Kontroversi Proyek Reklamasi, Membara di Teluk Jakarta
Reklamasi Teluk Jakarta mendadak menjadi diskursus publik. Isu ini terus memanas dan menjadi sorotan masyarakat, terutama selepas penangkapan Muhammad Sanusi, anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Gerindra.
Perkaranya berbuntut panjang. Bukan hanya nilai bombastis dari proyek yang menjeratnya, dugaan keterlibatan sejumlah pengusaha besar pun menjadi sorotan dan persoalan tersendiri dalam kasus dugaan suap tersebut. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan menandai kasus ini dengan predikat grand corruption.
Kasus yang juga menyeret Direktur Utara PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja itu disebut-sebut melibatkan sejumlah tokoh besar di dalam negeri. KPK bahkan telah mengajukan permintaan pencegahan terhadap beberapa nama kepada Ditjen Imigrasi.
Bos Agung Sedayu Group Sugianto Kusumo alias Aguan menjadi salah satu nama yang dicegah untuk berpergian ke luar negeri. Meski masih berstatus saksi, KPK berkelit pencegahan itu dilakukan untuk mempermudah upaya memperoleh keterangan terkait dengan kasus tersebut.
Aguan merupakan salah satu pengusaha top di dalam negeri yang belakangan aktif di berbagai kegiatan sosial melalui Yayasan Budha Tzu Chi yang merupakan cabang dari organisasi pimpinan Master Cheng Yen di Taiwan.
Aguan sukses membangun kawasan Harco Mangga Dua sebagai salah satu pusat elektronik terintegrasi di Jakarta. Selain itu, Aguan juga mengembangkan kawasan Taman Palem, dan Kelapa Gading Square. Saat ini, Aguan juga tercatat sebagai Wakil Komisaris Utama Bank Artha Graha bersama Tomy Winata.
Kasus dugaan suap yang belakang menghebohkan itu terkait dengan Rancangan Peraturan daerah DKI Jakarta tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), dan Rancangan Peraturan Daerah DKI Jakarta tentang Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta, atau yang lebih dikenal dengan Raperda Reklamasi.
Rancangan beleid itu menyangkut pembagian zona dari pulau-pulau di Teluk Jakarta, dan akan mengatur wilayah mana saja yang akan diperuntukan untuk wilayah umum, kawasan pelayaran, budi daya, hingga konservasi.
Hal itulah yang membuat pengusaha berkepentingan untuk ikut campur dalam pembahasan rancangan peraturan daerah, karena RZWP3K akan menentukan nasib peruntukan pulau, termasuk pulau reklamasi.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebetulnya telah mengeluarkan izin prinsip pelaksanaan reklamasi kepada para pengembang.
Selain kepada PT Agung Podomoro Land Tbk., izin prinsip juga diberikan kepada PT Kapuk Naga Indah yang merupakan anak perusahaan PT Agung Sedayu, PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk., PT Intiland Development Tbk., PT Jakarta Propertindo, PT Jaladri Kartika Pakci, PT Pelindo II (Persero), dan PT Manggala Krida Yudha.
Dengan tambahan 17 pulau buatan yang dinamai sesuai dengan alphabet, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan mendapat tambahan daratan seluas 5.100 hektare. Untuk melakukan reklamasi itu, diperkirakan akan menghabiskan dana sekitar Rp500 triliun.
Agar dapat melaksanakan reklamasi dan memanfaatkan pulau buatan tersebut, perusahaan yang diberikan izin prinsip harus memberikan kontribusi kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Ahok ngotot agar pengusaha memberikan kontribusi sebesar 15%dari nilai jual objek pajak (NJOP) total lahan total lahan yang dapat dijual atau saleable area.
Ahok mengaku sempat mendapat lobi agar nilai kontribusi yang diberikan pengusaha diturunkan menjadi 5%. Dia bahkan mengancam akan memenjarakan seluruh anak buahnya yang berani melawan keputusannya tersebut.
“Kalau begini, ini tindak pidana korupsi. Saya ancam mereka, siapapun yang melawan disposisi saya, akan saya penjarakan,” kata Ahok.
Meski masih bermasalah, PT Kapuk Naga Indah yang menjadi pengembang Pulau A, B, C, D, dan E, telah memasarkan produk propertinya.
Pulau itu memang termasuk ke dalam Blok Barat yang diperuntukan sebagai kawasan pemukiman intensitas sedang tempat rekreasi, kawasan komersial terbatas, rumah sakit, dan pertokoan.
Berdasarkan laman golf-island-pik.com, salah satu pulau yang dikembangkan anak perusahaan PT Agung Sedayu itu memiliki lapangan golf dengan 27 hole, ruko komersial menghadap laut, rukan di boulevard dengan jalan selebar 115 meter, rumah hunian dengan pemandangan laut dan danau, serta kavling tanah dengan pemandangan lapangan golf dan danau.
Laman itu juga menyediakan informasi harga rukan di Blok A dan C dengan pemandangan laut Rp11 miliar, rukan The Beach 2 View Rp8 miliar, rukan dengan pemandangan jembatan akses utama Rp7 miliar, rukan theme park Rp7 miliar, rukan Blok J boulevard Rp7 miliar, rukan beach boulevard Rp8 miliar, dan rukan Blok H dan I boulevard Rp7 miliar.
