Siaran Pers KIARA, 28 Januari 2016: Gubernur DKI Jakarta Privatisasi Teluk Jakarta

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

Gubernur DKI Jakarta Privatisasi Teluk Jakarta

Jakarta, 28 Januari 2016. Gubernur DKI Jakarta bersikukuh melaksanakan proyek hutang senilai lebih dari Rp540 triliun atau setara dengan USD40 miliar di Teluk Jakarta, yakni reklamasi pantai dan pembangunan 17 pulau buatan.

Sedikitnya 8 perusahaan properti mengantongi izin reklamasi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (lihat Tabel 1). Di antara kedelapan pengembang ini, terdapat PT Muara Wisesa Samudera (anak perusahaan PT Agung Podomoro Land Tbk./APLN) yang memperoleh jatah pembangunan Pulau G.

Untuk mereklamasi perairan seluas 161 hektare, perusahaan ini menggandeng investor asal Amerika Serikat, Inggris, Belanda, dan Singapura. Di dalam Pulau G, akan disediakan 70.000 tempat tinggal, mal, perkantoran, apartemen, dan perumahan pinggir pantai sebanyak 90.000.

Anak perusahaan APLN ini melaksanakan pembangunan Pulau G setelah mendapatkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tertanggal 23 Desember 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra. Padahal surat keputusan ini bertentangan dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Di dalam Pasal 34 disebutkan, (1) Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat dan/atau nilai tambah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditinjau dari aspek teknis, lingkungan, dan sosial ekonomi; (2) Pelaksanaan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjaga dan memperhatikan: (a) keberlanjutan kehidupan dan penghidupan Masyarakat; (b) keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; serta (c) persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan penimbunan material.

Pada perkembangannya, masyarakat pesisir di Teluk Jakarta, termasuk Tangerang dan Bekasi, menolak proyek reklamasi ini dikarenakan ancaman hilangnya keberlanjutan hidup dan penghidupan mereka.

Hal ini sejalan dengan Penjelasan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, “Reklamasi di wilayah pesisir hanya boleh dilakukan apabila manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh lebih besar daripada biaya sosial dan biaya ekonominya”. Terkait hal ini, Gubernur DKI Jakarta harus mawas diri dan membatalkan proyek reklamasi Teluk Jakarta.***

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Parid Ridwanuddin, Deputi Bidang Pengelolaan Pengetahuan KIARA +62 857 1733 7640
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA +62 815 53100 259

Siaran Pers Bersama Nelayan Mendatangi DPRD dan Mengadu Ke Presiden

Siaran Pers Bersama Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta
(KNTI, Solidaritas Perempuan, LBH Jakarta, YLBHI, KPI, ICEL, KIARA, WALHI)

Perempuan Nelayan dan Nelayan Tradisional: Hentikan Pembahasan Raperda RZWP3K dan Kawasan Strategis Pantura Jakarta

Jakarta, 28 Januari 2016. Perempuan nelayan dan nelayan tradisional meminta DPRD DKI menghentikan pembahasan Raperda RZWP3K dan Kawasan Strategis Pantura Jakarta. Pembahasan tersebut tidak partisipatoris, tanpa melibatkan masyarakat dan tidak terbuka kepada publik. Terlebih bagi perempuan yang tidak diakui identitasnya sebagai perempuan nelayan, sehingga tidak pernah dilibatkan dalam berbagai ruang pengambilan keputusan. Padahal kedua regulasi ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan perempuan.

Teluk Jakarta telah berada dalam situasi kritis dengan ditandai dengan kematian ikan yang terus-terusan berulang. Namun tidak ada upaya pemerintah yang jelas untuk memulihkan kondisi dan terjadi sebaliknya. Proyek reklamasi diteruskan dan akan beban Teluk Jakarta bertambah buruk dengan dibebani proyek Giant Sea Wall. Ditambah lagi penurunan muka tanah yang tinggi sehingga memperhebat bencana banjir.

Pemerintah seharusnya berupaya merevitalisasi dan memulihkan kondisi Teluk Jakarta demi berlangsungnya kehidupan masyarakat nelayan, maupun masyarakat umum lainnya. Alih-alih memulihkan kondisi, pemerintah sebaliknya justru menjual kehidupan masyarakat pesisir, melalui proyek reklamasi. Diteruskannya reklamasi, salah satunya dengan Proyek Giant Sea Wall, tentunya akan menjadikan beban Teluk Jakarta bertambah buruk. Hal ini akan diperparah dengan penurunan muka tanah yang tinggi sehingga memperparah bencana banjir yang akan dialami masyarakat Jakarta.

