecelakaan kapal nelayan yang menimbulkan korban jiwa akan mengalami peningkatan seiring kondisi cuaca buruk di perairan yang semakin ekstrem.

“Apalagi, hingga Juli 2014 sudah ada 207 nelayan yang meninggal akibat kecelakaan di laut, tentu angka tersebut diperkirakan terus meningkat hingga akhir tahun nanti,” katanya diJakarta, Kamis (25/9).

Sebagian besar kapal nelayan tradisional berukuran kecil ini tidak memiliki alat keselamatan sehingga dengan mudah dihantam gelombang disertai angin kencang. Mereka berlayar tanpa perlindungan dan jaminan jiwa, sosial kesehatan maupun pendidikan dari pemerintah. Selain itu, semakin sulitnya akses melaut akibat praktik pembangunan yang tidak ramah lingkungan, serta ancaman bencana yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seiring perubahan iklim yang cukup ekstrem.

Berdasarkan Pasal 7 ayat 2 UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, status cuaca ekstrem di laut semestinya dikategorikan sebagai bencana nasional. Apalagi, Badan Metereologi, Klimateologi dan Geofisika (BMKG) sudah memberikan informasi perkiraan cuaca dan peringatan dini apabila ada perkiraan cuaca buruk di perairan yang membahayakan keselamatan nelayan.

“Ironisnya, informasi yang disediakan BMKG ini tidak dijadikan sebagai panduan oleh pemerintah untuk melindungi nelayan, akibatnya angka kecelakaan kapal nelayan dan korban jiwa di laut terus mengalami peningkatan yang cukup tinggi,” ujarnya.[wid]

 

Sumber: http://ekbis.rmol.co/read/2014/09/25/173464/Sudah-207-Nelayan-Tewas-dalam-Kecelakaan-Laut-

https://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2014/06/kiara_laut_01-1.jpg 350 630 adminkiara http://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2016/03/kiara-FA-e1652968054749-300x90.png adminkiara2014-10-03 17:04:422014-10-03 17:04:42Sudah 207 Nelayan Tewas dalam Kecelakaan Laut

Sudah 207 Nelayan Tewas dalam Kecelakaan Laut

October 3, 2014/in Kampanye & Advokasi, Reformasi Kebijakan /by adminkiara

Sudah 207 Nelayan Tewas dalam Kecelakaan Laut

Laporan: Widya Victoria

RMOL. Pemerintah perlu memberikan jaminan perlindungan jiwa kepada nelayan. Sebab, jumlah nelayan yang meninggal akibat kecelakaan saat beraktivitas di tengah laut terus mengalami peningkatan selama empat tahun terakhir.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mencatat, pada tahun 2010 ada 86 nelayan meninggal, meningkat menjadi 149 orang pada 2011 dan sebanyak 160 orang pada 2012. Bertambah lagi di tahun 203 menjadi 225 nelayan tradisional yang meninggal.

Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan Kiara, Slamet Daryoni memperkirakan, tahunini angka kecelakaan kapal nelayan yang menimbulkan korban jiwa akan mengalami peningkatan seiring kondisi cuaca buruk di perairan yang semakin ekstrem.

“Apalagi, hingga Juli 2014 sudah ada 207 nelayan yang meninggal akibat kecelakaan di laut, tentu angka tersebut diperkirakan terus meningkat hingga akhir tahun nanti,” katanya diJakarta, Kamis (25/9).

Sebagian besar kapal nelayan tradisional berukuran kecil ini tidak memiliki alat keselamatan sehingga dengan mudah dihantam gelombang disertai angin kencang. Mereka berlayar tanpa perlindungan dan jaminan jiwa, sosial kesehatan maupun pendidikan dari pemerintah. Selain itu, semakin sulitnya akses melaut akibat praktik pembangunan yang tidak ramah lingkungan, serta ancaman bencana yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seiring perubahan iklim yang cukup ekstrem.

Berdasarkan Pasal 7 ayat 2 UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, status cuaca ekstrem di laut semestinya dikategorikan sebagai bencana nasional. Apalagi, Badan Metereologi, Klimateologi dan Geofisika (BMKG) sudah memberikan informasi perkiraan cuaca dan peringatan dini apabila ada perkiraan cuaca buruk di perairan yang membahayakan keselamatan nelayan.

“Ironisnya, informasi yang disediakan BMKG ini tidak dijadikan sebagai panduan oleh pemerintah untuk melindungi nelayan, akibatnya angka kecelakaan kapal nelayan dan korban jiwa di laut terus mengalami peningkatan yang cukup tinggi,” ujarnya.[wid]

 

Sumber: http://ekbis.rmol.co/read/2014/09/25/173464/Sudah-207-Nelayan-Tewas-dalam-Kecelakaan-Laut-

https://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2014/06/kiara_laut_01.jpg 350 630 adminkiara http://www.kiara.or.id/wp-content/uploads/2016/03/kiara-FA-e1652968054749-300x90.png adminkiara2014-10-03 17:04:422014-10-03 17:04:42Sudah 207 Nelayan Tewas dalam Kecelakaan Laut
Page 2 of 212
October 2014
M T W T F S S
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  
« Sep   Nov »

Related Link

  • Desakan kepada Kejaksaan Agung untuk Menyelidiki Dugaan Korupsi dalam Kasus Pertambangan Ilegal PT Gema Kreasi Perdana
  • Merampas Laut Merampas Hidup Nelayan
  • Reklamasi Ilegal Di Nias Masih Berlanjut, KIARA Bersama Nelayan Dusun II Desa Miga: Bukti Tidak Tegasnya Pemerintah Kepada Perusak Lingkungan
  • Kesaksian Perwakilan Warga Pesisir Manado Utara terkait Gugatan PKKPRL PT Manado Utara Perkasa, Warga Pesisir Manado Utara: Itu Ruang Tangkap Kami, Jangan Direklamasi!
  • Ketidakjelasan Penggunaan VMS untuk Nelayan Kecil, KIARA: VMS Akan Mencekik Nelayan Kecil, Menteri Kelautan dan Perikanan Harus Tegas Menjelaskan Melalui Peraturan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan!
  • Hari Bumi 2025, KIARA: Perlindungan Bumi Harus Diutamakan, Bukan Eksploitasi Atas Nama Transisi Energi yang Merugikan!
  • Hari Nelayan 2025 Ironi Nelayan Kecil dan Tradisional di Negeri Bahari; Menjadi Turis di Laut Indonesia
  • Beranda
  • Tentang
  • Mandat & Program
  • Berita Pesisir
  • Publikasi
  • Kontak

Gratis! Info seputar Pesisir & Laut Indonesia

MANGROVE

adalah sumber kehidupan!

©2022 KIARA. - Enfold WordPress Theme by Kriesi
Scroll to top