Harga cukup fantastis juga diberikan untuk produk perumahan, yakni rumah tipe Basil dengan ukuran 10X20 meter di Cluster The Chopin Signature seharga Rp7 miliar. Di cluster yang sama, rumah dengan tipe Bougenville yang berukuran 10X35 meter dijual dengan harga Rp18 miliar, dan rumah tipe Marygold di Cluster the Mozart Signature berukuran 12X35 meter seharga Rp20 miliar.
Laman tersebut pun menyediakan nomor telepon yang dapat dihubungi, apabila ada pihak yang berminat untuk membeli properti di kawasan tersebut.. Akan tetapi, nomor yang dipasang tidak merespon panggilan yang dilakukan, untuk mengetahui lebih lanjut produk yang dipasarkan.
Sayangnya, saat ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menyegel bangunan milik perusahaan, karena persoalan perizinan. Bangunan yang ada di Pulau C disegel, karena belum memiliki izin mendirikan bangunan.
Selama ini, pengembang hanya memegang izin prinsip pelaksanaan, sedangkan untuk membangun rumah, kantor, dan apartemen di area reklamasi harus tetap mengajukan izin mendirikan bangunan atau IMB.
Pengembang lainnya, PT Jakarta Propertindo justru mengaku belum fokus untuk menggarap reklamasi.
BUMD milik Pemprov DKI Jakarta itu sejauh ini masih memberi prioritas pada penugasan proyek-proyek untuk mendukung Asian Games 2018.
“Kami sudah kantongin izin prinsip. Saat ini masih kajian atau tahap persiapan. Kalau investor lain kami kurang tahu, yang sudah bangun mungkin rugi ya [karena tarik ulur pembahasan raperda],” jelas Sekretaris Perusahaan Jakpro, Achmad Hidayat.
OPSI TERAKHIR
Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Bernardus Djonoputro berpendapat reklamasi seharusnya menjadi pilihan terakhir ketika tidak memiliki lahan lagi. Dalam kasus reklamasi Teluk Jakarta nampak ketidakmampuan pemerintah dan pemda untuk konsolidasi lahan sehingga reklamasi menjadi pilihan.
“Secara teknis tidak ada masalah selama dilakukan dengan teknik yang benar. Namun, reklamasi idealnya ialah meng-upgrade kehidupan mereka yang tinggal di sekitar lokasi karena mereka menjadi subjek pembangunan,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (11/4).
Bernardus menuturkan pengambangan 17 pulau hasil reklamasi jelas-jelas ditujukan untuk kelas menengah ke atas. Sebab, biaya yang dikeluarkan investor untuk melakukan reklamasi pun tidak sedikit.
Selain tidak menjadikan masyarakat Teluk Jakarta sebagai subjek pembangunan, dia menuturkan pemprov lalai dalam perencanaan reklamasi. Merujuk pada UU No.26/2007 Tentang Penataan Ruang, pemprov DKI seharusnya melakukan penjaringan opini masyarakat terlebih dahulu.
Dia mencontohkan masterplan perencanaan pembangunan kota Kuala Lumpur membutuhkan waktu sekitar 6,5 tahun karena lamanya konsultasi publik. Konsultasi publik dibutuhkan untuk mendapatkan aspirasi masyarakat dan memperjelas tujuan reklamasi.
Menurutnya, dari kaidah perencanaan, tampak jelas bahwa Pemprov DKI dan pengembang sama-sama lalai karena tidak mengikuti proses seharusnya. Konsultasi public dengan anggota DPR belum mampu mewakili seluruh aspirasi masyarakat.
“Sekarang pemda mungkin tidak mengerti di atas pulau itu akan dibangun apa, jalannya seperti apa, bangunan dan lainnya. Sebelum ada desain yang utuh, tidak bisa main timbun saja.”
Susah Herawati, Deputi Pengelolahan Program Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengatakan sejak awal reklamasi Teluk Jakarta sudah menyalahi aturan yakni tidak adanya analisis dampak lingkungan (Amdal). Selain itu, konsultasi publik juga tidak dilakukan padahal para nelayan adalah korban langsung reklamasi.
Reklamasi Teluk Jakarta mengancam kelanjutan hidup sekitar 7.000 nelayan. Kompensasi kepada para nelayan pun tidak jelas, padahal pembahasan reklamasi Teluk Jakarta sudah dilakukan sejak era Orde Baru.
“Tidak ada pembicaraan apapun dengan nelayan. Saat ini saja tangkapan sudah menurun karena aktivitas reklamasi.”
Susan berpendapat reklamasi teluk Jakarta adalah potret di mana pemerintah sangat memberikan perhatian kepada swasta sekaligus abai terhadap nelayan dan rakyat kecil. Kasus korupsi terkait dengan reklamasi Teluk Jakarta juga tidak membuat aktivitas reklamasi terhenti.
Dia mengatakan saat ini aktivitas kapal besar yang mengangkut pasir untuk urukan di pulau reklamasi tetap berlanjut. Bahan urukan itu diambil dari Banten, Bangka Belitung, Lampung dan daerah lainnya.
“Kasus korupsi yang hanya berapa miliar itu kecil sekali jika dibandingkan dengan apa yang akan pengembang dapatkan. Kami sejak awal tolak reklamasi.
Sumber: Bisnis Indonesia, 12 April 2016. Halaman 10