Meskipun mengalami situasi yang sama, namun dampak yang berbeda dirasakan oleh perempuan di wilayah pesisir Jakarta. Akibat peran gendernya, perempuan harus berpikir dan berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Reklamasi menjadikan kehidupan rumah tangga nelayan semakin terhimpit. Sehingga banyak perempuan pesisir yang bekerja secara serampangan, ditambah dengan beban kerja domestik banyak perempuan yang harus bekerja lebih dari 18 jam sehari. Hal ini tentu membahayakan kesehatan reproduksi perempuan.

DPRD diharapkan untuk menghentikan pembahasan Raperda reklamasi tersebut. Seharusnya DPRD memulai upaya melindungi Teluk Jakarta dengan melakukan audit menyeluruh terhadap proyek reklamasi. Penghentian reklamasi Jakarta merupakan tonggak penting memastikan visi takdir Indonesia menjadi Poros Maritim. Karena selama ini proyek reklamasi merupakan tindakan memunggungi laut.

Berdasarkan situasi di atas, lebih dari 700 orang, perempuan dan laki-laki yang tergabung di dalam Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta mendesak DPRD DKI Jakarta untuk menghentikan pembahasan kedua raperda reklamasi tersebut. Di sisi lain dapat mendesak eksekutif untuk melakukan audit menyeluruh terhadap proyek-proyek reklamasi Teluk Jakarta. Karena selama ini proyek reklamasi merupakan tindakan memunggungi laut, tanpa mempedulikan kesejahteraan serta hak-hak nelayan dan masyarakat pesisir.

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
H. Hafidin, Ketua RW 11 Kelurahan Pluit-Muara Angke, di 08122704926
M. Taher, DPW KNTI Jakarta, di 087782000723
Arieska Kurniawaty, Solidaritas Perempuan, di 081280564651
Martin Hadiwinata, DPP KNTI, di 081286030453
Tigor Hutapea, LBH Jakarta, di 081287296684

Siaran Pers KIARA, 20 Januari 2016: Menteri Perdagangan Gadaikan Kepentingan Nasional Petambak Garam ke Pasar

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan – KIARA

www.kiara.or.id

 

MENTERI PERDAGANGAN GADAIKAN  KEPENTINGAN NASIONAL PETAMBAK GARAM KE PASAR

Jakarta, 20 Januari 2015. Menteri Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 125/M-DAG/PER/12/2015 sebagai perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 58/M-DAG/PER/9/2012 tentang Ketentuan Impor Garam. Terbitnya aturan ini menomorduakan garam rakyat dengan mengutamakan importasi garam, baik untuk konsumsi maupun industri.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan menegaskan, “Aturan Menteri Perdagangan bertentangan dengan Nawacita agar urusan garam diurus oleh bangsa sendiri. Adanya perubahan aturan ini mencederai mandat yang diberikan oleh Presiden Jokowi. Apalagi aturan ini akan mematikan sentra-sentra produksi garam  nasional”.

Seperti diketahui, pengelolaan garam dengan pelbagai kewenangannya terbagi ke dalam 4 kementerian/lembaga, yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan (meningkatkan mutu garam rakyat), Kementerian Perindustrian (melakukan pendataan jumlah produksi garam nasional dan memberikan rekomendasi impor), dan Kementerian Perdagangan (mengeluarkan izin impor garam), dan PT. Garam (BUMN yang bertugas memproduksi berdasar mandat APBN dan menyerap garam rakyat).

“Lagi-lagi kita dipertontonkan oleh tidak kompaknya kementerian/lembaga negara menjalankan mandat dari Presiden Jokowi terkait cita-cita kedaulatan garam nasional. Bahkan aturan yang diterbitkan bertentangan. Lebih parah lagi, aturan ini membolehkan garam yang diimpor adalah konsumsi dan industri kapanpun, termasuk saat panen garam rakyat”, tambah Halim.

Di sinilah pentingnya peran dari masing-masing kementerian/lembaga untuk berkoordinasi dengan target utama meningkatkan kualitas dan harga garam rakyat agar bisa dipergunakan untuk konsumsi maupun industri. Di dalam Pasal 2 Permendag, peluang yang bisa dimanfaatkan untuk menghentikan impor garam adalah “Rencana Kebutuhan Garam Industri ditentukan dan disepakati dalam rapat koordinasi antar kementerian/lembaga terkait.

