Potret Krisis dan Kepentingan Oligarki dalam Pilkada Serentak di Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil

Siaran Pers Bersama

Koalisi Rakyat untuk KeadilanPerikanan (KIARA)

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)

Forest Wacth Indonesia (FWI)

 

Jakarta, 24 November 2020 – Pasca Pemilihan Presiden – Wakil Presiden dan Pemilihan Anggota Legislatif pada April 2019 lalu, Indonesia kembali memasuki tahun politik, yakni Pilkada Serentak yang diikuti sebanyak 270 daerah pada 9 Desember 2020 mendatang.

270 daerah yang menggelar Pilkada Serentak itu, sebanyak 229 daerah di antaranya merupakan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil yang, tak terlepas dari sejumlah masalah, terutama terkait ekspansi industri
ekstraktif, mulai dari industri pertambangan dan migas, industri kehutanan dan kelapa sawit, industri
pariwisata, hingga proyek reklamasi.

 

Potret Krisis

Dalam konteks tambang dan energi, Jaringan Advokasi Tambang mencatat, dari 270 daerah itu, sebanyak
229 daerah yang memiliki garis pantai, pesisir, dan sebagian memiliki pulau kecil tengah dibebani oleh
4.127 izin tambang. Di wilayah-wilayah ini, juga terdapat 27 dari 277 proyek strategis nasional (PSN) dan
kompleks industri nikel dan baterai kendaraan listrik.

Tak hanya tambang dan energi, dari total 12 juta hektare luas daratan pulau-pulau kecil di Indonesia
sebanyak 43% berstatus hutan produksi (terbatas, tetap, dan konversi), dan sekitar 28% daratan tersebut
sudah dikuasai korporasi. Seluas 315 ribu hektar dikavling untuk pertambangan, sekitar 742 ribu hektar
dikavling untuk perkebunan, sekitar 1,69 juta hektar dikavling untuk HPH dan HTI, dan 680 ribu hektare
dalam tumpang tindih konsesi.

“Aktivitas industri ekstraktif tersebut, telah dan tengah menghancurkan daratan dan pesisir, ruang hidup
bagi petani dan nelayan. Kualitas lingkungan dan kesehatan warga di daerah industri pun terdegradasi,
bahkan sejumlah warga yang berjuang menyelamatkan ruang hidupnya berakhir di jeruji besi, sebagiannya
lagi kehilangan nyawa,” ujar Merah Johansyah dari JATAM.

Berdasarkan data Forest Watch Indonesia, laju deforestasi Indonesia yang mencapai 1,4 juta hektar per
tahun (periode 2013-2017), meningkat jika dibanding periode 2009-2013, yakni 1.1 juta hektar per tahun.
Ditambah ancaman habisnya hutan alam di pulau-pulau utama (Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi,
Maluku dan Papua) turut mempercepat hilangnya hutan alam di pulau-pulau kecil. Mengikuti data
deforestasi nasional, nilai deforestasi di pulau-pulau kecil juga mengalami peningkatan dari 391 ribu
hektare (2009-2013) menjadi 656 ribu hektare (2013-2017).

“Dari pola-pola eksploitasi sumber daya alam yang sudah-sudah, ini sering kali menjadi pintu masuknya
investasi destruktif di atas pulau-pulau kecil melalui skema pemberian izin dan atau izin pelepasan kawasan
hutan untuk perusahaan pertambangan, HPH, HTI, dan perkebunan skala besar,” ujar Anggi Putra Prayoga
dari FWI.

Menurut Anggi, pendekatan pengelolaan pulau-pulau kecil yang dijalankan saat ini keliru, yakni dengan
generalisasi pulau. Padahal setiap pulau atau kepulauan memiliki karakter yang terbentuk unik berdasarkan
kondisi ekologi, sosial, budaya, dan geografisnya sehingga bentuk pendekatan pengelolaan yang dilakukan
pun seharusnya masing-masing pulau/kepulauan berbeda. Beberapa kekeliruan praktik pengelolaan yang
ada saat ini yaitu menyamakan antara mainland dengan pulau kecil, menyamaratakan pulau kecil, dan
terlalu banyak intervensi dalam pengelolaan pulau kecil.

“Keterlanjuran penunjukan status fungsi kawasan di atas pulau-pulau kecil seharusnya bukan menjadi
ketetapan yang dibawa ke tingkat tapak, namun menjadi evaluasi sehingga tidak memperpanjang jejak
konflik tenurial di Indonesia,” ujarnya

Selain itu, sumber daya alam di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia yang terus mengalami
eksploitasi tiada henti itu, salah satunya juga akibat kebijakan pemerintah, melalui tata ruang laut atau yang
disebut Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).

