Kabar Bahari: ASEAN Mesti Beri Pengakuan Politik kepada Perempuan Nelayan

Ada 9 janji Presiden Jokowi yang lazim dikenal dengan istilah Nawacita. Sembilan janji ini sudah dijalankan selama 1,5 tahun.

Di dalam Kabinet Kerja, Presiden Jokowi memandatkan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk memerangi praktek pencurian ikan dan mengembalikan uang negara dari tangan mafia perikanan. Hasilnya, kebijakan moratorium menemukan sedikitnya 1.300an kapal terindikasi melakukan pelanggaran berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.

Tidak hanya itu, Presiden Jokowi juga menargetkan adanya kenaikan produksi hingga 19 juta ton, baik dari perikanan tangkap maupun budidaya. Pun demikian dengan garam, ia meminta kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menaikkan produksi barang asing ini sebanyak 3,2 juta ton. Bahkan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, ditekankan keharusan untuk menghilangkan ketergantungan terhadap produk pangan impor.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Desember 2015) mencatat, kenaikan produksi perikanan sejak tahun 2010-2015 tidak memberikan peningkatan kesejahteraan kepada petambak garam. Setali tiga uang, panen garam rakyat justru dihargai Rp250 per kilogram, sementara ekspor garam terus bertambah. Anehnya, salah satu indikator keberhasilan pembangunan kelautan dan perikanan menggunakan Nilai Tukar Nelayan dan Nilai Tukar Pembudidaya.

Mengapa Nilai Tukar ini tidak relevan? Karena model ini hanya mempertentangkan penghasilan dan pengeluaran. Padahal, terdapat banyak aspek yang luput dari pola ini, yakni ancaman hilangnya wilayah tangkap, adanya dampak perubahan iklim, dan sistem permodalan yang dimonopoli tengkulak/toke.

KABAR BAHARI edisi November-Desember 2015 mengetengahkan Simposium dan Festival Perempuan Nelayan di Asia Tenggara yang diselenggarakan oleh KIARA bekerjasama dengan SEAFish for Justice di Jakarta, Indonesia, pada tanggal 29-30 Desember.

Selain itu, juga disajikan profil Dr. Dedi Supriadi Adhuri, pakar Antropologi di LIPI, yang aktif menyuarakan kepentingan masyarakat pesisir dan perempuan nelayan dari Malaysia dan Kamboja. Tak ketinggalan, juga disediakan resep masak ala pesisir. Selamat membaca dan semoga memberi manfaat

Ikuti informasi terkait Kabar Bahari edisi ASEAN mesti beri pengakuan politik kepada perempuan nelayan >>KLIK DISINI<<

Siti Hajar binti Abdul Aziz: Pionir Gerakan Perempuan Nelayan di Malaysia

Perempuan dari Suku Lio, di Kabupaten Ende telah secara turun-temurun berperan sebagai penyimpan hasil panen dan penjaga lumbung (lesu usu wuni kai kebo bela), serta pengelola dapur (tau jila lika banga waja).

Perempuan dari Serdang Berdagai, Sumatera Utara, telah puluhan tahun berjibaku melakukan penyelamatan mangrove secara swadaya. Lebih dari 10.000 batang mangrove ditanam untuk menjaga pesisir dan memastikan perekonomian keluarga nelayan tetap terpenuhi.

Perempuan memiliki peran penting dalam pengelolaan sumber daya alam, perempuan bukan sekadar menjamin kebutuhan gizi keluarganya. Mereka juga berperan memastikan lingkungan dan ekosistem laut tetap lestari.
Di pesisir, perempuan nelayan berperan bukan hanya menjaga lingkungannya tetap terjaga, mereka juga berjwuang memberdayakan perempuan agar tetap mandiri dan sejahtera. Nyatanya, perjuangan memandirikan dan menyejahterakan perempuan nelayan pun dilakukan oleh perempuan nelayan dari Malaysia. Perempuan itu telah berbuat banyak untuk masyarakat pesisir di tempatnya, perjuangannya pun bukan tanpa arah, ia terus memastikan bagaimana perempuan bisa berdikari.

Ide organisasi

Namanya Siti Hajar binti Abdul Aziz, usianya beranjak 31 tahun dan berasal dari Malaysia. Suaminya adalah seorang nelayan dan bergabung di dalam kelompok Inshore Fishermen Welfare Association atau PIFWA. Kehidupan Siti Hajar pun kian dekat dengan pesisir.

“Di tempat saya, banyak juga perempuan ikut pergi melaut, jadi perempuan nelayan memang menjadi bagian penting di dalam kehidupan keluarga,” ungkap Siti Hajar binti Abdul Aziz.

Beranjak 10 tahun pernikahan Siti Hajar, ia mulai gundah melihat bagaimana kehidupan nelayan di daerahnya. Belajar dari pengalaman suaminya dalam berorganisasi, Siti Hajar mulai memahami jika perempuan pun semestinya turut berorganisasi. Ia mengibaratkan organisasi sebuah kendaraan untuk mencapai tujuan.