Hal lainnya, Menteri Kelautan dan Perikanan bisa menghentikan importasi garam konsumsi dengan cara memberikan rekomendasi kepada PT. Garam selaku Badang Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang usaha pergaraman (Pasal 12) agar memprioritaskan hasil panen garam rakyat untuk dikelola di dalam negeri.

Langkah-langkah strategis di atas bisa dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan sesegera mungkin agar Nawacita tidak dikubur lebih dalam oleh Menteri Perdagangan dengan menyerahkan pengelolaan garam sebagai komoditas penting bangsa yang dikelola secara penuh oleh pasar.***

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA +62 815 53100 25

Kadin Layangkan Surat Protes terkait Kebijakan Impor Garam

Kamar Dagang dan Industri Indonesia segera melayangkan surat kepada Kementerian Perdagangan untuk meminta revisi terkait peraturan menteri perdagangan tentang ketentuan impor garam. Peraturan itu dinilai bertentangan dengan upaya membangkitkan usaha garam rakyat.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Yugi Prayanto, di Jakarta, Rabu (20/1), mengemukakan, pihaknya meminta Kementerian Perdagangan untuk segera merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 125/M-DAG/PER/12/2015 tentang Ketentuan Impor Garam.

“Surat akan dilayangkan pekan ini. Permendag No 125/2015 perlu direvisi karena membumihanguskan peluang petani garam di daerah,” ujarnya.

Permendag No 125/2015 merupakan perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 58/M-DAG/PER/9/2012 tentang Ketentuan Impor Garam. Peraturan itu antara lain penghapusan ketentuan harga patokan garam, pembatasan waktu impor, dan peniadaan kewajiban importir garam untuk menyerap garam rakyat.

Menurut Yugi, pemerintah memiliki peran untuk mencapai kedaulatan garam nasional, baik konsumsi maupun industri, serta bertugas menekan impor garam industri. Akan tetapi, substansi Permendag No 125/2015 yang menggantikan Permendag No 58/2012 justru lebih tidak berpihak kepada rakyat, bahkan membuka peluang impor semakin besar.

Produksi garam nasional selama ini didominasi rakyat. Adapun pelaku usaha hingga saat ini belum berani masuk ke bisnis produksi garam karena sektor ini dinilai rumit dan terkesan tidak transparan dari hulu ke hilir. Dibutuhkan keseriusan pemerintah untuk membangkitkan dan memperkuat industri garam nasional.

Menomorduakan
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim mengemukakan, terbitnya Permendag No 125/2015 menunjukkan pemerintah mengutamakan importasi garam, tetapi menomorduakan produksi garam rakyat, baik garam konsumsi maupun industri.

“Pengelolaan garam sebagai komoditas penting bangsa diserahkan penuh ke mekanisme pasar. Lebih parah lagi, aturan ini membuka peluang garam diimpor kapan pun, termasuk saat panen garam rakyat”, ungkap Halim.

Sementara itu, Kementerian Koordinator Perekonomian mendorong setiap kementerian dan lembaga agar bersinergi membangun industri garam rakyat ketimbang menyalahkan satu sama lain. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah perlunya sinergi antarbadan usaha milik negara untuk mempercepat pembuatan garam konsumsi beryodium.

Deputi Bidang Perniagaan dan Industri Kementerian Koordinator Perekonomian Edy Putra Irawady mengatakan, Permendag No 125/2015 tentang Ketentuan Impor Garam sudah dibahas secara komprehensif dan holistik antarkementerian dan lembaga terkait.

Semangatnya adalah semangat deregulasi yang promotif, bukan protektif.

Sumber: Harian Kompas, Rabu, 21 Januari 2016, hal. 18

Siaran Pers Kebijakan Trawl

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

www.kiara.or.id

 

 

Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara Legalkan Pemakaian Trawl

KIARA: Keputusan Penjabat Gubernur Kalimantan Utara Harus Dianulir

 Jakarta, 8 Januari 2016. Penjabat Gubernur Kalimantan Utara, Drs. Triyono Budi Sasongko, M.Si., memutuskan untuk melegalkan penggunaan alat tangkap ikan Pukat Hela (trawl) di wilayah perairan Kalimantan Utara. Penjabat Gubernur yang dilantik pada 22 April 2015 ini beralasan, penggunaan trawl sangat cocok untuk kondisi perairan Kalimantan Utara yang berlumpur dan sedikit memiliki karang. Ia menambahkan bahwa dengan adanya aktivitas kapal-kapal yang memakai trawl akan membatasi praktek pencurian ikan oleh kapal-kapal asing serta melindungi nelayan tradisional Indonesia. Selain itu, keputusan ini diklaim akan menjaga keutuhan wilayah perairan dan kedaulatan RI akan terjaga.