Catatan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, menunjukkan, jika RZWP3K, alih-alih bisa melindungi
kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, justru berbahaya untuk beberapa hal: Pertama. tidak menempatkan
masyarakat pesisir sebagai aktor utama pengelola sumber daya kelautan dan perikanan. Kedua, alokasi
ruang hidup masyarakat pesisir sangat kecil dibandingkan dengan alokasi ruang untuk kepentingan
pelabuhan, industri, reklamasi, pertambangan, pariwisata, konservasi, dan proyek lainnya.

Ketiga, penyusunan peraturan zonasi hanya memberikan kepastian hukum untuk kepentingan pebisnis.
Keempat, dengan banyaknya yang mengakomodasi proyek tambang, peraturan zonasi tidak
mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem laut.

Kelima, mencampuradukan kawasan tangkap nelayan tradisional dengan kawasan pemanfaatan umum
lainnya. Hal ini meningkatkan risiko nelayan ditabrak kapal-kapal besar.

Di antara ancaman penting yang akan dihadapi oleh masyarakat pesisir adalah ekspansi proyek reklamasi
di kawasan pesisir. KIARA mencatat lebih dari 79 ribu keluarga nelayan terdampak proyek yang tersebar
di 42 kawasan pesisir. Pada masa yang akan datang, proyek pengerukan ini akan terus meningkat
jumlahnya.

“Pilkada serentak 2020 hanya akan menempatkan masyarakat pesisir sebagai objek dari kepentingan politik
yang ingin menguasai kekayaan sumber daya alam. Alih-alih akan memperbaiki kualitas hidup mereka,
Pilkada 2020 justru akan memperburuk dan melanggengkan perampasan ruang hidup masyarakat pesisir,”
ujar Parid Ridwanuddin dari KIARA.

 

Pilkada Serentak sebagai Ancaman

Potret krisis dan masalah di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di atas, tampak diperparah dengan
disahkannya UU Minerba No 3 Tahun 2020 dan UU Cipta Kerja No 11 Tahun 2020. Dua produk hukum
yang dibahas dan disahkan di tengah pandemi COVID-19 dan serba tertutup itu, justru membuka ruang dan
memberikan jaminan hukum bagi langgengnya industri ekstraktif, lalu mempersempit kedaulatan warga,
serta membuka ruang kriminalitas bagi warga yang melawan.

Apalagi, sejumlah kandidat dan timses yang berkontestasi di beberapa wilayah pesisir dan pulau kecil,
adalah bagian dari tentakel dan operator Omnibus Law Cipta Kerja itu sendiri. Beberapa di antaranya,
adalah:

1] Airlangga Hartarto, Menko Ekonomi dan Pengusung Utama Omnibus Law, sekaligus Ketua Partai
Golkar. Airlangga yang terhubung dengan tambang batubara PT Multi Harapan Utama di Kalimantan
Timur, menjadi Juru Kampanye Tim Paslon H Sahbirin Noor – H Muhiddin di Pilgub Kalimantan
Selatan, bersama banyak tokoh dan figur lain. Sahbirin Noor sendiri adalah keluarga dari Haji Isam atau
Andi Syamsudin Arsyad, pemain tambang batubara di Kalsel

2] Erwin Aksa, yang berperan sebagai anggota Satgas Omnibus Law. Erwin Aksa tercatat sebagai Ketua
Tim Kampanye Pasangan Calon Munafri Arifuddin – Abd Rahman Bando dalam Pilwalkot Kota
Makassar. Erwin Aksa sendiri juga merupakan Pengurus Kadin Pusat, Pengurus DPP Partai Golkar, dan
Komisaris Utama Bosowa Group, bersamaan di Makassar juga terdapat Proyek Strategis Nasional (PSN)
Makassar New Port yg juga menjadi agenda yang ingin dimuluskan oleh Omnibus Law.

3] Abdullah Azwar Anas, yang berperan dalam satgas omnibus law cipta kerja. Istri Abdullah Azwar
Anas, Ipuk Fiestiandani Anas menjadi salah satu Paslon Bupati dalam Pilkada Banyuwangi.

Dengan demikian, Pilkada Serentak 2020 tampak tak relevan bagi keselamatan rakyat dan lingkungan. “ini
adalah pesta demokrasi palsu, sekadar pemilihan operator omnibus law cipta kerja di daerah. Sebab,
sebagian besar kewenangan kepala daerah sudah ditarik ke pusat, dan para aktor di belakang omnibus law
cipta kerja juga terlibat sebagai timses pada pilkada di sejumlah daerah,” tegas Merah.

Merah pun menyerukan ke publik, terutama masyarakat terdampak industri ekstraktif lebih kritis dan mulai
mengambil sikap tegas. “Saatnya kita lanjutkan pembangkangan dengan menolak pilkada serentak 2020
yang hanya menguntungkan oligarki,” tutup Merah.

 

Narahubung:
Merah Johansyah – JATAM – +62 813-4788-2228
Parid Ridwanuddin – KIARA – +62 812-3745-4623
Anggi Putra Prayoga – FWI – +62 822-9831-7272