Tekad Siti Hajar untuk mendirikan dan terlibat dalam kelompok perempuan nelayan kian kuat. Pasalnya Siti Hajar terus menghadapi kesulitan yang dihadapi oleh nelayan di daerahnya. Cuaca buruk, angin kencang yang menyebabkan nelayan tidak bisa melaut secara otomatis membuat pendapatan nelayan turun drastis.

Nelayan di daerahnya pun harus berhadapan dengan maraknya pencemaran dan penangkapan ikan berlebih yang secara langsung membuat stok ikan semakin menurun. Di saat bersamaan, penggunaan trawl pun masih menjadi salah satu kendala yang dihadapi oleh nelayan di daerahnya.

Kondisi nelayan pun diperburuk dengan minimnya infrastruktur bagi nelayan, contohnya fasilitas dermaga yang kurang baik. Penurunan sumber pendapatan kian dirasa perempuan nelayan, karena seringkali suami mereka pulang tanpa hasil yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Memperjuangkan hak

Belajar dari kondisi yang dihadapi, baik oleh nelayan maupun perempuan nelayan, Siti Hajar binti Abdul Aziz turut terlibat ketika PIFWANITA diinisiasi pada tahun 2013. PIFWANITA merupakan kelompok perempuan di bawah Inshore Fishermen Welfare Association – PIFWA.

PIFWANITA beranggotakan 40 orang perempuan dan Siti Hajar merupakan ketua terpilih pertama. Mimpi besar PIFWANITA adalah mendorong pemberdayaan ekonomi perempuan nelayan yang mandiri dan sejahtera.

Perempuan nelayan harus kuat dan bergerak, mereka punya peran besar dan seharusnya didukung oleh semua unsur, seperti pemerintah, CSO, dan lembaga lainnya,” tambah Siti Hajar.

PIFWANITA memiliki beberapa program untuk menyejahterakan perempuan nelayan, di antaranya kampanye, pemberdayaan potensi pesisir berupa mangrove untuk diubah menjadi salah satu ekonomi alternatif keluarga nelayan. Selain itu, PIFWANITA juga terus menyuarakan penyelamatan pesisir dan lingkungan melalui penanaman mangrove.

Siti Hajar pun tidak lupa merangkul generasi muda untuk bergerak bersamanya menjaga pesisir, hal ini terlihat dari salah satu upaya PIFWANITA yang melakukan pendidikan kepada anak-anak dan generasi muda.

Sedari kecil anak-anak harus tahu manfaat pesisir, jika dewasa nanti mereka bisa mencintai pesisir dan terus menjaga keberlanjutannya,” jelas Siti Hajar.

Percaya

Siti Hajar selalu percaya satu hal, perempuan dan alam memiliki relasi integral atau tidak terpisah. Perempuan nelayan memiliki peran penting menjaga pesisirnya tetap lestari, namun pada saat bersamaan potensi yang dimliki oleh alam sepatutnya digunakan secara arif oleh nelayan.

Bersama dengan PIFWANITA, Siti Hajar mulai melirik segala bentuk produk berbahan dasar mangrove. Hal ini berdasarkan dari potensi yang dimiliki dan manfaat mangrove yang beragam. Siti Hajar mengolah mangrove menjadi kue, obat, teh dan lain-lain.

Kami sering diundang oleh pemerintah untuk menunjukkan produk-produk kami,” ucap Siti Hajar senang menceritakan pengalamannya.

Melalui Siti Hajarlah, pengetahuan manfaat mangrove terus digulirkan kepada khalayak umum di Malaysia. Mangrove yang selama ini hanya identik dengan tumbuhan yang tumbuh di pesisir ternyata memiliki beragam fungsi yang bisa dimaksimalkan. Di sisi lain, Siti Hajar dan PIFWANITA mulai mengembangkan pengolahan kerajinan tangan berbahan dasar kerang.

Siti Hajar pun secara intensif membangun komunikasi dengan Sahabat Alam Malaysia (SAM), anggota SEAFish for Justice, agar gerakan perempuan nelayan kian terorganisir.

Banyak rekan-rekan jaringan yang membantu PIFWANITA menjadi besar dan kuat, di antaranya kawan-kawan SAM dan masih banyak lagi. Karena peran jaringan itu penting sekali,” pesan Siti Hajar.

Gerakan perempuan nelayan melalui PIFWANITA didorong menjadi gerakan indepeden di mana perencanaan dan pelaksanaan kegiatan dilakukan oleh perempuan nelayan yang menjadi anggota. Namun, untuk mengembangkan sayap, Siti Hajar pun turut melibatkan instansi pemerintah, seperti Dinas Perikanan, Dinas Kesehatan, dan Dinas Kehutanan.

Siti Hajar pun menjadi peserta aktif pada South East Asia Fisherwomen Symposium and Festival dengan tema “Women and Community Based Coastal Resource Management” yang diselenggarakan oleh KIARA dan SEAFish for Justice pada 29- 30 Desember 2015 di Jakarta.

Siti Hajar percaya perempuan nelayan merupakan agen perubahan di pesisir. Untuk itulah, selayaknya perempuan diakui oleh negara dan menjadi prioritas dalam program pemerintah. Siti Hajar pun percaya, perempuan nelayan adalah sosok yang kuat, mandiri dan selalu berjuang untuk kesejahteraan keluarga nelayan.*** (SH)