Catatan Terhadap Debat Capres Putaran Kedua
KIARA: Kedua CAPRES Tidak Memiliki Visi Bahari
Jakarta, 18 Februari 2019 – Masyarakat Indonesia tadi malam telah menyaksikan langsung debat calon Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024 putaran kedua mengenai sejumlah isu penting, yaitu isu energi dan pangan; sumberdaya alam dan lingkungan hidup; serta infrastruktur. Sejumlah isu tersebut merupakan persoalan serius yang harus mendapatkan perhatian dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia.
Setelah mengikuti dan memperhatikan substansi perdebatan, KIARA memiliki sejumlah catatan penting terkait dengan isu-isu yang diperdebatkan. Pertama, terkait dengan isu energi. Kedua calon Presiden tidak memiliki misi untuk membangun energi terbarukan. Dua- duanya sama terjebak di dalam pandangan keliru, bahwa energi alternatif yang berasal dari kelapa sawit (biofuel). Padahal, Indonesia memiliki kelimpahan potensi energi alternatif seperti energi ombak laut yang belum dimanfaatkan dengan baik, selain dari energi angin dan panas matahari.
Tak hanya itu, mengurangi energi fosil hanya sebatas slogan semata, karena di dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2018-2027, pemerintah menetapkan ratusan proyek pembangunan PLTU batu bara yang lokasinya banyak di berada di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Proyek ini tentu akan menghancurkan ekosistem darat dan laut Indonesia pada masa-masa yang akan datang.
Kedua, terkait dengan sawit, kedua calon Presiden sama-sama berpihak terhadap ekspansi perkebunan sawit yang terbukti merampas tanah masyarakat. Pusat Data dan Informasi KIARA (2018), mencatat ekspansi sawit tidak hanya terjadi di hutan-hutan tropis, melainkan juga di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Luasan sawit di pesisir tercatat lebih dari 600 hektar. Selain itu, hutan di pulau-pulau kecil yang luasnya lebih dari 4 juta hektar, terancam juga habis oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit. Ekspansi ini mengancam keanekaragaman hayati dan lokus pangan.
Ketiga, terkait dengan isu pangan. Baik calon Presiden 01 maupun calon Presiden 02 sama- sama tidak memiliki misi kedaulatan pangan sekaligus diversifikasi pangan. Keduanya hanya terjebak pada isu harga pangan murah dan ketersediaan beras serta jagung. Padahal, kedaulatan pangan meniscayakan perlindungan terhadap alam sebagai lokus pangan. Tak hanya itu, keduanya tak terlihat bicara mengenai pangan alternatif seperti pangan laut dan juga sagu sebagai pangan strategis. Padahal alam Indonesia memiliki kekayaan pangan yang berbeda di setiap tempat.
Keempat, mengenai kepemilikan tanah. Kedua calon Presiden tidak memiliki misi untuk menegakan keadilan sosial-ekologis, khususnya di kawasan pesisir dan pulau-pulau karena tidak berbicara mengenai persoalan kepemilikan pulau-pulau kecil baik oleh perorangan maupun perusahaan, sebagaimana terjadi di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Dari 110 Pulau kecil, lebih dari 60 pulau dimiliki oleh perorangan dan atau perusahaan. Fakta-fakta di lapangan membuktikan bahwa kepemilikan pulau-pulau kecil ini mengancam ruang hidup nelayan.
Kelima, terkait dengan infrastruktur. Dalam catatan KIARA, pembangunan infrastruktur selama ini tidak memberikan dampak baik bagi masyarakat pesisir. Lebih jauh, pembangunan fasilitas publik yang menjadi tanggung jawab negara, masih jauh belum mereka rasakan. Sebagai contoh infrastruktur listrik. Sampai hari ini ada 544.748 rumah tangga nelayan di desa pesisir yang menggunakan listrik non PLN. Mereka biasanya memiliki alat semacam genset yang membutuhkan banyak solar. Selain itu, ada 561.065 rumah tangga di desa pesisir yang belum teraliri listrik. Dengan demikian, total rumah tangga nelayan yang belum menikmati listrik dari negara sebanyak 1.105.813 rumah tangga perikanan.
Keenam, terkait dengan isu kebaharian dan kemaritiman. Kedua calon Presiden terlihat tidak memiliki gagasan yang maju dalam isu ini. Calon Presiden 01 hanya bicara pemberantas IUU Fishing, tol laut, bank mikro, dan pertambangan laut. Sedangkan calon Presiden 02 terlihat tidak memiliki gagasan apapun. Padahal persoalan utama dalam isu adalah kedaulatan masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan perempuan nelayan, yang harus berhadapan dengan praktik perampasan ruang hidup akibat proyek pembangunan infrastruktur. Dalam catatan KIARA, reklamasi pantai, pertambangan pesisir dan pulau- pulau kecil, pariwisata pesisir dan pulau-pulau kecil dalam skema Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), terbukti merampas ruang hidup masyarakat pesisir.
“Dari semua pemaparan capres 01 dan capres 02, masyarakat dapat menilai bahwa gagasan- gagasan yang disampaikan oleh keduanya tidak menyentuh permasalahan riil yang dihadapi oleh masyarakat, khususnya masyarakat pesisir di Indonesia. Dalam pada itu, Indonesia bisa terjebak dalam mengartikulasi kedaulatan sejati masyarakat bahari yang seharusnya tergambar dari debat malam tadi. ” tegas Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA.
Menurut Susan, debat putaran kedua ini hanya mengulang-ulang retorika lama tanpa komitmen serius untuk memperbaiki kehidupan masyarakat dan menegakkan keadilan sosial-ekologis yang selama ini telah dirampas atas nama pembangunan. “Baik capres 01 maupun capres 02, sama-sama tak memiliki misi melindungi dan memperdayakan kehidupan lebih dari 12 juta rumah tangga perikanan yang tinggal di 12 ribu desa pesisir di Indonesia,” pungkasnya.
Informasi lebih lengkap:
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, 0821-1172-7050