Masyarakat Adat Pesisir Serukan Penolakan terhadap Perampasan Ruang Hidup

Manado, 4 Maret 2019 – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bersama dengan Kelompok Pengelola Sumberdaya Alam (KELOLA) dan Forum Masyarakat Adat Pesisir menyelenggarakan lokakarya masyarakat adat pesisir dan pulau-pulau kecil di kawasan Pantai Malalayang Dua, Kota Manado.

 

Pertemuan ini merupakan menghadirkan masyarakat adat pesisir dari berbagai provinsi, yaitu: Aceh, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Sulawesi Utara, dan juga Papua. Tujuan kegiatan ini adalah untuk membahas hak tenur masyarakat adat pesisir dalam mengelola sumber-sumber daya perikanan.

 

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA menyatakan bahwa pembahasan hak tenur dalam pengelolaan sumber daya perikanan penting dibahas karena maraknya praktik perampasan ruang hidup di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. “Selama ini pengelolaan sumber daya perikanan hanya dilihat sebagai pengelolaan komoditas semata. Padahal, di dalamnya ada isu ruang hidup (tenur) dan isu hak asasi manusia yang perlu dilindungi oleh negara,” ungkapnya.

 

Pada kesempatan yang sama, Dr. Rignolda Djamaluddin, Direktur KELOLA menegaskan, praktik perampasan ruang hidup di kawasan Sulawesi Tengah dapat dilihat dalam proyek reklamasi di berbagai wilayah pesisir di Manado. Tak hanya reklamasi, proyek konservasi di Taman Nasional Bunaken (TNB) juga terbukti merampas ruang hidup masyarakat. “Praktik perampasan ruang hidup masyarakat selama ini dilegitimasi oleh regulasi yang sebenarnya salah, karena bertentangan mandat konstitusi,” tegasnya.

 

Sementara itu, Bona Beding, Ketua Forum Masyarakat Adat Pesisir menuturkan bahwa perampasan ruang hidup atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi mengancam kehidupan masyarakat pesisir, tak hanya sosio-ekonomi dan ekologi tetapi juga mengancam identitas budaya bahari masyarakat pesisir Indonesia, khususnya masyarakat adat pesisir. “Seluruh komunitas masyarakat adat pesisir di Indonesia adalah pemilik dan pemegang hak pengelolaan sumber-sumber daya perikanan,” imbuhnya.

 

Dalam lokakarya ini, masyarakat adat pesisir menyatakan penolakan dan perlawanan terhadap perampasan ruang hidup masyarakat dalam bentuk proyek reklamasi yang saat ini tercatat di 42 wilayah pesisir, tambang pesisir di 26 kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, industri pariwisata yang saat ini dijadikan satu pilar pertumbuhan ekonomi melalui proyek Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), konservasi laut yang telah mencapai kawasan seluas 20 juta hektar, dan perkebunan kelapa sawit yang saat ini sudah memasuki kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil seluas 600 ribu hektar lebih.

 

 

Dalam pada itu, negara harus segera memberikan perlindungan utuh kepada masyarakat adat di pesisir Indonesia di tengah perebutan ruang antara masyarakat adat di pesisir dan investor. “Sebagai bangsa bahari, seharusnya masyarakat adat di pesisir Indonesia menjadi tuan di lautnya sendiri, artinya negara memiliki kewajiban untuk menjamin ruang hidup masyarakat adat di pesisir Indonesia yang hari ini masih berada di bawah tekanan investasi melalui mega proyek seperti reklamasi, tambang, pariwisata dan konservasi” tutup Susan Herawati, Sekjen KIARA. (*)

 

Informasi lebih lanjut

 

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050 Dr. Rignolda Djamaluddin, Direktur KELOLA, +62 813-5460-1480

Bona Beding, Ketua Forum Masyarakat Adat Pesisir, +62 812-1878-9744