Pasca Penetapan Edhy Prabowo Sebagai Tersangka, KIARA: KPK Harus Usut Perusahaan Lain Penerima Izin Ekspor Lobster

Siaran Pers

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

www.kiara.or.id

 

Jakarta, 26 November 2020 – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia telah resmi menetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan sebagai tersangka dugaan suap ekspor benih lobster pada Rabu (25/11) dini hari. Selain Edhy, ada 6 orang lainnya yang turut ditetapkan sebagai tersangka, 1 di antaranya adalah pemberi suap.   Mereka adalah Staf Khusus Edhy Prabowo, Safri Muis, pengurus PT Aero Citra Kargo, Siswadi, staf istri Menteri KP, Ainul Faqih, Amiril Mukminin, Stafsus Edhy, Andreau Pribadi Misanta, dan Direktur PT Dua Putra Perkasa, Suharjito.

 

Berdasarkan laporan KPK,  Edhy Prabowo menerima suap dari Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama, Suharjito. Tujuannya agar perusahaan Suharjito ditetapkan sebagai eksportir benih lobster melalui forwarder, PT Aero Citra Kargo (PT ACK).  Perusahaan ini merupakan satu-satunya forwarder ekspor benih lobster yang sudah disepakati dan dapat restu dari Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Sehingga, sejumlah perusahaan eksportir benih lobster harus menggunakan jasa PT ACK dengan tarif Rp 1.800 per benih. 

 

Perusahaan-perusahaan yang berminat kemudian mentransfer uang kepada PT ACK dengan total Rp 9,8 miliar. Uang tersebutlah yang diduga kuat, dijadikan suap untuk Edhy Prabowo diberikan. Berdasarkan temuan KPK, Edhy menerima Rp 3,4 miliar dari PT ACK beserta USD 100 ribu atau setara Rp 1,41 miliar dari Suharjito. Sehingga, total yang ia terima sebesar Rp 4,8 miliar.

 

Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati mengapresiasi langkah-langkah cepat yang diambil oleh KPK dalam merespon kasus ini. Selain itu, ia menyebutkan bahwa pemberian izin ekspor benih lobster sangat-sangat bermasalah sejak dari awal, khususnya ketiadaan transparansi dan akuntabilitas.

 

Susan menyebut Ombudsman Republik Indonesia (ORI) pernah mengingatkan dalam kebijakan pemberian izin ekspor lobster ini terdapat banyak potensi kecurangan. Bahkan, ORI menyebut bahwa izin ekspor benih lobster itu bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia. “Sayangnya, Edhy Prabowo tidak mendengarkan penilaian tersebut,” ungkapnya.

 

Lebih jauh, Susan mendesak KPK untuk melakukan penyelidikan dan pengusutan lebih dalam kepada sejumlah perusahaan yang telah melakukan ekspor benih lobster berdasarkan izin yang telah diberikan oleh Edhy Prabowo. “Setidaknya telah ada sembilan perusahaan yang telah melakukan ekspor benih lobster per Juli 2020, yaitu CV Setia Widara, UD Samudera Jaya, CV Nusantara Berseri, PT Aquatic SSLautan Rejeki, PT Royal Samudera Nusantara, PT Indotama Putra Wahana, PT Tania Asia Marina, PT Indotama Putra Wahana, dan PT Nusa Tenggara budidaya,” jelas Susan.

 

Susan mempertanyakan, jika PT Dua Putra Perkasa Pratama telah terbukti memberikan suap kepada Edhy Prabowo sebanyak USD 100 ribu atau setara Rp 1,41 miliar, maka bagaimana dengan sembilan perusahaan lain yang telah melakukan ekspor benih lobster? Apakah mereka tidak melakukan hal yang sama?” tanyanya.

 

“Jika kesembilan perusahaan praktik gratifikasi dengan nominal yang sama kepada Edhy, maka setidaknya Edhy telah menerima uang lebih dari 10 miliar,” sambung Susan.  

 

Bagi Susan, mekanisme pemberian izin ekspor bagi 9 perusahaan ini, wajib diselidiki terus oleh KPK. “KPK jangan hanya berhenti pada kasus ini. Perlu pengembangan dan penyelidikan lebih lanjut supaya kasus ini terang benderang dan publik memahami betul duduk perkaranya,” tegas Susan. (*)

 

Informasi lebih lanjut:

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, +62 821-1172-7050