Sekretaris Jenderal KIARA, Abdul Halim menyatakan bahwa alasan yang dikemukakan Drs. Triyono Budi Sasongko, M.Si., tersebut di atas merupakan bentuk kebohongan publik. Menurutnya, Surat Keputusan Penjabat Gubernur Kalimantan Utara menyederhanakan dampak pemakaian alat tangkap trawl terhadap kelestarian sumber daya pesisir dan laut di Kalimantan Utara.

“Di Kalimantan Utara pemilik kapal ikan yang memakai alat tangkap trawl sebanyak 2.862 kapal. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pemakaian alat tangkap trawl berakibat pada menurunnya sumber daya ikan dan mengancam kelestarian lingkungan sumber daya ikan,” ungkap Halim.

Halim juga menambahkan, fakta di lapangan juga menunjukkan kapal-kapal ikan yang memakai alat tangkap trawl beroperasi di wilayah pesisir antara 50-100 meter dari garis pantai. Akibatnya, nelayan tradisional terganggu aktivitasnya.

Pernyataan Drs. Triyono Budi Sasongko, M.Si., yang menyebutkan aktivitas kapal-kapal trawl akan turut menjaga keutuhan wilayah perairan dan kedaulatan Republik Indonesia dinilai oleh Abdul Halim tak sesuai dengan fakta di lapangan. Pernyataan tersebut jauh panggang dari api.

Abdul Halim memaparkan hasil penelitian yang dilakukan oleh KIARA (2015) yang menunjukkan, kepemilikan alat tangkap trawl di Nunukan (sebanyak 1.030 unit usaha penangkapan ikan) dan Tarakan (sebanyak 1.136 unit usaha penangkapan ikan) bukan milik nelayan tradisional (lokal), melainkan milik toke dari Sabah dan Tawau, Malaysia. Relasi ini sudah berlangsung sejak lama. Dalam relasi inilah, pemilik kapal dan pekerja perikanannya tidak memiliki posisi tawar.

Selanjutnya, Abdul Halim menyampaikan beberapa rekomendasi kepada Penjabat Gubernur Kalimantan Utara sebagai berikut: pertama, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 6 Tahun 2008 tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2 Tahun 2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Kedua, masyarakat internasional melalui FAO menyepakati Tata Laksana untuk Perikanan yang Bertanggung Jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries). Tata Laksana ini mendorong setiap negara untuk melarang praktek penangkapan ikan yang menggunakan bahan peledak, bahan beracun serta praktek penangkapan yang merusak ekosistem laut. Namun demikian, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berkewajiban untuk merancang teknologi tepat guna yang dapat digunakan oleh nelayan kecil (versi UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan) dan pelaku perikanan di atas 5 GT demi mendapatkan hasil yang terbaik dan tetap melestarikan wilayah tangkapan ikan (fishing ground).

Ketiga, meskipun mengalami penurunan anggaran lebih kurang Rp400 miliar: dari Rp1,699,551,000,000 (2014) menjadi Rp1,2 triliun (2015), Penjabat Gubernur Kalimantan Utara mestinya memfasilitasi pelaku usaha perikanan di Provinsi Kalimantan Utara, khususnya nelayan kecil (menurut UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan).

Keempat, Penjabat Gubernur Kalimantan Utara mestinya belajar dari negara-negara tetangga, seperti Filipina dan Malaysia, yang melarang penggunaan alat tangkap trawl dikarenakan dampak negatifnya terhadap kelestarian ekosistem pesisir (12 mil) dan laut.

Berdasarkan empat rekomendasi tersebut, Abdul Halim mendesak Penjabat Gubernur untuk menganulir keputusan diperbolehkannya pemakaian alat tangkap trawl di wilayah perairan Kalimantan Utara.

“Tak ada pilihan lain, jika Penjabat Gubernur Kalimantan Utara berpihak terhadap nasib nelayan tradisional (lokal), ia harus menganulir keputusan itu,” tutup Halim.

Pada Jum’at (8/01/2016), KIARA telah mengirimkan surat yang ditujukan kepada Drs. Triyono Budi Sasongko, M.Si., selaku Penjabat Gubernur Kalimantan Utara untuk menganulir keputusan diperbolehkannya pemakaian alat tangkap trawl di perairan Kalimantan Utara.

Untuk informasi selanjutnya, dapat menghubungi:

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA di +62 815 53100 259
Parid Ridwanuddin, Deputi Pengelolaan Pengetahuan KIARA di +62 857 117337 640